Share

AKU BUKAN  ANAK AYAH!
AKU BUKAN ANAK AYAH!
Author: ArgaNov

Ibu Menusuk Ayah

“AYU! AYU!”

Suara itu mengema di rumahku. Aku yang meringkuk di atas tempat tidur dengan seprai usang yang pada tepinya sedikit robek sejak tadi langsung meloncat sambil berdiri. Di wajahku segera muncul senyuman paling lebar. Aku bisa merasakan kalau pipiku sakit saat ini.

“Ayah!” seruku sambil turun dari tempat tidur.

Aku tersungkur karena kakiku tersangkut seprai yang sobek. Tapi secepat kilat pula aku bangun. Ayahku yang tampan berada di depan pintu masuk, sedikit kotor, dan tampak agak oleng.

“Ada apa, Yah?” tanyaku ingin tahu.

Salah satu tangan pria itu disembunyikan di belakang tubuhnya. Ia tersenyum-senyum dan kemudian menjatuhkan diri di kursi rotan reyot di ruang tamu.

“Kemarilah! Lihat apa yang aku bawa untukmu!” katanya menyeringai.

Ayah berbau asam. Matanya selalu merah kapan pun aku bertemu dengannya. Sesekali kalau ia sedikit saja tampak lebih baik, ia akan bersikap buruk pada ibuku.

Setiap kali itu terjadi, aku akan bertanya kenapa. Dan Ayah akan menjawab sambil menaikan dagunya. “Itu memang pantas didapatkan ibumu!”

Aku hanya mengangguk  untuk menanggapi. Umurku baru 11 tahun dan sama sekali tidak mengerti apa dengan pantas atau tidaknya. Yang jelas Ayah menyayangiku dan aku cukup dengan itu.

“Apa itu, Yah!” desakku.

Kuguncang lengannya yang kini kendor. Aku ingat saat kecil, ayahku begitu kekar. Mungkin karena harus bekerja setiap malam dan pulang pagi dalam keadaan sempoyongan makanya hal baik bernama kekaran itu menghilang darinya. Tak masalah. Aku menyayanginya apapun yang terjadi.

Dari belakang tubuhnya ia mengeluarkan bungkusan berwarna biru dan kuning dengan gambar berwarna coklat dan taburan kacang.  “ESKRIM?” seruku tak percaya.

Sudah lama aku tidak mendapatkan eskrim karena ayah sangat sibuk. Aku hampir-hampir tak bertemu dengannya karena saat pulang sekolah ia sudah tidur di kamar. Aku hanya menemukan ibuku di dapur, mengerjakan sesuatu sambil terisak. Saat itu aku memilih menghindar. Ibu sangat menyeramkan saat marah.

“Kamu suka?” tanya Ayah padaku.

Aku mengangguk dengan sangat antusias. “Ya, suka sekali! Makasih Ayah!” Lalu aku berlari ke dalam kembali, mencari Ibu.

Ibu memang menyeramkan saat marah, tetapi jika tidak beliau sangat menyayangiku. Ibu akan datang ke kamar dan memelukku sepanjang malam. Kadang-kadang bahkan memandikanku dengan sangat bersih dan memujiku cantik.

“Bu!” panggilku.

Ia sedang memotong kayu di belakang dapur. Rumah kami memang belum memiliki kompor. Jadi untuk memasak Ibu masih menggunakan kayu bakar. Kayunya diperoleh dari kebun-kebun di sekitar rumah. Tidak perlu menebang, cukup menggumpulkan dahan-dahan yang jatuh ke tanah saja.

“Apa?” Ibu bahkan tidak menoleh padaku.

“Lihat! Aku mendorong bungkus eskrim yang diberikan Ayah tadi ke depan, memamerkannya. “Ayah pulang dan memberiku ini!”

Tiba-tiba saja Ibu berbalik ke belakang. Tanpa melihat apa yang kutunjukkan beliau masuk ke dalam rumah. Aku tak menyusulnya, karena pasti akan ada pertengkaran lagi. Aku pergi ke ayunan yang dibuat Ayah dari ban bekas tak jauh dari tempat Ibu memotong kayu tadi. Aku membuka bungkus eskrim yang aku terima.

Benar seperti dugaanku. Aku yakin kalau yang barusan peah adalah vas bunga yang kubuat dengan tanah liat sebagai tugas sekolah. Untung saja tidak kubuat bagus-bagus karena menduga hal seperti ini akan terjadi.

Lolongan Ibu begitu memilukan. Hanya saja aku tidak sedih mendengarnya. Soalnya Ayah bilang kalau Ibu hanya ingin cari perhatian saja. Setelah itu kudengar raungan kemarahan Ayah.

“SUDAH KUBILANG TIDAK ADA UANG KALAU SEBANYAK ITU!” teriak Ayah.

Uang? Selalu saja itu yang dimasalahkan Ibu. Padahal aku yakin Ayah memberinya cukup banyak untuk kebutuhan rumah juga untukku. Tetapi kenapa bisa selalu saja kurang ya?

“KAMU DIKIRIMI TERUS KAN? KENAPA TIDAK BERIKAN JUGA PADAKU!”

Lalu beberapa barang lagi terdengar pecah  entah membentur dinding atau lantai. Eskrim yang kubuka sudah habis. Seharusnya pertengkaran kedua orang tuaku sudah hampir selesai. Aku memutuskan untuk meloncat turun dari ayunan kini. Tepat saat kakiku menjejak lantai, Ibu muncul dengan wajah merah. Ia menyambul parang yang diambilnya untuk memotong kayu. Lalu berbalik ke dalam dengan cepat.

Saat melihat itu, perasaanku mendadak tidak enak. Bergegas aku menyusul Ibu ke dalam. Begitu menjejakkan kaki di lantai ruang tamu, kulihat darah mengenang di lantai bawah sofa. Ayahku sedang kejang merengang nyawa.

“I-bu?” Aku mundur karena takut.

Di tangan Ibu parang yang diambilnya tadi berlumuran darah. Mendengar suaraku wanita yang melahirkanku itu menoleh, ia tersenyum. “Kamu mau ikut ayahmu?” tanyanya dingin.

Sontak aku terpekik dan melarikan diri kembali ke dapur. Aku tahu kalau Ibu pasti mengejarku di belakang. Dengan panik kuterjang kebun yang tak biasanya aku masuki. Yang ada di dalam pikiranku hanya melarikan diri.

Aku bisa mendengar suara Ibu memanggil namaku sangat sering. Samar-samar suara panggilan itu semakin terdengar jauh dan kemudian hilang sama sekali.

Betis dan lututku perih, aku tidak peduli dengan tanaman rambat putri malu yang tumbuh subur di dalam kebun. Bahkan rasa sakit di telapak kaki. Lari. Lari. Itu saja yang ada di dalam kepalaku. Aku hampir tersungkur saat melompati undakan pematang kebun. Sadar-sadar aku sudah ada di halaman depan rumah temanku.

“Loh, Yu, kamu kok muncul dari kebun?”

Aku mengangkat kepala dan memandang panik ke belakang. Kukejar temanku yang bertanya itu. “Tolong sembunyikan aku! Ibu! Ibu!”

“Ibumu ngamuk lagi, Yu?” tanyanya tidak paham. Tetapi, ia menarikku masuk ke dalam rumah.

Ia memanggil kakaknya segera. Seorang gadis berusia 17 tahun dan akan segera dinikahkan. Di kampungku pernikahan dalam usia semuda itu wajar. Mungkin suatu saat aku juga akan menikah diusia segitu.

“Kenapa teriak-teriak, Wis?” tanyanya. Matanya terpaku padaku segera dan kemudian pada lutut serta betisku yang gores-gores. “Kamu kenapa, Yu? Guling-guling di ilalang?”

“Ayah! Ayah!” Aku tidak mengerti bagaimana mengatakannya dengan benar.

“Tadi Ibu sekarang Ayah. Sebenarnya kamu diapakan sama orang tuamu?”

Aku mengeleng keras. Kakak perempuan temanku mencoba mengapaiku. Maksudnya mungkin mau mengobati lukaku. Tetapi, aku mundur lebih cepat dan menarik tangan temanku.

“Ada apa? Nda ada Ibumu diluar, Yu!”

“Ibuku nusuk ayahku, Wis! Sekarang ngejar aku!” Akhirnya aku mengatakannya. Tepat saat itu air mataku mengalir deras. Lalu getaran yang entah berasal dari mana mengoyang tubuhku. Ah, rupanya aku ketakutan.

“Apa?” Kakak temanku berteriak.

Gadis itu berlari masuk ke dalam rumah, tidak jelas ke mana. Tapi samar-samar ia berteriak di dalam dan tak lama kembali bersama dengan kedua orang tuanya. Para pria dan wanita dewasa itu terenggah-enggah. Kaki mereka kotor.

“Yu, kamu yang bener?”

“I-ya! Bapak ditusuk Ibu! Ibu kejar aku! Tolong sembunyikan aku!” Aku menyeka air mata dengan punggung tangan.

Padahal aku bukan anak cenggeng, tetapi menangis sampai seperti ini. Bahkan saat Ibu marah padaku, aku sama sekali tidak menangis.

Ayah temanku itu menarik kentongan yang tertempel di dinding. Ia memukulnya dengan cepat sebagai tanda bahaya. Dipukulnya terus-terusan sampai ada para pria yang muncul di halaman.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
umur 11 th memang masih kecil tapi bukan berarti harus bodoh dan hanya mengerti urusan perut aja
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status