Share

Wanita itu

last update Terakhir Diperbarui: 2022-06-23 09:21:47

Beberapa hari sudah berlalu sejak Dokter Lutfi menyelamatkanku dari kecelakaan maut itu. Meskipun aku tidak menceritakan semuanya, tapi kelihatannya dia benar-benar tulus ingin menolongku.

Tubuhku berangsur pulih, kecuali beberapa luka bakar yang memang parah, terutama di wajahku. Rasa sakit yang menjalar ini sungguh tak sebanding dengan rasa sakit hati yang kurasakan, saat dikhianati pada malam pernikahan.

Sementara itu, berita di televisi menyiarkan tepat tujuh hari meninggalnya Tiara Hermawan, yang sebenarnya adalah Wati yang mereka kuburkan atas namaku.

Kulihat Mas Ridho memasang wajah sedih di depan kamera, lalu berkata, "Aku benar-benar tak menyangka akan kehilangan dia secepat ini."

Apa kau benar-benar merasa kehilangan, Mas? Atau itu cuma acting saja, untuk menyembunyikan kebusukanmu?

Bagaimanapun, aku harus pulang. Aku harus kembali ke tempat orang tuaku, sebelum mereka benar-benar menyerahkan semua harta mereka pada Mas Ridho.

"Bagaimana? Kau sudah siap berangkat ke kota besok?" tanya Dokter Lutfi saat memasuki kamarku, membuyarkan semua yang kupikirkan.

Aku tersenyum dari balik perban yang masih membungkus wajahku, seraya perlahan mengangguk.

"Bagus, bersiaplah. Besok aku akan mengantarkanmu ke sana. Apa kau mau menemui orang tuamu dulu sebelum ke rumah sakit?"

Aku terdiam, lalu melihat berita dalam televisi lagi.

"Kurasa tidak," jawabku kemudian, lalu menatap Dokter Lutfi. "Butuh waktu berapa lama hingga aku bisa mendapatkan wajahku kembali?"

"Tiga sampai empat jam pembedahan," jawab Dokter Lutfi. "Jika operasinya berjalan lancar, hanya butuh satu bulan untuk pemulihan."

Aku memegang tangan Dokter Lutfi.

"Aku tidak peduli jika wajahku nanti akan berubah. Kumohon tolong bantu aku. Aku akan mengganti semua biayanya," ucapku.

Benar, meskipun wajahku akan berubah nantinya, ada sesuatu yang tidak akan berubah. Sidik jari. Aku masih punya aset pribadi, yang tidak akan ada orang lain yang bisa menyentuhnya tanpa sidik jariku.

Dokter Lutfi tersenyum, lalu menepuk punggung tanganku.

"Jangan khawatir. Aku akan menolongmu," ucapnya.

Aku membuang napas lega. Saat ini, aku belum bisa mempercayai siapapun. Tapi setidaknya aku bisa sedikit mempercayai Dokter Lutfi, yang bahkan rela mengabdikan hidupnya di perkampungan seperti ini.

Sesaat kemudian asisten Dokter Lutfi masuk. Aku segera menarik tanganku dari tangan Dokter Lutfi, takut dia salah paham dengan apa yang dilihatnya.

"Maaf, Dokter. Ada beberapa pasien yang menunggu di luar," kata asistennya itu.

"Baiklah, akan segera saya tangani," ucap Dokter Lutfi seraya bangkit dari duduknya, lalu meninggalkan aku sendirian di kamar inapku itu.

Aku perlahan berdiri, lalu mengintip Dokter itu saat memeriksa pasien. Sebagian warga hanya membayar pengobatan semampu mereka. Bahkan ada yang hanya membayar dengan hasil kebun, seperti pisang dan singkong.

Dalam hati aku kagum dengan sosok Dokter tampan yang baik hati itu. Tiba-tiba dia menoleh, sepertinya sadar aku memperhatikannya. Aku langsung membalikkan badan, menyembunyikan tubuhku di balik tembok. Ah, kenapa harus begini coba? Aku cepat-cepat kembali ke dalam kamarku, lalu menutup tubuhku dengan selimut. Ah, aku tidak boleh seperti ini.

.

.

.

Aku memakai baju dan jilbab yang Dokter Luthfi berikan, lalu menatap diriku ke dalam cermin. Kuraba wajahku yang masih terbungkus benda putih itu. Aku harus kuat. Aku harus mencari tahu siapa wanita yang waktu itu bersama Mas Ridho.

"Kau sudah siap? Ayo kita berangkat," ucap Dokter Lutfi sambil mengambil tas miliknya.

Aku membenarkan jilbabku sekali lagi, lalu mengangguk. Dokter Luthfi mempersilahkan ku masuk ke dalam mobilnya, lalu kami pun berangkat menaiki jalan berbukit, menuju kota.

Sepanjang perjalanan aku menatap deretan pepohonan yang berjejer di sepanjang jalan, sambil sesekali melirik Dokter Lutfi yang sedang fokus menyetir.

"Dokter," panggilku lirih.

"Hmm," Dokter Lutfi menatap sesaat padaku.

"Kenapa Dokter memilih bekerja di perkampungan? Apa Dokter belum menikah?"

Dokter Lutfi tersenyum mendengar perkataanku.

"Aku belum memikirkan untuk menikah. Untuk saat ini aku hanya ingin menolong orang yang membutuhkan, tapi tak memiliki uang untuk membayar," ucapnya.

"Kau sendiri, bukankah baru saja menikah?" dia balik bertanya. "Kenapa kau malah memilih menyembunyikan identitasmu? Suamimu terlihat sangat kehilangan karena mengira kau sudah tiada."

Aku tak langsung menjawab. Kulihat jejeran pohon di sepanjang jalan lagi.

"Ada sesuatu yang belum bisa kuceritakan. Aku harus lebih dulu mendapatkan bukti sebelum berasumsi."

Dokter Lutfi tampak mengangguk mengerti, lalu kembali fokus menyetir. Mobil sudah memasuki area perkotaan. Hatiku tiba- tiba berdebar, karena aku merasa seperti bangkit dari kematian.

"Kau ingin sarapan dulu sebelum ke rumah sakit?" tanya Dokter Lutfi lagi.

Aku tersenyum, seraya mengangguk. Dokter Lutfi menghentikan mobilnya di sebuah restoran cepat saji yang ada di dekat situ. Dokter membukakan pintu, mempersilahkan ku turun. Sepertinya dia benar-benar tahu cara memperlakukan wanita.

Aku turun dari mobilnya, lalu menatap sekeliling restoran. Deg! Tiba-tiba pandanganku jatuh pada sebuah mobil yang baru saja datang. Itu seperti mobil Mas Ridho!

"Ayo masuk," ajak Dokter Lutfi, bersiap melangkah menuju restoran.

Aku masih berdiri di tempatku, menatap mobil yang parkir tak jauh dari tempat kami. Benar saja, Mas Ridho turun dari mobil itu, lalu membukakan pintu untuk seseorang. Seorang wanita turun dari mobil itu.

Mataku seketika membulat, tak percaya dengan apa yang kulihat. Wanita itu, aku sangat mengenalnya. Dia adalah ...

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • AKU BELUM MATI, MAS!   Akhir ( END )

    "Katakan padaku dengan jujur, Ara. Apa kamu mencintai Lutfi?"Ara hanya menelan saliva, tak mampu menjawab."Jawab, Ara. Jawabanmu sangat berarti bagiku," ucap Dokter Maya lagi."Aku tidak mau jadi perusak hubungan kalian, Dokter," jawab Ara lirih."Itu artinya kau benar-benar mencintainya."Ara diam tak menjawab. Dia hanya bisa menunduk. Dokter Maya memegang kedua tangan Ara dengan kedua tangannya."Dengarkan aku, Ara," ucapnya. "Kalian saling mencintai, jadi jangan biarkan dia pergi."Ara mengangkat wajahnya, lalu menatap Dokter Maya heran."Kenapa Dokter bicara seperti itu?" tanyanya."Lutfi setuju untuk menikahiku karena ingin menolongmu," ucap Dokter Maya lagi. "Orang tuanya mau membantunya untuk hal itu."Mata Ara membulat karena terkejut, tapi sesaat kemudian dia membuang napas lega."Syukurlah, ternyata dugaanku salah," ucap Ara tak bisa menahan air mata."Ara ... ?""Kupikir dia menderita karena terlalu banyak menolongku. Aku takut dia ingin pergi dariku karena tidak mau lagi

  • AKU BELUM MATI, MAS!   Hukuman setimpal

    "Lancang kamu, Evelin! Berani sekali kamu membela mereka dan melawan orang tuamu sendiri!" ucap Merly murka."Sudahlah, Ma, Pa, kalian menyerahlah," ucap Evelin memohon. "Semua ini bukan milik kita. Kita harus mengembalikannya pada yang berhak, lalu mempertanggung jawabkan apa yang sudah kita lakukan!""Diam kamu, Evelin!" bentak Mamanya itu."Dengar, semuanya! Mereka semua hanya pendusta! Mereka bersekongkol! Mereka bicara tanpa bukti!" ucapnya dengan penuh emosi."Kami punya buktinya!"Semua orang menoleh. Dokter Lutfi masuk sambil mendorong Ara yang duduk di atas kursi roda. Ara memperlihatkan dokumen di tangannya pada semua orang. Wajah Hermawan dan Merly seketika memucat."Perusahaan ini milik orang ayah saya, Hasanudin!" ucap Ara lantang. "Mereka dengan sengaja ingin menghabisi nyawa saya sebagai pewaris tunggal perusahaan ini!"Para tamu undangan tampak begitu terkejut, hingga suasana sedikit gaduh."Dokter Lutfi! Rupanya kamu berkhianat! Anda lupa, jika kulaporkan perbuatanmu

  • AKU BELUM MATI, MAS!   Saksi

    Suara sirine mobil ambulans memenuhi pelataran rumah sakit. Para petugas menurunkan Ara yang terbaring tak sadarkan diri di atas tandu, lalu secepatnya melarikannya ke ruang IGD.Nindi dan Ridho berlari mengikuti para petugas itu sampai benar-benar masuk ke dalam ruangan berpintu kaca besar itu. Mereka dengan cemas menunggu di luar ruangan.Dokter Lutfi berlari dengan gugup menuju ke arah ruangan itu."Dokter, tolong selamatkan putriku Dokter!" ucap Nindi begitu melihat Dokter Lutfi.Dokter Lutfi mengangguk, lalu lalu bergegas memasuki ruang IGD."Mama ingat tentang Ara?" tanya Ridho sambil menatap heran pada Mamanya."Gadis itu selalu bicara padaku, menceritakan tentang masa kecilnya, dan dia mengaku sebagai putriku," ucap Nindi sambil membalas tatapan Ridho. "Apa benar dia putriku, Ridho?"Ridho mengangguk cepat. Nindi seketika membulatkan mata."Jadi, Hermawan sudah mengambil bayiku?" tanyanya dengan nada suara bergetar.Ridho mengangguk lagi."Ingatan Mama sudah kembali?" tanya Ri

  • AKU BELUM MATI, MAS!   Ingatan Masa Lalu

    "Ridho, kita mau ke mana?" tanya Nindi sambil menatap Ridho yang sedang fokus menyetir.Ridho menoleh pada Mamanya sekilas seraya tersenyum."Kita akan pulang, Ma," jawab Ridho dengan suara lembut."Akhirnya kita mau pulang," ucap Mamanya dengan senyum lebar, mirip seperti anak kecil yang akan diajak ke tempat rekreasi.Ridho terdiam melihat ekspresi Mama angkatnya itu. Hatinya tiba-tiba kembali bimbang. Apa dia benar-benar harus melakukan hal ini?Lamunannya buyar ketika gawainya berdering. Dia mengambil headset dan memasangnya di telinga."Bagaimana? Kau sudah bersama dia?" terdengar suara Merly dari seberang telepon.Ridho tak langsung menjawab. Dia melirik ke arah Mamanya yang matanya antusias memperhatikan jalan."Iya, sekarang aku bersamanya," jawabnya kemudian dengan suara berat."Bagus, bawa dia ke tempat yang sudah aku tunjukkan.""Baik," jawab Ridho lirih.Merly menutup teleponnya seraya tersenyum miring, lalu menghubungi lagi seseorang. Rencananya kali ini harus berjalan mu

  • AKU BELUM MATI, MAS!   Rencana licik

    "Apa maksudmu, Evelin? Itu bayi kita, darah daging kita!" ucap Ridho sambil menggoncang lengan Evelin.Evelin hanya menunduk dalam."Aku akan segera menikahimu. Jadi jangan pernah berpikiran seperti itu lagi!" ucap Ridho lagi."Justru karena itulah aku tidak bisa!""Evelin!""Aku tidak bisa menikah denganmu, Mas!"Ridho membulatkan mata menatap Evelin. Dia memegang kedua pundak Evelin dengan kedua tangannya."Semua ini bukan atas keinginanmu sendiri, kan?" tanyanya gusar.Evelin tak menjawab, dia hanya menunduk."Kenapa kau tidak bisa sekali saja hidup dengan keinginanmu? Kenapa harus mengorbankan dirimu sendiri demi Mamamu?""Cukup Ridho!"Ridho melepaskan tangannya dari pundak Evelin, lalu menoleh.Merly dengan angkuh memasuki pintu, lalu merangkul pundak putrinya."Kamu pikir aku rela menikahkan putriku dengan pengkhianat sepertimu?" tanyanya sambil menatap tajam ke arah Ridho."Pengkhianat?" Ridho balik bertanya sambil membalas tatapan Merly.Merly mengambil sesuatu dari dalam tas

  • AKU BELUM MATI, MAS!   Pengakuan Ridho

    "Perkembangan mental Nyonya Nindi sudah sangat bagus. Jika terus membaik seperti ini, ingatannya akan segera pulih kembali."Ara membuang napas lega mendengar ucapan Dokter spesialis jiwa yang mereka temui hari itu. Dia tersenyum seraya menatap Mamanya."Alhamdulillah Mama sebentar lagi sembuh," ucap Ara sambil memegang tangan Mamanya.Wajah Mamanya dari tadi tampak gelisah. Dia menatap Ara dengan cemas."Ara," ucapnya.Mata Ara membulat. Mamanya mengingat namanya!"Ridho mana, Ara?" tanyanya dengan wajah kebingungan. "Kenapa dia meninggalkanku, Mamanya?"Ara terkejut mendengar pertanyaan Mamanya."Mama mengenal Mas Ridho?" tanyanya kemudian."Dia Ridho, anakku," jawab Mamanya. "Dia anakku."Mamanya mengulang kata-kata itu sampai beberapa kali. Ara terdiam mendengarnya. Satu-satunya tempat di mana dia akan menemukan jawaban adalah rumah sakit tempat Mamanya dulu dirawat."Kita pulang dulu ya, Ma. Ara akan mencari Mas Ridho dan menyuruhnya pulang menemui Mama," ucap Ara berbohong.Mama

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status