Dari kejauhan, Ramdani terus memperhatikan Yuni yang tengah menyuapi Rion. Sesekali istrinya itu tertawa saat melihat tingkah menggemaskan Rion.
Selama ini Ramdani sadar, kalau dia sama sekali tidak pernah menemani Yuni menyuapi, bahkan mengajaknya pergi keluar bertiga bersama anaknya, dia terlalu sibuk dengan dunianya.
Pergi pagi, pulang malam dan ketika berada di rumah, dia habiskan untuk kembali bekerja atau beristirahat, tanpa mempedulikan istri maupun anaknya.
Bahkan, Ramdani sama sekali tidak pernah mendengarkan keluh kesah istrinya, dia selalu berpikir, bahwa rumah dan uang bulanan yang selalu dia berikan pada Yuni cukup.
Padahal dibalik itu semua, ada banyak hal yang tidak Ramdani ketahui mengenai istri dan bagaimana Ibunya memonopoli semuanya.
"Mamah, Ion udah kenyang," ucap Rion sambil menjulurkan tangan, meminta air minum yang ada di gelas.
"Tempat minum Ion mana?" tanya Rion saat dia tidak melihat tempat minum yang biasanya dia pakai.
"Mamah lupa, kalau tempat minum Ion rusak, kemarin jatuh. Mamah, belum sempat membelinya lagi."
Ramdani menunduk dalam, ditatapnya sepatu mengkilap yang dia kenakan. Selama ini, dia cukup abai, bahkan dalam hal sekecil apapun itu.
Melihat Rion yang terdiam, tidak ingin meminum air yang ada di dalam gelas, hal itu membuat Yuni gemas.
"Besok Mamah suruh Mbok Darmi buat beli, nanti Rion bisa minum lagi di tempatnya."
Rion yang sempat menunduk sambil mengerutkan, lantas mendongak, menatap Ibunya, kedua sudut bibirnya tertarik ke atas, hingga matanya sedikit melengkung, membentuk bulan sabit.
"Yuni!"
Di saat Yuni dan Rion tengah bercanda, mereka mendengar sebuah panggilan dari belakang.
Sontak, keduanya menoleh, menatap Ramdani yang tengah melangkah ke depan keduanya.
Biasanya, Rion maupun Yuni akan begitu antusias ketika melihat apalagi mendengar Ramdani memanggil keduanya, karena bagi mereka itu merupakan hal yang langka.
Namun, berbeda dengan kali ini, Yuni maupun Rion seakan-akan acuh, mereka kembali asyik dengan dunia masing-masing.
"Rion, lagi main sama, Mamah?" tanya Ramdani ketika dia mendaratkan bokongnya di samping Yuni.
"Iya, Ion lagi sama Mamah. Ion, sayang, Mamah."
Rion naik ke pangkuan Yuni, memeluk perut Yuni yang semakin membesar, dia menempelkan telinganya.
"Mamah, dedek bayinya kapan lahir? Ion, mau main sama dedek."
Yuni mengelus perutnya dengan gerakan pelan, hal sederhana itu mampu membuat Rion kembali tersenyum.
Anak laki-laki itu begitu antusias, ketika Ibunya membahas tentang calon adik bayinya. Rion begitu menginginkan seorang teman.
"Rion, nanti kalau punya adek bayi, nanti mainnya kita bisa berempat."
"Papah, gak pernah ngajak main Ion, Papah sibuk," jawab Rion dengan cepat. Bahkan, anak sekecil dia pun mampu memahami bagaimana kebiasaan Ayahnya.
"Ramdani!"
Belum sempat Ramdani menjawab, tiba-tiba terdengar seseorang yang memanggilnya dengan lantang.
Ramdani dan Yuni langsung menoleh, saat seseorang tersebut menghampiri ke arah keduanya.
Seketika saja, Yuni langsung memalingkan wajah ke arah lain, dia begitu malas berdebat dengan orang yang berdiri di samping suaminya, karena bagaimanapun itu, dia pasti akan kalah, sang suami lebih memilih wanita itu dibandingkan dengan dirinya.
"Ada apa, Bu? Jangan teriak-teriak seperti itu, kasian Rion, dia pasti kaget."
"Iya-iya, Ibu ke sini mau minta makan."
Mendengar hal tersebut, Ramdani langsung menautkan kedua alisnya.
"Ibu, gak masak?" tanya Ramdani dengan santainya.
"Ibu, males masak, males beli juga, uangnya abis pake belanja barang limited edition," jawab Dona tanpa mementingkan perasaan menantunya.
Karena baginya, kebahagian diri sendiri adalah yang paling utama, dibandingkan dengan kebahagiaan orang lain.
Ramdani menoleh, menatap istrinya yang sama sekali tidak menghiraukannya maupun dengan Ibunya, dia lebih asyik bercengkrama dengan Rion.
Begitupun dengan sebaliknya, Ibunya tidak menyapa maupun menghiraukan menantu dan cucu satu-satunya.
"Bu, kenapa malah lebih pentingin beli barang branded di bandingkan makan."
Mendengar ucapan anaknya, Dona langsung meradang, dihempaskannya kipas yang sedari tadi dia pegang.
"Gini, nih, kalau istrinya pelit, pasti suaminya juga ikut pelit, gara-gara dipengaruhi sama istrinya."
Yuni tidak kaget lagi ketika mendengar ucapan Ibu mertuanya, dia sudah sering mendapatkan perlakuan buruk seperti itu.
"Bu, bukan begitu. Tolong, jangan bawa-bawa Yuni di sini. Dia tidak tahu apa-apa."
"Memangnya kenapa? Benarkah, kalau semua ini gara-gara Yuni! Dia sering sekali mempengaruhi kamu, Ramdani!" tuduh Dona, bahkan sampai menunjuk Yuni menggunakan telunjuknya.
"Bu!" hardik Ramdani sambil bangkit dari duduk.
Dona yang melihat tingkah anaknya, langsung membuka matanya lebar-lebar, begitupun dengan mulutnya membulat sempurna.
Selama ini, Ramdani tidak pernah membengkaknya ataupun melawan perkataannya, tetapi kali ini berbeda.
Dona mengerucut bibirnya, lalu melangkah ke hadapan Yuni dan menatapnya dengan tajam.
Akan tetapi, Yuni sama sekali tidak menghiraukan itu semua, dia sudah tidak peduli dengan apa yang Ibu mertuanya katakan.
Sebelum Ibunya kehilangan kendali, Ramdani sudah lebih dulu menarik tangan Yuni, mengajak istrinya pergi, meskipun sempat menolak, tetapi pada akhirnya Yuni menurut juga.
Ketika sudah sedikit menjauh dari Dona, Yuni langsung menghempaskan tangan Ramdani yang mencengkeramnya.
"Ngapain kamu lakuin itu sama aku? Bukannya biasanya kamu membiarkannya, Mas." Yuni membuang pandangan ke arah lain, bibirnya menyeringai. "Tumben banget, kamu bersikap seperti itu sama aku. Nyari simpati atau apa, Mas?"
Ramdani merasa dadanya tiba-tiba sesak ketika mendengar ucapan Yuni, hatinya bahkan seperti teriris pisau tajam, saat sang istri yang biasanya dia abaikan, tiba-tiba menyuarakan isi hatinya.
Akhirnya Ramdani bisa menghela napas lega, kala pekerjaannya yang akhir-akhir ini begitu menumpuk, bisa selesai juga hanya dalam hitungan hari.Bahkan, Ramdani sampai rela kehilangan hari liburnya, demi bisa menyelesaikan semua pekerjaannya.Ramdani berambisi untuk bisa menjadi yang terbaik, sehingga dia bisa saja naik jabatan kapan saja. Soalnya beberapa waktu lalu, bosnya pernah bilang, akan menaikan jabatan seseorang yang bekerja dengan cukup baik.Maka dari situlah, Ramdani mulai memiliki keinginan untuk bisa menjadi yang terbaik diantara teman-teman yang lainnya, sekaligus memperlihatkan jati dirinya yang sebenarnya."Wah, udah selesai, nih, Pak!" sahut Anto--salah satu rekan kerja Ramdani yang cukup dekat dengannya.Ramdani yang tengah memejamkan mata sambil bersandar pada kursi, lantas mengangguk pelan."Iya, nih, udah selesai.""Wih, enak banget!"Tanpa diduga-duga, Anto langs
"Jangan asal bicara kalian, aku dan Pak Dandy sama sekali tidak berselingkuh!" hardik Yuni dengan kedua bola mata membulat sempurna.Dona menyeringai, dia menatap sebuah foto hasil jepretannya yang cukup bagus tersebut.Bila foto tersebut di kirimkan pada Ramdani, Dona yakin kalau anak laki-lakinya itu akan murka dan sedikit meragukan ketulusan hati Yuni.Terlebih lagi, mungkin hubungan keduanya akan kembali renggang, sehingga niat buruk yang selama ini Dona susun, akan bisa berjalan dengan lancarDona tidak sabar membayangkan, di saat Yuni dan Ramdani berpisah untuk selamanya, sehingga Dona bisa menikahkan anaknya dengan Sarah--perempuan yang cukup kaya raya."Asal bicara katamu? Jelas-jelas aku melihat perselingkuhan kalian di depan mata kepalaku sendiri.""Bu, aku tidak berselingkuh! Pak Dandy datang untuk menengok anakku. Apa Ibu tidak bisa me
Sebenarnya Yuni ingin sekali menolak keinginan Dandy untuk datang ke rumahnya, hanya saja dia merasa tidak enak.Masa ada orang yang menengok anaknya, dia malah menolaknya hanya karena alasan tidak nyaman.Jadi, mau tidak mau, Yuni pun mengiyakan permintaan Dandy, meskipun dia belum sempat memberitahu suaminya.[Baik, Pak.][Terima kasih, Bu. Kalau boleh tahu, apa ada yang sedang Ibu inginkan?]Sengaja Yuni tidak membalas pesan Dandy, dia takut kalau terus berhubungan dengan pria itu, justru akan menjadi boomerang bagi dirinya sendiri.Maka dari itu, Yuni lebih memilih untuk mematikan jaringan data dan menyimpan gawainya ke dalam saku celana.***Sore hari sudah tiba, kala itu Yuni tengah berada di luar rumah, dia tengah bermain bersama kedua orang anaknya, lebih tepatnya memperhatikan Rion yang tengah belajar membawa
Entah bagaimana jadinya, tetapi semenjak saat itu, Ibu mertua Yuni jadi sering bertukar kabar dengan Sarah.Anehnya lagi, perempuan bernama Sarah itu malah meresponnya dengan baik, seperti hari ini, di mana ketika Yuni baru saja pulang dari rumah tetangganya, mengecek usaha yang selama ini dia dan ibu-ibu lainnya kembangkan.Perempuan itu sudah berada di rumahnya sambil mengobrol dengan Ibunya. Sementara itu, Yuni belum tahu bagaimana kabar Monika.Namun, yang pasti Yuni yakin, kalau Monika tidak tinggal seorang diri di luar sana, pasti dia tinggal bersama seseorang atau mungkin menyewa tempat yang lebih nyaman."Yuni, tolong ambilkan cemilan dan minuman, kebetulan tadi Mbok Darmi sudah Ibu suruh beli sayuran dan buah-buahan."Dona langsung memerintahkan kepada Yuni, ketika melihat batang hidung perempuan itu muncul di hadapannya."Bu, aku baru saja pul
Yuni sempat terdiam selama beberapa saat, sebelum akhirnya mengangguk pelan.Ramdani sedikit khawatir dengan Yuni, takut istrinya itu berpikir yang tidak-tidak. Apalagi ketika melihat reaksi Yuni yang tidak bisa Ramdani baca sedikitpun.Membuat Ramdani semakin panik saja. Bahkan, dia sampai mengigit bibir bawahnya dengan cukup keras dengan pandangan yang tidak bisa lepas dari Yuni."Ah, hanya mantan saja! Itu hanya masa lalu saja, tidak ada yang perlu aku khawatirkan."Yuni tersenyum lebar, kemudian menghampiri Ramdani, memeluk tangan suaminya dengan erat.Di saat itu, arah pandangan Dona langsung mengikuti Yuni, kedua bola matanya membulat."Aku tidak cemburu, aku yakin Mas Ramdani setia denganku," sambung Yuni.Melihat reaksi istrinya yang begitu menggemaskan, Ramdani langsung mengusap puncak kepala Yuni, kemudian mendaratkan kecu
Ketika sudah dekat dengan rumah, Titi segera mengucurkan beberapa tetes air ke matanya, dia hendak kembali berakting di hadapan Ramdani dan Yuni.Setelah itu, dia segera membuang botol berukuran kecil itu ke selokan. Sebelum itu, Dona sempat memastikan ke sekeliling, takut ada orang yang memergoki aksinya."Ya ampun, Bu Dona, kenapa nangis?"Dona langsung tersenyum tipis, kala melihat dua orang ibu-ibu menghampiri dirinya.Sudah saatnya Dona melancarkan aksinya, kalau dia akan berpura-pura bersedih, mengenai Monika yang pergi dari rumah."Monika, Bu." Dona terisak, kemudian luruh ke lantai, membuat kedua orang ibu-ibu itu begitu panik."Ya ampun, kenapa dengan Monika, Bu?""Monika, pergi dari rumah, Bu. Dia tidak ingin pulang lagi, saya tidak tahu dia akan pergi ke mana."Kedua ibu-ibu melayangkan tatapan sendu pada D