AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKU
"Arin, akhirnya kamu pulang juga. Ibu dan Arza sudah menunggumu dari tadi."Astaghfirullah, aku sampai lupa kalau tadi disuruh Ibu jemput Arza."Ma-maaf, Bu. Arin sampai lupa jemput Arza.""Ya sudah, ngga pa-pa, Rin.""Arza ke mana, Bu? Kok Ibu sendirian di sini?""Oh ... Arza sedang beli martabak sama Mbak Jum.""Mbak Jum? Dia sudah balik ke sini, Bu? Kok ngga ngabari Arin?""Itu mereka, kamu tanya sendiri sama Mbak Jum!"Aku pun langsung menoleh ke belakang."Bu Arin," sapa Mbak Jum dengan mengulas senyum.Kenapa aku jadi merasa kesal melihat Mbak Jum? Seandainya waktu itu Mbak Jum tidak memohon padaku untuk memberi Indri pekerjaan, pasti tidak akan ada masalah seperti ini."Rin, Arin," tegur ibu mengagetkanku."I-iya, Bu. Kenapa?""Kenapa ngga di jawab?" tanya ibu dengan sedikit melihat ke arah Mbak Jum."O - oh, iya Mbak. Mbak Jum kok ngga ngabari saya?"Aku tidak boleh nyalahin Mbak Jum. Karena dia tidak tahu apa-apa soal masalah ini. Tapi, dia harus tahu tentang Indri yang memiliki hubungan dengan Mas Ridwan."Tadi saya sudah beberapa kali telepon Bu Arin, tapi tidak diangkat."Segera kuambil ponsel di dalam tas untuk melihatnya. Dan ternyata benar. Ada delapan kali panggilan masuk dari Mbak Jum."Maafin saya, Mbak! Tadi saya sedang sibuk." Sibuk mencari tahu tentang skandal Mas Ridwan dengan Indri, keponakaan Mbak Jum.""Ya sudah, Rin. Kasih kunci rumahnya sama Mbak Jum! Tuh, Arza cemberut karena dicuekin mamanya."Ya Allah, sudah beberapa hari tidak bertemu Arza, malah sekarang aku tidak menghiraukannya. Maafin Mama, Sayang!"Arza, sini, Nak! Mama kangen sama kamu." Kugendong dan kupeluk Arza bocah menggemaskan berumur tiga tahun itu.--------Hemh ... kuhembuskan napas lelah dan duduk di sebuah sofa dengan memangku Arza.Kusandarkan kepala yang terasa berat ini dengan sesekali memejamkan mata."Capek, Rin?" tanya ibu, beliau mengambil Arza dari pangkuanku. "Kamu sedang tidak ada masalah 'kan? Dari tadi Ibu perhatikan, kamu tidak seperti biasanya."Aku hanya menjawab dengan senyuman dan menghembuskan napas berat.Brem brem bremTerdengar suara mobil Mas Ridwan yang sudah pulang."Baru pulang, Wan?" sapa ibu pada Mas Ridwan yang baru saja melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah."E-eh, Ibu. Assalamu'alaikum.""Hmm ... Wa'alaikumsalam. Beberapa kali Ibu telepon, kenapa tidak diangkat, Wan?"Tiba-tiba pandangan Mas Ridwan beralih ke arahku. Dia menatapku begitu tajam.Entah jawaban apa yang akan kamu katakan pada Ibu, Pa? Aku ingin mendengarnya, ucapku dalam hati dengan membalas tatapan Mas Ridwan."I-iya, Bu. Ridwan ada urusan penting dengan teman. Ponselnya Ridwan silent.""Bohong," tegasku menyangkal jawaban dari Mas Ridwan.Seketika Ibu dan Mas Ridwan menatapku tanpa berkedip sedikitpun. Suasana begitu hening dan tegang. Aku pun tak mau kalah menatap tajam Mas Ridwan."Bohong? Apa maksud kamu, Rin? Ibu tidak paham."Aku memang tidak perlu menutupi kebusukan Mas Ridwan dari Ibu. Kamu ingin bermain api denganku 'kan Pa?Akan kupastikan kamu terbakar."Ibu tanya langsung saja sama anak, Ibu!" jawabku dengan senyum sengit yang kutunjukkan pada Mas Ridwan.Ibu pun terlihat masih bingung dengan jawabanku."Kenapa diam, Pa? Jelaskan sama Ibu! Apa yang sudah kamu lakukan bersama Indri, keponakan Mbak Jum."Pandangan Ibu langsung beralih pada Mas Ridwan. Ibu terlihat diam dengan tatapannya yang tak kalah tajam. Sedangkan Mas Ridwan hanya bisa berdiri mematung tanpa mengucapkan sepatah katapun.Tiba-tiba Mbak Jum keluar dari belakang dengan membawa minum dan martabak yang dibeli tadi."Ma - maaf, minumnya kurang satu. Saya tidak tahu kalau Pak Ridwan sudah pulang. Sebentar saya buatkan dulu.""Tidak usah, Mbak! Kamu bawa Arza di ruang tengah! Biar dia bermain di sana. Nanti Mbak Jum balik lagi ke sini! Ada hal penting yang harus Mbak Jum tahu."Aku melihat Mas Ridwan begitu cemas setelah mendengar ucapanku pada Mbak Jum."Ba-baik, Bu."Mas Ridwan sedikit menggelengkan kepalanya memberi kode agar aku tidak menceritakan masalah ini.Enak saja kamu, Pa. Kamu pikir, aku ini istri bodoh, yang harus menutupi perselingkuhan suaminya sendiri."Sekarang kamu jelaskan apa maksud dari ucapanmu tadi, Rin!" pinta ibu terlihat begitu penasaran.Aku menarik napas panjang, sebelum akhirnya bicara."Mas Ridwan anak Ibu ini, dia selingkuh dengan Indri, keponakan Mbak Jum. Arin memergoki mereka sedang bermesraan di ruang kerja," jelasku tanpa basa-basi.Tadinya aku masih berharap ada sebuah penyesalan dalam diri kamu saat kupergoki di toko tadi, Pa. Tapi sama sekali tidak ada penyesalan yang terlihat. Bahkan kata maaf pun tidak terucap darimu.Semua hanya terdiam setelah mendengar penjelasan dariku. Aku tahu, Ibu dan Mbak Jum pasti belum percaya. Tapi itulah kenyataannya."I-ini tidak benar 'kan Bu? Saya salah dengar 'kan?" tanya Mbak Jum dengan bibir bergetar dan mata berkaca-kaca.Ibu langsung beranjak dari tempat duduknya dan mendekati Mas Ridwan yang terlihat menundukkan kepala."Kamu jelaskan pada Ibu! Apa benar yang dikatakan Arin?" tanya ibu dengan mata yang membulat sempurna."Rid-Ridwan minta maaf, Bu! Ridwan khilaf."PLAAAKKTamparan keras dari ibunya mendarat di pipi Mas Ridwan."Keterlaluan kamu, Wan. Sungguh perbuatan yang sangat memalukan. Apa kamu tidak ingat dengan Arin dan Arza? Kenapa kamu bisa melakukan hal seperti itu?" cecar ibu dengan raut wajah yang begitu kecewa dengan Mas Ridwan. "Arin, Ibu minta maaf atas perbuatan Ridwan! Ibu sangat malu," ucap ibu padaku dengan air mata yang mulai berderai."Ridwan menyesal, Bu. Ridwan minta maaf! Arin juga sudah memecat, Indri. Ridwan tidak akan mengulangi hal itu lagi, Bu."Hebat kamu, Pa. Bahkan di hadapan ibumu saja masih berani berbohong. Keterlaluan."Ma, bilang sama Ibu kalau Indri sudah kamu pecat! Dan aku pun tidak tahu lagi keberadaannya. Aku juga tidak mau tahu," terangnya lagi dengan kebohongan.Kuambil cangkir yang berisi air teh dan kusiram ke wajah Mas Ridwan."Apa-apaan kamu, Ma?" ucap Mas Ridwan terlihat begitu marah dengan sikapku."Mungkin Ibu bisa kamu bohongi. Tapi tidak denganku. Indri memang sudah kupecat. Tapi kamu menemui dia di kontrakannya. Kalian bermesraan di rumah itu. Kamu pikir aku tidak tahu? Pembohong," terangku membuat Mas Ridwan terlihat begitu pucat."Astaghfirullah. Kamu masih berani membohongi Ibu, Wan? Setan apa yang sudah merasuki diri kamu? Sampai tega melukai perasaan istrimu sendiri. Bahkan, apa yang kamu lakukan ini sangat menyakiti perasaan kedua orang tua Arin dan kedua orang tuamu sendiri. Begitu juga dengan Arza," jelas ibu dengan nada tinggi.Ibu pun langsung mendekatiku dan memeluk begitu erat. Sebelum akhirnya Ibu keluar dari rumah tanpa sepatah katapun yang terucap. Ibu terlihat begitu terpukul atas perbuatan Mas Ridwan."Sekarang kamu puas? Puas, Ma? Ibu jadi marah padaku," ucapan konyol yang Mas Ridwan lontarkan padaku.Heh ... suami yang sangat egois. Bahkan dia tidak mau menyadari kesalahannya sendiri.Di posisi ini, akulah yang sudah kamu sakiti. Dan sekarang, kamu menyalahkan aku atas perbuatanmu bersama Indri yang sudah diketahui Ibu dan juga Mbak Jum?"Aku belum puas. Bahkan ini baru awal. Karena aku yakin, kamu tidak akan berhenti berhubungan dengan Indri. Dan kamu tidak menyadari kalau sudah menyakiti perasaan istrimu ini 'kan?"Aku pun berlalu meninggalkan Mas Ridwan bersama Mbak Jum yang masih berdiri bak patung.Akan kusiapkan hati yang kuat untuk mengikuti permainan kalian.BersambungAKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKULima tahun penjara. Hukuman untuk Indri dan Mbak Jum karena ulahnya sendiri. Setelah melewati beberapa kali sidang, akhirnya aku mendengar putusan Majelis Hakim yang membuat hatiku merasa lega. Semua itu salah kalian sendiri. Kenapa harus menghalalkan segala cara hanya demi harta. Ayah dan Ibu langsung memelukku begitu erat. Mereka juga merasakan hal yang sama sepertiku setelah mendengar putusan tersebut.Aku menatap tajam Indri dan Mbak Jum yang hanya bisa menundukkan kepala di depanku. Hukuman itu memang pantas kalian dapatkan. Orang-orang yang dulu menyakitiku, kini sudah mendapatkan balasannya. -----------Aku hanya bisa membolak-balikkan tubuh ke kanan dan ke kiri. Mungkin sampai pagi aku tidak akan bisa memejamkan mata. Perasaan deg-deg'an sudah begitu terasa malam ini. Apalagi besok saat ijab qobul.Ya. Aku dan Daffa akan melangsungkan akad nikah besok pagi. Tujuh bulan setelah acara lamaran.Tok tok tok "Rin, kamu sudah tidur?" panggil i
AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKUSebuah pesan dari Indri masuk. Dia memberitahu alamat di mana kami akan bertemu. Dan tetap memberi sebuah ancaman untukku agar tidak lapor polisi."Rin, terus bagaimana ini? Kamu buruan ambil uang dan berikan pada mereka. Agar Arza segera pulang," tegas ibu.Karena harta mereka melakukan hal bodoh yang akan menjerumuskan mereka ke dalam penjara."Arin akan datang, Bu, dengan membawa uang. Tapi bukan untuk diberikan melainkan untuk Arin pamerkan.""Maksudnya, Rin? Kamu jangan main-main! Arza ada bersama mereka."Ayah dan Ibu ikut, tapi dengan mobil lain! Jangan bareng sama Arin! Nanti ikuti Arin agak jauh! Kita ikuti saja akting mereka, Bu!"Mbak Jum, Indri. Kalian itu terlalu amatir untuk melakukan hal seperti itu. Terlalu memaksa meniru adegan seperti di sinetron.Bukan tidak khawatir Arza di tangan mereka. Tapi aku lebih khawatir kalau Arza di tangan penculik asli.***Drrttt drrttt drrttt"Aku sedang perjalanan. Tenang saja! Uangnya sudah ada.""Bu A
AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKU"Arin, bukannya Ayah dan Ibu memaksa kamu. Tapi ini sidang terakhir kasusnya Ridwan. Setidaknya kamu datang untuk memberi dukungan kepada Ridwan sebagai ayahnya Arza, tidak lebih," terang ibu yang terus berharap agar aku datang dalam sidang terakhir kasusnya Mas Ridwan."Tapi, Bu. Ibu tahu sendiri 'kan kalau sekarang ibunya Mas Ridwan begitu benci dengan Arin. Apalagi setelah tahu Arin dan Daffa menjalin hubungan.""Biarkan saja, Rin! Cepat atau lambat ibunya Ridwan juga akan paham.""Arin tidak mau, Bu."Ayah dan Ibu terus memaksa agar aku mau datang dalam sidangnya Mas Ridwan yang terakhir kalinya.Akhirnya dengan terpaksa aku pun mengiyakan keinginan mereka.Selama perjalanan, aku lebih memilih diam. Bukannya aku ingin memutus silaturahim dengan Mas Ridwan dan orang tuanya. Tetapi dengan sedikit menjauh dari mereka, aku bisa lepas dari bayang-bayang yang berhubungan dengan Mas Ridwan. Sudah cukup selama ini waktuku terbuang untuk urusan yang berhubu
AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKU "Arin ...," teriak Feby yang tiba-tiba muncul di ruang kerjaku.Aku hanya diam dan santai melihat sikap Feby. Sudah tidak kaget, tiba-tiba muncul langsung heboh."Ngapain lihatin aku kaya' gitu?" tanyaku dengan melotot.Feby hanya memalingkan wajah. Sepertinya dia sedang kesal denganku. Tapi kenapa?Aku melanjutkan lagi kerjaanku yang belum selesai. Brukk Tiba-tiba kedua tangan Feby menggebrak meja."Apa-apaan sih kamu, Feb?" "Kamu udah ngga nganggep aku sahabat lagi, ya?" tanya Feby menatapku tajam.Ish ... pertanyaan macam apa itu? Aneh."Menurut kamu?" "Ngga," jawab Feby dengan lantang.Aku langsung menghentikan kerjaan dan menatap Feby dengan begitu dekat."Kamu ngga lagi ngelindur 'kan? Memangnya ada apa? Datang-datang marah.""Kamu udah jadian dengan Daffa 'kan? Arin ... kenapa harus dirahasiakan dari aku? Nyebelin ...."Kini aku hanya terdiam dan menelan saliva'ku."Kenapa malah diam?" tandas Feby."Emangnya siapa yang bilang?""Ngga ada. Ak
AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKUSenyum yang mengembang selalu kulihat dari Daffa ketika dia mengajak bercanda Arza. Kini Daffa memang lebih sering datang ke rumah."Rin.""Ya?"Tatapannya seakan mengisyaratkan sesuatu."Boleh aku bicara sesuatu?""Biacara saja!""Sebelumnya aku minta maaf kalau sedikit lancang. A-apa kamu belum bisa ngebuka hati lagi setelah perceraian kemarin?"Pertanyaan yang membuatku terdiam beberapa saat. "Sebenarnya aku sudah bisa move-on dari Mas Ridwan. Dan untuk ngebuka hati lagi memang belum terpikir, Daff. Sekarang ini aku lebih fokus pada Arza dan kerjaan, seperti yang pernah aku bilang. Untuk ngebuka hati lagi, butuh banyak pertimbangan. Kamu sendiri 'kan tahu, aku udah punya Arza. Dan masalah yang datang dalam rumah tanggaku kemarin, sedikit banyak membuatku harus hati-hati memilih pendamping hidup," jawabku dengan pandangan ke depan."Trauma?"Aku menggelengkan kepala."Tapi kenapa kamu tanya soal itu?" tanyaku balik.Daffa menatapku sebelum akhirnya m
AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKU"Arin," sapa Daffa dengan tatapan yang begitu hangat. Sesaat kami pun saling berpandangan."Ekhem ... ekhem ... kaya'nya yang jemput kamu ngga cuma Arin deh, Daff. Aku seperti ngga dianggap," ucap Feby membuat kami mengalihkan tatapan padanya."Iya, bawel," ucap Daffa dengan mengelus rambut Feby dengan kasar. "Mobil kamu mana, Feb?""Di rumah Arin. Nanti kita ke sana dulu ambil mobilku, Daff!"Daffa tidak menghiraukan jawaban dari Feby. Tetapi dia malah menatapku lagi. Dan kali ini tatapannya begitu dalam.Aku sangat gugup dan salah tingkah dengan sikap Daffa yang seperti itu."Pulang ... pulang." Lagi-lagi Feby membuat kami kelimpungan. "Daff, kamu mau duduk di depan dengan Arin atau di belakang?" tanya Feby."Depan aja deh, Feb." jawab Daffa yang membuat mataku membulat sempurna. "Eh, maksudku belakang aja." Sepertinya dia memang sengaja ngerjain aku.Kuhembuskan napas lega dengan memalingkan wajah."Berarti aku di depan dengan Arin, ya. Terus kamu di