AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKU
"Eh, apa-apan ini? Kenapa ruang kerjaku di sekat?""Kamu lupa dengan ucapanku tadi malam, Pa? Bukan hanya ruang kerja yang akan kubagi dua. Tapi, toko ini juga," jelasku dan berlalu meninggalkan Mas Ridwan.Tidak ada alasan untuk menundanya. Karena semua ini sudah menjadi keputusanku. Keputusan yang kuambil karena rasa sakit hati dengan pengkhianatanmu, Pa."Ma ... Ma, kamu tidak bisa melakukan hal ini. Toko batik ini milikku. Dan aku tidak pernah menyetujui semua ini."Aku tidak peduli dengan apapun yang ingin kamu katakan. Terserah.---------"Arinn ...," teriak Feby yang tiba-tiba datang ke toko.Nih orang, datangnya selalu tiba-tiba. Hemh .... Tapi dia sahabat yang selalu ada saat aku susah sekalipun.Pandanganku seketika beralih pada sosok laki-laki yang berjalan di samping Feby.Siapa dia? Apa mungkin pacar barunya Feby? Kok Feby tidak pernah cerita sama aku, kalau sudah punya pacar lagi."Woy ... bengong aja kamu, Rin," tegur Feby membuatku kaget."Apaan, sih.""Oh iya, Rin. Kenalin, dia Daffa saudaraku yang baru pulang dari Jepang. Daffa ini Desainer Interior. Kebetulan kamu 'kan sedang ingin merubah toko batik ini. Mungkin dia bisa membantumu," ucap Feby dengan melirik ke arah Mas Ridwan. Sepertinya Feby sengaja hanya mengenalkan Daffa padaku."Daffa," ucap laki-laki itu sembari mengulurkan tangan dan mengulas senyum.Tatapan Mas Ridwan begitu tajam padaku ketika Daffa memperkenalkan dirinya.Kenapa Mas Ridwan menatapku seperti itu? Apa dia cemburu? Tidak. Tidak mungkin Mas Ridwan cemburu. Toh yang ada dalam hati dan pikirannya saat ini hanya perempuan itu."Arin," jawabku dengan membalas uluran tangannya.Tiba-tiba Feby menarik tanganku menghindar dari Daffa dan Mas Ridwan. Feby menatapku sembari senyum-senyum tidak jelas."Kamu kenapa sih, Feb, ngga jelas banget?" tanyaku sembari menutup wajahnya menggunakan tangan."Kamu beneran ingin bercerai dengan Mas Ridwan?" tanya Feby seakan ingin memastikan."Belum tahu juga. Mungkin iya, mungkin juga ngga," jawabku dengan melangkahkan kaki.Tapi lagi-lagi Feby menarik tanganku."Maksudnya?""Maksud apa lagi sih, Feb ...?""Ya ... aku ngga rela lah, sahabatku yang cantik, baik hati, pintar dan mandiri seperti kamu dikhianati oleh suaminya. Apalagi Mas Ridwan tergoda sama perempuan seperti Indri. Huh ... sungguh menyebalkan.""Terus ...? Jangan bilang kamu bahagia aku akan bercerai dengan Mas Ridwan?" tanyaku dengan lirikan tajam yang mengarah persis di wajah Feby."Y - ya, ngga gitu juga, Rin. Kamu berhak bahagia. Masih banyak laki-laki baik di luar sana. Tuh, contohnya Daff." Feby tidak meneruskan ucapannya.Kali ini tatapanku pada Feby benar-benar dalam. Sepertinya ada sesuatu yang dia sembunyikan dariku."Daff, Daff siapa, Feb? Daffa maksudmu? Kamu jangan aneh-aneh, ya! Aku ini masih istri orang," terangku gantian menarik tangan Feby.Sekarang aku tahu maksud Feby mengajak Daffa ke sini. Hah ... ada-ada saja sih kamu, Feb."Feb. Lebih baik kamu ajak Daffa pergi dari sini," ucapku berbisik."Oh ... ceritanya kamu ngusir nih?""Kamu lihat raut wajah Mas Ridwan! Sepertinya dia tidak suka dengan kedatangan Daffa ke sini. Aku ngga mau ribut, Feb."Hemh ... terdengar hembusan napas kasar Feby."Okelah. Tapi kalau kamu sudah cerai bebas dong," ucapan yang sontak membuatku langsung mencubit tangan Feby."Oh ... jadi karena sudah ada laki-laki lain, makanya kamu semangat sekali untuk bercerai denganku?" ucapan yang sungguh memalukan Mas Ridwan lontarkan di depan semua karyawan sesaat Feby dan Daffa pergi.Heh ... ternyata perempuan itu tidak hanya membutakan hati Mas Ridwan. Tetapi, membuat Mas Ridwan hilang akal sehatnya juga. Bisa-bisanya dia menuduhku seperti itu."Sayangnya aku bukan kamu, Pa. Begitu murahan. Apa waktu delapan tahun tak cukup membuatmu paham tentang diriku? Miris. Indri telah membuatmu menjadi laki-laki yang tidak ada harga dirinya lagi di mataku."Tangannya mengepal dengan mata yang memerah menunjukkan kalau Mas Ridwan begitu marah atas ucapanku.Ucapanku tidak sebanding dengan sakit hati yang telah kamu torehkan padaku, Pa. Bukan hanya marah yang aku rasakan. Bahkan pengkhianatan ini telah merubahku menjadi perempuan yang penuh dendam.Mas Ridwan berlalu dari hadapanku begitu saja. Dia keluar dari toko dan pergi dengan melajukan mobil begitu kencang."Din, kamu temani saya!"Dengan cepat pula aku pun mengikuti mobil Mas Ridwan. Aku tahu dia akan pergi ke mana."Bu Arin. Kita mau ngikutin Pak Ridwan, ya?""Iya, Din."Dina menoleh ke arahku sembari memeluk boneka bear yang ada di dalam mobil. Sepertinya dia ketakutan aku ajak ngebut. Ternyata hampir sama dengan Feby."Din, kamu tahu tidak, pemilik rumah yang dikontrak Indri?""Sa - saya tidak tahu, Bu. Tapi kalau Ibu meminta saya untuk mencari tahu. Saya akan membantu Ibu."Kuhentikan mobil persis di tempat kemarin saat aku mengintai Mas Ridwan bersama Feby.Kecupan mesra mendarat di kening perempuan itu. Ketika dia menyambut kedatangan Mas Ridwan.Lagi-lagi pemandangan yang menyakitkan kulihat secara langsung."Bu Arin tidak apa-apa?""Hemh ... kamu tenang saja, Din. Saya akan selalu baik-baik saja."Mereka berdua masuk ke dalam rumah dan menutup pintunya. Aku tidak perlu menyakiti hatiku sendiri dengan memikirkan apa yang akan mereka lakukan di dalam sana."Din, coba kamu tanya sama Bapak itu! Siapa pemilik rumah yang dikontrak Indri," ucapku sembari menunjuk seorang Bapak yang sedang berdiri di depan rumah sebelah kontrakannya Indri.Dina pun langsung keluar dari mobil dan mendekati Bapak itu.Mataku seketika membulat sempurna melihat Indri keluar lagi. Dia membuka mobil Mas Ridwan yang terparkir di depan rumah.Hah ... mudah-mudahan Indri tidak melihat Dina.Dina pun terlihat berjongkok seperti mengambil sesuatu. Entah memang ada barang yang jatuh, atau karena dia melihat Indri keluar lagi.Dengan cepat Dina berlari dan masuk ke dalam mobilku. Terdengar napasnya yang ngos-ngosan. Aku pun langsung memberikan sebotol air mineral sebelum menanyakan sesuatu padanya.Aku menunggu sampai Dina terlihat lebih tenang."B - Bu Arin. Tadi saya melihat Indri keluar. Jantung saya serasa mau copot, Bu. Takut kalau Indri sampai melihat saya. Untung saya langsung jongkok," terang Dina mengalihkan pikiranku yang tadinya tegang menjadi sedikit terhibur.Tanpa kamu jelaskan, saya juga tahu, Din. Dari sini saya bisa melihat hal yang kamu ceritakan barusan."Kamu sudah tahu alamat pemilik kontrakan Indri?""Sudah, Bu. Tapi kita harus jalan kaki untuk menuju rumahnya. Karena melewati gang kecil.""Ya sudah ngga pa-pa, Din. Nanti saya akan memarkirkan mobil ini lebih jauh lagi agar tidak ketahuan Mas Ridwan dan Indri."Sudah tidak sabar ingin melihat Indri diusir dari kontrakannya.BersambungAKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKUAaaaaa ... teriakku dan langsung menghentikan mobil dengan mendadak.Kur*ng aj*r kamu, Pa. Ternyata kalian sudah melangsungkan pernikahan siri. Sudah sejauh ini kalian mempermainkan perasaanku. Breng*ek kalian. Aku yang tidak bisa mengontrol emosi membuat Dina hanya terdiam dengan menundukkan kepala."Apa saya salah, Din, kalau membalas perbuatan mereka yang sudah keterlaluan seperti itu?"Dadaku bergetar hebat. Keinginan untuk membuat mereka menyesal semakin kuat setelah aku mengetahui kalau mereka ternyata sudah menikah siri. Tadinya aku ingin memberitahu pemilik rumah yang dikontrak Indri agar dia di usir. Ternyata, aku malah mendapat kabar tentang pernikahan mereka."Din, kamu kembali ke toko naik taksi, ya! Terima kasih, kamu sudah banyak membantu saya.""Sa-sama-sama, Bu Arin. Saya akan selalu membantu Bu Arin kapanpun di butuhkan."Aku membalas ucapan Dina dengan senyuman.Segera kulajukan mobilku setelah Dina turun. Air mata yang sejak tadi ku
AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKU"Kenapa kamu lebih memilih berpisah denganku? Seandainya sedikit saja bisa mengerti dan mau menerima Indri jadi istri kedua. Semua akan baik-baik saja. Toh, kamu tetap menjadi istri pertama dan tidak merubah statusmu sebagai istriku. Sungguh keras kepala kamu, Ma.""Keluar!" tegasku dengan nada yang begitu tinggi.Suami macam apa kamu, Pa, dengan mudahnya bicara seperti itu tanpa memikirkan perasaanku sama sekali. Keterlaluan.Berkali-kali aku mengetahui kebohonganmu, tapi belum pernah sekalipun kamu meminta maaf padaku. Justru kata-kata menyakitkan yang selalu kamu ucapkan."Mbak, segera kamu tutup pintunya!""Ta-tapi, Bu. Pak Ridwan masih ada di depan.""Saya bilang, tutup pintunya!"Aku pun langsung bergegas masuk ke dalam kamar. "Mama," tiba-tiba panggilan bocah polos mengalihkan kepiluanku. Dia mendekatiku dengan senyum manisnya dan memberikan sebuah mainan."Ar-Arza, kamu ingin ngajakin Mama main ya, Nak?" tanyaku dengan segera mengusap air mata
AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKU"Apalagi ini, Ma? Setelah minta cerai, terus mengusirku dari rumah, dan sekarang kamu mengambil semua karyawan di toko ini," bentak Mas Ridwan di depan semua karyawan toko.Hah ... lagi-lagi harus ada drama di toko ini. Capek. Aku hanya terdiam tanpa menjawab sepatah katapun ucapan Mas Ridwan."Bu-bukan Bu Arin yang meminta. Tapi kami sendiri yang ingin bekerja dengan Bu Arin, Pak Ridwan." terang salah satu karyawan.Mas Ridwan terlihat begitu marah setelah mendengar jawaban tersebut."Kalian pikir, dengan satu toko yang dibagi menjadi dua, mampu menampung kalian semua?" jawab Mas Ridwan menatap satu per satu karyawan yang berderet di depannya.Rasain kamu, Pa. Bahkan karyawan saja enggan menjaga toko batikmu. Harusnya kamu bisa intropeksi, kenapa mereka semua lebih memilih bekerja denganku. "Kalian tidak perlu khawatir! Karena saya masih punya butik yang tak kalah besar dari toko ini. Nanti sebagian saya pindah ke sana. Kalian tidak keberatan 'kan?""
AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKU"Kamu yakin, Rin. Kalau Mbak Jum sebenarnya sudah mengetahui hubungan Mas Ridwan dan Indri dari awal?""Entahlah, Feb. Tapi aku merasa ada yang aneh dengan sikap Mbak Jum. Kemarin aku mengintai dia saat menerima telepon dari seseorang. Mbak Jum sampai harus ngumpet di belakang untuk bicara dengan penelepon tersebut. Apa yang dia ucapkan juga menjadi tanda tanya untukku."Aku dan Feby terdiam sejenak dengan saling menatap."Rin, kamu pasang CCTV aja di setiap sudut rumah. Biar kamu bisa memantau gerak-gerik Mbak Jum di rumah. Apalagi Arza 'kan diasuh Mbak Jum. Biar kamu bisa memantau Arza sekalian."Ide yang bagus, kenapa aku tidak kepikiran hal itu. Feby memang selalu cepat dalam mencari solusi. Kudekati Feby dan memeluknya begitu erat. Sahabat yang selalu memberi semangat saat diri ini rapuh."Arin, lepasiin ...! Sakit tahu. Lagian kita dilihatin banyak orang di cafe ini."Seketika langsung kulepaskan pelukanku dari Feby. "Terus. Bagaimana perceraian
AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKU Hari ini adalah awal mencari jawaban atas kecurigaanku terhadap Mbak Jum. Ide dari Feby untuk memasang CCTV sudah sukses. Sekarang aku akan lebih mudah memantau gerak-gerik Mbak Jum di rumah ini.Oh ya, aku sampai lupa kalau harus memberi laporan pada Feby. Segera kuambil ponsel untuk mengirim pesan padanya.[Sukses, Feb.][Oke.][Udah selesai belanjanya?][Aku udah selesai dari tadi, Rin. Belum ada laporan dari kamu, makanya aku ajak Mbak Jum muter-muter. Biar dia pusing. Ha ha ha ....]Dasar Feby, masih sempet-sempetnya bercanda. Sembari menunggu mereka pulang, aku menelepon salah satu karyawan kepercayaan di butik dan toko batik. Aku ingin mengontrol keadaan di sana karena hari ini aku tidak datang.Tin tin tin ....Terdengar suara klakson mobil. Itu pasti mereka. Aku pun segera keluar."Bu Arin, maaf belanjanya lama. Tadi sama Mbak Feby diajak muter-muter dulu," jelas Mbak Jum."Kamu tuh ya, Feb. Kebiasaan. Kalau udah belanja lupa waktu," ucapku
AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKU"Ayah dan Ibu lebih percaya dengan omongannya Mas Ridwan daripada Arin? Arin yang telah dikhianati Mas Ridwan. Dia menjalin hubungan dengan Indri, keponakan Mbak Jum. Dan mereka juga sudah menikah siri," jelasku dengan napas yang tersengal-sengal."Indri? Kamu salah, Rin. Mereka hanya teman, tidak lebih. Bukannya Indri karyawan kalian? Kenapa kamu berpikir sejauh itu?" jawab ibu masih tetap tidak percaya dengan penjelasanku. Sebenarnya apa yang telah Mas Ridwan dan Indri katakan pada orang tuaku? Sampai-sampai Ayah dan Ibu begitu percaya dengan mereka."Salah? Arin melihat dengan mata kepala Arin sendiri. Semua karyawan toko saksinya. Arin juga punya saksi kalau mereka sudah menikah siri. Tapi kalau Ayah dan Ibu memang tidak percaya dengan Arin, tidak apa-apa," jawabku langsung berlalu meninggalkan Ayah dan Ibu ke kamar dengan mengajak Arza.Ku'dudukkan Arza di atas kasur dan kuputarkan film kartun favorit dia. Langsung kuhempaskam tubuh ini di samping
AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKU Kuparkirkan mobil dan tetap berada di dalam. Kini mataku terarah pada dua orang yang sedang bergandengan mesra hendak masuk ke dalam toko. Mas Ridwan dan Indri. Aku tidak ingin Arza melihat papanya bersama perempuan lain. Arza memang masih kecil, tapi dia tidak boleh melihat kelakuan papanya yang memalukan seperti itu. Akan kubimbing dan kudidik Arza tumbuh menjadi anak yang baik. "Mama, ayo ulun, ayo!" Dengan ucapan polosnya, Arza mengajakku turun dari mobil."Iya, Nak, sebentar ya!" jawabku dengan melihat ke depan menunggu Mas Ridwan dan Indri benar-benar masuk."Ayo Arza, kita turun!" ajakku setelah melihat Mas Ridwan dan Indri masuk ke toko."Pagi, Bu," sapa beberapa karyawan dengan mengulas senyum."Pagi."Aku melihat renovasi toko sudah hampir selesai. Memang tidak butuh waktu lama, karena hanya merenovasi bagian tengah. Pembatas antara tokoku dengan toko Mas Ridwan."Din. Tolong kamu temani Arza sebentar!" pintaku dengan mendekatkan Arza pada
AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKU"Mas Ridwann ...," teriakku dengan menggedor pintu rumah kontrakan Indri.Klek Sosok perempuan yang tak asing bagiku keluar dari balik pintu.Mbak Jum? Ternyata sekarang dia tinggal dengan Mas Ridwan dan Indri? Heh ... tiga pengkhianat kumpul jadi satu. Tapi bukan itu yang menjadi urusanku saat ini."Mas Ridwan mana?" tanyaku langsung menyelonong masuk ke dalam."Arin, sabar!" panggil Feby dengan menarik tasku. "Sabar? Kamu memintaku untuk sabar, Feb? Mas Ridwan tiba-tiba mengambil Arza dari rumah Ibu." Feby pun kena sasaran atas kemarahanku pada Mas Ridwan."Ada apa ini?" tanya Mas Ridwan yang keluar dari balik gorden."Arza mana? Kenapa kamu bawa Arza dari rumah Ibu? Keterlaluan.""Arin ... Arin. Kamu tuh bisa ngga sih, ngga usah marah-marah! Arza itu anakku juga. Terus, apa salah kalau seorang Ayah mengajak anaknya sendiri?""Tergantung. Ayah seperti apa dulu? Aku ke sini bukan untuk bicara panjang lebar denganmu. Sekarang, Arza, mana?"Kesabarank