*
Hesti dan Gilang pulang, sesaat setelah Ammar, Endang selesai makan malam.
"Dari mana kalian? Kok sampai malam begini baru pulang?Hesti kan sedang hamil besar, tidak baik keluar malam, " kata Ammar sambil melirik belanjaan di tangan Hesti.
"Belanja keperluan bayi , Pak. Hesti sebentar lagi sudah mau lahira," jawab Gilang.
“Kalian duduk dulu, Bapak sama Ibu mau bicara," kata Ammar.
Endang sebenarnya sudah ingin menyemprot Hesti dengan makiannya. Tapi, ia ingat pembicaraan dengan suaminya siang tadi. Ia tidak ingin membuat suaminya kecewa. Sehingga ia memilih diam dan menahan sedikit emosinya.
"Menurut perkiraan dokter, kapan Hesti lahiran?" tanya Ammar.
"Kami baru saja periksa juga, Pak. Masih dua bulan lagi. Minggu depan kan, tujuh bulanan. Oiya, anaknya ternyata kembar , Pak." Gilang menjawab dengan bersemangat.
"Hmmm, Bapak d
Seperti janjinya, Ammar membelikan Gilang sebuah rumah. Sebuah rumah di perumahan elite yang cukup besar. Lengkap dengan furniture dan barang-barang lain. Ammar merasa tidak rugi mengeluarkan uang agak banyak untuk Gilang dan Hesti. Tidak mengapa, ini adalah bantuan terakhir yang bisa dia berikan kepada putra tunggalnya itu. Sebab, jika mereka sudah pindah nanti, Gilang benar-benar harus mandiri. Sementara itu, sejak Ammar memutuskan untuk mereka pindah, Hesti jarang keluar kamar. Makan pun ia mau delivery lewat aplikasi. Sama sekali tidak mau makan masakan yang ada. Endang sebetulnya kesal dengan tingkah Hesti, dalam hati ia sudah geregetan ingin mengomel. Namun ia tahan. Jika sudah begitu, Endang akan mengobrol dengan anak- anak kos atau bik Atun. Ammar pun tidak mau menegur kelakuan menantunya itu. "Biarkan saja mereka menikmati. Sebentar lagi, mereka baru akan menjalani h
Hesti sudah berada di ruang operasi saat Iman dan Masayu datang bersama Gillang Ammar dan Endang terlihat sedang duduk di depan ruang operasi sambil mengobrol. Iman dan Masayu segera menyapa dan mencium tangan Ammar dan Endang. Iman dan Masayu memang sangat menghargai Ammar dan Endang. Karena jika dilihat usia mereka hampir sama dengan almarhum kedua orang tua mereka."Kenapa Hesti harus operasi segala, Pak, Bu? Apa dia yang meminta?" tanya Iman.Endang dan Ammar saling pandang. Gilang sudah tampak ketakutan." Begini, nak Iman. Sebelumnya, Bapak minta maaf. Hesti dan Gilang bertengkar, entah apa masalahnya. Sehingga, Gilang kelepasan menampar Hesti. Maaf sebelumnya, mungkin dipicu dari pertengkaran dengan Ibunya. " Iman mengerutkan dahinya tak mengerti."Bertengkar dengan Ibu? Saya tidak mengerti Pak, Bu," kata Iman sambil mengerutkan dahinya. Ammar pun menjelaskan
Dokter terlihat agak sedikit bingung untuk menyampaikan. Ammar dan Endang saling berpandangan. Bagitu juga dengan Iman dan Masayu."Begini saja, kedua bayi Bapak sedang dimandikan. Bapak bisa melihatnya sebentar lagi. Saya akan antar ke ruang bayi," kata dokter. Gilang semakin merasa tidak enak. Firasatnya sebagai seorang ayah mengatakan jika telah terjadi sesuatu dengan anaknya."Bagaimana dengan putri saya?" tanyanya."Putri Bapak sehat dan sempurna." Gilang merasa sebagian dunianya runtuh. Ammar menepuk pundak anaknya itu seolah ingin mentransfer kekuatan. Tak lama kemudian Gilang melihat Hesti dipindahkan ke ruang perawatan. Ia pun segera menuju ruang bayi untuk melihat putra dan putrinya terlebih dahulu ditemani oleh Ammar. Sementara Ibunya, Iman dan Masayu langsung ke kamar perawatan Hesti."Ada apa dengan putra saya, Dokter?" tanya Gilang dengan jantung berdebar kencang.&
FAHIRA VS HESTI Pagi itu, Fahira dan Kamania sudah bersiap-siap untuk ke rumah sakit. Pagi itu, untuk pertama kalinya, Fahira memakai make up tipis. Wajahnya terlihat segar. Rambut Fahira yang biasa hanya digulung ke atas, kali ini digerai. Lalu diberi curly di bawahnya. Fahira mengambil sebuah jumsuit yang ia beli beberapa hari lalu dari situs belanja online. ”Barangkali, yang dikatakan Ibu Endang benar, aku ini sebenarnya cantik. Hanya saja selama ini aku tidak pernah menyadari,” gumam Fahira.Postur tubuh Fahira yang memang tinggi kelihatan cantik dengan jumsuit yang dikenakannya. Fahira melihat bayangan dirinya sendiri di cermin . Ia merasa pangling dengan apa yang ia lihat. Merasa dirinya cantik, Fahira mulai senyum senyum sendiri.Akhirnya setelah merasa puas dengan penampilannya Fahira pun segera berangkat. Kamania pun terlihat cantik memakai jumsuit yang sama dengan yang Fahira
PERTEMUAN Sedikit tergesa Fahira meninggalkan Rumah Sakit. Supaya cepat, ia menggendong Kamania dalam pelukannya. Fahira benar-benar merasa emosi sekali.dengan sikap Hesti. Seharusnya aku yang marah, kenapa.jadi dia yang marah- marah. Fahira hanya bisa menggerutu dalam hati. Untung saja, ia masih bisa mengendalikan emosinya. Sehingga tidak sampai memaki. Bahkan saat pamit pada Endang, Ammar dan Gilang pun Fahira masih bisa bersikap sopan.. Karena tidak memperhatikan jalan, Fahira kurang hati- hati. Tak sengaja ia menabrak seseorang lelaki."Aduh, hati- hati atuh Teh. Yaa, barang- barang saya jatuh semua.""Eh, aduh... aduh maaf ya, saya lagi buru- buru." Fahira berkata sambil membantu lelaki itu membereskan barang-barangnya."Iya, tidak apa, lain kali hati- hati. Apalagi sambil bawa anak. Loh, kamu Fahira kan?""I-iya saya Fahira. Kamu...?""Ya ampun Fahira, saya Yo
RUMAH BARU Hesti mengamati rumah barunya. Tidak kecil, hanya memang tidak sebesar rumah Mertuanya. Namun, rumah ini bergaya minimalis yang modern. Hesti tidak banyak berkomentar. Mereka diantar Ammar dan Endang ke rumah baru langsung dari Rumah Sakit."Ini mbok Iyem, Ti. Ibu sudah membayar gaji Mbok Yem untuk tiga bulan, selanjutnya tugasmu untuk mengatur keuangan. Kulkas kalian juga sudah Ibu isi dengan bahan makanan. Kalau habis ya kamu bisa atur ulang. Mbok Yem tidur di kamar belakang. Jadi, kalau ada apa-apa kamu bisa panggil mbok Yem. Ibu tau, kalau kamu tidak bisa beberes rumah, apalagi ada bayi. Itu sebabnya Ibu menyuruh Gilang menggaji asisten rumah tangga," ujar Endang. Gilang hanya mesem mendengar ucapan Ibunya. Kedua anak Gilang sudah dibaringkan di dalam cribnya. Ammar juga yang telah menyiapkan segalanya."Terima kasih Pak. Rumahnya bagus, " ujar Gilang. Ammar menepuk
BersambungBIMBANG Fahira tidak kuasa untuk menahan debaran di jantungnya. Akhirnya, ia pun tidak berani bertanya apa pun lagi pada Yoga. Fahira takut, ia takut jika ia hanya mendapatkan harapan palsu. Bagaimanapun juga, ia pernah gagal dalam berumah tangga. Dan, Yoga masih berstatus bujangan. Apa kata keluarga Yoga nantinya jika ia dan Yoga bersama. Terlebih Fahira tidak memiliki pendidikan yang tinggi. Fahira merasa sangat minder. Yoga melirik Fahira, ia tau bahwa Fahira saat ini sedang bingung dan resah. Mungkin, ia terlalu cepat mengatakan hal itu pada Fahira. Tapi, ia tidak dapat membohongi dirinya sendiri, kalau ia sudah lama sekali mencintai dan menanti Fahira. Seperti biasa, Yoga selalu membukakan pintu untuk Fahira. Kali
Fahira tersenyum, dalam hati ia begitu bersyukur. Selama ini, ia selalu berdoa meminta agar Tuhan mempertemukan nya dengan jodoh yang terbaik. Yang mendukung dan dapat menerima apa adanya. Mungkin inilah jawaban doanya selama ini."Eh, tapi tunggu dulu, kenapa kau begitu yakin, kalau aku akan menerima dan bersedia menjadi istrimu?" Yoga menepuk dahinya dan menatap Fahira mengiba. "Ayolah, Fahira apa kau tidak kasihan membuatku menunggu selama ini? Aku setia Fahira, buktinya sejak dulu aku hanya mengidolakan dirimu seorang. Kau ini kejam sekali." Yoga berpura-pura merajuk. Fahira merasa geli melihat tingkah Yoga."Baiklah, baik Pak dokter, aku mau menjadi istrimu. Aku mau kuliah lagi. Tapi, aku punya satu syarat.""Apa itu?""Aku mau menikah asalkan Kamania setuju. Karena bagiku, kebahagiaan Kamania adalah segalanya." Yoga mengelus rambut Fahira. "Tentu saja, Fahira. Aku aka