Share

Bab 5

last update Terakhir Diperbarui: 2022-10-29 12:34:58

AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKU

"Eh, apa-apan ini? Kenapa ruang kerjaku di sekat?"

"Kamu lupa dengan ucapanku tadi malam, Pa? Bukan hanya ruang kerja yang akan kubagi dua. Tapi, toko ini juga," jelasku dan berlalu meninggalkan Mas Ridwan.

Tidak ada alasan untuk menundanya. Karena semua ini sudah menjadi keputusanku. Keputusan yang kuambil karena rasa sakit hati dengan pengkhianatanmu, Pa.

"Ma ... Ma, kamu tidak bisa melakukan hal ini. Toko batik ini milikku. Dan aku tidak pernah menyetujui semua ini."

Aku tidak peduli dengan apapun yang ingin kamu katakan. Terserah.

---------

"Arinn ...," teriak Feby yang tiba-tiba datang ke toko.

Nih orang, datangnya selalu tiba-tiba. Hemh .... Tapi dia sahabat yang selalu ada saat aku susah sekalipun.

Pandanganku seketika beralih pada sosok laki-laki yang berjalan di samping Feby.

Siapa dia? Apa mungkin pacar barunya Feby? Kok Feby tidak pernah cerita sama aku, kalau sudah punya pacar lagi.

"Woy ... bengong aja kamu, Rin," tegur Feby membuatku kaget.

"Apaan, sih."

"Oh iya, Rin. Kenalin, dia Daffa saudaraku yang baru pulang dari Jepang. Daffa ini Desainer Interior. Kebetulan kamu 'kan sedang ingin merubah toko batik ini. Mungkin dia bisa membantumu," ucap Feby dengan melirik ke arah Mas Ridwan. Sepertinya Feby sengaja hanya mengenalkan Daffa padaku.

"Daffa," ucap laki-laki itu sembari mengulurkan tangan dan mengulas senyum.

Tatapan Mas Ridwan begitu tajam padaku ketika Daffa memperkenalkan dirinya.

Kenapa Mas Ridwan menatapku seperti itu? Apa dia cemburu? Tidak. Tidak mungkin Mas Ridwan cemburu. Toh yang ada dalam hati dan pikirannya saat ini hanya perempuan itu.

"Arin," jawabku dengan membalas uluran tangannya.

Tiba-tiba Feby menarik tanganku menghindar dari Daffa dan Mas Ridwan. Feby menatapku sembari senyum-senyum tidak jelas.

"Kamu kenapa sih, Feb, ngga jelas banget?" tanyaku sembari menutup wajahnya menggunakan tangan.

"Kamu beneran ingin bercerai dengan Mas Ridwan?" tanya Feby seakan ingin memastikan.

"Belum tahu juga. Mungkin iya, mungkin juga ngga," jawabku dengan melangkahkan kaki.

Tapi lagi-lagi Feby menarik tanganku.

"Maksudnya?"

"Maksud apa lagi sih, Feb ...?"

"Ya ... aku ngga rela lah, sahabatku yang cantik, baik hati, pintar dan mandiri seperti kamu dikhianati oleh suaminya. Apalagi Mas Ridwan tergoda sama perempuan seperti Indri. Huh ... sungguh menyebalkan."

"Terus ...? Jangan bilang kamu bahagia aku akan bercerai dengan Mas Ridwan?" tanyaku dengan lirikan tajam yang mengarah persis di wajah Feby.

"Y - ya, ngga gitu juga, Rin. Kamu berhak bahagia. Masih banyak laki-laki baik di luar sana. Tuh, contohnya Daff." Feby tidak meneruskan ucapannya.

Kali ini tatapanku pada Feby benar-benar dalam. Sepertinya ada sesuatu yang dia sembunyikan dariku.

"Daff, Daff siapa, Feb? Daffa maksudmu? Kamu jangan aneh-aneh, ya! Aku ini masih istri orang," terangku gantian menarik tangan Feby.

Sekarang aku tahu maksud Feby mengajak Daffa ke sini. Hah ... ada-ada saja sih kamu, Feb.

"Feb. Lebih baik kamu ajak Daffa pergi dari sini," ucapku berbisik.

"Oh ... ceritanya kamu ngusir nih?"

"Kamu lihat raut wajah Mas Ridwan! Sepertinya dia tidak suka dengan kedatangan Daffa ke sini. Aku ngga mau ribut, Feb."

Hemh ... terdengar hembusan napas kasar Feby.

"Okelah. Tapi kalau kamu sudah cerai bebas dong," ucapan yang sontak membuatku langsung mencubit tangan Feby.

"Oh ... jadi karena sudah ada laki-laki lain, makanya kamu semangat sekali untuk bercerai denganku?" ucapan yang sungguh memalukan Mas Ridwan lontarkan di depan semua karyawan sesaat Feby dan Daffa pergi.

Heh ... ternyata perempuan itu tidak hanya membutakan hati Mas Ridwan. Tetapi, membuat Mas Ridwan hilang akal sehatnya juga. Bisa-bisanya dia menuduhku seperti itu.

"Sayangnya aku bukan kamu, Pa. Begitu murahan. Apa waktu delapan tahun tak cukup membuatmu paham tentang diriku? Miris. Indri telah membuatmu menjadi laki-laki yang tidak ada harga dirinya lagi di mataku."

Tangannya mengepal dengan mata yang memerah menunjukkan kalau Mas Ridwan begitu marah atas ucapanku.

Ucapanku tidak sebanding dengan sakit hati yang telah kamu torehkan padaku, Pa. Bukan hanya marah yang aku rasakan. Bahkan pengkhianatan ini telah merubahku menjadi perempuan yang penuh dendam.

Mas Ridwan berlalu dari hadapanku begitu saja. Dia keluar dari toko dan pergi dengan melajukan mobil begitu kencang.

"Din, kamu temani saya!"

Dengan cepat pula aku pun mengikuti mobil Mas Ridwan. Aku tahu dia akan pergi ke mana.

"Bu Arin. Kita mau ngikutin Pak Ridwan, ya?"

"Iya, Din."

Dina menoleh ke arahku sembari memeluk boneka bear yang ada di dalam mobil. Sepertinya dia ketakutan aku ajak ngebut. Ternyata hampir sama dengan Feby.

"Din, kamu tahu tidak, pemilik rumah yang dikontrak Indri?"

"Sa - saya tidak tahu, Bu. Tapi kalau Ibu meminta saya untuk mencari tahu. Saya akan membantu Ibu."

Kuhentikan mobil persis di tempat kemarin saat aku mengintai Mas Ridwan bersama Feby.

Kecupan mesra mendarat di kening perempuan itu. Ketika dia menyambut kedatangan Mas Ridwan.

Lagi-lagi pemandangan yang menyakitkan kulihat secara langsung.

"Bu Arin tidak apa-apa?"

"Hemh ... kamu tenang saja, Din. Saya akan selalu baik-baik saja."

Mereka berdua masuk ke dalam rumah dan menutup pintunya. Aku tidak perlu menyakiti hatiku sendiri dengan memikirkan apa yang akan mereka lakukan di dalam sana.

"Din, coba kamu tanya sama Bapak itu! Siapa pemilik rumah yang dikontrak Indri," ucapku sembari menunjuk seorang Bapak yang sedang berdiri di depan rumah sebelah kontrakannya Indri.

Dina pun langsung keluar dari mobil dan mendekati Bapak itu.

Mataku seketika membulat sempurna melihat Indri keluar lagi. Dia membuka mobil Mas Ridwan yang terparkir di depan rumah.

Hah ... mudah-mudahan Indri tidak melihat Dina.

Dina pun terlihat berjongkok seperti mengambil sesuatu. Entah memang ada barang yang jatuh, atau karena dia melihat Indri keluar lagi.

Dengan cepat Dina berlari dan masuk ke dalam mobilku. Terdengar napasnya yang ngos-ngosan. Aku pun langsung memberikan sebotol air mineral sebelum menanyakan sesuatu padanya.

Aku menunggu sampai Dina terlihat lebih tenang.

"B - Bu Arin. Tadi saya melihat Indri keluar. Jantung saya serasa mau copot, Bu. Takut kalau Indri sampai melihat saya. Untung saya langsung jongkok," terang Dina mengalihkan pikiranku yang tadinya tegang menjadi sedikit terhibur.

Tanpa kamu jelaskan, saya juga tahu, Din. Dari sini saya bisa melihat hal yang kamu ceritakan barusan.

"Kamu sudah tahu alamat pemilik kontrakan Indri?"

"Sudah, Bu. Tapi kita harus jalan kaki untuk menuju rumahnya. Karena melewati gang kecil."

"Ya sudah ngga pa-pa, Din. Nanti saya akan memarkirkan mobil ini lebih jauh lagi agar tidak ketahuan Mas Ridwan dan Indri."

Sudah tidak sabar ingin melihat Indri diusir dari kontrakannya.

Bersambung

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKU   Bab 25 TAMAT

    AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKULima tahun penjara. Hukuman untuk Indri dan Mbak Jum karena ulahnya sendiri. Setelah melewati beberapa kali sidang, akhirnya aku mendengar putusan Majelis Hakim yang membuat hatiku merasa lega. Semua itu salah kalian sendiri. Kenapa harus menghalalkan segala cara hanya demi harta. Ayah dan Ibu langsung memelukku begitu erat. Mereka juga merasakan hal yang sama sepertiku setelah mendengar putusan tersebut.Aku menatap tajam Indri dan Mbak Jum yang hanya bisa menundukkan kepala di depanku. Hukuman itu memang pantas kalian dapatkan. Orang-orang yang dulu menyakitiku, kini sudah mendapatkan balasannya. -----------Aku hanya bisa membolak-balikkan tubuh ke kanan dan ke kiri. Mungkin sampai pagi aku tidak akan bisa memejamkan mata. Perasaan deg-deg'an sudah begitu terasa malam ini. Apalagi besok saat ijab qobul.Ya. Aku dan Daffa akan melangsungkan akad nikah besok pagi. Tujuh bulan setelah acara lamaran.Tok tok tok "Rin, kamu sudah tidur?" panggil i

  • AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKU   Bab 24

    AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKUSebuah pesan dari Indri masuk. Dia memberitahu alamat di mana kami akan bertemu. Dan tetap memberi sebuah ancaman untukku agar tidak lapor polisi."Rin, terus bagaimana ini? Kamu buruan ambil uang dan berikan pada mereka. Agar Arza segera pulang," tegas ibu.Karena harta mereka melakukan hal bodoh yang akan menjerumuskan mereka ke dalam penjara."Arin akan datang, Bu, dengan membawa uang. Tapi bukan untuk diberikan melainkan untuk Arin pamerkan.""Maksudnya, Rin? Kamu jangan main-main! Arza ada bersama mereka."Ayah dan Ibu ikut, tapi dengan mobil lain! Jangan bareng sama Arin! Nanti ikuti Arin agak jauh! Kita ikuti saja akting mereka, Bu!"Mbak Jum, Indri. Kalian itu terlalu amatir untuk melakukan hal seperti itu. Terlalu memaksa meniru adegan seperti di sinetron.Bukan tidak khawatir Arza di tangan mereka. Tapi aku lebih khawatir kalau Arza di tangan penculik asli.***Drrttt drrttt drrttt"Aku sedang perjalanan. Tenang saja! Uangnya sudah ada.""Bu A

  • AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKU   Bab 23

    AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKU"Arin, bukannya Ayah dan Ibu memaksa kamu. Tapi ini sidang terakhir kasusnya Ridwan. Setidaknya kamu datang untuk memberi dukungan kepada Ridwan sebagai ayahnya Arza, tidak lebih," terang ibu yang terus berharap agar aku datang dalam sidang terakhir kasusnya Mas Ridwan."Tapi, Bu. Ibu tahu sendiri 'kan kalau sekarang ibunya Mas Ridwan begitu benci dengan Arin. Apalagi setelah tahu Arin dan Daffa menjalin hubungan.""Biarkan saja, Rin! Cepat atau lambat ibunya Ridwan juga akan paham.""Arin tidak mau, Bu."Ayah dan Ibu terus memaksa agar aku mau datang dalam sidangnya Mas Ridwan yang terakhir kalinya.Akhirnya dengan terpaksa aku pun mengiyakan keinginan mereka.Selama perjalanan, aku lebih memilih diam. Bukannya aku ingin memutus silaturahim dengan Mas Ridwan dan orang tuanya. Tetapi dengan sedikit menjauh dari mereka, aku bisa lepas dari bayang-bayang yang berhubungan dengan Mas Ridwan. Sudah cukup selama ini waktuku terbuang untuk urusan yang berhubu

  • AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKU   Bab 22

    AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKU "Arin ...," teriak Feby yang tiba-tiba muncul di ruang kerjaku.Aku hanya diam dan santai melihat sikap Feby. Sudah tidak kaget, tiba-tiba muncul langsung heboh."Ngapain lihatin aku kaya' gitu?" tanyaku dengan melotot.Feby hanya memalingkan wajah. Sepertinya dia sedang kesal denganku. Tapi kenapa?Aku melanjutkan lagi kerjaanku yang belum selesai. Brukk Tiba-tiba kedua tangan Feby menggebrak meja."Apa-apaan sih kamu, Feb?" "Kamu udah ngga nganggep aku sahabat lagi, ya?" tanya Feby menatapku tajam.Ish ... pertanyaan macam apa itu? Aneh."Menurut kamu?" "Ngga," jawab Feby dengan lantang.Aku langsung menghentikan kerjaan dan menatap Feby dengan begitu dekat."Kamu ngga lagi ngelindur 'kan? Memangnya ada apa? Datang-datang marah.""Kamu udah jadian dengan Daffa 'kan? Arin ... kenapa harus dirahasiakan dari aku? Nyebelin ...."Kini aku hanya terdiam dan menelan saliva'ku."Kenapa malah diam?" tandas Feby."Emangnya siapa yang bilang?""Ngga ada. Ak

  • AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKU   Bab 21

    AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKUSenyum yang mengembang selalu kulihat dari Daffa ketika dia mengajak bercanda Arza. Kini Daffa memang lebih sering datang ke rumah."Rin.""Ya?"Tatapannya seakan mengisyaratkan sesuatu."Boleh aku bicara sesuatu?""Biacara saja!""Sebelumnya aku minta maaf kalau sedikit lancang. A-apa kamu belum bisa ngebuka hati lagi setelah perceraian kemarin?"Pertanyaan yang membuatku terdiam beberapa saat. "Sebenarnya aku sudah bisa move-on dari Mas Ridwan. Dan untuk ngebuka hati lagi memang belum terpikir, Daff. Sekarang ini aku lebih fokus pada Arza dan kerjaan, seperti yang pernah aku bilang. Untuk ngebuka hati lagi, butuh banyak pertimbangan. Kamu sendiri 'kan tahu, aku udah punya Arza. Dan masalah yang datang dalam rumah tanggaku kemarin, sedikit banyak membuatku harus hati-hati memilih pendamping hidup," jawabku dengan pandangan ke depan."Trauma?"Aku menggelengkan kepala."Tapi kenapa kamu tanya soal itu?" tanyaku balik.Daffa menatapku sebelum akhirnya m

  • AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKU   Bab 20

    AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKU"Arin," sapa Daffa dengan tatapan yang begitu hangat. Sesaat kami pun saling berpandangan."Ekhem ... ekhem ... kaya'nya yang jemput kamu ngga cuma Arin deh, Daff. Aku seperti ngga dianggap," ucap Feby membuat kami mengalihkan tatapan padanya."Iya, bawel," ucap Daffa dengan mengelus rambut Feby dengan kasar. "Mobil kamu mana, Feb?""Di rumah Arin. Nanti kita ke sana dulu ambil mobilku, Daff!"Daffa tidak menghiraukan jawaban dari Feby. Tetapi dia malah menatapku lagi. Dan kali ini tatapannya begitu dalam.Aku sangat gugup dan salah tingkah dengan sikap Daffa yang seperti itu."Pulang ... pulang." Lagi-lagi Feby membuat kami kelimpungan. "Daff, kamu mau duduk di depan dengan Arin atau di belakang?" tanya Feby."Depan aja deh, Feb." jawab Daffa yang membuat mataku membulat sempurna. "Eh, maksudku belakang aja." Sepertinya dia memang sengaja ngerjain aku.Kuhembuskan napas lega dengan memalingkan wajah."Berarti aku di depan dengan Arin, ya. Terus kamu di

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status