Share

2. Sayur Basi

"Bu ... Nia mau berangkat!" teriak Nia dari ruang tengah.

Aku tegopoh menyajikan bekal untuknya. Bersyukur, bubur semalam masih tersisa banyak. Sebetulnya hatiku nyeri melihat Nia tak begitu berselera untuk makan. 

"Kayak mau mual, Bu. Nasinya lembek," katanya, saat makan malam. 

"Ih, Nia ngga tau, ya? Ini tuh makanan orang kaya." Aku tertawa ringan, menutupi kepedihan. Tak tega melihat raut mukanya yang berusaha menelan.

Sedangkan pagi tadi ia tak makan, katanya kenyang, saat melihatku menyuguhkan bubur itu kembali. Seandainya bubur dengan topping suwiran daging ayam, potongan telur dadar dan kacang, mungkin Nia lebih suka.

"Ini bekalnya. Hati-hati, Nak!"

Aku menyodorkan ragu kotak bekalnya. Gadisku itu menerima dengan senang. Namun, raut mukanya meredup saat membuka kotak bekal.

"Ini lagi, Bu?" tanyanya lirih.

Aku tersenyum. Lalu membungkuk, menyejajari tinggi tubuhnya. 

"Ini tuh makanan Nabi Nuh dan beberapa orang yang berada di kapalnya dulu, saat dilanda musibah. Masak Nia ngga pengen cobain makanan Nabi?" ujarku mencoba merayu.

Ia terdiam sejenak. "Ohh ... makanan Nabi. Kalo gitu Nia harus suka. Nia paksa makan deh." Ia tersenyum, mengangguk-anggukkan kepala dengan lugu.

Ya Allah, tak masalah jika aku harus kelaparan. Namun, jangan biarkan anak-anakku juga merasakan. 

Aku menatapnya nanar. Tanpa sadar, permukaan pipi terasa basah. Tak tega jika Nia harus memaksakan makanan yang tidak ia sukai.

Aku terkesiap saat tersadar tangan mungilnya menghapus air mata. "Bu ... Ibu pasti nggak punya uang, ya? Nggak papa kok, Nia sekarang suka. Kan, kata Ibu juga bubur itu makanan orang kaya," ujarnya lugu. Hatiku semakin nyeri.

Nia berlari kecil menuju dapur. Lalu kembali dengan membawa bungkusan plastik di tangannya.

"Itu apa?" tanyaku.

"Garem, Bu. Biar makin enak nanti makannya. Nia berangkat, ya! Assalamualaikum!" Ia berlalu setelah mencium tanganku, tanpa memberi kesempatan untukku menimpali ucapannya.

Nia memang suka makanan sedikit asin. Ia akan makan dengan lahap bila aku memasak ikan asin dengan sambal terasi tak terlalu pedas. 

Bahkan mungkin Nia lupa rasanya daging ayam. Saking lamanya kami tidak lagi memakannya. Yang kuingat, terakhir kami makan daging ayam saat ada hajatan tetangga empat bulan lalu. Itu pun hanya sepotong.

Beberapa waktu lalu, Bu Ramlah memberiku ceker ayam yang sudah menghitam. Baunya menyengat. Katanya itu stok miliknya di kulkas. Aku memang orang miskin, tetapi aku juga punya rasa. Makanan itu tak layak, mungkin sudah terlalu lama hingga membusuk. Tidak ada seorang ibu yang dengan tega memberi anaknya makanan busuk. Tanpa sepengetahuan Bu Ramlah, aku pun membuangnya.

****

Sebelah rumah ramai dengan aktivitas orang-orang yang tengah membuat kandang untuk ternak kambing, membuat Ica tidak bisa tertidur.

"Ibu, Nia pulang!" seru Nia dari luar rumah. Ia baru saja pulang sekolah.

"Bu, itu di sebelah rumah ada apa? Kok, rame-rame?" tanyanya sembari melepas seragam sekolah.

"Itu buat kandang kambing."

Matanya membulat. "Jadi kita bakal tetanggaan sama kambing?" tanyanya polos. 

Aku tergelak mendengarnya. Tawaku terhenti saat melihat kotak bekal yang tadi ia bawa. Aku membukanya, isi di dalam kotak tersebut tandas. Kini, tatapanku beralih pada Nia.

"Habis, Bu. Nia bisa ngabisin. Soalnya juga Nia lapar hehe," katanya tanpa kutanya.

Sungguh, hatiku tercabik. Memang Nia tak pernah protes ataupun menuntut makanan enak. Namun, aku yakin, ia pasti ada rasa ingin saat semua kawannya jajan.

"Jagain adik dulu, Ibu mau ke dapur," ujarku. Lalu melangkah menuju dapur membawa kotak bekal Nia untuk kucuci.

Untuk saat ini, aku hanya mempunyai uang tujuh ribu. Tidak cukup untuk membeli beras. Mataku nanar menatap panci yang masih berisi satu sendok bubur, yang kusisakan untuk makan siang Nia.

Tempe goreng habis. Hanya tinggal kacang panjang yang sudah patah-patah, belum kumasak.

Teriakan Nia membuatku terkesiap. Aku menyusulnya, rupanya ada Bu Ramlah. 

"As, ini ada sayur nangka buat kamu." Bu Ramlah menyodorkan mangkuk yang cukup besar padaku. Isinya dipenuhi dengan sayur nangka muda dengan potongan tahu.

Aku menerimanya dengan senang. Bersyukur, ada rezeki tak terduga. Setidaknya untuk menunda lapar. 

"MasyaAllah ... terima kasih, Bu."

"Bahul potong kambing untuk selametan, sebagian dibagikan kepada tetangga. Sebagai rasa syukur sebentar lagi ternak kambingnya itu berjalan. Jadi sayang, gak kumakan sayur nangka itu." Bu Ramlah bercerita, aku menanggapi dengan anggukan ringan.

"Mangkuknya nanti jangan lupa dicuci terus balikin ya, As!" titahnya, aku kembali mengangguk. Lalu ia pun berlalu setelah kuucapkan terima kasih kembali.

Aku membawanya ke dapur, untuk menghangatkan kembali sayur nangka itu. Untuk memasak aku menggunakan tungku, itu mengapa aku tak memikirkan soal gas. Sebab, hanya membutuhkan kayu bakar.

Setelah mendidih, aku menuangnya ke dalam mangkuk. Menuang sisa bubur ke piring, untuk jatah makan Ica dan Nia, lalu membawanya ke ruang tengah. 

Nia dengan semangat menuang sayur nangka itu ke dalam piringnya. Sedang aku masih sibuk menyuapi si kecil.

"Bu ... kok, sayurnya asam ya, Bu. Kayak kecut gitu," keluh Nia, raut wajahnya seakan menahan mual. 

Memang aku tak mencicipinya. Kupikir sayur nangka itu Bu Ramlah masak tadi pagi. Jadi, tidak mungkin basi.

Ya Allah. Aku beristighfar saat mencicipi sayur nangka yang rasanya sudah asam itu. Sayur nangka dimasak dengan santan, tentu tidak bisa awet. Dari rasanya, sepertinya sayur nangka ini sudah sejak kemarin.

Aku berpikir baik, mungkin Bu Ramlah tidak tahu jika sayur ini basi, sebab itu ia memberinya padaku.

Walaupun setiap pemberiannya memang sudah tak layak, namun aku sangat berterima kasih. Aku tahu diri, pemberian dari orang tidak boleh meminta lebih. 

Atau, apa memang Bu Ramlah sengaja melakukannya? Aku tidak merasa memiliki masalah apapun dengan keluarganya, lalu untuk apa ia melakukan itu padaku? Ah, aku segera menepis pikiran buruk itu.

Mengingat tadi ucapannya, jika Pak Bahul memotong kambing dan dibagikan untuk tetangga, aku kembali senang. Setidaknya Nia bisa memakan daging. Sangat berharap aku juga kebagian.

Aku memungut potongan-potongan tahu di dalamnya, lalu menyisihkannya di tempat lain.

"Makan tahunya aja ya, Nak! Sayurnya ternyata sudah basi," ujarku lembut. Nia mengangguk, lalu melanjutkan makan dengan potongan tahu itu. 

Harapanku untuk kenyang sirna. Sejak tadi pagi aku hanya makan dengan porsi sangat sedikit, lalu meminum air dengan banyak. Sengaja supaya bubur itu bisa dimakan Nia dan Ica. 

Nia menghabiskan makannya, Ica pun sudah tampak kenyang. Aku mengambil kerak-keras bekas bubur di panci yang sebelumnya sudah kurendam dengan air. Lalu memakannya dengan sisa potongan tahu. Setelah ini, aku akan bekerja sebagai buruh di ladang Bu Surti.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Yani Putrisari Msi
menguras air mata......
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Ntar pd kena azab aj pd tau rasa
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status