Share

Anak Kecil Pun Mengerti

Dari kejauhan, Ramdani terus memperhatikan Yuni yang tengah menyuapi Rion. Sesekali istrinya itu tertawa saat melihat tingkah menggemaskan Rion.

Selama ini Ramdani sadar, kalau dia sama sekali tidak pernah menemani Yuni menyuapi, bahkan mengajaknya pergi keluar bertiga bersama anaknya, dia terlalu sibuk dengan dunianya.

Pergi pagi, pulang malam dan ketika berada di rumah, dia habiskan untuk kembali bekerja atau beristirahat, tanpa mempedulikan istri maupun anaknya. 

Bahkan, Ramdani sama sekali tidak pernah mendengarkan keluh kesah istrinya, dia selalu berpikir, bahwa rumah dan uang bulanan yang selalu dia berikan pada Yuni cukup.

Padahal dibalik itu semua, ada banyak hal yang tidak Ramdani ketahui mengenai istri dan bagaimana Ibunya memonopoli semuanya.

"Mamah, Ion udah kenyang," ucap Rion sambil menjulurkan tangan, meminta air minum yang ada di gelas.

"Tempat minum Ion mana?" tanya Rion saat dia tidak melihat tempat minum yang biasanya dia pakai.

"Mamah lupa, kalau tempat minum Ion rusak, kemarin jatuh. Mamah, belum sempat membelinya lagi."

Ramdani menunduk dalam, ditatapnya sepatu mengkilap yang dia kenakan. Selama ini, dia cukup abai, bahkan dalam hal sekecil apapun itu. 

Melihat Rion yang terdiam, tidak ingin meminum air yang ada di dalam gelas, hal itu membuat Yuni gemas.

"Besok Mamah suruh Mbok Darmi buat beli, nanti Rion bisa minum lagi di tempatnya."

Rion yang sempat menunduk sambil mengerutkan, lantas mendongak, menatap Ibunya, kedua sudut bibirnya tertarik ke atas, hingga matanya sedikit melengkung, membentuk bulan sabit.

"Yuni!"

Di saat Yuni dan Rion tengah bercanda, mereka mendengar sebuah panggilan dari belakang.

Sontak, keduanya menoleh, menatap Ramdani yang tengah melangkah ke depan keduanya.

Biasanya, Rion maupun Yuni akan begitu antusias ketika melihat apalagi mendengar Ramdani memanggil keduanya, karena bagi mereka itu merupakan hal yang langka.

Namun, berbeda dengan kali ini, Yuni maupun Rion seakan-akan acuh, mereka kembali asyik dengan dunia masing-masing.

"Rion, lagi main sama, Mamah?" tanya Ramdani ketika dia mendaratkan bokongnya di samping Yuni.

"Iya, Ion lagi sama Mamah. Ion, sayang, Mamah."

Rion naik ke pangkuan Yuni, memeluk perut Yuni yang semakin membesar, dia menempelkan telinganya.

"Mamah, dedek bayinya kapan lahir? Ion, mau main sama dedek."

Yuni mengelus perutnya dengan gerakan pelan, hal sederhana itu mampu membuat Rion kembali tersenyum.

Anak laki-laki itu begitu antusias, ketika Ibunya membahas tentang calon adik bayinya. Rion begitu menginginkan seorang teman.

"Rion, nanti kalau punya adek bayi, nanti mainnya kita bisa berempat."

"Papah, gak pernah ngajak main Ion, Papah sibuk," jawab Rion dengan cepat. Bahkan, anak sekecil dia pun mampu memahami bagaimana kebiasaan Ayahnya.

"Ramdani!"

Belum sempat Ramdani menjawab, tiba-tiba terdengar seseorang yang memanggilnya dengan lantang.

Ramdani dan Yuni langsung menoleh, saat seseorang tersebut menghampiri ke arah keduanya.

Seketika saja, Yuni langsung memalingkan wajah ke arah lain, dia begitu malas berdebat dengan orang yang berdiri di samping suaminya, karena bagaimanapun itu, dia pasti akan kalah, sang suami lebih memilih wanita itu dibandingkan dengan dirinya. 

"Ada apa, Bu? Jangan teriak-teriak seperti itu, kasian Rion, dia pasti kaget."

"Iya-iya, Ibu ke sini mau minta makan."

Mendengar hal tersebut, Ramdani langsung menautkan kedua alisnya.

"Ibu, gak masak?" tanya Ramdani dengan santainya.

"Ibu, males masak, males beli juga, uangnya abis pake belanja barang limited edition," jawab Dona tanpa mementingkan perasaan menantunya.

Karena baginya, kebahagian diri sendiri adalah yang paling utama, dibandingkan dengan kebahagiaan orang lain.

Ramdani menoleh, menatap istrinya yang sama sekali tidak menghiraukannya maupun dengan Ibunya, dia lebih asyik bercengkrama dengan Rion.

Begitupun dengan sebaliknya, Ibunya tidak menyapa maupun menghiraukan menantu dan cucu satu-satunya.

"Bu, kenapa malah lebih pentingin beli barang branded di bandingkan makan."

Mendengar ucapan anaknya, Dona langsung meradang, dihempaskannya kipas yang sedari tadi dia pegang.

"Gini, nih, kalau istrinya pelit, pasti suaminya juga ikut pelit, gara-gara dipengaruhi sama istrinya."

Yuni tidak kaget lagi ketika mendengar ucapan Ibu mertuanya, dia sudah sering mendapatkan perlakuan buruk seperti itu.

"Bu, bukan begitu. Tolong, jangan bawa-bawa Yuni di sini. Dia tidak tahu apa-apa."

"Memangnya kenapa? Benarkah, kalau semua ini gara-gara Yuni! Dia sering sekali mempengaruhi kamu, Ramdani!" tuduh Dona, bahkan sampai menunjuk Yuni menggunakan telunjuknya.

"Bu!" hardik Ramdani sambil bangkit dari duduk.

Dona yang melihat tingkah anaknya, langsung membuka matanya lebar-lebar, begitupun dengan mulutnya membulat sempurna.

Selama ini, Ramdani tidak pernah membengkaknya ataupun melawan perkataannya, tetapi kali ini berbeda.

Dona mengerucut bibirnya, lalu melangkah ke hadapan Yuni dan menatapnya dengan tajam.

Akan tetapi, Yuni sama sekali tidak menghiraukan itu semua, dia sudah tidak peduli dengan apa yang Ibu mertuanya katakan.

Sebelum Ibunya kehilangan kendali, Ramdani sudah lebih dulu menarik tangan Yuni, mengajak istrinya pergi, meskipun sempat menolak, tetapi pada akhirnya Yuni menurut juga.

Ketika sudah sedikit menjauh dari Dona, Yuni langsung menghempaskan tangan Ramdani yang mencengkeramnya.

"Ngapain kamu lakuin itu sama aku? Bukannya biasanya kamu membiarkannya, Mas." Yuni membuang pandangan ke arah lain, bibirnya menyeringai. "Tumben banget, kamu bersikap seperti itu sama aku. Nyari simpati atau apa, Mas?"

Ramdani merasa dadanya tiba-tiba sesak ketika mendengar ucapan Yuni, hatinya bahkan seperti teriris pisau tajam, saat sang istri yang biasanya dia abaikan, tiba-tiba menyuarakan isi hatinya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status