Share

Bab 3

AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKU

"Arin, akhirnya kamu pulang juga. Ibu dan Arza sudah menunggumu dari tadi."

Astaghfirullah, aku sampai lupa kalau tadi disuruh Ibu jemput Arza.

"Ma-maaf, Bu. Arin sampai lupa jemput Arza."

"Ya sudah, ngga pa-pa, Rin."

"Arza ke mana, Bu? Kok Ibu sendirian di sini?"

"Oh ... Arza sedang beli martabak sama Mbak Jum."

"Mbak Jum? Dia sudah balik ke sini, Bu? Kok ngga ngabari Arin?"

"Itu mereka, kamu tanya sendiri sama Mbak Jum!"

Aku pun langsung menoleh ke belakang.

"Bu Arin," sapa Mbak Jum dengan mengulas senyum.

Kenapa aku jadi merasa kesal melihat Mbak Jum? Seandainya waktu itu Mbak Jum tidak memohon padaku untuk memberi Indri pekerjaan, pasti tidak akan ada masalah seperti ini.

"Rin, Arin," tegur ibu mengagetkanku.

"I-iya, Bu. Kenapa?"

"Kenapa ngga di jawab?" tanya ibu dengan sedikit melihat ke arah Mbak Jum.

"O - oh, iya Mbak. Mbak Jum kok ngga ngabari saya?"

Aku tidak boleh nyalahin Mbak Jum. Karena dia tidak tahu apa-apa soal masalah ini. Tapi, dia harus tahu tentang Indri yang memiliki hubungan dengan Mas Ridwan.

"Tadi saya sudah beberapa kali telepon Bu Arin, tapi tidak diangkat."

Segera kuambil ponsel di dalam tas untuk melihatnya. Dan ternyata benar. Ada delapan kali panggilan masuk dari Mbak Jum.

"Maafin saya, Mbak! Tadi saya sedang sibuk." Sibuk mencari tahu tentang skandal Mas Ridwan dengan Indri, keponakaan Mbak Jum."

"Ya sudah, Rin. Kasih kunci rumahnya sama Mbak Jum! Tuh, Arza cemberut karena dicuekin mamanya."

Ya Allah, sudah beberapa hari tidak bertemu Arza, malah sekarang aku tidak menghiraukannya. Maafin Mama, Sayang!

"Arza, sini, Nak! Mama kangen sama kamu." Kugendong dan kupeluk Arza bocah menggemaskan berumur tiga tahun itu.

--------

Hemh ... kuhembuskan napas lelah dan duduk di sebuah sofa dengan memangku Arza.

Kusandarkan kepala yang terasa berat ini dengan sesekali memejamkan mata.

"Capek, Rin?" tanya ibu, beliau mengambil Arza dari pangkuanku. "Kamu sedang tidak ada masalah 'kan? Dari tadi Ibu perhatikan, kamu tidak seperti biasanya."

Aku hanya menjawab dengan senyuman dan menghembuskan napas berat.

Brem brem brem

Terdengar suara mobil Mas Ridwan yang sudah pulang.

"Baru pulang, Wan?" sapa ibu pada Mas Ridwan yang baru saja melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah.

"E-eh, Ibu. Assalamu'alaikum."

"Hmm ... Wa'alaikumsalam. Beberapa kali Ibu telepon, kenapa tidak diangkat, Wan?"

Tiba-tiba pandangan Mas Ridwan beralih ke arahku. Dia menatapku begitu tajam.

Entah jawaban apa yang akan kamu katakan pada Ibu, Pa? Aku ingin mendengarnya, ucapku dalam hati dengan membalas tatapan Mas Ridwan.

"I-iya, Bu. Ridwan ada urusan penting dengan teman. Ponselnya Ridwan silent."

"Bohong," tegasku menyangkal jawaban dari Mas Ridwan.

Seketika Ibu dan Mas Ridwan menatapku tanpa berkedip sedikitpun. Suasana begitu hening dan tegang. Aku pun tak mau kalah menatap tajam Mas Ridwan.

"Bohong? Apa maksud kamu, Rin? Ibu tidak paham."

Aku memang tidak perlu menutupi kebusukan Mas Ridwan dari Ibu. Kamu ingin bermain api denganku 'kan Pa?

Akan kupastikan kamu terbakar.

"Ibu tanya langsung saja sama anak, Ibu!" jawabku dengan senyum sengit yang kutunjukkan pada Mas Ridwan.

Ibu pun terlihat masih bingung dengan jawabanku.

"Kenapa diam, Pa? Jelaskan sama Ibu! Apa yang sudah kamu lakukan bersama Indri, keponakan Mbak Jum."

Pandangan Ibu langsung beralih pada Mas Ridwan. Ibu terlihat diam dengan tatapannya yang tak kalah tajam. Sedangkan Mas Ridwan hanya bisa berdiri mematung tanpa mengucapkan sepatah katapun.

Tiba-tiba Mbak Jum keluar dari belakang dengan membawa minum dan martabak yang dibeli tadi.

"Ma - maaf, minumnya kurang satu. Saya tidak tahu kalau Pak Ridwan sudah pulang. Sebentar saya buatkan dulu."

"Tidak usah, Mbak! Kamu bawa Arza di ruang tengah! Biar dia bermain di sana. Nanti Mbak Jum balik lagi ke sini! Ada hal penting yang harus Mbak Jum tahu."

Aku melihat Mas Ridwan begitu cemas setelah mendengar ucapanku pada Mbak Jum.

"Ba-baik, Bu."

Mas Ridwan sedikit menggelengkan kepalanya memberi kode agar aku tidak menceritakan masalah ini.

Enak saja kamu, Pa. Kamu pikir, aku ini istri bodoh, yang harus menutupi perselingkuhan suaminya sendiri.

"Sekarang kamu jelaskan apa maksud dari ucapanmu tadi, Rin!" pinta ibu terlihat begitu penasaran.

Aku menarik napas panjang, sebelum akhirnya bicara.

"Mas Ridwan anak Ibu ini, dia selingkuh dengan Indri, keponakan Mbak Jum. Arin memergoki mereka sedang bermesraan di ruang kerja," jelasku tanpa basa-basi.

Tadinya aku masih berharap ada sebuah penyesalan dalam diri kamu saat kupergoki di toko tadi, Pa. Tapi sama sekali tidak ada penyesalan yang terlihat. Bahkan kata maaf pun tidak terucap darimu.

Semua hanya terdiam setelah mendengar penjelasan dariku. Aku tahu, Ibu dan Mbak Jum pasti belum percaya. Tapi itulah kenyataannya.

"I-ini tidak benar 'kan Bu? Saya salah dengar 'kan?" tanya Mbak Jum dengan bibir bergetar dan mata berkaca-kaca.

Ibu langsung beranjak dari tempat duduknya dan mendekati Mas Ridwan yang terlihat menundukkan kepala.

"Kamu jelaskan pada Ibu! Apa benar yang dikatakan Arin?" tanya ibu dengan mata yang membulat sempurna.

"Rid-Ridwan minta maaf, Bu! Ridwan khilaf."

PLAAAKK

Tamparan keras dari ibunya mendarat di pipi Mas Ridwan.

"Keterlaluan kamu, Wan. Sungguh perbuatan yang sangat memalukan. Apa kamu tidak ingat dengan Arin dan Arza? Kenapa kamu bisa melakukan hal seperti itu?" cecar ibu dengan raut wajah yang begitu kecewa dengan Mas Ridwan. "Arin, Ibu minta maaf atas perbuatan Ridwan! Ibu sangat malu," ucap ibu padaku dengan air mata yang mulai berderai.

"Ridwan menyesal, Bu. Ridwan minta maaf! Arin juga sudah memecat, Indri. Ridwan tidak akan mengulangi hal itu lagi, Bu."

Hebat kamu, Pa. Bahkan di hadapan ibumu saja masih berani berbohong. Keterlaluan.

"Ma, bilang sama Ibu kalau Indri sudah kamu pecat! Dan aku pun tidak tahu lagi keberadaannya. Aku juga tidak mau tahu," terangnya lagi dengan kebohongan.

Kuambil cangkir yang berisi air teh dan kusiram ke wajah Mas Ridwan.

"Apa-apaan kamu, Ma?" ucap Mas Ridwan terlihat begitu marah dengan sikapku.

"Mungkin Ibu bisa kamu bohongi. Tapi tidak denganku. Indri memang sudah kupecat. Tapi kamu menemui dia di kontrakannya. Kalian bermesraan di rumah itu. Kamu pikir aku tidak tahu? Pembohong," terangku membuat Mas Ridwan terlihat begitu pucat.

"Astaghfirullah. Kamu masih berani membohongi Ibu, Wan? Setan apa yang sudah merasuki diri kamu? Sampai tega melukai perasaan istrimu sendiri. Bahkan, apa yang kamu lakukan ini sangat menyakiti perasaan kedua orang tua Arin dan kedua orang tuamu sendiri. Begitu juga dengan Arza," jelas ibu dengan nada tinggi.

Ibu pun langsung mendekatiku dan memeluk begitu erat. Sebelum akhirnya Ibu keluar dari rumah tanpa sepatah katapun yang terucap. Ibu terlihat begitu terpukul atas perbuatan Mas Ridwan.

"Sekarang kamu puas? Puas, Ma? Ibu jadi marah padaku," ucapan konyol yang Mas Ridwan lontarkan padaku.

Heh ... suami yang sangat egois. Bahkan dia tidak mau menyadari kesalahannya sendiri.

Di posisi ini, akulah yang sudah kamu sakiti. Dan sekarang, kamu menyalahkan aku atas perbuatanmu bersama Indri yang sudah diketahui Ibu dan juga Mbak Jum?

"Aku belum puas. Bahkan ini baru awal. Karena aku yakin, kamu tidak akan berhenti berhubungan dengan Indri. Dan kamu tidak menyadari kalau sudah menyakiti perasaan istrimu ini 'kan?"

Aku pun berlalu meninggalkan Mas Ridwan bersama Mbak Jum yang masih berdiri bak patung.

Akan kusiapkan hati yang kuat untuk mengikuti permainan kalian.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status