Share

AKIBAT SUMPAH AL-QUR'AN
AKIBAT SUMPAH AL-QUR'AN
Author: Kharisma Ramadhan

1. Dzalim

last update Last Updated: 2022-06-19 12:46:48

"Pak Bahri, Pak Bahul, bagaimana? Apa Anda yakin?" tanya Pak Modin meyakinkan. Entah sudah keberapa kalinya.

"Iya, Pak. Saya yakin." Pak Bahri dan Pak Bahrul berkata dengan mantap hampir bersamaan.

Suasana berlangsung tegang. Di sini, kami menjadi tontonan dari warga sekitar. Aku hanya menunduk, meremas ujung baju.

"Baiklah. Tolong ikuti saya ya, Pak!"

Pak Modin mengangkat Alquran, lalu meletakkannya sedikit tinggi di atas kepala dua lelaki itu.

"Bismillahirrahmanirrahim ... demi Allah dan demi kitab sucinya, saya berkata dengan sejujur-jujurnya. Sekalipun dusta, maka akan ada balasan yang saya terima. Bahwasanya, tanah sepetak dengan luas sekitar 12x20 meter tersebut murni milik orang tua kami. Warisan yang diperuntukkan buat kami." 

Kedua saudara itu dengan tenang mengikuti ucapan Pak Modin. Sementara tubuhku bergetar. Mereka benar-benar berani melalukan kebohongan terbesar hanya untuk merebut tanah yang tak begitu luas itu.

Mulutku tak henti beristighfar. Aku telah kalah. Kuangkat kepala, kedua lelaki itu menyeringai senang. Sedang aku hanya mampu tertunduk pilu.

Sejujurnya malu. Kami bertetangga, menjadi tontonan orang-orang di balai desa, untuk merebutkan tanah yang tak seberapa.

Aku berkata jujur. Memang tak ada bukti fisik dengan hitam di atas putih yang kumiliki. Tanah di sebelah rumah, yang saat ini sebagian dijadikan sebagai jalan untuk para warga menuju sungai, itu hakku. Milik suamiku pemberian dari orang tuanya. Sedangkan orang zaman dulu tidak mementingkan sertifikat. 

Mahalnya pengurusan sertifikat membuatku mengurungkan niat. Kupikir, sertifikat tanah tak begitu penting, toh aku tidak akan menjualnya. Tanah tersebut satu-satunya ladang untukku mencari uang untuk makan. Singkong, kacang panjang, juga kembang turi dan daun kelor yang kutanam, untuk kujual setiap hari.

Tak habis pikir. Orang sekaya Pak Bahul dan Pak Bahri melakukan ini pada orang kecil. Bahkan mereka mengancamku sebelumnya, jika tak kuberikan tanah tersebut, akan menyerahkanku ke kantor polisi, atas tuntunan merebut harta warisan. Hingga terlibat perdebatan panjang, seorang tetangga yang baik ingin membela, dengan membawa masalah kami ini pada perangkat desa. Hingga berakhirlah kami di sini.

Sebelah kanan rumahku, berdempetan dengan rumah Pak Bahri. Lalu sebelah kiri, tanah yang kujadikan kebun tersebut. Setelahnya rumah Pak Bahul. Ia orang kaya, bisa membeli tanah di mana saja. Sedangkan aku, orang miskin tak berdaya. Dua putriku masih kecil, membesarkannya butuh biaya.

Aku pulang dengan langkah gontai. Keputusan sudah finish, bahwa tanah tersebut warisan dari orang tua mereka berdua. Bagaimana tidak, sebagai orang kaya, Pak Bahul bisa melakukan apa saja. Menyewa beberapa orang untuk membela, kemudian menjadi saksi untuk mereka. 

Aku berjalan menunduk. Telingaku berdengung mendengar kasak kusuk para tetangga yang saling berbisik. Ada yang iba, pun sebagian ada yang mencela. Beberapa orang tetangga memang tahu betul jika tanah tersebut peninggalan ibu mertua. Rencananya, tanah itu ingin kujadikan kebun jagung, agar hasil yang didapat lebih banyak daripada hanya sayuran. 

Rumahku terlihat kerdil. Dindingnya hanya sepinggang orang dewasa, lalu ke atasnya dibuat dari anyaman bambu. Rumah gubuk itu diapit oleh dua rumah megah Pak Bahul dan Pak Bahri. 

Setelah mengusap kasar air mata, lalu menarik napas panjang, aku masuk. Nia menyambutku dengan riang. Gadis berusia tujuh tahun, yang kini menginjak sekolah dasar itu sangat pengertian. Lesung pipinya mewarisi dari sang Ayah. Mereka kekuatanku.

Sedang Ica mengoceh senang melihatku datang. Gadis mungilku itu kini beranjak dua tahun usianya. Mereka tumbuh tanpa figure seorang Ayah. Kurangnya biaya untuk berobat, membuat nyawa Mas Rahmat terenggut karena penyakit usus buntu yang ia derita. Saat itu usia Ica belum genap satu tahun.

"Ibu ... Nia lapar," rengek si sulung.

Aku terdiam sejenak, mengingat beras hanya tinggal satu cup aqua gelas. 

"Bu!" tegurnya lagi. 

"Eh, iya, Nak! Bentar, ya! Tolong jaga adik, Ibu mau masak." 

Aku melangkah ragu ke dapur. Di usia yang masih berada di angka dua ini aku harus hidup perih. Di sini, aku sendirian. Ikut suami kemari. Bukan masalah sebetulnya, sebab dari kecil memang aku seorang pekerja keras. Namun, yang kutakutkan kedua anakku kelaparan. 

Aku memasak satu cup beras itu dengan air yang cukup banyak, supaya bisa dimakan sampai nanti malam. Sedangkan esok untuk bekal Nia, aku bisa menjual sayuran. Nia tak pernah menuntut uang saku, ia hanya meminta bekal agar tidak hanya berdiam diri saat teman-temannya jajan.

Air mata menetes saat mengaduk beras dalam panci menjadi bubur. Namun, aku juga lega sebab bubur ini cukup banyak. Kurasa bisa untuk makan hingga esok hari.

Sepotong tempe yang sudah menghitam, Bu Ramlah tadi yang memberinya. Aku memotong kecil tipis dan menggorengnya dengan garam. Teman makan dengan bubur.

Pergi ke kebun untuk mengambil kacang panjang, untuk menumisnya dengan kecap. Langkahku terhenti saat melihat aktivitas banyak orang yang merusak kebun-kebunku. Semua tanamanku mereka babat habis.

Aku berlari menghampiri. "Hentikan, Pak! Ini punya saya. Tanaman saya kenapa kalian rusak?" teriakku.

"Disuruh Pak Bahul, katanya mau dibangun kandang untuk ternak kambingnya," jawab seorang lelaki.

Ya Allah. Aku mengusap dada berkali-kali. Kenapa tidak membiarkanku untuk memanen hasilnya dahulu, setidaknya aku bisa membeli beras untuk besok. 

***

"Bu ... kok, nasinya lembek?" tanya Nia. Ia menyendok bubur itu ke dalam piringnya.

"Ini namanya bubur. Enak. Apalagi kalau dimakan pake tempe goreng, terus dikasih kecap." Aku mempraktikkan. 

Nia hanya manggut-manggut, lalu meniruku menyajikan bubur. 

"Pakek kacang panjang juga, Bu?" tanyanya lagi.

Aku tersenyum. "Kalau Nia nggak suka, ngga papa. Ibu kan suka kacang panjang."

Aku menumis kacang panjang ini untuk diriku sendiri. Supaya nasi terakhir ini bisa dimakan hingga esok hari, mengingat tak ada hasil sayur yang bisa kujual lagi. Kupikir besok bisa menjual hasil panen ke tukang sayur, tapi semua tanamanku hancur. Tidak mungkin ada yang mau membeli kacang panjang yang sudah patah. Hanya ini yang bisa kuambil.

Mereka melarangku saat hendak mengambil singkong dan kembang turi, sebab tanah itu sudah menjadi milik Pak Bahul, maka apapun yang ada di sana juga menjadi milik Pak Bahul, katanya.

Usai makan, aku menggendong Ica ke belakang. Aku mengedarkan pandangan, belakang rumahku ini penuh dengan kayu bakar milik Pak Bahri, tak ada celah untukku menanam. Hanya di depan rumah yang tersisa halaman tak seberapa. 

Aku bisa menjadi buruh, namun siapa yamg menemani Ica, sedangkan Nia sekolah di pagi hari. 

Aku kembali istighfar. Aku merasa ditindas. Namun, tak ada yang bisa kulakukan. Aku di sini sendiri, hanya mempunyai Nia dan Ica. Saudara-saudara suami menghilang setelah pembagian harta warisan, usai kepergian mendiang Ibu mertua.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (4)
goodnovel comment avatar
Azhar Ramadhan Tunny
istigfar ya allah
goodnovel comment avatar
Ab Dul
sedang disimak
goodnovel comment avatar
Fritz
akibat alquraaannn bku yg mngandung mantra
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • AKIBAT SUMPAH AL-QUR'AN    63. ENDING

    PoV ; Asti ***"Nak, gini. Ibu pengen kalau meninggal nanti, kita bisa sama-sama lagi di surga. Percaya deh, kebersamaan dan kebahagiaan di surga itu jauh lebih segalanya daripada di dunia." "Termasuk hingga saat ini Ibu tidak merenovasi rumah agar lebih besar, itu karena Ayah?" tanyanya menyelidik.Aku mengangguk."Iya. Ibu tidak mau mengubah apapun dari rumah ini. Rumah pertama tempat kita bersama. Setidaknya hanya tampilannya saja, tetapi tidak dengan bentuknya. Biarkan rumah ini menjadi kenangan.""Nia paham itu, Bu. Terima kasih, Ibu sudah setia sama Ayah. Nia juga mengharapkan hal yang sama seperti Ibu." ***Pagi hari, saat aku ke rumah Bu Ramlah, aku merasakan hal yang berbeda. Aku tak dibiarkannya bangkit untuk sekadar mencuci piring, bahkan membuatkan jamu untuknya. Tanganku tak dibiarkan lepas dari genggamannya.Aku membuang firasat buruk jauh-jauh. Meyakinkan diri, bahwa Bu Ramlah baik-baik saja. Ia hampir sembuh dan akan pulih. "Maaf, ya, As." Aku membelalakkan mata me

  • AKIBAT SUMPAH AL-QUR'AN    62. Kebaikan Asti

    Sumpah Al-Quran (62) Pov ; Asti *** "Nggak, As. Saya nggak mau. Saya cuma mau mati. Saya ini sudah nggak bisa sembuh. Allah mungkin hanya mau nyiksa saya. Dosa apa yang saya perbuat, As! Kenapa Allah segitu dendamnya sama saya," ucap Bu Ramlah meraung. "Istighfar, Bu. Allah bukan dzat yang pendendam. Allah memberi Ibu kesempatan untuk hidup, berbuat baik. Tidakkah Ibu tahu, bahwa setiap rasa sakit, bisa mengurangi nafsu makan, nafsu minum, bahkan dosa kita juga berkurang, Bu. Tapi, atas kebaikan Allah, ketika kita sembuh, Allah kembalikan nafsu makan dan minum itu. Tapi Allah tidak mengembalikan dosa-dosa kita. Dosa-dosa kita akan berkurang setiap rasa sakit yang kita rasakan." Aku mencoba memberi Bu Ramlah pengertian dengan panjang. Entah Bu Ramlah paham dan mendengarkan atau tidak, yang penting aku berusaha mengingatkannya. Agar tidak lagi-lagi berprasangka buruk pada Allah. Walau pada akhirnya juga tetap sama. Ucapanku seolah mental, lagi-lagi Bu Ramlah menyudutkan Allah setia

  • AKIBAT SUMPAH AL-QUR'AN    61. Penderitaan Bu Ramlah

    Sumpah Al-Quran (61)PoV ; Asti"Kalau sekarang, tidur di lantai pun Nia nggak ngeluh. Lantainya halus, nggak kasar nggak bikin sakit," celetuk Nia. Ia tampak begitu girang. Berguling di lantai dengan tawa lebar.Lalu, ia beralih ke kasur. Mengempaskan tubuhnya dengan kasar. Tertawa riang dengan sang adik. Kebahagiaan yang rasanya sudah lama tak kurasakan. Gema tawa yang sudah lama tak kudengar. Ini suasana yang kutunggu, yang kuimpikan sejak dulu.Terima kasih, Ya, Allah ....Terima kasih. Atas kemurahanMu, Kau permudah segalanya. Ini kebahagian yang sesungguhnya, yang kucari sejak dulu.***Tak ada setiap detik yang terlewat tanpa adanya cerita. Dari rangkaian minggu yang berganti bulan, lalu berguling menjadi tahun, tak ada masa yang terlewat tanpa adanya kenangan dan sebuah pengajaran.Pelajaran hidup. Ica gadis kecilku, kini ia sudah kanak-kanak. Ia bukan lagi anak kecil yang merengek ketika kutinggal. Yang harus kuberikan mainan agar bisa terdiam, ketika aku disibukkan dengan

  • AKIBAT SUMPAH AL-QUR'AN    60. Perlakuan Pak Bahri

    Sumpah Al-Qur'an (60)PoV; Asti***Aku bergeming sesaat, mengatur napas. Jika kubersihkan sekarang, waktunya mepet. Lagipun, ini sudah malam. Bukan waktunya beberes. Biarlah esok hari saja aku ke mari. Aku menghela napas panjang. Tak berpikir untuk menyalahkan Bu Ramlah juga atas kondisi rumah yang teramat kotor ini. Aku paham di posisinya.Yang tak habis pikir kenapa Pak Bahri bisa demikian tak peduli pada Bu Ramlah. Siapa istri keduanya, hingga membuat Pak Bahri tergila-gila?Ah, biarlah. Ini menjadi urusan keluarga Pak Bahri. Aku orang luar, tidak ada hak untuk itu. Aku kembali ke ruang tengah. Mata Bu Ramlah tarkatup rapat. Aku memperhatikannya dengan seksama. Betapa malangnya hidup Bu Ramlah kini. Wajahnya mulai kusam, tanpa bedak dan lipstik. Kurus."Dari mana, As?" Aku mengerjap saat Bu Ramlah tiba-tiba membuka matanya. Kupikir ia sudah lelap."Da-dari dapur, Bu," sahutku, "Kupikir Ibu sudah tidur.""Ngapain? Udah di sini aja. Saya hanya butuh teman.""Bu, makan, ya. Dikit

  • AKIBAT SUMPAH AL-QUR'AN    59. Pengakuan Bu Ramlah

    Sumpah Al-Qur'an (59)PoV; Asti***Bu Ramlah tersenyum. Masam. "Lama. Mungkin tiga bulanan. Anehnya saya nggak mati-mati. Padahal saya nggak berobat. Makan juga nggak teratur. Allah seakan dengan sengaja menyiksa saya seperti ini. Dia tidak puas melihat penderitaan saya, As!" Bu Ramlah tergelak.Astaghfirullah."Bu, istighfar. Jangan bicara seperti itu. Yakin, Allah tidak akan menguji di luar batas kemampuan hamba-Nya." Aku berkata lembut. Mencoba memberi pengertian.Bukan maksud menggurui, atau sok pintar. Namun, aku tak mau Bu Ramlah berprasangka buruk kepada pencipta. Dia sang Maha, maha segalanya."Hidup kamu sudah enak, ya, sekarang. Tadi aja saya liat kamu mau bangun rumah lagi, kan. Selamat, ya. Kamu pasti tertawa liat kondisi saya sekarang kayak gini. Kamu di atas sekarang." Bu Ramlah tertawa. Seolah menertawakan dirinya sendiri.Dari sini aku dapat menangkap. Mungkin Bu Ramlah tadi terganggu dengan keramaian Ibu-Ibu dan pengangkut barang. Lalu ia berusaha mengintip dari pin

  • AKIBAT SUMPAH AL-QUR'AN    58. Bu Ramlah Dipoligami?

    Sumpah Al-Qur'an (58) PoV; Asti. _ "Mas Bahri membawa mereka, tinggal bersama istrinya." Deg. Jantungku, jantungku seolah berhenti berdetak sesaat. Apa maksud Bu Ramlah. Apa dia ngelantur. Istri? "Ma-maksud, Bu Ramlah?" Aku menatapnya dalam. Pandangan Bu Ramlah yang sebelumnya terpaku pada langit-langit ruangan, sontak menoleh padaku sesaat. Jelas, matanya memerah. Bukan hanya tangis yang terlihat. Namun, luka. Aku bisa melihat dari matanya, Bu Ramlah menyimpan luka yang dalam. Bu Ramlah mencoba bangkit. Aku membantunya, lalu menyusun bantal di balik punggung, agar ia nyaman duduk dengan posisi bersandar. Aku meraih jahe hangat yang sebelumnya kuletakkan di kepala ranjang. Ranjang di ruang tengah ini ranjang kuno. Bukan ranjang kekinian empuk yang aku tak tahu namanya, tetapi pernah kulihat di kamar Bu Ayu waktu memijat Pak Bahul tempo lalu. Di bagian kepala ranjang, terbuat dari kayu jati dan berupa semacam lemari kecil. Khas ranjang kuno. "Minum, Bu." Aku menyodorkan te

  • AKIBAT SUMPAH AL-QUR'AN    57. Miris Kondisi Bu Ramlah

    Sumpah Al-Quran (57)PoV ; Asti****Bu Ramlah.Ia terkapar di lantai. Tubuhnya sangat kurus. Bu Ramlah yang cantik dan anggun, kini terlihat tua tak terurus. Wajahnya pucat. Rambut hitam legamnya itu kini nampak kusut dan tak lagi lebatTak jauh dari Bu Ramlah terbaring, tepat di sebelah kirinya terdapat pecahan gelas serta cairan bening dan irisan jahe tercecer di lantai. Aku termangu menatapnya sebentar, sebelum akhirnya kesadaran menyergap."Buuu!" pekikku. Aku tergopoh menghampiri.Bu Ramlah mengangkat tangan, mengulurkannya padaku. Aku segera peka, ia hendak berdiri.Aku menyambut uluran tangannya dan membantu untuk berdiri. Tubuhnya yang dulu berisi, kini sungguh kurus. Bahkan aku tak merasa keberatan walau menopang tubuh Bu Ramlah sendiri"Ranjang, As," lirihnya.Aku menuntunnya untuk ke ranjang, di ruang tengah yang berada di depan televisi. Setelahnya, aku dengan tergesa keluar, untuk pamit pada Nia jika aku berada di rumah Bu Ramlah. Lalu segera kembali menghampiri Bu Ram

  • AKIBAT SUMPAH AL-QUR'AN    56. Tuduhan Orang-orang

    Sumpah Al-Qur'an (56)PoV; Asti.***Mobil pickup dengan bak berwarna hitam kombinasi hijau tosca memasuki halaman rumah, ketika aku baru saja tiba dari sungai. Aku hendak menjemur kain cucian di teras depan. Seorang lelaki turun dengan tergesa. Dia menghampiriku yang mematung di tempat."Benar ini dengan rumah Bu Asti?" tanyanya sopan. Aku menjawab dengan senyuman. "Iya, benar, Pak. Diturunkan di sini saja, ya!" pintaku menunjuk beranda rumah yang hanya beralaskan tanah.Dua lelaki itu mulai meletakkan barang-barang di bak pickup ke beranda rumah. Pintu terbuka, Nia keluar sembari menuntun Ica. Sedikit tergesa ia menghampiriku."Nia kaget. Nia pikir ada apa rame-rame kayak dibanting," celotehnya. Ia menguap, lalu segera ditutupinya dengan tangan.Aku tersenyum geli melihat ekspresi wajahnya. Ia baru saja bangun tidur. Beruntung Ica kecil tidak menangis. Aku meminta mereka untuk kembali ke dalam. Aku segera menyelesaikan menjemur kain, untuk kemudian membuat kopi. Khawatir mengangg

  • AKIBAT SUMPAH AL-QUR'AN    55. Kondisi Pak Bahul

    Sumpah Al-Qur'an (55) "Jadi Nia bohong?" tanyaku serius. Aku mengunci matanya dengan tatapanku. Nia sontak menghentikan tawanya, lalu menunduk. "Nia minta maaf." "Nia bilang kalau memang suka tidur di bawah, karena kasurnya panas." Aku terus memojokkannya dengan alasan yang selalu keluar dari mulutnya, ketika kutanya mengapa aku selalu menemukannya tidur di bawah setiap aku bangun di pagi hari, atau ketika malam saat hendak Tahajjud. Kasur lantai memang tak begitu luas. Beberapa kali kutemukan Nia tidur di bawah, di lantai semen tanpa alas apapun. Kasar, apalagi sebagian berlubang. "Gerah, Bu. Di bawah adem. Makanya Nia guling aja ke bawah." Begitu sahutnya untuk kesekian, ketika kutanya dengan perihal yang sama. Bukan hanya sekali, bahkan bisa dibilang setiap malam ia kutemukan tidur di bawah. Tidur meringkuk dengan menekuk lutut. Kedua tangannya bersilang memeluk lengan. Ketika aku bangun tengah malam, aku memindahkannya ke atas. Namun, esok harinya kutemukan ia di bawah

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status