Share

Bab 6

AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKU

Aaaaaa ... teriakku dan langsung menghentikan mobil dengan mendadak.

Kur*ng aj*r kamu, Pa. Ternyata kalian sudah melangsungkan pernikahan siri. Sudah sejauh ini kalian mempermainkan perasaanku. Breng*ek kalian.

Aku yang tidak bisa mengontrol emosi membuat Dina hanya terdiam dengan menundukkan kepala.

"Apa saya salah, Din, kalau membalas perbuatan mereka yang sudah keterlaluan seperti itu?"

Dadaku bergetar hebat. Keinginan untuk membuat mereka menyesal semakin kuat setelah aku mengetahui kalau mereka ternyata sudah menikah siri.

Tadinya aku ingin memberitahu pemilik rumah yang dikontrak Indri agar dia di usir. Ternyata, aku malah mendapat kabar tentang pernikahan mereka.

"Din, kamu kembali ke toko naik taksi, ya! Terima kasih, kamu sudah banyak membantu saya."

"Sa-sama-sama, Bu Arin. Saya akan selalu membantu Bu Arin kapanpun di butuhkan."

Aku membalas ucapan Dina dengan senyuman.

Segera kulajukan mobilku setelah Dina turun. Air mata yang sejak tadi kutahan akhirnya tumpah juga.

Apa salahku, Pa? Kenapa kamu tega melakukan hal ini.

Kuusap air mata dengan kasar dan melajukan mobil lebih kencang lagi. Sekuat apapun aku menahan rasa sakit ini, tetap saja masih begitu terasa.

***

Sepertinya rumah Feby sedang ramai. Lebih baik aku pulang saja. Tadinya aku ingin cerita hal ini dengan Feby agar perasaanku sedikit lega.

"Ariin ...," teriak Feby membuatku menghentikan langkah yang sudah ingin beranjak pergi.

"Kenapa ngga masuk aja? Biasanya juga gitu. Bentar-bentar, kamu habis nangis ya, Rin? Kenapa lagi? Ayo masuk! Dan ceritakan semuanya!"

Aku hanya berdiri mematung dengan perasaan yang campur aduk.

"Arin? Ayo masuk, Rin!" sapa Daffa yang tiba-tiba juga keluar.

Aku pun berusaha tersenyum meski rasanya masih sulit.

"Feb. Aku pulang aja, ya."

Feby langsung menarik tanganku dan mengajak masuk ke dalam.

Di dalam banyak keluarga Feby yang sedang berkumpul. Sepertinya waktuku tidak tepat datang ke sini. Harusnya tadi aku langsung pulang saja.

"Lho, ternyata ada Arin. Kamu apa kabar, Rin? Makin cantik aja," sapa mamanya Feby padaku.

"A-Arin, baik Tante. Tante sendiri apa kabar?" Aku berusaha untuk tetap tenang menahan rasa sakit yang berkecamuk di dalam dada.

"Alhamdulillah Tante baik juga, Rin. Sini, Tante kenalin sama keluarga Tante!"

Aku pun bersalaman satu per satu dengan keluarga Feby yang begitu ramah.

Tidak berapa lama setelah mengobrol dengan mereka, Feby mengajakku masuk ke kamarnya.

Sepertinya Feby paham kalau aku merasa kurang nyaman dengan situasi yang begitu ramai.

Hahh ... kuhembuskan napas kasar dan menjatuhkan tubuh ini di atas ranjang.

"Rin, sekarang kamu cerita! Aku tahu kamu sedang menyimpan sesuatu," ucap Feby dengan ikut merebahkan tubuhnya.

Aku masih terdiam dengan mata yang yang terpejam. Kini wajah dua pengkhianat itu terus berputar-putar di pikiran.

"Rin, kamu ngga mau cerita? Yakin?" tanya Feby yang tidak akan diam sebelum aku cerita.

"Mas Ridwan sudah menikah."

"Ya emang Mas Ridwan sudah menikah. Nah kamu 'kan istrinya. Terus, apanya yang aneh?"

"Menikah dengan Indri," jawabku singkat dengan tetap memejamkan mata.

Sesaat suasana menjadi hening ketika Feby tidak menjawab sepatah katapun setelah mendengar ucapanku.

Dia hanya terdiam dan mengusap air mataku yang tidak terasa menetes.

Aku pun langsung beranjak dari rebahanku dan duduk bersandar di bantal.

"Feb, apa sebagai istri, aku belum menjadi istri yang baik? Sampai-sampai Mas Ridwan berpaling dengan perempuan lain. Kasih tahu aku, Feb, di mana kekuranganku! Jangan kamu membelaku kalau memang benar seperti itu!"

Feby langsung ikut bangun dan memandangku dengan tatapan iba.

"Bukan kamu yang tidak baik, Rin. Tapi Mas Ridwan yang tidak bisa bersyukur memiliki istri sepertimu. Bukan karena aku sahabatmu lantas bicara seperti ini. Tapi aku bicara apa adanya."

Feby pun langsung memelukku begitu erat.

***

"Semua barang Mas Ridwan tidak ada yang tertinggal di rumah ini lagi 'kan Mbak?"

"Ti-tidak, Bu. Tapi kalau saya boleh tahu, kenapa Bu Arin mengemasi semua barang Pak Ridwan?" tanya Mbak Jum dengan terus memasukkan barang-barang milik Mas Ridwan di dalam koper.

Aku ingin Mas Ridwan keluar dari rumah ini. Dia sudah terlalu jauh membohongiku. Apa yang dia katakan bahwa Indri rela menjadi istri kedua meskipun menikah siri, ternyata semua itu sudah dilakukannya. Aku telah dimadu secara diam-diam.

Selesai mengemasi semua barang milik Mas Ridwan, aku menaruh beberapa koper tersebut di luar.

"Ayo, Mbak, kita masuk!"

Mbak Jum melangkahkan kaki dengan terus menatapku. Mungkin dia masih penasaran dengan apa yang aku lakukan.

Nanti kamu juga akan tahu, Mbak. Kenapa aku melakukan semua ini. Rumah tanggaku dengan Mas Ridwan telah hancur karena kedatangan Indri.

Aku pun langsung masuk ke kamar untuk menemani Arza. Kualihkan pikiranku dengan mengajak Arza bermain. Dia terlihat begitu asyik dengan mainannya. Wajah polosnya mendamaikan hatiku yang penuh amarah.

Sabar ya, Nak! Meskipun Papa dan Mama harus berpisah. Tapi Mama janji, akan terus membuatmu bahagia.

"Mbak Jum ... Mbak," terdengar teriakan Mas Ridwan memanggil Mbak Jum.

Mas Ridwan ternyata sudah pulang. Tapi kenapa aku tidak mendengar suara mobilnya?

Aku pun langsung keluar dari kamar dan meninggalkan Arza sendirian dengan mainannya.

Terlihat Mbak Jum hanya berdiri dengan menundukkan kepalanya di depan Mas Ridwan.

"Mbak, dari tadi aku ini tanya sama kamu. Kenapa semua barang-barangku ada di luar? Apa susahnya tinggal menjawab saja."

"Sa-saya,"

"Aku yang menaruh semua barang-barang kamu di luar," tegasku memotong ucapan Mbak Jum.

Mas Ridwan langsung berjalan mendekatiku.

"Apa maksudmu, Ma?"

Bo*oh. Masih saja kamu belum paham dengan apa yang aku lakukan ini, Pa.

"Kamu masih tanya apa maksudnya? Heh ... aku pikir kamu cerdas."

Mas Ridwan langsung menarik tanganku dengan kasar. Aku pun menarik kembali tanganku dan mendorong tubuh Mas Ridwan.

"Kamu itu kenapa sih, Ma? Heran aku."

"Aku ingin kamu angkat kaki dari rumah ini! Dan jangan pernah kembali lagi!"

Mas Ridwan terlihat begitu kaget mendengar ucapanku. Begitu juga dengan Mbak Jum yang berdiri di belakang Mas Ridwan.

"Oh ... aku tahu kenapa sikapmu berubah, Ma. Karena kamu memiliki laki-laki lain 'kan? Laki-laki yang tadi siang datang ke toko kita bersama Feby. Tak heran kalau sikapmu sangat keterlaluan padaku."

PLAAKKK

Tamparan keras kulayangkan di wajah suamiku untuk kedua kalinya. Maafin aku, Pa, kalau harus bersikap kasar seperti ini. Tapi lagi-lagi kamu melukai perasaanku atas tuduhanmu itu.

"Jangan pernah kamu samakan aku dengan dirimu ataupun perempuan mu*ahan itu! Aku sudah bilang 'kan. Ceraikan aku dulu sebelum kamu menikahi perempuan itu. Kamu paham!" terangku dengan nada begitu tinggi.

Kamu sudah salah, Pa. Sangat salah. Tapi masih saja membela diri. Bahkan tega menuduhku yang tidak-tidak.

"Maksud kamu apa? Kenapa tiba-tiba menyuruhku angkat kaki dari rumah ini? Ini juga rumahku."

"Bukan. Karena rumah ini akan menjadi milik Arza. Dan kamu, pulang saja ke rumah istri simpananmu, Indri."

Seketika raut wajah Mas Ridwan terlihat pucat. Dia langsung menyandarkan tubuhnya di pinggiran tembok.

"Istri? Mak-maksud Bu Arin, Indri istrinya Pak Ridwan?" tanya Mbak Jum dengan langkah lemas berjalan mendekatiku. "Itu tidak benar 'kan Pak Ridwan? Indri bukan istri Bapak 'kan?" cecar Mbak Jum pada Mas Ridwan.

Sepatah katapun tak terlontar dari mulut Mas Ridwan. Sepertinya dia begitu syok. Karena kebohongan demi kebohongan selalu terbongkar.

Sepandai-pandainya kamu menyimpan bangkai, akhirnya tercium juga, Pa.

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status