Share

Memulai Operasi

last update Terakhir Diperbarui: 2022-06-23 09:22:55

Evelin Hermawan. Ya, gadis cantik itu memakai nama keluargaku. Dia adalah sepupuku, yang yatim sejak kecil karena ayahnya meninggal. Orang tuaku mengangkatnya sebagai putri mereka karena aku tidak punya saudara.

Dia orang yang paling keras menangis saat berada di pemakaman. Mungkinkah dia tega mengkhianatiku? Mungkinkah dia sama dengan Mas Ridho yang hanya beracting di depan kamera saja?

Aku melihat dia bergelayut manja di lengan Mas Ridho, dan berjalan memasuki restoran tanpa menyadari aku memperhatikan mereka. Hatiku sakit, tapi aku berusaha menahannya.

Dokter Lutfi menepuk pundakku, menyadarkanku dari lamunan. Sepertinya dia tahu apa yang kulihat. Wajah Mas Ridho sering muncul di televisi dan sosial media sejak berita tentang kematianku. Semua orang pasti mengenalnya. Mungkin itu sebabnya dia memilih restoran yang ada di ujung kota ini untuk makan bersama Evelin.

"Kau mau masuk?" tanyanya khawatir.

Aku tersenyum getir, lalu mengangguk. Kami berjalan beriringan memasuki restoran itu. Mataku menyapu seluruh restoran, dan menemukan mereka duduk di kursi di samping jendela. Aku sengaja memilih duduk di dekat mereka, dengan posisi duduk membelakangi mereka.

"Akan kupesankan makanan," ucap Dokter Lutfi padaku.

Aku mengangguk, masih mencoba menguasai diriku saat berada di dekat dua manusia tak tahu malu itu.

"Kapan kau akan menikahiku? Bukankah kita sudah menguasai sebagian harta mereka?" terdengar suara Evelin bertanya pada Mas Ridho.

Harta? Apa yang dia maksud adalah harta orang tuaku? Jantungku seketika berdegup kencang.

"Kenapa harus buru-buru? Tanah pemakaman Ara masih merah. Mereka bisa curiga," jawab Mas Ridho.

Kata-kata Mas Ridho itu seperti pedang yang langsung menghujam jantungku. Tega sekali mereka berbuat ini padaku!

"Dia sudah mati, tapi tetap bisa menghalangi hubungan kita, menyebalkan sekali," ucap Evelin lagi.

"Sabar dulu, kita tunggu sampai orang tuanya menyerahkan semua hartanya pada kita."

Aku seketika menggigit bibir. Tubuhku bergetar hebat. Tanganku keduanya mengepal. Aku hampir berdiri dan ingin memaki mereka saat itu juga. Tapi tiba-tiba Dokter Lutfi memegang pundakku. Aku seketika sadar kalau aku tak boleh gegabah.

Dokter Lutfi meletakkan sepiring sandwich di meja, lalu duduk di depanku.

"Makanlah," ucap Dokter Lutfi sambil menatapku, seakan mengatakan padaku untuk tetap tenang.

Aku membuang napas, mencoba melegakan dadaku yang kian sesak. Aku mengambil sepotong sandwich dan perlahan menggigit ujungnya, sambil tetap mendengarkan apa yang mereka bicarakan.

"Bagaimana keadaan Ibu mertuaku? Kudengar dia sakit sakitan sekarang," tanya Mas Ridho lagi.

Evelin terdengar tertawa, membuatku semakin geram. Ibuku, yang sudah membesarkan dia seperti anak kandung sendiri sedang sakit, tapi dia malah menertawakannya. Hatiku sakit, sampai ke dasarnya.

"Dia terus memikirkan wanita bodoh itu, mungkin ingin segera pergi menyusulnya," jawab Evelin.

Aku sudah tidak tahan lagi mendengar pembicaraan mereka. Aku berdiri dan menarik tangan Dokter Lutfi keluar dari restoran itu.

"Kita ke rumah sakit, Dok. Aku ingin operasiku dilakukan secepatnya," ucapku begitu kami sampai di luar.

Dokter Luthfi mengangguk mengerti. Dia segera membukakan pintu mobil untukku, dan akupun masuk ke dalam.

"Aku sudah mengatur jadwalmu beberapa hari yang lalu. Kita bisa memulainya hari ini juga," ucap Dokter Lutfi sambil menyalakan mesin mobilnya.

Sesaat sebelum mobil meninggalkan tempat itu, aku masih bisa melihat Evelin dan Mas Ridho berjalan keluar restoran sambil tertawa mesra. Lihat saja, kalian tidak akan tertawa seperti itu dalam waktu yang lama.

Mobil melaju mulus menembus jalanan kota yang sudah mulai ramai. Sepanjang perjalanan aku hanya diam, larut dalam pikiranku. Sepertinya Dokter Lutfi juga tak mau menggangguku. Tak terasa kami sudah sampai ke rumah sakit.

Dokter Lutfi mengajakku turun, lalu memasuki lobi rumah sakit. Kami berhenti sebentar di depan resepsionis.

"Saya sudah mengatur jadwal bedah plastik hari ini. Apa Dokter Maya sudah datang?" terdengar Dokter Lutfi berbicara dengan petugas rumah sakit.

Aku berdiri membelakangi mereka, menunggu mereka selesai berbicara. Tiba-tiba terlihat beberapa orang petugas rumah sakit masuk sambil mendorong tandu ambulan, dengan seorang wanita terbaring tak sadarkan diri.

Mataku membulat seketika. Mama! Itu Mama! Refleks kakiku berlari mengejar mereka. Ya Allah, apa yang terjadi dengan Mamaku?

"Apa yang terjadi padanya?" tanyaku pada salah satu petugas.

"Pasien terkena serangan stroke," jawab petugas itu.

Tandu yang membawa Mama memasuki ruang IGD. Aku berdiri dengan shock di depan pintu kaca tak tembus pandang yang besar itu. Sesaat kemudian terlihat Papaku datang dengan panik ke dapan pintu ruangan itu.

"Pa," refleks mulutku memanggilnya.

Papaku menoleh, lalu menatapku dengan heran. Belum sempat dia berkata sesuatu, seorang wanita datang ke tempat itu juga. Dia Tante Merly, ibunya Evelin.

"Bagaimana keadaan Ema?" tanyanya.

"Masih belum tahu," jawab Papaku.

Papa terlihat sangat panik, sedangkan Tante Merly terlihat menghiburnya. Jika tidak ada Tante Merly, aku mungkin sudah memberitahunya kalau aku adalah puterinya, dan aku masih hidup. Aku tidak bisa mempercayai Tante Merly, setelah melihat kelakuan putrinya.

Tiba-tiba seseorang menepuk pundakku. Dokter Lutfi.

"Apa yang terjadi?" bisiknya.

Aku tak menjawab, hanya menatap Papa dan Tante Merly sesaat, lalu mengalihkan pandangan pada Dokter Lutfi.

"Dokter, aku mau minta tolong satu hal lagi," ucapku lirih.

"Katakan," jawab Dokter Lutfi pelan.

"Selama operasi, tolong pastikan Mamaku baik-baik saja," ucapku.

Dokter Lutfi menatap ruang IGD yang masih tertutup, lalu menatapku lagi.

"Baiklah," jawabnya. "Dokter Maya sudah menunggumu. Kau harus ke sana sekarang."

Aku mengangguk. Kutatap Papaku dari jauh sekali lagi, lalu melangkah mantap meninggalkan tempat itu. Tunggu aku Ma, Pa. Aku pasti akan menemukan semua pengkhianat yang ada di sekeliling kita dan membalas mereka semua.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (3)
goodnovel comment avatar
mahyati Reva
lanjut thoooorrr. kamu hati2 ara
goodnovel comment avatar
Ruqi Ruqiyah
naahhhh yg ini bikin degdegan nech...
goodnovel comment avatar
Tukang nulis
sepertinya akan seru ini novel.. semangat Thor .
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • AKU BELUM MATI, MAS!   Akhir ( END )

    "Katakan padaku dengan jujur, Ara. Apa kamu mencintai Lutfi?"Ara hanya menelan saliva, tak mampu menjawab."Jawab, Ara. Jawabanmu sangat berarti bagiku," ucap Dokter Maya lagi."Aku tidak mau jadi perusak hubungan kalian, Dokter," jawab Ara lirih."Itu artinya kau benar-benar mencintainya."Ara diam tak menjawab. Dia hanya bisa menunduk. Dokter Maya memegang kedua tangan Ara dengan kedua tangannya."Dengarkan aku, Ara," ucapnya. "Kalian saling mencintai, jadi jangan biarkan dia pergi."Ara mengangkat wajahnya, lalu menatap Dokter Maya heran."Kenapa Dokter bicara seperti itu?" tanyanya."Lutfi setuju untuk menikahiku karena ingin menolongmu," ucap Dokter Maya lagi. "Orang tuanya mau membantunya untuk hal itu."Mata Ara membulat karena terkejut, tapi sesaat kemudian dia membuang napas lega."Syukurlah, ternyata dugaanku salah," ucap Ara tak bisa menahan air mata."Ara ... ?""Kupikir dia menderita karena terlalu banyak menolongku. Aku takut dia ingin pergi dariku karena tidak mau lagi

  • AKU BELUM MATI, MAS!   Hukuman setimpal

    "Lancang kamu, Evelin! Berani sekali kamu membela mereka dan melawan orang tuamu sendiri!" ucap Merly murka."Sudahlah, Ma, Pa, kalian menyerahlah," ucap Evelin memohon. "Semua ini bukan milik kita. Kita harus mengembalikannya pada yang berhak, lalu mempertanggung jawabkan apa yang sudah kita lakukan!""Diam kamu, Evelin!" bentak Mamanya itu."Dengar, semuanya! Mereka semua hanya pendusta! Mereka bersekongkol! Mereka bicara tanpa bukti!" ucapnya dengan penuh emosi."Kami punya buktinya!"Semua orang menoleh. Dokter Lutfi masuk sambil mendorong Ara yang duduk di atas kursi roda. Ara memperlihatkan dokumen di tangannya pada semua orang. Wajah Hermawan dan Merly seketika memucat."Perusahaan ini milik orang ayah saya, Hasanudin!" ucap Ara lantang. "Mereka dengan sengaja ingin menghabisi nyawa saya sebagai pewaris tunggal perusahaan ini!"Para tamu undangan tampak begitu terkejut, hingga suasana sedikit gaduh."Dokter Lutfi! Rupanya kamu berkhianat! Anda lupa, jika kulaporkan perbuatanmu

  • AKU BELUM MATI, MAS!   Saksi

    Suara sirine mobil ambulans memenuhi pelataran rumah sakit. Para petugas menurunkan Ara yang terbaring tak sadarkan diri di atas tandu, lalu secepatnya melarikannya ke ruang IGD.Nindi dan Ridho berlari mengikuti para petugas itu sampai benar-benar masuk ke dalam ruangan berpintu kaca besar itu. Mereka dengan cemas menunggu di luar ruangan.Dokter Lutfi berlari dengan gugup menuju ke arah ruangan itu."Dokter, tolong selamatkan putriku Dokter!" ucap Nindi begitu melihat Dokter Lutfi.Dokter Lutfi mengangguk, lalu lalu bergegas memasuki ruang IGD."Mama ingat tentang Ara?" tanya Ridho sambil menatap heran pada Mamanya."Gadis itu selalu bicara padaku, menceritakan tentang masa kecilnya, dan dia mengaku sebagai putriku," ucap Nindi sambil membalas tatapan Ridho. "Apa benar dia putriku, Ridho?"Ridho mengangguk cepat. Nindi seketika membulatkan mata."Jadi, Hermawan sudah mengambil bayiku?" tanyanya dengan nada suara bergetar.Ridho mengangguk lagi."Ingatan Mama sudah kembali?" tanya Ri

  • AKU BELUM MATI, MAS!   Ingatan Masa Lalu

    "Ridho, kita mau ke mana?" tanya Nindi sambil menatap Ridho yang sedang fokus menyetir.Ridho menoleh pada Mamanya sekilas seraya tersenyum."Kita akan pulang, Ma," jawab Ridho dengan suara lembut."Akhirnya kita mau pulang," ucap Mamanya dengan senyum lebar, mirip seperti anak kecil yang akan diajak ke tempat rekreasi.Ridho terdiam melihat ekspresi Mama angkatnya itu. Hatinya tiba-tiba kembali bimbang. Apa dia benar-benar harus melakukan hal ini?Lamunannya buyar ketika gawainya berdering. Dia mengambil headset dan memasangnya di telinga."Bagaimana? Kau sudah bersama dia?" terdengar suara Merly dari seberang telepon.Ridho tak langsung menjawab. Dia melirik ke arah Mamanya yang matanya antusias memperhatikan jalan."Iya, sekarang aku bersamanya," jawabnya kemudian dengan suara berat."Bagus, bawa dia ke tempat yang sudah aku tunjukkan.""Baik," jawab Ridho lirih.Merly menutup teleponnya seraya tersenyum miring, lalu menghubungi lagi seseorang. Rencananya kali ini harus berjalan mu

  • AKU BELUM MATI, MAS!   Rencana licik

    "Apa maksudmu, Evelin? Itu bayi kita, darah daging kita!" ucap Ridho sambil menggoncang lengan Evelin.Evelin hanya menunduk dalam."Aku akan segera menikahimu. Jadi jangan pernah berpikiran seperti itu lagi!" ucap Ridho lagi."Justru karena itulah aku tidak bisa!""Evelin!""Aku tidak bisa menikah denganmu, Mas!"Ridho membulatkan mata menatap Evelin. Dia memegang kedua pundak Evelin dengan kedua tangannya."Semua ini bukan atas keinginanmu sendiri, kan?" tanyanya gusar.Evelin tak menjawab, dia hanya menunduk."Kenapa kau tidak bisa sekali saja hidup dengan keinginanmu? Kenapa harus mengorbankan dirimu sendiri demi Mamamu?""Cukup Ridho!"Ridho melepaskan tangannya dari pundak Evelin, lalu menoleh.Merly dengan angkuh memasuki pintu, lalu merangkul pundak putrinya."Kamu pikir aku rela menikahkan putriku dengan pengkhianat sepertimu?" tanyanya sambil menatap tajam ke arah Ridho."Pengkhianat?" Ridho balik bertanya sambil membalas tatapan Merly.Merly mengambil sesuatu dari dalam tas

  • AKU BELUM MATI, MAS!   Pengakuan Ridho

    "Perkembangan mental Nyonya Nindi sudah sangat bagus. Jika terus membaik seperti ini, ingatannya akan segera pulih kembali."Ara membuang napas lega mendengar ucapan Dokter spesialis jiwa yang mereka temui hari itu. Dia tersenyum seraya menatap Mamanya."Alhamdulillah Mama sebentar lagi sembuh," ucap Ara sambil memegang tangan Mamanya.Wajah Mamanya dari tadi tampak gelisah. Dia menatap Ara dengan cemas."Ara," ucapnya.Mata Ara membulat. Mamanya mengingat namanya!"Ridho mana, Ara?" tanyanya dengan wajah kebingungan. "Kenapa dia meninggalkanku, Mamanya?"Ara terkejut mendengar pertanyaan Mamanya."Mama mengenal Mas Ridho?" tanyanya kemudian."Dia Ridho, anakku," jawab Mamanya. "Dia anakku."Mamanya mengulang kata-kata itu sampai beberapa kali. Ara terdiam mendengarnya. Satu-satunya tempat di mana dia akan menemukan jawaban adalah rumah sakit tempat Mamanya dulu dirawat."Kita pulang dulu ya, Ma. Ara akan mencari Mas Ridho dan menyuruhnya pulang menemui Mama," ucap Ara berbohong.Mama

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status