Share

KAMANIA KECELAKAAN

    Atun tampak resah, ia baru saja akan menjemput Kamania di sekolah saat Endang dan Hesti pulang.

"Kau belanja ke pasar sekalian jemput Kamania. Beli sayuran dan juga buah-buahan untuk Non Hesti," kata Endang.

"Bu, saya jemput neng Nia dulu, ya," kata Atun.

"Aduuuh, saya kan nggak lama nulis catatan belanja, Tun. Kamu sekalian jalan juga ke pasar. Nia juga kan dijaga gurunya, kalau kerja sekalian dong!" bentak Endang dengan kesal.

     Atun pun hanya bisa mengangguk pasrah. Ia tidak berani melawan majikannya itu. Hanya saja dalam hati ia merasa sangat cemas karena sudah terlambat menjemput Kamania.

    Sekolah Kamania sebenarnya tidak terlalu jauh dari komplek rumah mereka. Hanya saja harus menyeberang jalan raya. Jadi, tidak mungkin jika Kamania berjalan pulang seorang diri.

     Sementara itu, di sekolah Kamania sedang duduk menunggu di gerbang, gurunya sudah kembali mengajar anak yang masuk siang. Sementara teman- temannya sudah dijemput semua.

Kamania mulai bosan, ia merasa haus dan lapar, tapi bekalnya sudah ia habiskan tadi. Botol minumnya pun sudah kosong.

"Aduh, bik Atun mana sih, kok lama banget jemput aku," gumam Kamania sambil menoleh ke kanan dan ke kiri.

"Apa aku pulang sendiri aja ya? Tinggal nyebrang jalan aja, aku udah laper banget," gumamnya lagi.

    Tanpa ada yang melihat, Kamania pun berjalan ke arah jalan raya. Rasa lapar dan haus yang dirasakan gadis kecil itu membuatnya tidak mempedulikan pesan bik Atun. Gadis itu pun langsung menyebrang jalan, dan tanpa disadari sebuah mobil dengan kecepatan tinggi mendekat. Saat pengemudinya melihat Kamania, ia sudah terlambat untuknya menginjak rem dan ... brak!

    Tak ayal lagi tubuh mungil Kamania pun terpental, bau amis darah tercium. Orang- orang pun mulai berdatangan. Tepat pada saat itu bik Atun pun datang. Ia langsung menjerit histeris melihat majikan kecilnya terkapar berlumuran darah.

"Cepat telepon ambulance," ujar seorang ibu yang ada di sana.

   Salah seorang ibu yang ikut berkerumun pun dengan cepat menelepon ambulance sementara bik Atun menangis histeris di samping tubuh Kamania.

Sementara itu Endang yang merasa jika Atun terlalu lama pergi berjalan mondar mandir sambil mengomel di dapur.

"Aduh, Atun ini ke mana sih, disuruh belanja sama jemput Kamania aja sampai lama begini!" Endang terlihat kesal saat Atun dan Kamania belum juga sampai ke rumah.

“Mungkin masih di pasar, Bu,” sahut Hesti.

“Pasar kan nggak jauh, masa iya sampai lama begini!”

     Hesti hanya mengangkat bahu, ibu mertuanya itu memang tidak sabaran. Namun, tiba-tiba saja terdengar suara orang yang berteriak memanggil nama ibu mertuanya dari depan. Hesti dan Endang pun segera ke depan dan membuka pintu.

“Loh, Bu Erte, ada apa?” tanya Endang saat melihat bu RT di depan pintun rumahnya.

“Bu Endang, neng Nia ... bik Atun ....”

“Ada apa, Bu? Kenapa dengan pembantu dan cucu saya?”

Bu RT menarik napas dan mengembuskannya perlahan sebelum ia meneruskan ucapannya.

“Neng Nia kecelakaan, tabrak lari. Tadi, sudah dibawa ambulance ke rumah sakit. Kebetulan saya dan suami tadi melihat kejadiannya. Suami saya ikut mengantar dan menemani bik Atun.”

“Ya Allah! Ke rumah sakit mana?”

“Bromeous, Bu.”

    Endang memegang dadanya yang tiba-tiba terasa sesak. Lalu ia menoleh ke arah Hesti, “Cepat telepon suamimu supaya dia dan bapak pulang, kita pakai taksi online ke rumah sakit,” katanya.

    Sesampainya di Rumah Sakit, mereka melihat bik Atun ditemani oleh Pak RT sedang duduk sambil menangis tersedu-sedu.

“Maafin bibik, Neng ... harusnya tadi bibik tunggu neng Nia aja di sekolah,” ujar bik Atun disela isak tangisnya. Dan saat ia melihat Endang, wanita berusia 40 tahun itu langsung bersujud di kaki Endang.

“Maafkan saya, Bu. Sa-saya terlambat menjemput neng Nia ... jangan pecat saya, Bu,” kata Atun ketakutan.

    Endang tak menjawab, ia terdiam dan terduduk lemas. Seharusnya tadi ia membiarkan Atun menjemput Kamania terlebih dahulu baru menyuruhnya ke pasar. Wanita itu merasa sangat bersalah kepada Kamania.

    Tak lama kemudian Amar dan Gilang datang. Wajah mereka tampak panik, tepat saat keduanya datang dokter yang menangani Kamania keluar dari ruangan.

“Bagaimana kondisi anak saya?” tanya Gilang.

“Pasien harus segera dioperasi dan dia juga kehilangan banyak darah. Apa di antara keluarga ada yang golongan darahnya sama dengan pasien?”

“Saya papanya, Dok. Silakan ambil darah saya,” kata Gilang dengan cepat.

“Baiklah, kalau begitu silakan ikut saya.”

    Sementara itu, di tempat lain Fahira baru saja memecahkan gelas dan perasaannya mendadak tidak enak.

“Kamu kenapa, Fa?” tanya Inayah.

“Nggak tau, Ceu. Tiba-tiba saya kok ingat Kamania. Perasaan saya tiba-tiba nggak enak,” jawab Fahira lirih.

“Pulang saja, Fa. Dari pada kamu kerja tapi pikiranmu ke mana-mana,” kata Inayah sambil menepuk bahu Fahira dengan lembut.

“Tidak apa-apa, Ceu?”

“Tidak, pulanglah. Kalau ada apa-apa kamu hubungi ceceu, ya.”

    Fahira pun mengangguk dan segera meraih tasnya. Setelah mengucapkan terima kasih, ia pun segera pulang. Konveksi tempat Fahira bekerja tidak jauh dari rumah kontrakannya, sehingga ia cukup berjalan kaki.

Namun betapa terkejut ia saat melihat Amar tampak berjalan dari arah berlawanan.

“Loh, Bapak mau ke mana?” tanya Fahira.

“Baru saja bapak mau ke tempat kerjamu. Ponselmu tidak aktif?”

“Tadi, kebetulan baterenya habis, Pak. Bapak sama Nia? Bukannya ini hari selasa, Nia mana?” tanya Fahira sambil mencari keberadaan anaknya.

Amar menepuk bahu Fahira perlahan, “Anakmu kecelakaan, Fa. Itu sebabnya bapak datang kemari.”

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Gilang ayah macam apa yang mengabaikan anaknya yang masih kecil
goodnovel comment avatar
Atik Srip
gilang ma ibunya gak waras...ibu tirinya jg gk pernah urusin anakmu gilang.........
goodnovel comment avatar
Yung
itu maka nya jangan pisahkan ibu dan anak
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status