Share

Aku ketahuan?

Aku cepat-cepat memakai jilbabku dan perlahan keluar dari kamar. Tak lupa kubawa gawaiku untuk mendapatkan bukti. Kuperhatikan sekeliling, memastikan Mama dan Papa sudah tidur. Tanpa ragu lagi aku langsung berjalan menuju ke arah pintu belakang, karena aku hafal betul setiap sudut rumah ini.

Kubuka pintu belakang dan memperhatikan sekeliling, lalu perlahan berjalan menuju arah rumahku. Aku menyusuri setiap sudut rumah, dan ternyata semua pintu terkunci.

Bagaimana aku bisa masuk? Aku teringat ada pintu darurat yang ada di ruang bawah tanah, tapi tidak mungkin masuk ke sana di malam hari, apalagi aku tidak membawa senter.

Akhirnya aku teringat kalau ada pintu yang menghubungkan dua rumah itu melalui dapur. Tanpa pikir panjang aku langsung berjalan kembali ke arah rumah orang tuaku, dan langsung menuju arah dapur.

Aku mencari-cari kunci di antara deretan kunci yang tergantung di samping pintu dapur. Aku tidak pernah sekalipun membuka pintu itu, jadi aku harus mencoba kuncinya satu persatu. Hingga sampai pada kunci terakhir ...

"Siapa di situ?"

Aku tersentak kaget dan refleks bersembunyi di balik kabinet yang ada di samping pintu. Seseorang menyalakan lampu, dan ada langkah masuk ke dapur. Aku menutup mulutku kencang, menahan degup jantung yang makin kencang.

"Ish, belakangan ini banyak tikus. Besok harus memanggil pembasmi tikus sebelum Tuan ngomel," terdengar suara salah satu pelayan yang ada di rumah itu.

Setelah selesai memeriksa, dia keluar dari dapur dan mematikan lampu. Aku seketika membuang napas lega. Ya Allah, aku merasa seperti maling di rumahku sendiri.

Perlahan aku keluar dari tempat persembunyian dan membuka pintu dengan kunci terakhir yang kupegang. Berhasil. Pintu akhirnya terbuka, dan aku langsung masuk ke sana. Tak lupa kututup kembali pintu itu agar tak ada orang yang curiga.

Aku melepas alas kaki yang kupakai dan perlahan berjalan dengan hati-hati menuju ruangan yang langsung terhubung dengan ruang tengah itu. Ruangan itu terlihat terang, artinya penghuni di sana belum tidur.

"Sebenarnya akan lebih mudah jika mereka mempekerjakan suster yang kupilih," terdengar suara Tante Merly dari arah ruang tengah.

Aku perlahan berjalan perlahan menuju balik pintu, mencoba menangkap pembicaraan mereka dari sana.

"Apa rencana Tante?" terdengar suara Mas Ridho.

"Tenang saja, akan kupastikan perawat itu tidak betah di rumah ini," ucap Tante Merly lagi.

Perawat? Apa yang mereka maksud itu aku? Mereka mencoba menyingkirkanku? Tapi kenapa?

"Mama mau tidur dulu, capek sekali seharian pura-baik di depan mereka."

Terdengar suara langkah kaki Tante Merly menaiki tangga, menuju kamar atas. Berarti tinggal Mas Ridho dan Evelin saja di ruangan itu.

"Ngomong-ngomong, sepertinya aku pernah melihat perawat Tante Ema itu. Tapi di mana, ya?" terdengar suara Evelin.

Deg! Mereka pernah melihatku mengintip kamar inap Mama waktu itu, dengan memakai baju pasien. Apa mereka ingat?

"Sudahlah, itu tidak penting," sahut Mas Ridho. "Yang terpenting sekarang kita bisa leluasa bertemu setiap saat."

Aku sedikit mengintip dari balik pintu, dan melihat kedua manusia laknat itu saling bercumbu. Aku menarik kepalaku kembali. Aku jijik melihat mereka seperti itu.

"Untunglah Ara bisa mati dengan mudah, jadi kita hanya tinggal menyingkirkan Mamanya saja," terdengar suara Evelin tertawa cekikikan. "Harusnya wanita tua itu juga sudah mati saat masuk rumah sakit kemarin.

"Jangan buru-buru, sayang. Kalau dua orang dalam rumah ini mati dalam waktu yang hampir bersamaan, orang-orang akan curiga."

Mataku membulat. Aku mengepalkan tanganku dengan geram. Apa maksud mereka? Apa mereka mau mencelakai Mama? Atau jangan-jangan kecelakaan yang terjadi padaku waktu itu ulah mereka juga? Kepalaku tiba-tiba terasa amat sakit memikirkan semua hal itu jadi satu.

"Masuk yuk Mas, aku kangen," terdengar suara Evelin berkata manja pada pria yang masih suamiku itu.

Terdengar suara langkah kaki mereka berdua, lalu suara pintu terbuka. Lampu ruang tengah dimatikan. Sepertinya mereka masuk ke dalam kamar. Aku memberanikan diri mengintip lagi. Ruangan itu sudah sepi.

Aku keluar dari tempat persembunyian dan perlahan berjalan menuju arah kamar. Aku semakin geram saja saat melihat ternyata mereka memasuki kamarku, kamar tempat aku dan Mas Ridho seharusnya memadu kasih sebagai suami istri.

Aku menahan napas, karena dadaku kian sesak. Aku mendekati pintu kamar yang bahkan tidak mereka tutup dengan rapat itu. Suara desahan mereka yang sedang berbagi peluh semakin membuat darahku mendidih.

Tidak, kamu harus tetap tenang, Ana. Kamu harus bisa mengungkap kebusukan mereka di depan orang tuamu.

Aku mengambil gawai dari sakuku, lalu menyalakan kamera. Perlahan kuarahkan ujung gawaiku dari balik pintu yang terbuka.

Kupastikan kamera mengarah tepat ke arah pergumulan dua manusia laknat itu.

Setelah beberapa menit merekam, aku memutuskan untuk berhenti. Aku sudah tidak sanggup lagi melihat apa yang mereka lakukan. Dadaku bergemuruh hebat, menahan sakit yang teramat sangat.

Dengan langkah gontai aku meninggalkan ruangan itu, dan berjalan keluar. Kali ini aku berjalan keluar rumah, tidak kembali lagi ke dapur. Aku butuh udara segar untuk untuk menenangkan pikiranku sejenak, setelah apa yang baru saja kulihat dan kudengar.

Aku perlahan berjalan melewati jendela kamar itu dan keluar pekarangan rumah itu. Tiba-tiba terdengar suara Evelin menjerit.

"Ara!!! Itu Ara!!!"

Aku seketika tersentak kaget dan menghentikan langkah, lalu secara refleks bersembunyi di balik pagar yang terbuat dari tanaman. Terdengar suara pintu jendela terbuka.

"Aku melihat Ara!!!"

Jantungku seketika berdegup kencang. Apa aku ketahuan?

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Tony Ang
kelanjutan mana admin
goodnovel comment avatar
Enjt Nurtanu
kenapa gk direkam aja percakapan mereka ara.. biar untuk bukti
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status