Evelin Hermawan. Ya, gadis cantik itu memakai nama keluargaku. Dia adalah sepupuku, yang yatim sejak kecil karena ayahnya meninggal. Orang tuaku mengangkatnya sebagai putri mereka karena aku tidak punya saudara.
Dia orang yang paling keras menangis saat berada di pemakaman. Mungkinkah dia tega mengkhianatiku? Mungkinkah dia sama dengan Mas Ridho yang hanya beracting di depan kamera saja?Aku melihat dia bergelayut manja di lengan Mas Ridho, dan berjalan memasuki restoran tanpa menyadari aku memperhatikan mereka. Hatiku sakit, tapi aku berusaha menahannya.Dokter Lutfi menepuk pundakku, menyadarkanku dari lamunan. Sepertinya dia tahu apa yang kulihat. Wajah Mas Ridho sering muncul di televisi dan sosial media sejak berita tentang kematianku. Semua orang pasti mengenalnya. Mungkin itu sebabnya dia memilih restoran yang ada di ujung kota ini untuk makan bersama Evelin."Kau mau masuk?" tanyanya khawatir.Aku tersenyum getir, lalu mengangguk. Kami berjalan beriringan memasuki restoran itu. Mataku menyapu seluruh restoran, dan menemukan mereka duduk di kursi di samping jendela. Aku sengaja memilih duduk di dekat mereka, dengan posisi duduk membelakangi mereka."Akan kupesankan makanan," ucap Dokter Lutfi padaku.Aku mengangguk, masih mencoba menguasai diriku saat berada di dekat dua manusia tak tahu malu itu."Kapan kau akan menikahiku? Bukankah kita sudah menguasai sebagian harta mereka?" terdengar suara Evelin bertanya pada Mas Ridho.Harta? Apa yang dia maksud adalah harta orang tuaku? Jantungku seketika berdegup kencang."Kenapa harus buru-buru? Tanah pemakaman Ara masih merah. Mereka bisa curiga," jawab Mas Ridho.Kata-kata Mas Ridho itu seperti pedang yang langsung menghujam jantungku. Tega sekali mereka berbuat ini padaku!"Dia sudah mati, tapi tetap bisa menghalangi hubungan kita, menyebalkan sekali," ucap Evelin lagi."Sabar dulu, kita tunggu sampai orang tuanya menyerahkan semua hartanya pada kita."Aku seketika menggigit bibir. Tubuhku bergetar hebat. Tanganku keduanya mengepal. Aku hampir berdiri dan ingin memaki mereka saat itu juga. Tapi tiba-tiba Dokter Lutfi memegang pundakku. Aku seketika sadar kalau aku tak boleh gegabah.Dokter Lutfi meletakkan sepiring sandwich di meja, lalu duduk di depanku."Makanlah," ucap Dokter Lutfi sambil menatapku, seakan mengatakan padaku untuk tetap tenang.Aku membuang napas, mencoba melegakan dadaku yang kian sesak. Aku mengambil sepotong sandwich dan perlahan menggigit ujungnya, sambil tetap mendengarkan apa yang mereka bicarakan."Bagaimana keadaan Ibu mertuaku? Kudengar dia sakit sakitan sekarang," tanya Mas Ridho lagi.Evelin terdengar tertawa, membuatku semakin geram. Ibuku, yang sudah membesarkan dia seperti anak kandung sendiri sedang sakit, tapi dia malah menertawakannya. Hatiku sakit, sampai ke dasarnya."Dia terus memikirkan wanita bodoh itu, mungkin ingin segera pergi menyusulnya," jawab Evelin.Aku sudah tidak tahan lagi mendengar pembicaraan mereka. Aku berdiri dan menarik tangan Dokter Lutfi keluar dari restoran itu."Kita ke rumah sakit, Dok. Aku ingin operasiku dilakukan secepatnya," ucapku begitu kami sampai di luar.Dokter Luthfi mengangguk mengerti. Dia segera membukakan pintu mobil untukku, dan akupun masuk ke dalam."Aku sudah mengatur jadwalmu beberapa hari yang lalu. Kita bisa memulainya hari ini juga," ucap Dokter Lutfi sambil menyalakan mesin mobilnya.Sesaat sebelum mobil meninggalkan tempat itu, aku masih bisa melihat Evelin dan Mas Ridho berjalan keluar restoran sambil tertawa mesra. Lihat saja, kalian tidak akan tertawa seperti itu dalam waktu yang lama.Mobil melaju mulus menembus jalanan kota yang sudah mulai ramai. Sepanjang perjalanan aku hanya diam, larut dalam pikiranku. Sepertinya Dokter Lutfi juga tak mau menggangguku. Tak terasa kami sudah sampai ke rumah sakit.Dokter Lutfi mengajakku turun, lalu memasuki lobi rumah sakit. Kami berhenti sebentar di depan resepsionis."Saya sudah mengatur jadwal bedah plastik hari ini. Apa Dokter Maya sudah datang?" terdengar Dokter Lutfi berbicara dengan petugas rumah sakit.Aku berdiri membelakangi mereka, menunggu mereka selesai berbicara. Tiba-tiba terlihat beberapa orang petugas rumah sakit masuk sambil mendorong tandu ambulan, dengan seorang wanita terbaring tak sadarkan diri.Mataku membulat seketika. Mama! Itu Mama! Refleks kakiku berlari mengejar mereka. Ya Allah, apa yang terjadi dengan Mamaku?"Apa yang terjadi padanya?" tanyaku pada salah satu petugas."Pasien terkena serangan stroke," jawab petugas itu.Tandu yang membawa Mama memasuki ruang IGD. Aku berdiri dengan shock di depan pintu kaca tak tembus pandang yang besar itu. Sesaat kemudian terlihat Papaku datang dengan panik ke dapan pintu ruangan itu."Pa," refleks mulutku memanggilnya.Papaku menoleh, lalu menatapku dengan heran. Belum sempat dia berkata sesuatu, seorang wanita datang ke tempat itu juga. Dia Tante Merly, ibunya Evelin."Bagaimana keadaan Ema?" tanyanya."Masih belum tahu," jawab Papaku.Papa terlihat sangat panik, sedangkan Tante Merly terlihat menghiburnya. Jika tidak ada Tante Merly, aku mungkin sudah memberitahunya kalau aku adalah puterinya, dan aku masih hidup. Aku tidak bisa mempercayai Tante Merly, setelah melihat kelakuan putrinya.Tiba-tiba seseorang menepuk pundakku. Dokter Lutfi."Apa yang terjadi?" bisiknya.Aku tak menjawab, hanya menatap Papa dan Tante Merly sesaat, lalu mengalihkan pandangan pada Dokter Lutfi."Dokter, aku mau minta tolong satu hal lagi," ucapku lirih."Katakan," jawab Dokter Lutfi pelan."Selama operasi, tolong pastikan Mamaku baik-baik saja," ucapku.Dokter Lutfi menatap ruang IGD yang masih tertutup, lalu menatapku lagi."Baiklah," jawabnya. "Dokter Maya sudah menunggumu. Kau harus ke sana sekarang."Aku mengangguk. Kutatap Papaku dari jauh sekali lagi, lalu melangkah mantap meninggalkan tempat itu. Tunggu aku Ma, Pa. Aku pasti akan menemukan semua pengkhianat yang ada di sekeliling kita dan membalas mereka semua.Aku perlahan membuka mataku, saat Dokter sudah selesai membuka perban di wajahku. Ragu-ragu kuangangkat cermin yang dari tadi kupegang.Mataku membulat, wajahku yang jauh berbeda dari sebelumnya. Mungkin orang akan berkata jauh lebih cantik dari Ara yang semua orang kenal. Tapi bagiku, wajah ini terasa sangat asing."Bagaimana?" tanya Dokter Lutfi sambil memperhatikanku.Aku menelan ludah, lalu menatapnya seraya tersenyum tipis."Mulai hari ini aku akan membiasakan diri dengan wajah ini," ucapku.Dokter Lutfi tampak membuang napas lega."Baguslah," ucapnya."Bagaimana keadaan Mamaku, Dokter?" tanyaku padanya."Syukurlah beliau hanya menderita stroke ringan, mungkin hari ini bisa pulang," jawab Dokter Lutfi.Aku terdiam dan berpikir. Aku harus bisa pergi ke rumah untuk menyelamatkan semua aset pribadiku. Tapi bagaimana caranya?"Apa rencanamu sekarang?" tanya Dokter Lutfi, membuyarkan lamunanku."Entahlah, aku masih memikirkannya," jawabku pelan.Dokter Lutfi membuang napas."Baiklah,
"Anna?" Mamaku memanggil nama tersenyum padaku."Maaf ya? Mulai sekarang aku akan merepotkanmu."Ada rasa nyeri menusuk dalam dadaku mendengar perkataannya. Batinku menjerit. Ma, ini aku, anakmu!"Apa tidak ada yang biasa saja, Dok?" celetuk Tante Merly, sambil menatap curiga padaku. "Dia itu terlalu cantik untuk seorang perawat."Aku terdiam. Apa masalahnya dengan dia? Kenapa tiba-tiba mempermasalahkan wajah?"Aku mau dia yang merawatku," sahut Mama.Tante Merly terlihat membuang napas."Sudah, dia saja. Ayo kita cepat pulang. Sudah hampir satu bulan kita di sini. Aku tidak mau berlama-lama di rumah sakit lagi," sahut Papa sambil berjalan menuju luar ruangan.Tante Merly meninggalkan tatapan tak enak ketika melewatiku. Aneh, biasanya dia bersikap begitu baik pada semua orang. Tapi kenapa mendadak seperti tak suka padaku? Ah, mungkin ini cuma perasaanku saja.Aku membantu Mama duduk ke atas kursi rodanya, lalu mendorongnya keluar ruangan. Tiba-tiba Dokter Lutfi menghentikan ku. Dia men
Aku cepat-cepat memakai jilbabku dan perlahan keluar dari kamar. Tak lupa kubawa gawaiku untuk mendapatkan bukti. Kuperhatikan sekeliling, memastikan Mama dan Papa sudah tidur. Tanpa ragu lagi aku langsung berjalan menuju ke arah pintu belakang, karena aku hafal betul setiap sudut rumah ini.Kubuka pintu belakang dan memperhatikan sekeliling, lalu perlahan berjalan menuju arah rumahku. Aku menyusuri setiap sudut rumah, dan ternyata semua pintu terkunci.Bagaimana aku bisa masuk? Aku teringat ada pintu darurat yang ada di ruang bawah tanah, tapi tidak mungkin masuk ke sana di malam hari, apalagi aku tidak membawa senter.Akhirnya aku teringat kalau ada pintu yang menghubungkan dua rumah itu melalui dapur. Tanpa pikir panjang aku langsung berjalan kembali ke arah rumah orang tuaku, dan langsung menuju arah dapur.Aku mencari-cari kunci di antara deretan kunci yang tergantung di samping pintu dapur. Aku tidak pernah sekalipun membuka pintu itu, jadi aku harus mencoba kuncinya satu persat
Aku masih mendengar suara Evelin menjerit-jerit. Perlahan aku merangkak melalui bawah pagar mendekati mereka."Aku benar-benar melihat Ara, Mas! Dia berjalan di luar jendela!" teriak Evelin histeris."Tidak ada siapa-siapa, Sayang. Itu cuma bayanganmu saja," terdengar suara Mas Ridho menenangkan Evelin."Aku sungguh-sungguh, Mas!" suara Evelin terdengar gemetar. "Bagaimana ... bagaimana kalau dia berubah jadi setan terus menghantui kita?""Ngaco kamu!" ucap Mas Ridho lagi. "Sudah tenanglah, jangan sampai ada orang yang dengar."Terdengar suara jendela ditutup. Aku membuang napas lega. Mungkin wajahku sudah berubah, tapi bentuk tubuhku tetap sama. Tidak akan terlalu terlihat jika aku memakai seragam suster, tapi jika aku memakai gamis dan jilbab yang dulu biasa aku pakai, sudah pasti akan sama persis dengan Ara, dengan wajah yang berbeda. Evelin yang tumbuh bersamaku sedari kecil pasti akan tahu.Mengingat hal itu, aku menyunggingkan senyum geli. Sebuah pikiran gila tiba-tiba memasuki
"Ara, mulai hari ini Evelin akan tinggal bersama kita. Sekarang dia saudari kamu," ucap Papa saat pertama kalinya dia membawa Evelin ke rumah.Saat itu umur dia masih enam tahun, lebih muda dua tahun dariku. Aku menyayanginya seperti adikku sendiri. Semua yang Mama dan Papaku belikan untukku, mereka juga membelikannya untuknya. Orang tuaku sangat menyayanginya, tanpa pernah membeda-bedakan kami berdua. Aku sungguh ingin tahu, apa yang menyebabkan dia dan Mamanya berbuat seperti itu pada keluarga kami?Sedangkan Mas Ridho, dia menikahiku atas permintaan Papa. Jika dari awal dia mencintai Evelin, seharusnya dia bisa menikahi Evelin waktu itu. Kenapa harus menikahiku lebih dulu kalau hanya untuk menyingkirkanku? Jika hanya untuk menguasai harta Papa saja, seharusnya mereka tidak perlu mencoba menyingkirkanku dan Mama. Ada apa ini sebenarnya? Aku harus tahu motif mereka sebenarnya."Anna," Mama menggoncang kan lenganku, menyadarkanku dari lamunan.Aku baru saja mengantar Mama kembali ke
Aku mengelus pundak Mama, sambil menahan sesak di dada. Tidak, aku harus kuat. Mama tidak akan bisa menyimpan rahasia. Dia tidak pernah bisa berbohong di depan Papa.Bukan aku tidak mempercayai papa kandungku sendiri, tapi perubahan sikapnya benar-benar membuatku bimbang. Aku tidak boleh ketahuan sekarang, setidaknya sampai aku berhasil memecahkan teka teki rumit yang ada dalam keluargaku."Dia pasti masih pasti masih hidup, Anna. Aku yakin dia tidak akan meninggalkanku secepat ini," ucap Mama lagi, belum bisa menghentikan tangisnya.Aku berjongkok di depannya, menggenggam tangannya erat."Dengarkan saya, Nyonya," ucapku sambil menatap serius padanya.Dia menatapku dengan air mata yang masih menggenang."Jika Nyonya yakin dia masih hidup, maka percayalah padanya. Bagaimanapun, Non Ara pasti ingin Nyonya kuat. Dia akan sangat sedih melihat Nyonya seperti ini," ucapku meyakinkannya.Mama seketika mengusap air matanya."Iya, aku harus kuat. Aku tidak boleh lemah menghadapi orang yang men
POV Ridho"Menerima permintaan Om Hermawan untuk menikahi Ara? Apa kau sudah gila Evelin?" tanyaku pada wanita yang sudah menjalin hubungan denganku selama dua tahun itu."Kau harus menerimanya, Ridho," jawab Evelin sambil memegang lenganku. "Dengan begitu kau bisa mengambil kepercayaan Om Hermawan sepenuhnya."Aku terdiam, tak tahu harus berbuat apa. Mungkin aku memang bukan pria yang baik, tapi aku juga tidak mungkin mempermainkan sebuah pernikahan."Dengarkan aku, Sayang," Evelin memegang pipiku, menatapku dengan serius."Om Hermawan akan menyerahkan sebagian saham padamu jika kau menikahi Ara," ucapnya. "Sedangkan sebagian lagi cepat atau lambat akan kudapatkan. Kita hanya butuh menyingkirkan kecoa saja."Aku menatap Evelin."Aku tidak mau menyentuh wanita itu," ucapku.Evelin tersenyum lalu mengecup pipiku."Tenang saja, malam pernikahan kalian bisa dipastikan malam terakhir kita melihat Ara," ucapnya sambil memeluk pinggangku.Aku membalas pelukannya, wanita yang benar-benar kuc
POV Ara"Apa yang harus Ara lakukan, Om? Kalau begini, Mama akan benar-benar dalam bahaya," ucapku pada Om Adam.Om Adam tampak berpikir sejenak, lalu menatapku."Apa mereka tidak curiga padamu? Bagaimana dengan suaramu?" tanyanya."Aku jarang sekali berbicara dengan mereka, dan selalu menyamarkan suaraku dengan masker," jawabku.Om Adam tampak mengangguk, lalu menatapku."Dengar Ara, ada kemungkinan mereka merencanakan membunuhmu untuk menguasai harta milik keluargamu," ucapnya kemudian."Lalu aku harus bagaimana, Om? Apa aku harus memberi tahu Mama?""Jangan," sahut Om Adam. "Untuk sementara kita harus mencari barang bukti terlebih dahulu."Om Adam bangkit, lalu mengambil sesuatu di laci lemari yang ada di samping ruang tamu. Dia mengambil beberapa buah kamera kecil dan memberikannya padaku."Cari bukti tentang apa yang telah mereka lakukan. Bukti yang cukup kuat untuk menjebloskan mereka ke dalam penjara."Aku menelan saliva, lalu mengangguk."Masalah tentang kematian Wati, serahka