Narin tetap setia menumpukan berat kepalanya pada kedua telapak tangan yang diletakkan di atas meja kayu bundar, bersama dengan cemilan ringan serta teh hangat. Maniknya menatap Kaline penuh binar, berharap tingkah lakunya dapat menarik perhatian Kaline yang terpaku pada surat kabar harian yang ia terima.
Setelah hampir sepuluh menit berlalu, Kaline akhirnya menoleh. Ia menghela napasnya pasrah. “Sebenarnya apa yang ingin kau tanyakan?” tanya pada akhirnya.
Senyuman Narin mengembang, membuat matanya menyipit. “Tentang pesta teh bersama Pangeran Antheo ... apa kau tak ingin menceritakannya padaku, Putri?” matanya yang berwarna biru terang berbinar-binar, membuat Kaline tak sanggup untuk menolaknya.
Kaline mengangkat kedua bahunya, berusaha bersikap acuh tak acuh. “Ya ... begitu. Tak ada yang spesial. Kami hanya berbicara hal-hal kecil.”
Senyuman Narin perlahan-lahan memudar, gadis itu terlihat tak puas dengan jawaban Kal
“Apa katamu?” Kaline terlihat amat terkejut mendengar perkataan Narin yang tak pernah ia duga sebelumnya. Alisnya terangkat, begitu juga dengan manik matanya ya yang membulat sempurna.Narin mengangguk yakin. “Dia berkata kau dari dunia lain, Putri,” ulangnya dengan raut wajah serius, namun jauh di dalam hatinya, ia sama sekali tak memikirkan hal-hal aneh. Dalam hal ramal meramal, ada beberapa yang hanya omong kosong belaka agar peramal itu mendapatkan bayaran ekstra, salah satunya adalah hal ini.Kaline mengerjap beberapa kali. Jika benar peramal itu berkata seperti itu, kemungkinan besar dia tahu bagaimana caranya agar ia bisa keluar dari dunia ini. “Apa peramal itu ada disekitar penginapan ini?” tanya Kaline terdengar bersemangat, nada suaranya terdengar menggebu-gebu.Kepala Narin menggeleng. “Tidak, Putri. Jika aku tidak salah, biasanya peramal itu selalu ada di pusat keramaian seperti pasar atau tempat-tempat yang
Benar. Peramal itu mengatakan sesuatu yang sempat ia lupakan. Menemukan seseorang yang telah membunuhnya. Ia terjebak di sini untuk itu. Untuk menemukan pembunuhnya. Kaline untuk kesekian kalinya meneguk teh hangat yang terus mengepulkan asap tipis untuk meredam rasa panik yang menghantuinya, membuat gadis itu tak bisa tidur meski langit sudah gelap gulita. Tak ada sedikitpun suara kasak-kusuk dari luar sana, menandakan bahwa seisi penginapan sudah terlelap dengan mimpi mereka. Pembunuh itu, bagaimana bisa dia menemukannya? Saat dewi itu menyetujui permohonannya, dia pikir ia akan kembali hidup di bumi bersama Theo dan bahagia selamanya. Tapi ternyata salah. Ia terdampar di negeri antah berantah dengan makhluk-makhluk yang seharusnya hanya mitos. Ia terjebak di negeri yang amat luas. Bagaimana bisa dia menemukan
Suara tapak sepatu yang kasar bertumbukan dengan tanah yang sedikit berair terdengar dengan jelas dari dalam kereta kuda berwarna keemasan yang dinaiki Kaline. Gadis itu tengah sibuk menulis sesuatu di atas kertas perkamennya, buru-buru melipat kertas itu dengan sembarang meski tintanya belum sepenuhnya mengering. Jamerinya dengan cekatan menyelipkan lipatan perkamen itu di sela-sela dress-nya. Seseorang yang membuka pintu kereta dengan terburu-buru itu membuat Kaline sedikit terpanjat, sebelum akhirnya ia sadar bahwa orang itu adalah Narin. Napasnya terengah-engah, begitu juga dengan surai yang tak lagi beraturan. “Pangeran akan segera datang, Putri. Bersiaplah!” kata Narin dengan terburu-buru. “Tu—“ belum sempat Kaline bersua
Daging panggang setengah gosong yang hanya tersisa beberapa irisan itu sudah sepenuhnya dingin. Kaline meletakkan pisau serta garpunya di samping piring, tak berniat untuk melanjutkan kegiatan memakannya. Daging itu terasa keras dan hambar, membuatnya bertanya-tanya siapa koki yang memasak makanan ini. “Jadi, Putri. Kau benar-benar berasal dari dunia lain?” Pangeran Cliftone kembali bersuara setelah tiga puluh menit berlalu, meminta permohonan yang aneh, namun disetujui oleh Kaline begitu saja. Mendengar pertanyaan tak terduga yang terdengar rigan keluar begitu saja dari mulut Pangeran Cliftone tanpa aba-aba membuat Kaline mematung. Ia mengangkat sebelah alisnya, menatap lawan bicaranya itu dengan tenang, namun ia bisa merasakan detak jantungnya berdetak dengan cepat. Jemarinya yang bersembunyi di balik meja bergerak gelisah.
Langit malam tampak begitu sepi lantaran hanya diisi oleh bulan purnama utuh dan gumpalan awan mendung yang terus bergerak, saling menyatu membentuk satu kesatuan lantaran angin kencang yang terus bertiup. Saking kencangnya, beberapa batang pohon tumbang, membuat perjalanan Kaline bersama Pangeran Cliftone terhambat lantaran harus menyingkirkan semua batang pohon yang tumbang.Kaline mengeratkan lilitan selimut tebal dari bulu domba yang ia bawa, berusaha untuk tertidur lelap meski suhu mencekam yang menusuk kulitnya membuat gadis itu menggigil.Manik abu-abu Kaline terbuka sedikit, mengintip dari sudut matanya. Pria dihadapannya itu sama sekali tidak bersara, membuat Kaline penasaran bagaimana bisa ia tidur nyenyak dengan suhu yang ekstrim seperti ini?Cahaya merah menyala yang hampir mirip seperti laser itu
Perjalanan menuju istana terpaksa berhenti karena kuda yang menarik kereta yang dinaiki Kaline kelelahan, membuatnya berjalan dengan sangat lambat. Mereka berhenti di pemukiman sepi, hanya ada satu toko serba ada yang begitu sederhana. Jika dikira-kira, jumlah kepala keluarga yang ada di daerah ini tidak lebih dari 50 kepala keluarga.Kaline menghela napas, bersandar di gerobak yang biasanya digunakan untuk mendorong jerami. Ia tak lagi mengenakan jubah milik Pangeran Cliftone maupun selimut tebal berbulu dombanya. Sekarang, fajar telah menyapa, membuat hawa dingin menghilang begitu saja.“Putri.” Seorang prajurit menghampirinya, menunduk selama beberapa detik sebelum akhirnya berbicara, “Seorang warga telah mengizinkan rumahnya untuk dijadikan tempat singgah sementara, Putri. Kau bisa beristirahat di sana selama beberapa jam.”
Kereta yang membawa Kaline melaju dengan kencang, melewati jalanan setapak yang tak mulus sehingga membuatnya sedikit terpanjat setiap kali roda kayu itu mengenai batu atau bagian jalan yang berlubang. Jantung Kaline berdetak dengan cepat. Lagi-lagi, matanya menelisik ke bagian luar kereta yang iring berganti dengan cepat. Tidak ada penjaga yang mengitari keretanya seperti biasanya. Kali ini, hanya ada seorang prajurit yang memacu kuda dengan kecepatan tinggi. Tangan gadis itu yang tadinya memegang pegangan di ujung kursi dengan erat mulai bergerak, membuka papan tipis yang menjadi penghalang antara dirinya dan prajurit yang tengah fokus memacu kuda. “Kenapa tidak ada penjaga lainnya?” tanya Kaline. Sedari tadi, kepalanya sibuk menyusun kemungkinan-kemungkinan kenapa hanya ada satu prajurit yang ditugaskan untuk menjaganya. “Tutup papannya, Putri. Tidak ada yang boleh melihatmu sekarang. Istana sedang kacau, kita tidak bisa mempercayai siapapun
Napas gadis itu tak beraturan. Giginya terkatup rapat, pun dengan tangannya yang mengepal pisau dengan erat, membuat baku-baku jarinya memerah. Telapak tangan se-pucat salju yang jauh lebih dingin daripada es itu meraba bahunya dengan ringan, menimbulkan rasa geli yang silih berpindah dengan beraturan hingga tangan dingin itu menggenggam telapak tangan Kaline dengar erat, mengambil alih dominansi tangannya dengan seketika. “Bunuh dia, Putri. Dia bukan manusia,” bisik Pangeran Cliftone sekali lagi, namun kali ini penuh dengan penekanan yang tak mampu membuat Kaline berkata-kata. “Tidak.” Tolak Kaline dengan tegas, gadis itu berusaha melepaskan tangan Pangeran Cliftone namun gagal. “Tidak sebelum dia memberitahuku siapa Tuannya.” “Bahkan setelah kau bertanya seratus kali, jawabanku tetap sama, Putri,” jawab prajurit itu dengan tenang, di raut wajahnya sama sekali tak tertera raut wajah panik maupun rasa bersalah. Kaline tersenyum miring. “Kau tahu, bahk