"Pak Bahri, Pak Bahul, bagaimana? Apa Anda yakin?" tanya Pak Modin meyakinkan. Entah sudah keberapa kalinya.
"Iya, Pak. Saya yakin." Pak Bahri dan Pak Bahrul berkata dengan mantap hampir bersamaan.
Suasana berlangsung tegang. Di sini, kami menjadi tontonan dari warga sekitar. Aku hanya menunduk, meremas ujung baju.
"Baiklah. Tolong ikuti saya ya, Pak!"
Pak Modin mengangkat Alquran, lalu meletakkannya sedikit tinggi di atas kepala dua lelaki itu.
"Bismillahirrahmanirrahim ... demi Allah dan demi kitab sucinya, saya berkata dengan sejujur-jujurnya. Sekalipun dusta, maka akan ada balasan yang saya terima. Bahwasanya, tanah sepetak dengan luas sekitar 12x20 meter tersebut murni milik orang tua kami. Warisan yang diperuntukkan buat kami."
Kedua saudara itu dengan tenang mengikuti ucapan Pak Modin. Sementara tubuhku bergetar. Mereka benar-benar berani melalukan kebohongan terbesar hanya untuk merebut tanah yang tak begitu luas itu.
Mulutku tak henti beristighfar. Aku telah kalah. Kuangkat kepala, kedua lelaki itu menyeringai senang. Sedang aku hanya mampu tertunduk pilu.
Sejujurnya malu. Kami bertetangga, menjadi tontonan orang-orang di balai desa, untuk merebutkan tanah yang tak seberapa.
Aku berkata jujur. Memang tak ada bukti fisik dengan hitam di atas putih yang kumiliki. Tanah di sebelah rumah, yang saat ini sebagian dijadikan sebagai jalan untuk para warga menuju sungai, itu hakku. Milik suamiku pemberian dari orang tuanya. Sedangkan orang zaman dulu tidak mementingkan sertifikat.
Mahalnya pengurusan sertifikat membuatku mengurungkan niat. Kupikir, sertifikat tanah tak begitu penting, toh aku tidak akan menjualnya. Tanah tersebut satu-satunya ladang untukku mencari uang untuk makan. Singkong, kacang panjang, juga kembang turi dan daun kelor yang kutanam, untuk kujual setiap hari.
Tak habis pikir. Orang sekaya Pak Bahul dan Pak Bahri melakukan ini pada orang kecil. Bahkan mereka mengancamku sebelumnya, jika tak kuberikan tanah tersebut, akan menyerahkanku ke kantor polisi, atas tuntunan merebut harta warisan. Hingga terlibat perdebatan panjang, seorang tetangga yang baik ingin membela, dengan membawa masalah kami ini pada perangkat desa. Hingga berakhirlah kami di sini.
Sebelah kanan rumahku, berdempetan dengan rumah Pak Bahri. Lalu sebelah kiri, tanah yang kujadikan kebun tersebut. Setelahnya rumah Pak Bahul. Ia orang kaya, bisa membeli tanah di mana saja. Sedangkan aku, orang miskin tak berdaya. Dua putriku masih kecil, membesarkannya butuh biaya.
Aku pulang dengan langkah gontai. Keputusan sudah finish, bahwa tanah tersebut warisan dari orang tua mereka berdua. Bagaimana tidak, sebagai orang kaya, Pak Bahul bisa melakukan apa saja. Menyewa beberapa orang untuk membela, kemudian menjadi saksi untuk mereka.
Aku berjalan menunduk. Telingaku berdengung mendengar kasak kusuk para tetangga yang saling berbisik. Ada yang iba, pun sebagian ada yang mencela. Beberapa orang tetangga memang tahu betul jika tanah tersebut peninggalan ibu mertua. Rencananya, tanah itu ingin kujadikan kebun jagung, agar hasil yang didapat lebih banyak daripada hanya sayuran.
Rumahku terlihat kerdil. Dindingnya hanya sepinggang orang dewasa, lalu ke atasnya dibuat dari anyaman bambu. Rumah gubuk itu diapit oleh dua rumah megah Pak Bahul dan Pak Bahri.
Setelah mengusap kasar air mata, lalu menarik napas panjang, aku masuk. Nia menyambutku dengan riang. Gadis berusia tujuh tahun, yang kini menginjak sekolah dasar itu sangat pengertian. Lesung pipinya mewarisi dari sang Ayah. Mereka kekuatanku.
Sedang Ica mengoceh senang melihatku datang. Gadis mungilku itu kini beranjak dua tahun usianya. Mereka tumbuh tanpa figure seorang Ayah. Kurangnya biaya untuk berobat, membuat nyawa Mas Rahmat terenggut karena penyakit usus buntu yang ia derita. Saat itu usia Ica belum genap satu tahun.
"Ibu ... Nia lapar," rengek si sulung.
Aku terdiam sejenak, mengingat beras hanya tinggal satu cup aqua gelas.
"Bu!" tegurnya lagi.
"Eh, iya, Nak! Bentar, ya! Tolong jaga adik, Ibu mau masak."
Aku melangkah ragu ke dapur. Di usia yang masih berada di angka dua ini aku harus hidup perih. Di sini, aku sendirian. Ikut suami kemari. Bukan masalah sebetulnya, sebab dari kecil memang aku seorang pekerja keras. Namun, yang kutakutkan kedua anakku kelaparan.
Aku memasak satu cup beras itu dengan air yang cukup banyak, supaya bisa dimakan sampai nanti malam. Sedangkan esok untuk bekal Nia, aku bisa menjual sayuran. Nia tak pernah menuntut uang saku, ia hanya meminta bekal agar tidak hanya berdiam diri saat teman-temannya jajan.
Air mata menetes saat mengaduk beras dalam panci menjadi bubur. Namun, aku juga lega sebab bubur ini cukup banyak. Kurasa bisa untuk makan hingga esok hari.
Sepotong tempe yang sudah menghitam, Bu Ramlah tadi yang memberinya. Aku memotong kecil tipis dan menggorengnya dengan garam. Teman makan dengan bubur.
Pergi ke kebun untuk mengambil kacang panjang, untuk menumisnya dengan kecap. Langkahku terhenti saat melihat aktivitas banyak orang yang merusak kebun-kebunku. Semua tanamanku mereka babat habis.
Aku berlari menghampiri. "Hentikan, Pak! Ini punya saya. Tanaman saya kenapa kalian rusak?" teriakku.
"Disuruh Pak Bahul, katanya mau dibangun kandang untuk ternak kambingnya," jawab seorang lelaki.
Ya Allah. Aku mengusap dada berkali-kali. Kenapa tidak membiarkanku untuk memanen hasilnya dahulu, setidaknya aku bisa membeli beras untuk besok.
***
"Bu ... kok, nasinya lembek?" tanya Nia. Ia menyendok bubur itu ke dalam piringnya.
"Ini namanya bubur. Enak. Apalagi kalau dimakan pake tempe goreng, terus dikasih kecap." Aku mempraktikkan.
Nia hanya manggut-manggut, lalu meniruku menyajikan bubur.
"Pakek kacang panjang juga, Bu?" tanyanya lagi.
Aku tersenyum. "Kalau Nia nggak suka, ngga papa. Ibu kan suka kacang panjang."
Aku menumis kacang panjang ini untuk diriku sendiri. Supaya nasi terakhir ini bisa dimakan hingga esok hari, mengingat tak ada hasil sayur yang bisa kujual lagi. Kupikir besok bisa menjual hasil panen ke tukang sayur, tapi semua tanamanku hancur. Tidak mungkin ada yang mau membeli kacang panjang yang sudah patah. Hanya ini yang bisa kuambil.
Mereka melarangku saat hendak mengambil singkong dan kembang turi, sebab tanah itu sudah menjadi milik Pak Bahul, maka apapun yang ada di sana juga menjadi milik Pak Bahul, katanya.
Usai makan, aku menggendong Ica ke belakang. Aku mengedarkan pandangan, belakang rumahku ini penuh dengan kayu bakar milik Pak Bahri, tak ada celah untukku menanam. Hanya di depan rumah yang tersisa halaman tak seberapa.
Aku bisa menjadi buruh, namun siapa yamg menemani Ica, sedangkan Nia sekolah di pagi hari.
Aku kembali istighfar. Aku merasa ditindas. Namun, tak ada yang bisa kulakukan. Aku di sini sendiri, hanya mempunyai Nia dan Ica. Saudara-saudara suami menghilang setelah pembagian harta warisan, usai kepergian mendiang Ibu mertua.
"Bu ... Nia mau berangkat!" teriak Nia dari ruang tengah.Aku tegopoh menyajikan bekal untuknya. Bersyukur, bubur semalam masih tersisa banyak. Sebetulnya hatiku nyeri melihat Nia tak begitu berselera untuk makan. "Kayak mau mual, Bu. Nasinya lembek," katanya, saat makan malam. "Ih, Nia ngga tau, ya? Ini tuh makanan orang kaya." Aku tertawa ringan, menutupi kepedihan. Tak tega melihat raut mukanya yang berusaha menelan.Sedangkan pagi tadi ia tak makan, katanya kenyang, saat melihatku menyuguhkan bubur itu kembali. Seandainya bubur dengan topping suwiran daging ayam, potongan telur dadar dan kacang, mungkin Nia lebih suka."Ini bekalnya. Hati-hati, Nak!"Aku menyodorkan ragu kotak bekalnya. Gadisku itu menerima dengan senang. Namun, raut mukanya meredup saat membuka kotak bekal."Ini lagi, Bu?" tanyanya lirih.Aku tersenyum. Lalu membungkuk, menyejajari tinggi tubuhnya. "Ini tuh makanan Nabi Nuh dan beberapa orang yang berada di kapalnya dulu, saat dilanda musibah. Masak Nia ngga p
Matahari sudah tenggelam di ufuk barat, saat aku pulang dari ladang Bu Surti. Aku berjalan dengan membungkuk, memikul satu kaleng padi di punggung, sebagai gaji buruh. Aku menghentikan langkah melihat kerumunan banyak orang di kebun sebelah rumah. Sebagian ada yang berjejer antri, sebagian pulang dengan membawa bungkusan plastik hitam. Mataku berbinar, sepertinya ini pembagian daging kambing.Benar, bau amis menguar saat aku melewati mereka menuju rumah. Aku mempercepat langkah, lalu meletakkan kaleng padi di dapur. Setelahnya bergegas balik, menimbrung pada kerumunan orang yang sedang mengantri.Aku mengamati mereka yang maju satu per satu, lalu memberikan secarik kertas pada petugas, mereka bapak-bapak yang kemarin merusak tanamanku. Lalu, petugas pun memberinya bungkusan. Seperti tukar kupon.Aku mengedarkan pandangan. Semua orang yang mengantri memang memegang kupon dengan warna kuning. Aku kembali pulang, menanyakan pada Nia. "Nggak, Bu. Dari tadi Nia jagain adik ngga ada orang
Aku menutup hidung dengan ujung baju, lalu membereskan karung yang penuh dengan bercak-bercak darah tersebut. Bau amis dan busuk membuat isi perutku seakan hendak meluap.Aku meminta Nia untuk menjaga Ica, tak mengizinkan mereka untuk memasuki dapur. Pastilah Nia tidak akan bisa menahan rasa mualnya.Karung itu kulipat rapi, sedangkan sisa-sisa potongan kambing yang tak bisa dimakan itu kubungkus plastik, lalu menguburnya dalam tanah. Supaya bau busuknya tak lagi menyengat.Aku mengusap peluh di dahi. Rasanya lelah sekali. Aku teringat pepatah orang Jawa, 'Ndak ikut makan nangkanya tapi dapat getahnya', seperti yang kualami sekarang. Aku tersenyum masam, mengingat tak mendapat bagian daging kambingnya, malah diberi kotorannya.Setelah mandi, aku memasak mie gelas untuk sarapan Nia. Lalu menyuapi Ica dengan biskuit."Bu, hari ini aku nggak bawa bekal. Kan, hari Jumat. Pasti pulang cepet," katanya, lalu lanjut menyuap mie ke dalam mulut. Aku mengangguk.Setelah Nia berangkat, aku merapi
"Terima kasih, Bu!" jawabku."Kenapa? Kalau nggak mau bilang aja! Biar saya kasih yang lain," ketus Bu Ramlah.Mungkin ia melihat raut tak semangat di wajahku, saat menerima pemberiannya."Eh enggak, kok, Bu. Terima kasih," ucapku lagi sambil tersenyum. Bu Ramlah berlalu setelah mengingatkanku untuk mengembalikan nampan miliknya itu."Bu!" Nia berlari dengan membawa buku di tangannya. "Kenapa, Nak? Lapar?" tanyaku, mengingat ia hanya sarapan dengan mie gelas saja."Bu ... emang kalo orang miskin nggak pantes, ya, liat tivi gede?" tanyanya polos. Namun, wajahnya terlihat sedih.Aku terkesiap mendengar pertanyaannya. "Siapa yang bilang gitu, Nak?" tanyaku lembut, walau sejujurnya rasa nyeri menjalar di ulu hati."Mama Nisa, Bu. Tadi juga, yang lain dikasih makanan. Tapi, Nia enggak. Katanya orang miskin nggak pantes ikut makan kayak orang kaya. Takut makanannya sedih katanya."Ya Allah, astaghfirullah ....Aku menggandengnya masuk, meninggalkan tumbukan padi yang belum kuselesaikan. Ic
"Buu! Ibu ngga jijik, ya? Masak makanan sambil cium bau embek. Apalagi eeknya banyak jatuh itu, Bu!" ujar Nia lagi, memecah lamunan. Aku segera membalik ikan asin di wajan. Sedangkan gadisku itu berdiri di ambang pintu. Matanya terlihat menyapu pandangan di depan."Lagian Nia berdiri di situ. Jangan di situ, biar nggak bau," ujarku tertawa."Kenapa kandangnya nggak dimajuin dikit, ya, Bu. Kan juga masih agak luas di depan sana," celetuk Nia. Apa yang ia katakan sama persis dengan yang ada dalam pikiran. Padahal mereka jelas tahu jika rumah ini berpenghuni. Setidaknya tunjukkan sedikit saja rasa manusiawinya padaku. Kupikir, masalah kami ini sudah selesai. Toh tidak ada lagi yang mereka perebutkan dariku. Lalu apa alasan kebenciannya ini?"Udah, Nia mandi dulu sana. Abis itu sarapan," pintaku. Ia mengangguk.Bab (6) fizo***"Bu ... tahu nggak? Menurut Nia, daging ayam bahkan daging kambing yang kemarin itu nggak ada yang bisa ngelebihin enaknya ikan asin," ujar Nia tertawa riang, lalu
Sumpah Al-Qur'an (7)***Setelah kejadian tersebut, kini setiap malam Pak Bahul mempekerjakan dua orang untuk menjaga kambing-kambingnya di malam hari. Hal itu membuatku tak nyaman, sebab tawa yang menggelegar dari mereka membuat tidur kedua anakku tidak nyenyak di malam hari. Aku masih mengingat wajah riang Nia saat kubelilan eskrim homemade di tetangga, yang hanya seharga dua ribu itu. Ia menikmatinya hingga bibir mungilnya itu belepotan dengan eskrim. Jika bekerja seharian penuh, maka gaji yang kudapat tiga puluh ribu. Itu pun hanya di hari minggu aku bisa bekerja seharian penuh. Ica tak memakai diapers, aku hanya menggunakan kain sebagai popok untuknya. Uang yang kudapat hasil buruh hanya cukup untuk makan, itu pun hanya pas-pasan. Sebab, tak setiap hari ada yang memintaku untuk bekerja di ladangnya. "As! Aku masuk, ya?" Suara Bu Ramlah terdengar setengah berteriak dari luar rumah. Gegas aku membuka pintu, ia pun masuk tanpa kupersilakan.Jam delapan, tetapi cuaca begitu mendun
Sumpah Al-Qur'an (8)***Aku mengemasi peralatan masak yang sebelumnya tergeletak di bawah. Bingung hendak bagaimana. Jika angin dan hujan terus berembus kencang, sudah pasti rumah ini akan roboh. Di luar juga tidak menjamin keselamatan, sebab tingginya pohon-pohon yang tumbuh di sekitar bisa saja roboh. Aku begitu menghawatirkan Nia. Semoga saja ia tetap di sekolah bersama teman-temannya. Tubuhku menggigil. Semoga saja Ica tidak kedingingan, dan juga hujan segera reda. Baru kali ini hujan turun dengan begitu dahsyat.Aku tersentak kaget saat terdengar suara yang begitu keras di sebelah rumah. Seperti suara pohon yang tumbang. Aku gemetar hebat. Bagaimana nanti bila rumahku juga tertindih pohon. Ya Allah ... mohon lindungi kami semua.Aku mandi dan segera shalat. Lalu mengaji di sebelah Ica yang masih terlelap. Beberapa kali ia terjaga sebab terkejut dengan kilatan petir yang memekkakkan telinga. Entah berapa lapis kain yang menimpa tubuhnya. Supaya ia tidak kedinginan.Kilatan peti
Sumpah Al-Qur'an (9)***Walaupun hubungan keluargaku dan Pak Bahul tidak pernah baik, akan tetapi jujur, sama sekali aku tidak dendam. Atau bahkan merasa senang melihat Pak Bahul mendapat cobaan demikian. Tidak sama sekali.Walau terkadang aku juga marah karena perlakuan mereka. Aku bukanlah sabar, atau bahkan tidak bisa marah. Bukan! Keadaan yang menuntutku untuk bersikap demikian. Berusaha tabah. Sebisa mungkin menahan amarah bila merasa ditindas. Berusaha menahan hati agar tidak berdoa keburukan bila merasa didzalimi. Sungguh, aku tidaklah sabar. Yang bisa kulakukan hanya berdoa, semoga Allah melapangkan hati ini, dan mereka segera sadar atas tindakannya.Pikirku, asal aku bisa makan. Nia dan Ica tidak kelaparan. Itu sudah lebih dari cukup. Aku juga tahu diri. Tidak berharap bantuan dari tetangga. Yang kuharap hanya mereka memintaku bekerja di ladangnya, lalu diupah dengan layak. Hanya itu. Aku hanya menginginkan hakku.Sering kali saat ada bantuan dari program pemerintah, baik