Share

Bab 5

AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKU

"Eh, apa-apan ini? Kenapa ruang kerjaku di sekat?"

"Kamu lupa dengan ucapanku tadi malam, Pa? Bukan hanya ruang kerja yang akan kubagi dua. Tapi, toko ini juga," jelasku dan berlalu meninggalkan Mas Ridwan.

Tidak ada alasan untuk menundanya. Karena semua ini sudah menjadi keputusanku. Keputusan yang kuambil karena rasa sakit hati dengan pengkhianatanmu, Pa.

"Ma ... Ma, kamu tidak bisa melakukan hal ini. Toko batik ini milikku. Dan aku tidak pernah menyetujui semua ini."

Aku tidak peduli dengan apapun yang ingin kamu katakan. Terserah.

---------

"Arinn ...," teriak Feby yang tiba-tiba datang ke toko.

Nih orang, datangnya selalu tiba-tiba. Hemh .... Tapi dia sahabat yang selalu ada saat aku susah sekalipun.

Pandanganku seketika beralih pada sosok laki-laki yang berjalan di samping Feby.

Siapa dia? Apa mungkin pacar barunya Feby? Kok Feby tidak pernah cerita sama aku, kalau sudah punya pacar lagi.

"Woy ... bengong aja kamu, Rin," tegur Feby membuatku kaget.

"Apaan, sih."

"Oh iya, Rin. Kenalin, dia Daffa saudaraku yang baru pulang dari Jepang. Daffa ini Desainer Interior. Kebetulan kamu 'kan sedang ingin merubah toko batik ini. Mungkin dia bisa membantumu," ucap Feby dengan melirik ke arah Mas Ridwan. Sepertinya Feby sengaja hanya mengenalkan Daffa padaku.

"Daffa," ucap laki-laki itu sembari mengulurkan tangan dan mengulas senyum.

Tatapan Mas Ridwan begitu tajam padaku ketika Daffa memperkenalkan dirinya.

Kenapa Mas Ridwan menatapku seperti itu? Apa dia cemburu? Tidak. Tidak mungkin Mas Ridwan cemburu. Toh yang ada dalam hati dan pikirannya saat ini hanya perempuan itu.

"Arin," jawabku dengan membalas uluran tangannya.

Tiba-tiba Feby menarik tanganku menghindar dari Daffa dan Mas Ridwan. Feby menatapku sembari senyum-senyum tidak jelas.

"Kamu kenapa sih, Feb, ngga jelas banget?" tanyaku sembari menutup wajahnya menggunakan tangan.

"Kamu beneran ingin bercerai dengan Mas Ridwan?" tanya Feby seakan ingin memastikan.

"Belum tahu juga. Mungkin iya, mungkin juga ngga," jawabku dengan melangkahkan kaki.

Tapi lagi-lagi Feby menarik tanganku.

"Maksudnya?"

"Maksud apa lagi sih, Feb ...?"

"Ya ... aku ngga rela lah, sahabatku yang cantik, baik hati, pintar dan mandiri seperti kamu dikhianati oleh suaminya. Apalagi Mas Ridwan tergoda sama perempuan seperti Indri. Huh ... sungguh menyebalkan."

"Terus ...? Jangan bilang kamu bahagia aku akan bercerai dengan Mas Ridwan?" tanyaku dengan lirikan tajam yang mengarah persis di wajah Feby.

"Y - ya, ngga gitu juga, Rin. Kamu berhak bahagia. Masih banyak laki-laki baik di luar sana. Tuh, contohnya Daff." Feby tidak meneruskan ucapannya.

Kali ini tatapanku pada Feby benar-benar dalam. Sepertinya ada sesuatu yang dia sembunyikan dariku.

"Daff, Daff siapa, Feb? Daffa maksudmu? Kamu jangan aneh-aneh, ya! Aku ini masih istri orang," terangku gantian menarik tangan Feby.

Sekarang aku tahu maksud Feby mengajak Daffa ke sini. Hah ... ada-ada saja sih kamu, Feb.

"Feb. Lebih baik kamu ajak Daffa pergi dari sini," ucapku berbisik.

"Oh ... ceritanya kamu ngusir nih?"

"Kamu lihat raut wajah Mas Ridwan! Sepertinya dia tidak suka dengan kedatangan Daffa ke sini. Aku ngga mau ribut, Feb."

Hemh ... terdengar hembusan napas kasar Feby.

"Okelah. Tapi kalau kamu sudah cerai bebas dong," ucapan yang sontak membuatku langsung mencubit tangan Feby.

"Oh ... jadi karena sudah ada laki-laki lain, makanya kamu semangat sekali untuk bercerai denganku?" ucapan yang sungguh memalukan Mas Ridwan lontarkan di depan semua karyawan sesaat Feby dan Daffa pergi.

Heh ... ternyata perempuan itu tidak hanya membutakan hati Mas Ridwan. Tetapi, membuat Mas Ridwan hilang akal sehatnya juga. Bisa-bisanya dia menuduhku seperti itu.

"Sayangnya aku bukan kamu, Pa. Begitu murahan. Apa waktu delapan tahun tak cukup membuatmu paham tentang diriku? Miris. Indri telah membuatmu menjadi laki-laki yang tidak ada harga dirinya lagi di mataku."

Tangannya mengepal dengan mata yang memerah menunjukkan kalau Mas Ridwan begitu marah atas ucapanku.

Ucapanku tidak sebanding dengan sakit hati yang telah kamu torehkan padaku, Pa. Bukan hanya marah yang aku rasakan. Bahkan pengkhianatan ini telah merubahku menjadi perempuan yang penuh dendam.

Mas Ridwan berlalu dari hadapanku begitu saja. Dia keluar dari toko dan pergi dengan melajukan mobil begitu kencang.

"Din, kamu temani saya!"

Dengan cepat pula aku pun mengikuti mobil Mas Ridwan. Aku tahu dia akan pergi ke mana.

"Bu Arin. Kita mau ngikutin Pak Ridwan, ya?"

"Iya, Din."

Dina menoleh ke arahku sembari memeluk boneka bear yang ada di dalam mobil. Sepertinya dia ketakutan aku ajak ngebut. Ternyata hampir sama dengan Feby.

"Din, kamu tahu tidak, pemilik rumah yang dikontrak Indri?"

"Sa - saya tidak tahu, Bu. Tapi kalau Ibu meminta saya untuk mencari tahu. Saya akan membantu Ibu."

Kuhentikan mobil persis di tempat kemarin saat aku mengintai Mas Ridwan bersama Feby.

Kecupan mesra mendarat di kening perempuan itu. Ketika dia menyambut kedatangan Mas Ridwan.

Lagi-lagi pemandangan yang menyakitkan kulihat secara langsung.

"Bu Arin tidak apa-apa?"

"Hemh ... kamu tenang saja, Din. Saya akan selalu baik-baik saja."

Mereka berdua masuk ke dalam rumah dan menutup pintunya. Aku tidak perlu menyakiti hatiku sendiri dengan memikirkan apa yang akan mereka lakukan di dalam sana.

"Din, coba kamu tanya sama Bapak itu! Siapa pemilik rumah yang dikontrak Indri," ucapku sembari menunjuk seorang Bapak yang sedang berdiri di depan rumah sebelah kontrakannya Indri.

Dina pun langsung keluar dari mobil dan mendekati Bapak itu.

Mataku seketika membulat sempurna melihat Indri keluar lagi. Dia membuka mobil Mas Ridwan yang terparkir di depan rumah.

Hah ... mudah-mudahan Indri tidak melihat Dina.

Dina pun terlihat berjongkok seperti mengambil sesuatu. Entah memang ada barang yang jatuh, atau karena dia melihat Indri keluar lagi.

Dengan cepat Dina berlari dan masuk ke dalam mobilku. Terdengar napasnya yang ngos-ngosan. Aku pun langsung memberikan sebotol air mineral sebelum menanyakan sesuatu padanya.

Aku menunggu sampai Dina terlihat lebih tenang.

"B - Bu Arin. Tadi saya melihat Indri keluar. Jantung saya serasa mau copot, Bu. Takut kalau Indri sampai melihat saya. Untung saya langsung jongkok," terang Dina mengalihkan pikiranku yang tadinya tegang menjadi sedikit terhibur.

Tanpa kamu jelaskan, saya juga tahu, Din. Dari sini saya bisa melihat hal yang kamu ceritakan barusan.

"Kamu sudah tahu alamat pemilik kontrakan Indri?"

"Sudah, Bu. Tapi kita harus jalan kaki untuk menuju rumahnya. Karena melewati gang kecil."

"Ya sudah ngga pa-pa, Din. Nanti saya akan memarkirkan mobil ini lebih jauh lagi agar tidak ketahuan Mas Ridwan dan Indri."

Sudah tidak sabar ingin melihat Indri diusir dari kontrakannya.

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status