Share

AKIBAT SUMPAH AL-QUR'AN
AKIBAT SUMPAH AL-QUR'AN
Penulis: Kharisma Ramadhan

1. Dzalim

"Pak Bahri, Pak Bahul, bagaimana? Apa Anda yakin?" tanya Pak Modin meyakinkan. Entah sudah keberapa kalinya.

"Iya, Pak. Saya yakin." Pak Bahri dan Pak Bahrul berkata dengan mantap hampir bersamaan.

Suasana berlangsung tegang. Di sini, kami menjadi tontonan dari warga sekitar. Aku hanya menunduk, meremas ujung baju.

"Baiklah. Tolong ikuti saya ya, Pak!"

Pak Modin mengangkat Alquran, lalu meletakkannya sedikit tinggi di atas kepala dua lelaki itu.

"Bismillahirrahmanirrahim ... demi Allah dan demi kitab sucinya, saya berkata dengan sejujur-jujurnya. Sekalipun dusta, maka akan ada balasan yang saya terima. Bahwasanya, tanah sepetak dengan luas sekitar 12x20 meter tersebut murni milik orang tua kami. Warisan yang diperuntukkan buat kami." 

Kedua saudara itu dengan tenang mengikuti ucapan Pak Modin. Sementara tubuhku bergetar. Mereka benar-benar berani melalukan kebohongan terbesar hanya untuk merebut tanah yang tak begitu luas itu.

Mulutku tak henti beristighfar. Aku telah kalah. Kuangkat kepala, kedua lelaki itu menyeringai senang. Sedang aku hanya mampu tertunduk pilu.

Sejujurnya malu. Kami bertetangga, menjadi tontonan orang-orang di balai desa, untuk merebutkan tanah yang tak seberapa.

Aku berkata jujur. Memang tak ada bukti fisik dengan hitam di atas putih yang kumiliki. Tanah di sebelah rumah, yang saat ini sebagian dijadikan sebagai jalan untuk para warga menuju sungai, itu hakku. Milik suamiku pemberian dari orang tuanya. Sedangkan orang zaman dulu tidak mementingkan sertifikat. 

Mahalnya pengurusan sertifikat membuatku mengurungkan niat. Kupikir, sertifikat tanah tak begitu penting, toh aku tidak akan menjualnya. Tanah tersebut satu-satunya ladang untukku mencari uang untuk makan. Singkong, kacang panjang, juga kembang turi dan daun kelor yang kutanam, untuk kujual setiap hari.

Tak habis pikir. Orang sekaya Pak Bahul dan Pak Bahri melakukan ini pada orang kecil. Bahkan mereka mengancamku sebelumnya, jika tak kuberikan tanah tersebut, akan menyerahkanku ke kantor polisi, atas tuntunan merebut harta warisan. Hingga terlibat perdebatan panjang, seorang tetangga yang baik ingin membela, dengan membawa masalah kami ini pada perangkat desa. Hingga berakhirlah kami di sini.

Sebelah kanan rumahku, berdempetan dengan rumah Pak Bahri. Lalu sebelah kiri, tanah yang kujadikan kebun tersebut. Setelahnya rumah Pak Bahul. Ia orang kaya, bisa membeli tanah di mana saja. Sedangkan aku, orang miskin tak berdaya. Dua putriku masih kecil, membesarkannya butuh biaya.

Aku pulang dengan langkah gontai. Keputusan sudah finish, bahwa tanah tersebut warisan dari orang tua mereka berdua. Bagaimana tidak, sebagai orang kaya, Pak Bahul bisa melakukan apa saja. Menyewa beberapa orang untuk membela, kemudian menjadi saksi untuk mereka. 

Aku berjalan menunduk. Telingaku berdengung mendengar kasak kusuk para tetangga yang saling berbisik. Ada yang iba, pun sebagian ada yang mencela. Beberapa orang tetangga memang tahu betul jika tanah tersebut peninggalan ibu mertua. Rencananya, tanah itu ingin kujadikan kebun jagung, agar hasil yang didapat lebih banyak daripada hanya sayuran. 

Rumahku terlihat kerdil. Dindingnya hanya sepinggang orang dewasa, lalu ke atasnya dibuat dari anyaman bambu. Rumah gubuk itu diapit oleh dua rumah megah Pak Bahul dan Pak Bahri. 

Setelah mengusap kasar air mata, lalu menarik napas panjang, aku masuk. Nia menyambutku dengan riang. Gadis berusia tujuh tahun, yang kini menginjak sekolah dasar itu sangat pengertian. Lesung pipinya mewarisi dari sang Ayah. Mereka kekuatanku.

Sedang Ica mengoceh senang melihatku datang. Gadis mungilku itu kini beranjak dua tahun usianya. Mereka tumbuh tanpa figure seorang Ayah. Kurangnya biaya untuk berobat, membuat nyawa Mas Rahmat terenggut karena penyakit usus buntu yang ia derita. Saat itu usia Ica belum genap satu tahun.

"Ibu ... Nia lapar," rengek si sulung.

Aku terdiam sejenak, mengingat beras hanya tinggal satu cup aqua gelas. 

"Bu!" tegurnya lagi. 

"Eh, iya, Nak! Bentar, ya! Tolong jaga adik, Ibu mau masak." 

Aku melangkah ragu ke dapur. Di usia yang masih berada di angka dua ini aku harus hidup perih. Di sini, aku sendirian. Ikut suami kemari. Bukan masalah sebetulnya, sebab dari kecil memang aku seorang pekerja keras. Namun, yang kutakutkan kedua anakku kelaparan. 

Aku memasak satu cup beras itu dengan air yang cukup banyak, supaya bisa dimakan sampai nanti malam. Sedangkan esok untuk bekal Nia, aku bisa menjual sayuran. Nia tak pernah menuntut uang saku, ia hanya meminta bekal agar tidak hanya berdiam diri saat teman-temannya jajan.

Air mata menetes saat mengaduk beras dalam panci menjadi bubur. Namun, aku juga lega sebab bubur ini cukup banyak. Kurasa bisa untuk makan hingga esok hari.

Sepotong tempe yang sudah menghitam, Bu Ramlah tadi yang memberinya. Aku memotong kecil tipis dan menggorengnya dengan garam. Teman makan dengan bubur.

Pergi ke kebun untuk mengambil kacang panjang, untuk menumisnya dengan kecap. Langkahku terhenti saat melihat aktivitas banyak orang yang merusak kebun-kebunku. Semua tanamanku mereka babat habis.

Aku berlari menghampiri. "Hentikan, Pak! Ini punya saya. Tanaman saya kenapa kalian rusak?" teriakku.

"Disuruh Pak Bahul, katanya mau dibangun kandang untuk ternak kambingnya," jawab seorang lelaki.

Ya Allah. Aku mengusap dada berkali-kali. Kenapa tidak membiarkanku untuk memanen hasilnya dahulu, setidaknya aku bisa membeli beras untuk besok. 

***

"Bu ... kok, nasinya lembek?" tanya Nia. Ia menyendok bubur itu ke dalam piringnya.

"Ini namanya bubur. Enak. Apalagi kalau dimakan pake tempe goreng, terus dikasih kecap." Aku mempraktikkan. 

Nia hanya manggut-manggut, lalu meniruku menyajikan bubur. 

"Pakek kacang panjang juga, Bu?" tanyanya lagi.

Aku tersenyum. "Kalau Nia nggak suka, ngga papa. Ibu kan suka kacang panjang."

Aku menumis kacang panjang ini untuk diriku sendiri. Supaya nasi terakhir ini bisa dimakan hingga esok hari, mengingat tak ada hasil sayur yang bisa kujual lagi. Kupikir besok bisa menjual hasil panen ke tukang sayur, tapi semua tanamanku hancur. Tidak mungkin ada yang mau membeli kacang panjang yang sudah patah. Hanya ini yang bisa kuambil.

Mereka melarangku saat hendak mengambil singkong dan kembang turi, sebab tanah itu sudah menjadi milik Pak Bahul, maka apapun yang ada di sana juga menjadi milik Pak Bahul, katanya.

Usai makan, aku menggendong Ica ke belakang. Aku mengedarkan pandangan, belakang rumahku ini penuh dengan kayu bakar milik Pak Bahri, tak ada celah untukku menanam. Hanya di depan rumah yang tersisa halaman tak seberapa. 

Aku bisa menjadi buruh, namun siapa yamg menemani Ica, sedangkan Nia sekolah di pagi hari. 

Aku kembali istighfar. Aku merasa ditindas. Namun, tak ada yang bisa kulakukan. Aku di sini sendiri, hanya mempunyai Nia dan Ica. Saudara-saudara suami menghilang setelah pembagian harta warisan, usai kepergian mendiang Ibu mertua.

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Azhar Ramadhan Tunny
istigfar ya allah
goodnovel comment avatar
Ab Dul
sedang disimak
goodnovel comment avatar
Fritz
akibat alquraaannn bku yg mngandung mantra
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status