Share

Bab 2

AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKU

"Kamu. Perempuan tak tahu diuntung. Ini balasannya setelah aku kasih pekerjaan? Kamu lupa, siapa yang membantumu saat kebingungan mencari uang untuk membayar hutang-hutangmu?" tanyaku dengan mengangkat dagu Indri yang dari tadi hanya menunduk di depanku.

"Ma-maaf. Ta-tapi, saya memang mencintai Mas Ridwan," terang Indri tanpa basa-basi.

PLAAKK

Sebuah jawaban yang membuat dada ini terasa bergemuruh. Dan sebuah tamparan tak sebanding dengan apa yang telah dia lakukan padaku.

"Mas Ridwan? Kamu memanggil dia dengan sebutan, Mas?"

Dengan cepat tanganku langsung menyeretnya keluar dari ruang kerja Mas Ridwan.

"Ternyata, apa yang kalian bicarakan selama ini memang benar. Perempuan ini telah berselingkuh dengan suami saya. Perempuan yang sudah saya izinkan untuk bekerja di sini, tapi malah menusuk saya dari belakang," jelasku di depan semua karyawan yang lain.

Mas Ridwan langsung mendekat dengan wajah yang terlihat memerah. Sepertinya dia tidak rela atas perlakuanku pada Indri.

"Cukup, Ma! Kamu sudah mempermalukan suami kamu sendiri," bentaknya dengan menarik kasar tanganku.

Seketika semua karyawan terbelalak melihat sikap Mas Ridwan yang kasar padaku.

"Aku? Aku mempermalukan kamu? Bukannya kamu yang telah mempermalukan diri sendiri? Kamu sudah selingkuh dengan Indri, karyawan kita," jawabku sembari menatap tajam Mas Ridwan. "Oh iya, aku ingin meralat ucapanku tadi pagi. Aku tidak jadi meminta Indri untuk balik bekerja di butik. Tapi, aku akan memecatnya. Mulai detik ini, dia bukan karyawan di butik dan juga bukan karyawan di toko batik ini lagi," tegasku persis di depan wajah Indri.

"Jangan, Bu Arin! Jangan pecat, saya! Bagaimana dengan keluarga saya di kampung, kalau saya tidak bekerja?" rengeknya dengan tiba-tiba bersimpuh di kakiku.

Mas Ridwan memalingkan wajahnya. Seakan dia tidak tega melihat Indri yang bersikap seperti itu di depan semua karyawan.

"Heh ... aku sudah paham dengan cara murahan seperti ini. Sayangnya aku tak sebodoh itu. Bahkan dari ucapanmu saja semua orang sudah paham, kalau tidak ada penyesalan sedikitpun dalam diri kamu, Indri."

Aku tidak bergeming sedikitpun dengan cara Indri merengek belas kasihan dariku. Justru aku muak dengan sikapnya yang seperti itu. Terlalu dibuat-buat.

Kuatur napasku untuk mengontrol emosi yang sebenarnya sudah sampai di ubun-ubun.

Aku tidak ingin membuang energi hanya untuk menghadapi perempuan seperti, Indri.

"Mas," ucap Indri berharap Mas Ridwan akan menolongnya.

Mataku membulat sempurna menatap Mas Ridwan. Terlihat bibirnya yang mengatup tanpa melontarkan sepatah katapun.

"Pergi!" tegasku pada Indri dengan nada tinggi.

***

Brukk

Kulempar tasku dengan kasar diatas meja.

"Hey, kamu kenapa, Rin? datang-datang ngamuk seperti itu," tanya Feby, sahabatku.

Aku langsung memeluk Feby begitu erat. Dan air mata yang sudah kubendung dari tadi akhirnya tumpah juga.

"Kamu kenapa, Rin?" tanya Feby sembari mengusap punggungku.

"M-Mas Ridwan."

"Mas Ridwan? Kenapa dengan dia, Rin?"

"Di-dia selingkuh, Feb. Selingkuh dengan Indri," jawabku dengan suara parau.

"Selingkuh? Indri?" tanya feby, dia melepaskan pelukanku. "Kamu ngga sedang bercanda 'kan Rin?"

"Sakit, Feb. Sakit sekali rasanya."

"Tadi, kamu menyebut nama Indri. Indri karyawan kalian? Jangan bilang, iya! Bener-bener sudah ngga waras kalau Mas Ridwan sampai menduakan kamu dengan dia."

Drrttt drrttt drrttt ....

Terdengar getaran ponsel di dalam tasku. Langsung kuraih ponsel tersebut untuk melihat siapa yang menghubungiku.

Ibu?

"Assalamu'alaikum, Bu."

"Wa'alaikumsalam. Rin, kamu masih di butik? Arza minta di jemput. Dari tadi mau Ibu antar ngga mau. Ridwan Ibu hubungi ponselnya ngga aktif."

"A-Arin tidak di butik, Bu. Sebentar lagi Arin jemput Arza."

"Baik, Ibu tunggu. Assalamu'alaikum."

Mas Ridwan, ke mana dia? Apa mencari Indri setelah kutinggal tadi.

Hemh ... kutarik napas panjang dan menghembuskannya dengan pelan.

"Rin, kamu perempuan yang kuat. Kamu pasti bisa melewati semua ini. Dan Mas Ridwan, dia akan menyesal telah menyakiti hatimu."

"Aku tidak akan membiarkan Mas Ridwan berbuat curang padaku, Feb," jawabku tanpa memandang Feby.

Ting ....

Notif pesan masuk dari Dina.

[Bu Arin, Pak Ridwan menyusul Indri di kontrakannya.]

Pesan singkat dari Dina membuat hatiku semakin tercabik.

Mas Ridwan. Kamu benar-benar sudah keterlaluan. Harusnya kamu meminta maaf padaku atas perbuatanmu. Tapi, kamu lebih menjaga perasaan Indri daripada perasaan istrimu sendiri.

[Kamu tahu, Din, di mana alamat kontrakan, Indri?]

Tidak berapa lama, Dina mengirimkan alamat kontrakan Indri.

"Feb, kamu ikut aku!" ajakku dengan menarik tangan Feby.

-

-

Kulajukan mobilku dengan kecepatan tinggi. Dada ini terasa begitu sesak karena pengkhianatan Mas Ridwan.

"Rin, kita mau ke mana? Hati-hati, Rin! Jangan ngebut! Kamu tahu 'kan aku paling ga berani kalau diajak ngebut. Aku bisa ngompol ini, Rin. Pelankan mobilnya!"

Sama sekali tak kuhiraukan ucapan Feby yang nerocos tanpa henti. Aku tahu, Feby memang paling takut kalau diajak ngebut. Tapi, kali ini sangat urgent. Maafin aku, Feb!

Tanpa butuh waktu lama, akhirnya kami sampai juga di alamat kontrakan Indri. Dan benar saja, aku melihat mobil berwarna putih terparkir di halaman kontrakan Indri. Mobil Mas Ridwan.

Mataku tak berkedip ketika melihat dua orang keluar dan berdiri di depan pintu dengan berpelukan begitu mesra.

Mereka saling menatap dan mengumbar senyum satu sama lain. Cubitan mesra Mas Ridwan mendarat di hidung Indri. Dan Indri tak mau kalah membalas dengan pelukan begitu erat.

Sungguh sepasang manusia yang sedang dimabuk cinta. Tapi sayangnya mereka tidak sadar. Kalau hal itu adalah sebuah kesalahan. Entah apa yang telah mereka lakukan di dalam rumah tadi, sedangkan di luar rumah saja, mereka berani mengumbar kemesraan.

Sungguh tak punya rasa malu. Dan kamu, Mas Ridwan, tidak sadarkah kalau aku ini istrimu, Ibu dari anak kita Arza.

Degupan jantungku semakin tak beraturan. Air mata yang tiba-tiba menetes tanpa di undang langsung kuhapus dengan kasar.

Tanganku dengan cepat meraih pintu mobil untuk keluar dan ingin memberi pelajaran pada mereka.

"Jangan!" cetus Feby dengan menggelengkan kepala. Wajahnya yang masih terlihat pucat pasi karena saking takutnya aku ajak ngebut menatapku dengan sorot mata yang terlihat iba.

"Jangan kamu menatapku seperti itu, Feb! Aku tidak ingin dikasihani."

"Kamu ingin membalas kecurangan Mas Ridwan 'kan? Ikuti permainan mereka! Percuma kamu turun dan marah-marah. Toh semua itu tidak akan membuat mereka jera. Kamu paham 'kan dengan maksudku?"

Seketika kulepaskan tanganku dari pintu mobil. Dan kusandarkan kepala ini pada headrest.

Hahh ... kuhembuskan napas dengan kasar dan mulai merenungi ucapan dari Feby.

Apa yang dikatakan Feby memang benar. Percuma berkali-kali aku memergoki mereka, toh mereka masih tetap bersama. Dan masih terus mengumbar kemesraan.

Saat ini, yang harus aku pikirkan adalah membalas semua perbuatan mereka sampai bertekuk lutut padaku.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status