Share

Para Pengkhianat

"Anna?" Mamaku memanggil nama tersenyum padaku."Maaf ya? Mulai sekarang aku akan merepotkanmu."

Ada rasa nyeri menusuk dalam dadaku mendengar perkataannya. Batinku menjerit. Ma, ini aku, anakmu!

"Apa tidak ada yang biasa saja, Dok?" celetuk Tante Merly, sambil menatap curiga padaku. "Dia itu terlalu cantik untuk seorang perawat."

Aku terdiam. Apa masalahnya dengan dia? Kenapa tiba-tiba mempermasalahkan wajah?

"Aku mau dia yang merawatku," sahut Mama.

Tante Merly terlihat membuang napas.

"Sudah, dia saja. Ayo kita cepat pulang. Sudah hampir satu bulan kita di sini. Aku tidak mau berlama-lama di rumah sakit lagi," sahut Papa sambil berjalan menuju luar ruangan.

Tante Merly meninggalkan tatapan tak enak ketika melewatiku. Aneh, biasanya dia bersikap begitu baik pada semua orang. Tapi kenapa mendadak seperti tak suka padaku? Ah, mungkin ini cuma perasaanku saja.

Aku membantu Mama duduk ke atas kursi rodanya, lalu mendorongnya keluar ruangan. Tiba-tiba Dokter Lutfi menghentikan ku. Dia menarik tanganku sedikit menjauh dari Mama.

"Wajahmu itu belum pulih sepenuhnya. Hubungi aku jika sewaktu-waktu ada masalah," ucapnya.

Aku mengangguk mengerti, lalu melanjutkan mendorong kursi roda Mama lagi meninggalkan ruangan itu. Memang masih ada sedikit bekas membengkak di wajahku, meskipun tak begitu terlihat karena aku berjilbab. Apa aku bisa lebih cantik dari ini setelah wajahku benar-benar pulih? Entahlah.

"Apa kamu sudah menikah?"

Aku tersentak ketika tiba-tiba Mamaku bertanya.

"Belum, Nyonya," jawabku pelan.

"Pertama melihatmu aku langsung menyukaimu. Kamu mengingatkanku pada mendiang putriku," ucap Mamaku lagi. "Bahkan suaramu mirip sekali dengannya."

Aku seketika menggigit bibir. Feeling seorang ibu memang tidak pernah meleset. Maafkan aku, Ma. Aku pasti akan memberitahumu tentang siapa aku yang sebenarnya. Tunggulah sebentar, sampai aku bisa melihat siapa saja pengkhianat yang ada di sekeliling kita.

"Semoga kamu betah di rumah kami, ya?" ucap Mama lagi.

"Iya, Ma," ucapku lagi.

Kami memasuki mobil dan langsung meluncur ke arah rumah kami. Mobil memasuki gerbang besar rumah, yang terbagi menjadi dua bangunan dan saling berhadapan itu.

Terlihat Mas Ridho dan Evelin sudah berdiri di depan rumah menyambut kami.

"Tante," Evelin berhambur memeluk Mama begitu aku membantunya turun dari mobil.

"Akhirnya Tante pulang juga. Evelin kangen," ucapnya sambil mencium pipi Mama.

"Iya, Tante juga kangen," jawab Mama sambil mengelus rambutnya.

"Ma," Mas Ridho menyambut tangan Mama dan menciumnya. "Semoga Mama gak sakit lagi, ya?"

Mama tersenyum seraya mengangguk.

"Terima kasih masih mau terus bersama kami, Ridho," ucap Mama.

Aku diam menahan sesak di dada. Jujur aku muak dengan acting mereka. Semua perhatian mereka palsu. Aku pasti akan membuktikan semuanya.

"Oh iya, Ema. Mulai hari ini aku dan Evelin akan tinggal di rumah Ara ya?" celetuk Tante Merly.

Aku tersentak. Rumah orang tuaku dan rumahku memang saling berhadapan. Rumah hadiah dari Papa untuk pernikahan kami. Dan di sana semua aset pribadiku aku simpan.

"Tinggal di rumah Ara? Dengan Ridho? Bagaimana mungkin?" tanya Mama.

"Ridho biar tinggal dengan kita saja," sahut Papa. "Papa dan Ridho setiap hari sibuk mengurus perusahaan. Biar saja mereka tinggal di sana, untuk membantu Anna menjagamu."

"Tapi, Pa. Rumah itu milik Ara," ucap Mama ngotot.

Papa memegang pundak Mama.

"Ma, Papa tahu Mama belum bisa menerima kenyataan. Tapi Mama harus belajar ikhlas," ucap Papa lagi.

Mama terdiam. Aku bisa merasakan kesedihan yang mendalam di hati Mama. Dadaku ikut sesak. Aku berusaha sebisa mungkin untuk menahan tangis.

"Sudah, sudah. Ayo kita masuk. Aku sudah menyuruh pelayan menyiapkan makan siang," sahut Tante Merly.

Suasana yang menegang itu mulai mencair. Semua orang akhirnya masuk ke dalam rumah. Aku menatap rumahku sesaat sebelum masuk. Kalau Tante Merly dan Evelin tinggal di sana, akan sulit bagiku untuk masuk. Bagaimana ini?

"Ayo kita masuk, Anna," ucap Mama sambil memegang tanganku. "Semoga kamu betah, ya?"

Aku mencoba tersenyum, lalu menepuk lembut punggung tangan Mama.

"Iya, Nyonya," ucapku pelan.

Perlahan aku memasuki rumah besar itu. Rumah yang begitu kurindukan. Semua orang sudah berkumpul di meja makan.

"Ayo Tante, kita makan," ucap Evelin sambil mencoba mengambil alih kursi roda Mama.

"Kalian makan saja dulu. Tante mau menunjukkan kamar Anna," jawab Mama.

"Kok gitu sih, Tante? Dia kan cuma perawat, bisa tunggu nanti saja," ucap Evelin sambil melirik tak suka padaku.

Mama tersenyum lembut pada Evelin.

"Tante belum lapar. Makanlah dulu," ucap Mama lagi, lalu memberi isyarat padaku untuk mendorongnya pergi.

Mama menunjukkan sebuah kamar padaku. Kamar tamu yang ada di samping kamar Mama. Aku mendorong kursi rodanya masuk ke dalam.

"Ini kamarmu. Mulai hari ini kamu tinggal di sini," ucap Mama lembut.

Aku tersenyum, lalu berjongkok di depannya.

"Terima kasih, Nyonya," ucapku menahan air mata.

Mama mengelus kepalaku yang tertutup jilbab. Ya Allah, aku begitu merindukannya. Aku ingin memeluknya saat ini juga.

"Aw," aku mengaduh karena Mama tak sengaja menyentuh luka di kepalaku yang belum sepenuhnya kering.

"Kamu kenapa?" tanya Mama cemas.

"Tidak apa-apa, Nyonya. Saya pernah terjatuh dan terluka di kepala," ucapku berbohong.

"Kasihan sekali," ucap Mama lagi. "Baiklah, istirahatlah dulu. Aku akan menemuimu lagi setelah makan siang," ucapnya lagi.

Aku mengangguk pelan. Kuatkan aku ya Allah, aku harus kuat menahan perasaan ini, sampai aku menemukan bukti siapa saja orang-orang yang menjadi musuh dalam selimut.

Malam sudah larut, tapi aku tak bisa memejamkan mata sedikitpun. Otakku terus berpikir, bagaimana caranya memasuki rumahku sendiri. Aku bangkit dari tidurku, dan membuka tirai jendela yang menghadap langsung ke arah rumahku.

Tiba-tiba aku melihat sosok laki-laki berjalan menuju teras rumah. Mataku membulat seketika. Itu Mas Ridho! Kulihat dia memasuki teras rumah, dan seseorang membukakan pintu. Orang itu tak lain adalah Evelin. Mereka terlihat memeriksa sekeliling, lalu masuk ke dalam rumah. Tanganku mencengkeram jeruji jendela erat erat, menahan emosi.

Jadi ini alasan kenapa Evelin ingin tinggal di rumah itu. Biar mereka bisa berbuat maksiat dengan bebas. Lihat saja, Mas. Aku pasti akan membuat kalian menyesal atas pengkhianatan kalian.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Enjt Nurtanu
kenapa g jujur ama mama kasian takut nya tambah drop
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status