Beberapa hari sudah berlalu sejak Dokter Lutfi menyelamatkanku dari kecelakaan maut itu. Meskipun aku tidak menceritakan semuanya, tapi kelihatannya dia benar-benar tulus ingin menolongku.
Tubuhku berangsur pulih, kecuali beberapa luka bakar yang memang parah, terutama di wajahku. Rasa sakit yang menjalar ini sungguh tak sebanding dengan rasa sakit hati yang kurasakan, saat dikhianati pada malam pernikahan.Sementara itu, berita di televisi menyiarkan tepat tujuh hari meninggalnya Tiara Hermawan, yang sebenarnya adalah Wati yang mereka kuburkan atas namaku.Kulihat Mas Ridho memasang wajah sedih di depan kamera, lalu berkata, "Aku benar-benar tak menyangka akan kehilangan dia secepat ini."Apa kau benar-benar merasa kehilangan, Mas? Atau itu cuma acting saja, untuk menyembunyikan kebusukanmu?Bagaimanapun, aku harus pulang. Aku harus kembali ke tempat orang tuaku, sebelum mereka benar-benar menyerahkan semua harta mereka pada Mas Ridho."Bagaimana? Kau sudah siap berangkat ke kota besok?" tanya Dokter Lutfi saat memasuki kamarku, membuyarkan semua yang kupikirkan.Aku tersenyum dari balik perban yang masih membungkus wajahku, seraya perlahan mengangguk."Bagus, bersiaplah. Besok aku akan mengantarkanmu ke sana. Apa kau mau menemui orang tuamu dulu sebelum ke rumah sakit?"Aku terdiam, lalu melihat berita dalam televisi lagi."Kurasa tidak," jawabku kemudian, lalu menatap Dokter Lutfi. "Butuh waktu berapa lama hingga aku bisa mendapatkan wajahku kembali?""Tiga sampai empat jam pembedahan," jawab Dokter Lutfi. "Jika operasinya berjalan lancar, hanya butuh satu bulan untuk pemulihan."Aku memegang tangan Dokter Lutfi."Aku tidak peduli jika wajahku nanti akan berubah. Kumohon tolong bantu aku. Aku akan mengganti semua biayanya," ucapku.Benar, meskipun wajahku akan berubah nantinya, ada sesuatu yang tidak akan berubah. Sidik jari. Aku masih punya aset pribadi, yang tidak akan ada orang lain yang bisa menyentuhnya tanpa sidik jariku.Dokter Lutfi tersenyum, lalu menepuk punggung tanganku."Jangan khawatir. Aku akan menolongmu," ucapnya.Aku membuang napas lega. Saat ini, aku belum bisa mempercayai siapapun. Tapi setidaknya aku bisa sedikit mempercayai Dokter Lutfi, yang bahkan rela mengabdikan hidupnya di perkampungan seperti ini.Sesaat kemudian asisten Dokter Lutfi masuk. Aku segera menarik tanganku dari tangan Dokter Lutfi, takut dia salah paham dengan apa yang dilihatnya."Maaf, Dokter. Ada beberapa pasien yang menunggu di luar," kata asistennya itu."Baiklah, akan segera saya tangani," ucap Dokter Lutfi seraya bangkit dari duduknya, lalu meninggalkan aku sendirian di kamar inapku itu.Aku perlahan berdiri, lalu mengintip Dokter itu saat memeriksa pasien. Sebagian warga hanya membayar pengobatan semampu mereka. Bahkan ada yang hanya membayar dengan hasil kebun, seperti pisang dan singkong.Dalam hati aku kagum dengan sosok Dokter tampan yang baik hati itu. Tiba-tiba dia menoleh, sepertinya sadar aku memperhatikannya. Aku langsung membalikkan badan, menyembunyikan tubuhku di balik tembok. Ah, kenapa harus begini coba? Aku cepat-cepat kembali ke dalam kamarku, lalu menutup tubuhku dengan selimut. Ah, aku tidak boleh seperti ini....Aku memakai baju dan jilbab yang Dokter Luthfi berikan, lalu menatap diriku ke dalam cermin. Kuraba wajahku yang masih terbungkus benda putih itu. Aku harus kuat. Aku harus mencari tahu siapa wanita yang waktu itu bersama Mas Ridho."Kau sudah siap? Ayo kita berangkat," ucap Dokter Lutfi sambil mengambil tas miliknya.Aku membenarkan jilbabku sekali lagi, lalu mengangguk. Dokter Luthfi mempersilahkan ku masuk ke dalam mobilnya, lalu kami pun berangkat menaiki jalan berbukit, menuju kota.Sepanjang perjalanan aku menatap deretan pepohonan yang berjejer di sepanjang jalan, sambil sesekali melirik Dokter Lutfi yang sedang fokus menyetir."Dokter," panggilku lirih."Hmm," Dokter Lutfi menatap sesaat padaku."Kenapa Dokter memilih bekerja di perkampungan? Apa Dokter belum menikah?"Dokter Lutfi tersenyum mendengar perkataanku."Aku belum memikirkan untuk menikah. Untuk saat ini aku hanya ingin menolong orang yang membutuhkan, tapi tak memiliki uang untuk membayar," ucapnya."Kau sendiri, bukankah baru saja menikah?" dia balik bertanya. "Kenapa kau malah memilih menyembunyikan identitasmu? Suamimu terlihat sangat kehilangan karena mengira kau sudah tiada."Aku tak langsung menjawab. Kulihat jejeran pohon di sepanjang jalan lagi."Ada sesuatu yang belum bisa kuceritakan. Aku harus lebih dulu mendapatkan bukti sebelum berasumsi."Dokter Lutfi tampak mengangguk mengerti, lalu kembali fokus menyetir. Mobil sudah memasuki area perkotaan. Hatiku tiba- tiba berdebar, karena aku merasa seperti bangkit dari kematian."Kau ingin sarapan dulu sebelum ke rumah sakit?" tanya Dokter Lutfi lagi.Aku tersenyum, seraya mengangguk. Dokter Lutfi menghentikan mobilnya di sebuah restoran cepat saji yang ada di dekat situ. Dokter membukakan pintu, mempersilahkan ku turun. Sepertinya dia benar-benar tahu cara memperlakukan wanita.Aku turun dari mobilnya, lalu menatap sekeliling restoran. Deg! Tiba-tiba pandanganku jatuh pada sebuah mobil yang baru saja datang. Itu seperti mobil Mas Ridho!"Ayo masuk," ajak Dokter Lutfi, bersiap melangkah menuju restoran.Aku masih berdiri di tempatku, menatap mobil yang parkir tak jauh dari tempat kami. Benar saja, Mas Ridho turun dari mobil itu, lalu membukakan pintu untuk seseorang. Seorang wanita turun dari mobil itu.Mataku seketika membulat, tak percaya dengan apa yang kulihat. Wanita itu, aku sangat mengenalnya. Dia adalah ...Evelin Hermawan. Ya, gadis cantik itu memakai nama keluargaku. Dia adalah sepupuku, yang yatim sejak kecil karena ayahnya meninggal. Orang tuaku mengangkatnya sebagai putri mereka karena aku tidak punya saudara.Dia orang yang paling keras menangis saat berada di pemakaman. Mungkinkah dia tega mengkhianatiku? Mungkinkah dia sama dengan Mas Ridho yang hanya beracting di depan kamera saja?Aku melihat dia bergelayut manja di lengan Mas Ridho, dan berjalan memasuki restoran tanpa menyadari aku memperhatikan mereka. Hatiku sakit, tapi aku berusaha menahannya.Dokter Lutfi menepuk pundakku, menyadarkanku dari lamunan. Sepertinya dia tahu apa yang kulihat. Wajah Mas Ridho sering muncul di televisi dan sosial media sejak berita tentang kematianku. Semua orang pasti mengenalnya. Mungkin itu sebabnya dia memilih restoran yang ada di ujung kota ini untuk makan bersama Evelin."Kau mau masuk?" tanyanya khawatir.Aku tersenyum getir, lalu mengangguk. Kami berjalan beriringan memasuki restoran itu
Aku perlahan membuka mataku, saat Dokter sudah selesai membuka perban di wajahku. Ragu-ragu kuangangkat cermin yang dari tadi kupegang.Mataku membulat, wajahku yang jauh berbeda dari sebelumnya. Mungkin orang akan berkata jauh lebih cantik dari Ara yang semua orang kenal. Tapi bagiku, wajah ini terasa sangat asing."Bagaimana?" tanya Dokter Lutfi sambil memperhatikanku.Aku menelan ludah, lalu menatapnya seraya tersenyum tipis."Mulai hari ini aku akan membiasakan diri dengan wajah ini," ucapku.Dokter Lutfi tampak membuang napas lega."Baguslah," ucapnya."Bagaimana keadaan Mamaku, Dokter?" tanyaku padanya."Syukurlah beliau hanya menderita stroke ringan, mungkin hari ini bisa pulang," jawab Dokter Lutfi.Aku terdiam dan berpikir. Aku harus bisa pergi ke rumah untuk menyelamatkan semua aset pribadiku. Tapi bagaimana caranya?"Apa rencanamu sekarang?" tanya Dokter Lutfi, membuyarkan lamunanku."Entahlah, aku masih memikirkannya," jawabku pelan.Dokter Lutfi membuang napas."Baiklah,
"Anna?" Mamaku memanggil nama tersenyum padaku."Maaf ya? Mulai sekarang aku akan merepotkanmu."Ada rasa nyeri menusuk dalam dadaku mendengar perkataannya. Batinku menjerit. Ma, ini aku, anakmu!"Apa tidak ada yang biasa saja, Dok?" celetuk Tante Merly, sambil menatap curiga padaku. "Dia itu terlalu cantik untuk seorang perawat."Aku terdiam. Apa masalahnya dengan dia? Kenapa tiba-tiba mempermasalahkan wajah?"Aku mau dia yang merawatku," sahut Mama.Tante Merly terlihat membuang napas."Sudah, dia saja. Ayo kita cepat pulang. Sudah hampir satu bulan kita di sini. Aku tidak mau berlama-lama di rumah sakit lagi," sahut Papa sambil berjalan menuju luar ruangan.Tante Merly meninggalkan tatapan tak enak ketika melewatiku. Aneh, biasanya dia bersikap begitu baik pada semua orang. Tapi kenapa mendadak seperti tak suka padaku? Ah, mungkin ini cuma perasaanku saja.Aku membantu Mama duduk ke atas kursi rodanya, lalu mendorongnya keluar ruangan. Tiba-tiba Dokter Lutfi menghentikan ku. Dia men
Aku cepat-cepat memakai jilbabku dan perlahan keluar dari kamar. Tak lupa kubawa gawaiku untuk mendapatkan bukti. Kuperhatikan sekeliling, memastikan Mama dan Papa sudah tidur. Tanpa ragu lagi aku langsung berjalan menuju ke arah pintu belakang, karena aku hafal betul setiap sudut rumah ini.Kubuka pintu belakang dan memperhatikan sekeliling, lalu perlahan berjalan menuju arah rumahku. Aku menyusuri setiap sudut rumah, dan ternyata semua pintu terkunci.Bagaimana aku bisa masuk? Aku teringat ada pintu darurat yang ada di ruang bawah tanah, tapi tidak mungkin masuk ke sana di malam hari, apalagi aku tidak membawa senter.Akhirnya aku teringat kalau ada pintu yang menghubungkan dua rumah itu melalui dapur. Tanpa pikir panjang aku langsung berjalan kembali ke arah rumah orang tuaku, dan langsung menuju arah dapur.Aku mencari-cari kunci di antara deretan kunci yang tergantung di samping pintu dapur. Aku tidak pernah sekalipun membuka pintu itu, jadi aku harus mencoba kuncinya satu persat
Aku masih mendengar suara Evelin menjerit-jerit. Perlahan aku merangkak melalui bawah pagar mendekati mereka."Aku benar-benar melihat Ara, Mas! Dia berjalan di luar jendela!" teriak Evelin histeris."Tidak ada siapa-siapa, Sayang. Itu cuma bayanganmu saja," terdengar suara Mas Ridho menenangkan Evelin."Aku sungguh-sungguh, Mas!" suara Evelin terdengar gemetar. "Bagaimana ... bagaimana kalau dia berubah jadi setan terus menghantui kita?""Ngaco kamu!" ucap Mas Ridho lagi. "Sudah tenanglah, jangan sampai ada orang yang dengar."Terdengar suara jendela ditutup. Aku membuang napas lega. Mungkin wajahku sudah berubah, tapi bentuk tubuhku tetap sama. Tidak akan terlalu terlihat jika aku memakai seragam suster, tapi jika aku memakai gamis dan jilbab yang dulu biasa aku pakai, sudah pasti akan sama persis dengan Ara, dengan wajah yang berbeda. Evelin yang tumbuh bersamaku sedari kecil pasti akan tahu.Mengingat hal itu, aku menyunggingkan senyum geli. Sebuah pikiran gila tiba-tiba memasuki
"Ara, mulai hari ini Evelin akan tinggal bersama kita. Sekarang dia saudari kamu," ucap Papa saat pertama kalinya dia membawa Evelin ke rumah.Saat itu umur dia masih enam tahun, lebih muda dua tahun dariku. Aku menyayanginya seperti adikku sendiri. Semua yang Mama dan Papaku belikan untukku, mereka juga membelikannya untuknya. Orang tuaku sangat menyayanginya, tanpa pernah membeda-bedakan kami berdua. Aku sungguh ingin tahu, apa yang menyebabkan dia dan Mamanya berbuat seperti itu pada keluarga kami?Sedangkan Mas Ridho, dia menikahiku atas permintaan Papa. Jika dari awal dia mencintai Evelin, seharusnya dia bisa menikahi Evelin waktu itu. Kenapa harus menikahiku lebih dulu kalau hanya untuk menyingkirkanku? Jika hanya untuk menguasai harta Papa saja, seharusnya mereka tidak perlu mencoba menyingkirkanku dan Mama. Ada apa ini sebenarnya? Aku harus tahu motif mereka sebenarnya."Anna," Mama menggoncang kan lenganku, menyadarkanku dari lamunan.Aku baru saja mengantar Mama kembali ke
Aku mengelus pundak Mama, sambil menahan sesak di dada. Tidak, aku harus kuat. Mama tidak akan bisa menyimpan rahasia. Dia tidak pernah bisa berbohong di depan Papa.Bukan aku tidak mempercayai papa kandungku sendiri, tapi perubahan sikapnya benar-benar membuatku bimbang. Aku tidak boleh ketahuan sekarang, setidaknya sampai aku berhasil memecahkan teka teki rumit yang ada dalam keluargaku."Dia pasti masih pasti masih hidup, Anna. Aku yakin dia tidak akan meninggalkanku secepat ini," ucap Mama lagi, belum bisa menghentikan tangisnya.Aku berjongkok di depannya, menggenggam tangannya erat."Dengarkan saya, Nyonya," ucapku sambil menatap serius padanya.Dia menatapku dengan air mata yang masih menggenang."Jika Nyonya yakin dia masih hidup, maka percayalah padanya. Bagaimanapun, Non Ara pasti ingin Nyonya kuat. Dia akan sangat sedih melihat Nyonya seperti ini," ucapku meyakinkannya.Mama seketika mengusap air matanya."Iya, aku harus kuat. Aku tidak boleh lemah menghadapi orang yang men
POV Ridho"Menerima permintaan Om Hermawan untuk menikahi Ara? Apa kau sudah gila Evelin?" tanyaku pada wanita yang sudah menjalin hubungan denganku selama dua tahun itu."Kau harus menerimanya, Ridho," jawab Evelin sambil memegang lenganku. "Dengan begitu kau bisa mengambil kepercayaan Om Hermawan sepenuhnya."Aku terdiam, tak tahu harus berbuat apa. Mungkin aku memang bukan pria yang baik, tapi aku juga tidak mungkin mempermainkan sebuah pernikahan."Dengarkan aku, Sayang," Evelin memegang pipiku, menatapku dengan serius."Om Hermawan akan menyerahkan sebagian saham padamu jika kau menikahi Ara," ucapnya. "Sedangkan sebagian lagi cepat atau lambat akan kudapatkan. Kita hanya butuh menyingkirkan kecoa saja."Aku menatap Evelin."Aku tidak mau menyentuh wanita itu," ucapku.Evelin tersenyum lalu mengecup pipiku."Tenang saja, malam pernikahan kalian bisa dipastikan malam terakhir kita melihat Ara," ucapnya sambil memeluk pinggangku.Aku membalas pelukannya, wanita yang benar-benar kuc