Sudah 3 hari ini Fahira tinggal di rumah barunya. Rupanya Ammar sudah mengisi rumah itu lengkap dengan perabotan. Fahira tidak membawa apa pun selain pakaian dan buku- buku milik Nastiti serta mesin yang dipinjamkan Inayah. Rumah baru yang dibelikan Ammar tidak jauh dari rumah kontrakan Fahira sebelumnya.
Seperti biasa, pagi hari setelah Fahira membersihkan rumah dan memasak, ia akan mengajak Nastiti ke rumah Inayah untuk menyetorkan pekerjaannya .
"Aduh, pagi sekali Fahira, kamu rajin. Padahal, Ujang kan bisa ambil pekerjaanmu. Kenapa repot mengantar ke sini? " kata Inayah dengan gembira. Ia selalu puas dengan hasil rajutan Fahira yang selalu rapi. Terlebih jika Fahira membuat cardigan tidak ada yang bisa mengalahkan kerapian Fahira. Juga untuk model- model baru, Fahira cepat tanggap dan ia juga bisa mengajarkan pekerja yang lain yang belum mengerti atau masih baru.
"Rumah kita kan sekarang lebih dekat, Ceu. Oya, apa
“Dari mana saja, kamu?!” bentak Hesti saat melihat Fahira datang bersama Kamania."Kamu nggak pernah belajar sopan santun? Katanya kuliah ... sarjana. Tapi bisa-bisanya memaki orang di rumahnya. Kamu masih waras?" balas Fahira kesal ."Heh! Kamu itu yang ngga tau sopan santun! Kamu pasti yang meminta bapak untuk membayar biaya operasi Kamania, ayo mengaku?!"Fahira mengerutkan dahinya.' Dari mana Hesti tau soal ini ' pikir Fahira."Kamu kaget? Aku tau semua karena aku tidak sengaja mendengar percakapan bapak dengan dokter kemarin!"“Ooooh, jadi kamu nguping?!" Hesti mendecih kesal."Uang itu harusnya buat keperluan anakku! Enak bener sih kamu ... aku pastikan anak kamu ini ngga akan bisa ngeliat seumur hidup!" teriak Hesti. Fahira benar- benar kehabisan kesabaran. Dengan mata melotot Fahira mendorong bahu Hesti. Tidak masalah jika Hesti menghinanya, tapi tidak dengan Kamania.
Hesti pun segera masuk kamar dengan kesal. Ia menghentakkan kakinya ke lantai."Wanita nggak berpendidikan kayak dia ... berani nyicil rumah. Gaji dia berapa sih? Pasti dia sebenarnya jadi perempuan simpanan orang. Emang aku nggak tau apa, kalau gaji dia itu kecil. Seminggu paling hanya tiga ratus ribu. Masah ... bapak mertuaku itu juga! Ngapain sih, pake bayarin biaya operasi si Kamania itu! Biarin aja dia buta!" Hesti yang sedang kesal mulai bicara sendiri. Tiba-tiba pintu kamar terbuka. Gilang masuk dengan wajah lesu."Eh, Mas udah pulang," Sapa Hesti manja."Capek Mas, tolong buatkan minuman! " Gilang menepis tangan Hesti yang hendak menggelayut manja. Membuat Hesti kembali cemberut kesal."Ih, kan ada bi Atun," tolak Hesti sambil mengempaskan tubuhnya ke atas kasur."Dulu, Fahira selalu membuatkan mas minuman, meski ada bik Atun. Apa salahnya sih!" gerutu Gilang."Eh, Mas jangan s
Siang itu Endang tampak kesal. Ia terlihat cemberut. Pagi- pagi sekali Gilang dan Hesti pergi. Dan mereka pulang dengan membawa perabotan baru. Springbed dengan merk yang mahal, lemari, meja rias, nakas. Beberapa set sprei dan bedcover yang juga merk terkenal. Semua barang-barang lama dari kamar Gilang dipindahkan ke kamar kos yang memang belum sempat Endang isi dengan perabotan karena memang belum akan disewakan.. Dan Endang lebih kesal lagi, saat ia mengintip ternyata Hesti juga membeli satu set perhiasan. Dan perhiasan yang dibeli itu bukan perhiasan murah. Paling tidak Gilang menghabiskan 100 juta untuk membeli semuanya. Setelah para tukang yang membantu mengangkat lemari dan lainnya sudah pergi dan sudah mendapatkan upah dari Gilang, Endang segera menghampiri Gilang yang sedang duduk di sofa."Beli barang baru, kenapa nggak minta pendapat Ibu dulu?" Endang mulai mengintrogasi Gilang. Gilang menghela n
."Kamu ini ... sudah diberi kode jangan melawan, eeh malah kamu sengaja berteriak pada ibu. Ibu itu kalau sudah marah pasti begitu. Kamu diam saja,nanti juga reda sendiri."Gilang mulai menegur istrinya itu. Namun, Hesti hanya mencebikkan bibirnya."Ya ... habis aku emosi. Ibu membandingkan aku dengan Fahira. Jelas aku dan dia itu berbeda. Lagi pula yang aku minta bukan rumah mewah atau mobil yang harganya ratusan juta.""Ya sudah, lain kali kalau ibu marah, jangan dijawab seperti tadi. Untung bapak tadi cepat masuk, kalau bukan bapak mana mau ibu dengar," kata Gilang. Hesti hanya terdiam mendengar kan perkataan suaminya. Tunggu saja sampai aku bisa menguasai rumah ini nanti, ucap Hesti dalam hati. Sementara itu , Endang duduk terpekur di teras depan rumahnya. Ia memandangi deretan kamar- kamar kos. Halaman rumahnya begitu luas. Jika ia ingin menambah 5 atau 6 kamar kos lagi pa
Fahira sedang menemani Kamania belajar, saat pintu terdengar diketuk dari luar. Fahira segera membukanya dan ia hanya bisa menatap tak percaya saat melihat siapa yang datang."Bapak, Ibu? Ayo silakan masuk. Maaf kalau berantakan ... saya sekarang bekerja di rumah sambil menjaga Kamania," kata Fahira sedikit canggung"Tidak apa-apa, Fahira. Bapak kemari mengantarkan Ibu. Sejak kemarin, Ibu ingin bertemu kamu katanya."Endang dengan sedikit canggung melangkah masuk dan duduk di sofa. Ia menatap cucunya yang sedang duduk memegang buku bacaan dengan huruf braille."Nia, ini eyang uti," sapa Endang. Kamania tersenyum manis. Endang langsung memeluk cucunya itu."Maafkan Eyang Uti, selama ini eyang yang egois dan bersalah." Kali ini Endang tak kuasa menahan tangisnya. Runtuh sudah semua tembok kesombongan yang selama ini ia bangun dengan kokoh. Fahira yang terha
* Hesti dan Gilang pulang, sesaat setelah Ammar, Endang selesai makan malam."Dari mana kalian? Kok sampai malam begini baru pulang?Hesti kan sedang hamil besar, tidak baik keluar malam, " kata Ammar sambil melirik belanjaan di tangan Hesti."Belanja keperluan bayi , Pak. Hesti sebentar lagi sudah mau lahira," jawab Gilang.“Kalian duduk dulu, Bapak sama Ibu mau bicara," kata Ammar. Endang sebenarnya sudah ingin menyemprot Hesti dengan makiannya. Tapi, ia ingat pembicaraan dengan suaminya siang tadi. Ia tidak ingin membuat suaminya kecewa. Sehingga ia memilih diam dan menahan sedikit emosinya."Menurut perkiraan dokter, kapan Hesti lahiran?" tanya Ammar."Kami baru saja periksa juga, Pak. Masih dua bulan lagi. Minggu depan kan, tujuh bulanan. Oiya, anaknya ternyata kembar , Pak." Gilang menjawab dengan bersemangat."Hmmm, Bapak d
Seperti janjinya, Ammar membelikan Gilang sebuah rumah. Sebuah rumah di perumahan elite yang cukup besar. Lengkap dengan furniture dan barang-barang lain. Ammar merasa tidak rugi mengeluarkan uang agak banyak untuk Gilang dan Hesti. Tidak mengapa, ini adalah bantuan terakhir yang bisa dia berikan kepada putra tunggalnya itu. Sebab, jika mereka sudah pindah nanti, Gilang benar-benar harus mandiri. Sementara itu, sejak Ammar memutuskan untuk mereka pindah, Hesti jarang keluar kamar. Makan pun ia mau delivery lewat aplikasi. Sama sekali tidak mau makan masakan yang ada. Endang sebetulnya kesal dengan tingkah Hesti, dalam hati ia sudah geregetan ingin mengomel. Namun ia tahan. Jika sudah begitu, Endang akan mengobrol dengan anak- anak kos atau bik Atun. Ammar pun tidak mau menegur kelakuan menantunya itu. "Biarkan saja mereka menikmati. Sebentar lagi, mereka baru akan menjalani h
Hesti sudah berada di ruang operasi saat Iman dan Masayu datang bersama Gillang Ammar dan Endang terlihat sedang duduk di depan ruang operasi sambil mengobrol. Iman dan Masayu segera menyapa dan mencium tangan Ammar dan Endang. Iman dan Masayu memang sangat menghargai Ammar dan Endang. Karena jika dilihat usia mereka hampir sama dengan almarhum kedua orang tua mereka."Kenapa Hesti harus operasi segala, Pak, Bu? Apa dia yang meminta?" tanya Iman.Endang dan Ammar saling pandang. Gilang sudah tampak ketakutan." Begini, nak Iman. Sebelumnya, Bapak minta maaf. Hesti dan Gilang bertengkar, entah apa masalahnya. Sehingga, Gilang kelepasan menampar Hesti. Maaf sebelumnya, mungkin dipicu dari pertengkaran dengan Ibunya. " Iman mengerutkan dahinya tak mengerti."Bertengkar dengan Ibu? Saya tidak mengerti Pak, Bu," kata Iman sambil mengerutkan dahinya. Ammar pun menjelaskan