Pov : HananPernikahan digelar sederhana di rumah Wita. Dia memakai kebaya warna ungu muda, couple dengan dress Zahra, sementara aku mengenakan baju pengantin dengan jas warna senada. Wita tampak sangat berbeda hari ini, begitu anggun dan cantik dengan kebaya itu. Cocok sekali dengan badan dan riasan di wajahnya. Senyum tipisnya melengkung di kedua sudut bibir menambah kecantikan yang dia miliki. Semua sudah hadir, orang tua Wita, saudara-saudaranya pun papa dan Anjas. Anjas datang sendiri dua jam yang lalu bersama papa, tanpa Syifa. Adik perempuanku itu memang keras kepala."Pengantin sudah hadir, wali, saksi dan mahar pun sudah ada. Bisa kita mulai sekarang acara akadnya, Mas?" tanya penghulu sembari tersenyum ke arahku. "Bisa, Pak," jawabku mantap. Kulirik Wita yang menatapku beberapa saat lalu kembali menunduk dalam diam. Aku yakin ada banyak doa yang kini sedang dia panjatkan."Mas Hanan sudah mempersiapkan qabulnya, kan? Sudah hafal?" tanya penghulu lagi. Aku pun mengangguk
POV : Hanan Papa tampak menelepon seseorang. Apa mungkin kekhawatiranku benar, jika papa lupa membawa laptopnya yang berisi rekaman cctv itu? "Tunggu lima menit lagi, orang suruhan saya akan datang. Kalian bisa lihat dan dengar sendiri, jika anak saya tak bersalah dalam hal ini. Biar semua orang tahu, jika kalian memang licik dan tak tahu malu!" Bentak papa kemudian. Berdebar sekali rasanya menunggu orang suruhan papa datang karena suasana makin nggak jelas. Para tamu banyak yang keluar rumah dan mulai malas untuk mengikuti rangkaian acara selanjutnya. Calon mertua sudah berusaha menenangkan, aku dan papa pun melakukan hal yang sama namun tetap saja mereka justru balik mencibir dan bilang jika kami keluarga penuh drama. "Maaf, Mas. Saya harus nunggu berapa lama? Sedangkan hari ini jadwal saya masih padat. Sudah banyak waktu terbuang untuk akad di sini, kasihan pengantin lain kalau harus menunggu lebih lama lagi," ucap penghulu sontak membuat para tamu makin riuh. "Kalau bapak ma
Pov : WitaKini aku begitu bersyukur atas semua nikmat yang DIA kirimkan untukku dan Zahra. Akhirnya kami memiliki pemimpin dalam keluarga. Dia yang penuh kasih, perhatian, lembut dan tanggung jawab. Dia yang mencintai kami dengan cara sederhana.Ya ... aku paham, Zahra dan Mas Hanan memang bukan mahram. Nanti, saat dia sudah remaja dan dewasa juga akan aku ajari batasan-batasan dia dengan papanya. Aku tak akan menghalalkan sesuatu yang memang diharamkan.Aku hanya ingin dia bisa merasakan kasih sayang seorang laki-laki yang disebut papa, sosok yang selama ini tak pernah dimilikinya. Dia memiliki fiqur itu, hanya saja laki-laki itu tak menjalankan perannya dengan baik. Papa ... begitulah Mas Hanan membahasakan dirinya. Zahra pun mengikuti perintah Mas Hanan. Tak hanya aku, kulihat Zahra juga tampak begitu bahagia.Senyum gadis kecilku itu mengembang setekah Mas Hanan menyelesaikan qabulnya dengan sempurna. Mungkin karena dia tahu akan mendapatkan pengganti seorang ayah yang InsyaAllah
Pov : ArisGagal! Semua rencanaku untuk mendapatkan Wita kembali benar-benar gagal total. Aku sudah berjuang semaksimal mungkin untuk berubah. Salah satunya dengan tak melulu memikirkan kebutuhan Mbak Yuli dan keponakan-keponakanku.Tak hanya itu saja, aku juga sudah membeli motor matic baru bahkan sudah kredit rumah minimalis agar lebih u mandiri dan tak tinggal di rumah orang tua. Aku pun berusaha perhatian dan loyal pada Zahra, semua kulakukan agar mereka mau kembali. Tapi nyatanya sia-sia belaka. Semua hancur, bahkan saat aku berencana untuk membujuk Wita dan Zahra kembali padaku di hari pernikahannya pun gagal juga. Gara-gara Ulya, rencana terakhirku untuk memisahkan Wita dan Pak Hanan berantakan. Perempuan itu ternyata cukup peka jika aku akan melakukan berbagai cara untuk merebut Wita kembali. "Ris, rumah mbak sudah terjual. Tinggal motor ini saja yang tersisa, usaha pun bangkrut. Sepertinya nggak cocok usaha mungkin Mbak harus kerja saja untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Ta
Pov : Wita Capek dan butuh istirahat yang cukup untuk mengembalikan stamina. Setidaknya itu yang kurasakan detik ini pasca lima hari liburan ke Jogja. Tak hanya aku namun juga Mas Hanan dan Zahra. Apalagi besok hari Rabu, Zahra mulai sekolah lagi karena dua hari lalu sudah izin tak masuk. Liburan kali ini adalah salah satu liburan yang begitu mengesankan dan membahagiakan dalam hidupku. Meski harus curi-curi waktu agar bisa menikmati waktu berdua, setidaknya harus menunggu Zahra lelap dalam tidurnya, namun aku dan Mas Hanan begitu menikmati momen bahagia ini. Kami menikmati semilir angin pantai Parang Tritis yang sejuk, debur ombak di laut lepas seolah melepaskan segala beban yang menghimpit hati dan cukup menyesakkan. Malamnya menikmati bising Malioboro, orang-orang yang lalu lalang, duduk santai di bangku-bangku taman yang tersedia sepanjang jalan sembari menikmati angin malam dan kerlip bintang. Menikmati malam dengan aneka jajanan dan kulineran yang dijajakan di sana. Tak lu
Pov : WitaKabar membahagiakan itu benar-benar datang. Dokter bilang aku positif hamil. Janin yang ada dalam kandunganku kini berusia enam minggu. Sebuah kabar yang begitu membahagiakan tak hanya untukku dan Mas Hanan, tapi juga untuk Zahra yang memang sudah ingin memiliki adik agar bisa diajak bercanda, katanya. Ibu dan bapak pun terdengar mengucap syukur atas kehadiran calon cucu di rahimku. Papa mertua tak kalah bahagianya, bahkan dia sudah mengabarkan calon cucunya di grup w******p keluarga. Meski mereka banyak yang tak menyukai kehadiranku, namun di depan papa, mereka semua berusaha baik-baik saja bahkan pura-pura menyambutku dengan tangan terbuka.Padahal kutahu, ada kecewa dalam hati mereka saat tahu akulah perempuan pilihan Mas Hanan untuk dijadikan pendamping hidupnya. Namun tak apa. Tak terlalu peduli juga, yang penting Mas Hanan dan papa menyayangiku dan tak pernah menganggap kastaku berbeda. Aku pun dimasukkan papa ke grup keluarga besar itu, hanya saja aku tak ikut nimbru
Pov : Wita "Mas, aku boleh ikut ke kantor nggak?" tanyaku pada Mas Hanan yang masih menikmati roti panggang yang kuhidangkan beberapa menit lalu. Mas Hanan menghentikan kunyahannya beberapa saat lalu menatapku lekat. Aku hanya meringis kecil, menarik kursi makan lalu mendudukinya. "Yakin mau ikut ngantor?" tanyanya kemudian. Aku mengangguk pelan. "Memangnya nggak mual? Dokter juga bilang nggak boleh capek-capek, kan? Nanti kalau pusing gimana? Walau bagaimanapun tetap enak di rumah kalau buat santai." Mas Hanan kembali menjelaskan. Dia terlalu mengkhawatirkan keadaanku. "Nggak capek-capek kok, Mas. Cuma mau lihat-lihat suasana kantor aja sih. Sudah lama nggak ke sana. Aku suntuk di rumah terus." Kulihat Mas Hanan sedikit berpikir, tak selang lama dia pun tersenyum menatapku sambil menganggukkan kepala. Diusapnya puncak kepalaku perlahan. "Oke kalau begitu boleh ikut, asal nggak capek-capek. Kalau sudah mulai mual-mual tiduran saja, ya?" Aku pun mengiyakan. Menuruti semua perint
"Syifa! Keterlaluan kamu kalau ngomong. Nggak ada sopan-sopannya. Wita ini kakak ipar kamu!" Bentak Mas Hanan. Seketika semua diam. Perlahan para karyawan mundur satu persatu. Mereka cukup kaget mendengar bentakan Mas Hanan, karena memang kata Mbak Ulya, Mas Hanan hampir tak pernah marah dengan karyawan. Dia tipe atasan yang ramah, penhertian dan humble. Jika kesal, dia mendinginkan pikiran ke cafe langganan tak jauh dari kantor atau tiduran di ruang kerjanya sampai dia bisa mengontrol emosinya lagi.Mbak Yuli buru-buru mengepel lantai kembali. Lantai yang tadi cukup licin dengan sabun pembersih, dia pel berulang kali hingga tak licin seperti sebelumnya. "Jangan-jangan kamu yang sengaja menumpahkan air pel itu ke lantai, supaya Wita kepleset dan keguguran. Iya?" tuduh Mas Hanan lagi. Aku pun menoleh ke arahnya yang mulai tersulut emosi. Aku memintanya untuk beristighfar. Tak enak jika didengar banyak orang apalagi karyawannya yang notabene tak pernah melihat dia marah. Kulihat be