AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKU
"Dia rela kalau harus menjadi istri kedua. Bahkan menikah siri pun, dia tidak masalah. Aku harap, kamu bisa mengerti, Ma."PLAAAKKSebuah tamparan kulayangkan pada laki-laki yang sudah menikah denganku selama delapan tahun.Teganya Mas Ridwan terang-terangan bicara seperti itu padaku. Sedangkan apa yang kulihat tadi siang masih bergelayut di pelupuk mata.Bahkan, Mas Ridwan tidak takut sama sekali meskipun ibunya dan Mbak Jum sudah mengetahui tentang hubungannya dengan Indri."Kamu benar-benar sudah tidak waras, Pa."DuarrAku keluar dari kamar dengan menghempaskan pintu begitu kasar.Kulihat Mbak Jum duduk di belakang dengan pandangan nanar dan sesekali mengusap air mata yang membasahi pipinya.Kini pandangannya tertuju ke arahku dengan raut wajah yang merasa bersalah atas perbuatan keponakannya, Indri."Bu Arin, maafin saya, Bu! Saya benar-benar tidak menyangka kalau Indri akan berbuat seperti itu," terang mbak Jum yang langsung mendekat dan memegang tanganku.Aku hanya berdiri mematung tanpa menjawab sepatah katapun atas ucapan Mbak Jum.Dengan cepat kutarik tanganku dari tangan Mbak Jum dan berlalu meninggalkannya.--------Bohong. Kalau aku bilang tidak merasa sakit atas semua ini. Bagaimanapun Mas Ridwan adalah suamiku, ayah dari Arza, anakku.Pernikahanku dengan Mas Ridwan sudah berjalan delapan tahun. Bukan waktu yang sebentar. Susah senang telah kami lewati bersama. Bahkan, penantian kami untuk mendapatkan momongan juga cukup lama.Harusnya, kebersamaan yang sudah di lewati selama bertahun-tahun bisa menjadikan hubungan kami lebih kuat. Tapi, semua itu tidak berlaku untuk Mas Ridwan. Dia tega mengkhianatiku dengan Indri. Perempuan yang sudah kutolong dengan memberinya pekerjaan dan membantunya saat kesusahan. Ternyata tega menusukku dari belakang.Hah ... bukan saatnya aku meratapi pengkhianatan suamiku dan mantan karyawanku seperti ini. Meskipun sakit, aku tidak boleh lemah."Semangat Arin!" ucapku untuk menguatkan diri sendiri.PrangSuara benda jatuh tiba-tiba mengalihkan pikiranku yang saat itu sedang duduk di ruang kerja. Aku pun langsung keluar untuk memastikan.Tatapanku tertuju ke lantai. Ketika melihat figura foto pernikahanku dengan Mas Ridwan sudah pecah dan berserakan."Apa-apan ini, Mas? Kamu sengaja mecahin figura foto pernikahan kita? Iya?" tanyaku pada Mas Ridwan yang berdiri di hadapanku dengan raut wajah emosi."Kenapa kamu tidak bisa mengerti keinginanku?" ucap Mas Ridwan dengan mendaratkan pukulan ke tembok.Hah ... keinginan yang gi*a."Oh ... jadi karena itu? Sepertinya kamu sudah cinta mati dengannya. Sampai lupa untuk menjaga perasaan seorang istri yang sudah delapan tahun mendampingimu."Dan kamu juga lupa, siapa yang sudah membuatmu sukses seperti sekarang ini.Aku telah menyuntikkan dana yang tidak sedikit saat kamu gulung tikar dan terlilit banyak hutang. Bahkan bisa dibilang tujuh puluh persen dana yang masuk di toko batik adalah milikku."Oke. Kalau kamu memang menginginkan Indri menjadi istrimu, ceraikan aku dulu! Hak asuh Arza ada padaku. Dan untuk harta, rumah ini milik Arza. Kamu ataupun aku tidak berhak atas rumah ini. Toko batik yang kamu kelola saat ini kita bagi dua. Serta setiap bulannya, kamu harus menafkahi semua kebutuhan Arza. Karena bagaimanapun itu tanggung jawabmu sebagai seorang ayah."Akan kuturuti apa yang menjadi kemauanmu, Pa. Percuma aku berusaha mempertahankan rumah tangga kita, kalau yang ada di hati dan pikiranmu adalah perempuan lain.***Tok tok tok"Assalamu'alaikum."Pagi ini aku sengaja datang ke rumah orang tua Mas Ridwan. Aku ingin bicara dengan mereka tentang apa yang menjadi keinginan Mas Ridwan."Wa'alaikumsalam. A-Arin, ayo masuk!"Aku pun masuk dan duduk di ruang tamu."Ibu semalaman nangis?" tanyaku menatap wajah Ibu yang matanya terlihat bengkak.Hemh ... Ibu hanya menjawab dengan hembusan napas beratnya."Bu ...?""I-ibu kecewa dengan Ridwan, Rin. Sangat kecewa," jawab ibu dengan suara parau.Aku terdiam sesaat. Maafin Arin, Bu. Mungkin yang ingin Arin ceritakan saat ini akan membuat hati Ibu semakin terluka. Tapi Arin tidak ingin menutupi segala sesuatunya dari Ibu ataupun Ayah. Arin tidak ingin terjebak dalam situasi yang sulit hanya karena menutupi sebuah kesalahan."Arin?" sapa ayah mengalihkan pikiranku.Aku pun langsung mendekati Ayah dan memberi salam cium tangan."Arin, kamu datang ke sini pagi-pagi pasti ada hal yang penting 'kan?" tanya ibu dengan menatapku.Aku memandang wajah Ayah dan Ibu, sebelum akhirnya bercerita."Iya Bu. Ada hal penting yang harus Ayah dan Ibu tahu. Mas Ridwan. Dia ... ingin menikahi Indri. Pilihan sulit diberikan pada Arin. Dan Arin memutuskan, lebih baik diceraikan daripada harus dimadu."Kutarik napas panjang dan menghembuskannya dengan pelan sesaat setelah bercerita. Aku ingin sedikit menenangkan hati yang sebenarnya sangat terluka. Jangan sampai Ayah dan Ibu tambah sedih ketika melihatku lemah karena perbuatan anaknya."Arin ...," ucap ibu dengan tatapan pilu dan air mata yang mulai menetes.Sedangkan Ayah, beliau hanya diam dengan raut wajah yang terlihat begitu terpukul.Aku tahu, mereka adalah mertua yang sangat baik. Menyayangiku seperti putrinya sendiri. Tapi, sayangnya Mas Ridwan tidak bisa memperlakukanku seperti kedua orang tuanya yang begitu menyayangiku."Ayah akan mendukung apapun keputusan Arin," terang ayah dengan dengan menghembuskan napas berat."Ta-tapi, Yah. Ibu tidak mau Ridwan dan Arin bercerai. Titik."Situasi hening pun sesaat menyelimuti ruang tamu."Bu ... Arin memang mencintai Mas Ridwan. Bahkan sangat mencintai. Seandainya Ibu tahu bagaimana terlukanya hati Arin, pasti Ibu paham kenapa Arin lebih memilih bercerai daripada harus dimadu. Arin ngga sanggup, Bu, kalau harus berbagi dengan perempuan lain."Kuraih tangan Ibu dan menggenggamnya dengan erat."Arin memang tidak akan menjadi menantu Ayah dan Ibu lagi setelah bercerai dengan Mas Ridwan. Tapi, Arin akan selalu menjadi putri Ayah dan Ibu," ucapku dengan air mata yang tak mampu di bendung lagi.Pelukan erat dan begitu hangat dari Ibu mendarat padaku. Ibu menangis tanpa henti sembari mengelus punggungku.Kamu tidak hanya melukai perasaanku, Pa. Tapi juga melukai perasaan kedua orang tuamu sendiri. Dan masih ada lagi yang akan terluka dengan perbuatanmu ini. Kedua orang tuaku dan juga Arza, anak kita.Semua ini karena kamu lebih memikirkan perasaan Indri daripada perasaan kami.Suatu saat, penyesalan akan menyelimuti hidupmu. Pasti.BersambungAKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKU"Eh, apa-apan ini? Kenapa ruang kerjaku di sekat?""Kamu lupa dengan ucapanku tadi malam, Pa? Bukan hanya ruang kerja yang akan kubagi dua. Tapi, toko ini juga," jelasku dan berlalu meninggalkan Mas Ridwan.Tidak ada alasan untuk menundanya. Karena semua ini sudah menjadi keputusanku. Keputusan yang kuambil karena rasa sakit hati dengan pengkhianatanmu, Pa."Ma ... Ma, kamu tidak bisa melakukan hal ini. Toko batik ini milikku. Dan aku tidak pernah menyetujui semua ini."Aku tidak peduli dengan apapun yang ingin kamu katakan. Terserah.---------"Arinn ...," teriak Feby yang tiba-tiba datang ke toko.Nih orang, datangnya selalu tiba-tiba. Hemh .... Tapi dia sahabat yang selalu ada saat aku susah sekalipun. Pandanganku seketika beralih pada sosok laki-laki yang berjalan di samping Feby. Siapa dia? Apa mungkin pacar barunya Feby? Kok Feby tidak pernah cerita sama aku, kalau sudah punya pacar lagi."Woy ... bengong aja kamu, Rin," tegur Feby membuatku kag
AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKUAaaaaa ... teriakku dan langsung menghentikan mobil dengan mendadak.Kur*ng aj*r kamu, Pa. Ternyata kalian sudah melangsungkan pernikahan siri. Sudah sejauh ini kalian mempermainkan perasaanku. Breng*ek kalian. Aku yang tidak bisa mengontrol emosi membuat Dina hanya terdiam dengan menundukkan kepala."Apa saya salah, Din, kalau membalas perbuatan mereka yang sudah keterlaluan seperti itu?"Dadaku bergetar hebat. Keinginan untuk membuat mereka menyesal semakin kuat setelah aku mengetahui kalau mereka ternyata sudah menikah siri. Tadinya aku ingin memberitahu pemilik rumah yang dikontrak Indri agar dia di usir. Ternyata, aku malah mendapat kabar tentang pernikahan mereka."Din, kamu kembali ke toko naik taksi, ya! Terima kasih, kamu sudah banyak membantu saya.""Sa-sama-sama, Bu Arin. Saya akan selalu membantu Bu Arin kapanpun di butuhkan."Aku membalas ucapan Dina dengan senyuman.Segera kulajukan mobilku setelah Dina turun. Air mata yang sejak tadi ku
AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKU"Kenapa kamu lebih memilih berpisah denganku? Seandainya sedikit saja bisa mengerti dan mau menerima Indri jadi istri kedua. Semua akan baik-baik saja. Toh, kamu tetap menjadi istri pertama dan tidak merubah statusmu sebagai istriku. Sungguh keras kepala kamu, Ma.""Keluar!" tegasku dengan nada yang begitu tinggi.Suami macam apa kamu, Pa, dengan mudahnya bicara seperti itu tanpa memikirkan perasaanku sama sekali. Keterlaluan.Berkali-kali aku mengetahui kebohonganmu, tapi belum pernah sekalipun kamu meminta maaf padaku. Justru kata-kata menyakitkan yang selalu kamu ucapkan."Mbak, segera kamu tutup pintunya!""Ta-tapi, Bu. Pak Ridwan masih ada di depan.""Saya bilang, tutup pintunya!"Aku pun langsung bergegas masuk ke dalam kamar. "Mama," tiba-tiba panggilan bocah polos mengalihkan kepiluanku. Dia mendekatiku dengan senyum manisnya dan memberikan sebuah mainan."Ar-Arza, kamu ingin ngajakin Mama main ya, Nak?" tanyaku dengan segera mengusap air mata
AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKU"Apalagi ini, Ma? Setelah minta cerai, terus mengusirku dari rumah, dan sekarang kamu mengambil semua karyawan di toko ini," bentak Mas Ridwan di depan semua karyawan toko.Hah ... lagi-lagi harus ada drama di toko ini. Capek. Aku hanya terdiam tanpa menjawab sepatah katapun ucapan Mas Ridwan."Bu-bukan Bu Arin yang meminta. Tapi kami sendiri yang ingin bekerja dengan Bu Arin, Pak Ridwan." terang salah satu karyawan.Mas Ridwan terlihat begitu marah setelah mendengar jawaban tersebut."Kalian pikir, dengan satu toko yang dibagi menjadi dua, mampu menampung kalian semua?" jawab Mas Ridwan menatap satu per satu karyawan yang berderet di depannya.Rasain kamu, Pa. Bahkan karyawan saja enggan menjaga toko batikmu. Harusnya kamu bisa intropeksi, kenapa mereka semua lebih memilih bekerja denganku. "Kalian tidak perlu khawatir! Karena saya masih punya butik yang tak kalah besar dari toko ini. Nanti sebagian saya pindah ke sana. Kalian tidak keberatan 'kan?""
AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKU"Kamu yakin, Rin. Kalau Mbak Jum sebenarnya sudah mengetahui hubungan Mas Ridwan dan Indri dari awal?""Entahlah, Feb. Tapi aku merasa ada yang aneh dengan sikap Mbak Jum. Kemarin aku mengintai dia saat menerima telepon dari seseorang. Mbak Jum sampai harus ngumpet di belakang untuk bicara dengan penelepon tersebut. Apa yang dia ucapkan juga menjadi tanda tanya untukku."Aku dan Feby terdiam sejenak dengan saling menatap."Rin, kamu pasang CCTV aja di setiap sudut rumah. Biar kamu bisa memantau gerak-gerik Mbak Jum di rumah. Apalagi Arza 'kan diasuh Mbak Jum. Biar kamu bisa memantau Arza sekalian."Ide yang bagus, kenapa aku tidak kepikiran hal itu. Feby memang selalu cepat dalam mencari solusi. Kudekati Feby dan memeluknya begitu erat. Sahabat yang selalu memberi semangat saat diri ini rapuh."Arin, lepasiin ...! Sakit tahu. Lagian kita dilihatin banyak orang di cafe ini."Seketika langsung kulepaskan pelukanku dari Feby. "Terus. Bagaimana perceraian
AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKU Hari ini adalah awal mencari jawaban atas kecurigaanku terhadap Mbak Jum. Ide dari Feby untuk memasang CCTV sudah sukses. Sekarang aku akan lebih mudah memantau gerak-gerik Mbak Jum di rumah ini.Oh ya, aku sampai lupa kalau harus memberi laporan pada Feby. Segera kuambil ponsel untuk mengirim pesan padanya.[Sukses, Feb.][Oke.][Udah selesai belanjanya?][Aku udah selesai dari tadi, Rin. Belum ada laporan dari kamu, makanya aku ajak Mbak Jum muter-muter. Biar dia pusing. Ha ha ha ....]Dasar Feby, masih sempet-sempetnya bercanda. Sembari menunggu mereka pulang, aku menelepon salah satu karyawan kepercayaan di butik dan toko batik. Aku ingin mengontrol keadaan di sana karena hari ini aku tidak datang.Tin tin tin ....Terdengar suara klakson mobil. Itu pasti mereka. Aku pun segera keluar."Bu Arin, maaf belanjanya lama. Tadi sama Mbak Feby diajak muter-muter dulu," jelas Mbak Jum."Kamu tuh ya, Feb. Kebiasaan. Kalau udah belanja lupa waktu," ucapku
AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKU"Ayah dan Ibu lebih percaya dengan omongannya Mas Ridwan daripada Arin? Arin yang telah dikhianati Mas Ridwan. Dia menjalin hubungan dengan Indri, keponakan Mbak Jum. Dan mereka juga sudah menikah siri," jelasku dengan napas yang tersengal-sengal."Indri? Kamu salah, Rin. Mereka hanya teman, tidak lebih. Bukannya Indri karyawan kalian? Kenapa kamu berpikir sejauh itu?" jawab ibu masih tetap tidak percaya dengan penjelasanku. Sebenarnya apa yang telah Mas Ridwan dan Indri katakan pada orang tuaku? Sampai-sampai Ayah dan Ibu begitu percaya dengan mereka."Salah? Arin melihat dengan mata kepala Arin sendiri. Semua karyawan toko saksinya. Arin juga punya saksi kalau mereka sudah menikah siri. Tapi kalau Ayah dan Ibu memang tidak percaya dengan Arin, tidak apa-apa," jawabku langsung berlalu meninggalkan Ayah dan Ibu ke kamar dengan mengajak Arza.Ku'dudukkan Arza di atas kasur dan kuputarkan film kartun favorit dia. Langsung kuhempaskam tubuh ini di samping
AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKU Kuparkirkan mobil dan tetap berada di dalam. Kini mataku terarah pada dua orang yang sedang bergandengan mesra hendak masuk ke dalam toko. Mas Ridwan dan Indri. Aku tidak ingin Arza melihat papanya bersama perempuan lain. Arza memang masih kecil, tapi dia tidak boleh melihat kelakuan papanya yang memalukan seperti itu. Akan kubimbing dan kudidik Arza tumbuh menjadi anak yang baik. "Mama, ayo ulun, ayo!" Dengan ucapan polosnya, Arza mengajakku turun dari mobil."Iya, Nak, sebentar ya!" jawabku dengan melihat ke depan menunggu Mas Ridwan dan Indri benar-benar masuk."Ayo Arza, kita turun!" ajakku setelah melihat Mas Ridwan dan Indri masuk ke toko."Pagi, Bu," sapa beberapa karyawan dengan mengulas senyum."Pagi."Aku melihat renovasi toko sudah hampir selesai. Memang tidak butuh waktu lama, karena hanya merenovasi bagian tengah. Pembatas antara tokoku dengan toko Mas Ridwan."Din. Tolong kamu temani Arza sebentar!" pintaku dengan mendekatkan Arza pada