Share

Bab 4

AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKU

"Dia rela kalau harus menjadi istri kedua. Bahkan menikah siri pun, dia tidak masalah. Aku harap, kamu bisa mengerti, Ma."

PLAAAKK

Sebuah tamparan kulayangkan pada laki-laki yang sudah menikah denganku selama delapan tahun.

Teganya Mas Ridwan terang-terangan bicara seperti itu padaku. Sedangkan apa yang kulihat tadi siang masih bergelayut di pelupuk mata.

Bahkan, Mas Ridwan tidak takut sama sekali meskipun ibunya dan Mbak Jum sudah mengetahui tentang hubungannya dengan Indri.

"Kamu benar-benar sudah tidak waras, Pa."

Duarr

Aku keluar dari kamar dengan menghempaskan pintu begitu kasar.

Kulihat Mbak Jum duduk di belakang dengan pandangan nanar dan sesekali mengusap air mata yang membasahi pipinya.

Kini pandangannya tertuju ke arahku dengan raut wajah yang merasa bersalah atas perbuatan keponakannya, Indri.

"Bu Arin, maafin saya, Bu! Saya benar-benar tidak menyangka kalau Indri akan berbuat seperti itu," terang mbak Jum yang langsung mendekat dan memegang tanganku.

Aku hanya berdiri mematung tanpa menjawab sepatah katapun atas ucapan Mbak Jum.

Dengan cepat kutarik tanganku dari tangan Mbak Jum dan berlalu meninggalkannya.

--------

Bohong. Kalau aku bilang tidak merasa sakit atas semua ini. Bagaimanapun Mas Ridwan adalah suamiku, ayah dari Arza, anakku.

Pernikahanku dengan Mas Ridwan sudah berjalan delapan tahun. Bukan waktu yang sebentar. Susah senang telah kami lewati bersama. Bahkan, penantian kami untuk mendapatkan momongan juga cukup lama.

Harusnya, kebersamaan yang sudah di lewati selama bertahun-tahun bisa menjadikan hubungan kami lebih kuat. Tapi, semua itu tidak berlaku untuk Mas Ridwan. Dia tega mengkhianatiku dengan Indri. Perempuan yang sudah kutolong dengan memberinya pekerjaan dan membantunya saat kesusahan. Ternyata tega menusukku dari belakang.

Hah ... bukan saatnya aku meratapi pengkhianatan suamiku dan mantan karyawanku seperti ini. Meskipun sakit, aku tidak boleh lemah.

"Semangat Arin!" ucapku untuk menguatkan diri sendiri.

Prang

Suara benda jatuh tiba-tiba mengalihkan pikiranku yang saat itu sedang duduk di ruang kerja. Aku pun langsung keluar untuk memastikan.

Tatapanku tertuju ke lantai. Ketika melihat figura foto pernikahanku dengan Mas Ridwan sudah pecah dan berserakan.

"Apa-apan ini, Mas? Kamu sengaja mecahin figura foto pernikahan kita? Iya?" tanyaku pada Mas Ridwan yang berdiri di hadapanku dengan raut wajah emosi.

"Kenapa kamu tidak bisa mengerti keinginanku?" ucap Mas Ridwan dengan mendaratkan pukulan ke tembok.

Hah ... keinginan yang gi*a.

"Oh ... jadi karena itu? Sepertinya kamu sudah cinta mati dengannya. Sampai lupa untuk menjaga perasaan seorang istri yang sudah delapan tahun mendampingimu."

Dan kamu juga lupa, siapa yang sudah membuatmu sukses seperti sekarang ini.

Aku telah menyuntikkan dana yang tidak sedikit saat kamu gulung tikar dan terlilit banyak hutang. Bahkan bisa dibilang tujuh puluh persen dana yang masuk di toko batik adalah milikku.

"Oke. Kalau kamu memang menginginkan Indri menjadi istrimu, ceraikan aku dulu! Hak asuh Arza ada padaku. Dan untuk harta, rumah ini milik Arza. Kamu ataupun aku tidak berhak atas rumah ini. Toko batik yang kamu kelola saat ini kita bagi dua. Serta setiap bulannya, kamu harus menafkahi semua kebutuhan Arza. Karena bagaimanapun itu tanggung jawabmu sebagai seorang ayah."

Akan kuturuti apa yang menjadi kemauanmu, Pa. Percuma aku berusaha mempertahankan rumah tangga kita, kalau yang ada di hati dan pikiranmu adalah perempuan lain.

***

Tok tok tok

"Assalamu'alaikum."

Pagi ini aku sengaja datang ke rumah orang tua Mas Ridwan. Aku ingin bicara dengan mereka tentang apa yang menjadi keinginan Mas Ridwan.

"Wa'alaikumsalam. A-Arin, ayo masuk!"

Aku pun masuk dan duduk di ruang tamu.

"Ibu semalaman nangis?" tanyaku menatap wajah Ibu yang matanya terlihat bengkak.

Hemh ... Ibu hanya menjawab dengan hembusan napas beratnya.

"Bu ...?"

"I-ibu kecewa dengan Ridwan, Rin. Sangat kecewa," jawab ibu dengan suara parau.

Aku terdiam sesaat. Maafin Arin, Bu. Mungkin yang ingin Arin ceritakan saat ini akan membuat hati Ibu semakin terluka. Tapi Arin tidak ingin menutupi segala sesuatunya dari Ibu ataupun Ayah. Arin tidak ingin terjebak dalam situasi yang sulit hanya karena menutupi sebuah kesalahan.

"Arin?" sapa ayah mengalihkan pikiranku.

Aku pun langsung mendekati Ayah dan memberi salam cium tangan.

"Arin, kamu datang ke sini pagi-pagi pasti ada hal yang penting 'kan?" tanya ibu dengan menatapku.

Aku memandang wajah Ayah dan Ibu, sebelum akhirnya bercerita.

"Iya Bu. Ada hal penting yang harus Ayah dan Ibu tahu. Mas Ridwan. Dia ... ingin menikahi Indri. Pilihan sulit diberikan pada Arin. Dan Arin memutuskan, lebih baik diceraikan daripada harus dimadu."

Kutarik napas panjang dan menghembuskannya dengan pelan sesaat setelah bercerita. Aku ingin sedikit menenangkan hati yang sebenarnya sangat terluka. Jangan sampai Ayah dan Ibu tambah sedih ketika melihatku lemah karena perbuatan anaknya.

"Arin ...," ucap ibu dengan tatapan pilu dan air mata yang mulai menetes.

Sedangkan Ayah, beliau hanya diam dengan raut wajah yang terlihat begitu terpukul.

Aku tahu, mereka adalah mertua yang sangat baik. Menyayangiku seperti putrinya sendiri. Tapi, sayangnya Mas Ridwan tidak bisa memperlakukanku seperti kedua orang tuanya yang begitu menyayangiku.

"Ayah akan mendukung apapun keputusan Arin," terang ayah dengan dengan menghembuskan napas berat.

"Ta-tapi, Yah. Ibu tidak mau Ridwan dan Arin bercerai. Titik."

Situasi hening pun sesaat menyelimuti ruang tamu.

"Bu ... Arin memang mencintai Mas Ridwan. Bahkan sangat mencintai. Seandainya Ibu tahu bagaimana terlukanya hati Arin, pasti Ibu paham kenapa Arin lebih memilih bercerai daripada harus dimadu. Arin ngga sanggup, Bu, kalau harus berbagi dengan perempuan lain."

Kuraih tangan Ibu dan menggenggamnya dengan erat.

"Arin memang tidak akan menjadi menantu Ayah dan Ibu lagi setelah bercerai dengan Mas Ridwan. Tapi, Arin akan selalu menjadi putri Ayah dan Ibu," ucapku dengan air mata yang tak mampu di bendung lagi.

Pelukan erat dan begitu hangat dari Ibu mendarat padaku. Ibu menangis tanpa henti sembari mengelus punggungku.

Kamu tidak hanya melukai perasaanku, Pa. Tapi juga melukai perasaan kedua orang tuamu sendiri. Dan masih ada lagi yang akan terluka dengan perbuatanmu ini. Kedua orang tuaku dan juga Arza, anak kita.

Semua ini karena kamu lebih memikirkan perasaan Indri daripada perasaan kami.

Suatu saat, penyesalan akan menyelimuti hidupmu. Pasti.

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status