“Bu Nining pergi dulu yaa, mau ada wawancara kerja.”
“Nah gitu dong Ning cari kerja jangan Cuma dikamar aja.”
“Iya bu biar ibu ga makan sama tahu tempe lagi, nanti ibu ya yang ngomong ke md?” rayuku pada ibu.
“Memang gaji dari Dimas ga bisa beli ayam Ning? Kok selama ini kamu masak enak selama ini?”
“Dari tabungan Nining bu, tapi sekarang tabungannya udah habis.” Ujarku agar ibu bisa sedikit menghargai usahaku menyenangkannya selama ini.
“Alah bohong kan kamu sama ibu, mana mungkin kamu punya tabungan?”
“Ada bu dikit-dikit, tapi sekarang sudah habis.” Aku ga mau ibu tahu kalau selama ini aku diam-diam jadi penerjemah.
“Ya udah sana kamu pergi wawancara, nanti biar ibu yang bilang ke Dimas.”
“Assalamualaikum bu.” Ucapku sambil mencium tangan ibu mertuaku.
“Waalaikum salam.”
“Hmm punya mantu kok perhitungan sama ibu mertuanya” gumam ibu yang masih bisa kudengar.
Aku bergegas pergi menggunakan motor maticku menuju kantor editor majalah.
“selamat pagi mbak, hari ini sama mau interview.”
“Selamat Pagi mbak, baik silahkan tunggu di sana dulu ya mbak. Saya tanyakan dulu sama pihak HRDnya dulu.” Ujarnya sambil menunjuk ruang tunggu yang berisi beberapa sofa.
“Nining ya?” seseorang menyapaku di lobi.
“Iya, maaf anda siapa ya?” tanyaku sambil menyerngitkan kening
“Aku Rizki kakak tingkat kamu di kampus. Kamu anak sastra Inggris kan?”
“Ohh kak Rizki, maaf kak aku pangling sama kakak. Sekarang kakak lebih rapi.” Ucapku sambil nyengir.
“Iya sihh, pas masih mahasiswa kan boleh pakai jeans Ning hahaha. Kalau udah kerja yaa ga pantes dilihat orang. Kamu ngapain kesini?”
“Nining mau interview kak.”
“Jadi editor ya? Ya udah good luck yaa ning, akum au absen dulu.”
“Iya kak, selamat berkerja yaa.”
Kak Rizki berlari menuju mesin absen sepertinya dia terlambat.
Pukul Sembilan tepat team HR menginstruksikan kami ke ruang interview, dan dipanggil ke sebuah ruangan satu-persatu. Tiba giliranku, aku memasuki ruang interview dengan tenang.
“Kok ada kak Rizki juga disana?” ucapku dalam hati heran melihat Kak Rizki diruang interview.
“Selamat Pagi perkenalkan kami bedua dari team Recruitmen, dan yang disebalah kanan ini adalah kepala editor yang juga akan menyeleksi calon editor di kantor ini. Bisa kita mulai interviewnya, diawali perkenalan dari saudara Nining yaa.” Oh ternyata Kak Rizki kepala editor di kantor ini.
“Perkenalkan nama saya Nining Prastiwi lulusan sastra Inggris berdomisili di kec. S kota Semarang. Tujuan melamar menjadi editor karena ingin mengembangkan diri. Selama ini saya bekerja secara freelace menjadi penerjemah novel berbahasa asing.”
“Wahh berarti sudah tidak asing dengan dunia penulisan ya Mbak Nining. Kenapa memutuskan bekerja di kantor ini? Sebagai pekerja freelace sebenarnya sudah mencukupi kan mbak hasilnya?”
“Kalau saya bekerja freelace kenalan saya ya hanya di media social pak, sangat berbeda saat saya bekerja di suatu perusahaan yang memiliki wadah selain bekerja sama juga bisa bersosialisasi dengan teman-teman kerja yang nyata. Pengalaman bertemu orang banyak, dan menambah ilmu dari orang-orang hebat yang bisa saya temui secara langsung.”
“Oke saya rasa cukup interviewnya, ditunggu kabar baiknya ya mbak nanti sore. Saya harap besok mbak Nining bisa masuk kerja kalau lolos.”
“Baik terima kasih pak, permisi.” Aku menunduk memberi hormat dan keluar dari ruang interview.
“Gimana Ning tadi hasilnya?” Tanya Nita kenalanku, dia sudah interview sebelum aku.
“Lancar Nit, kamu tadi gimana? Kok kamu belum pulang?”
“Aku juga lancer sihh kayaknya, udah yang penting PD aja. Aku nungguin kamu, makan siang dulu yuk Ning sebelum pulang.”
“Boleh, mau makan dimana nit?” ujarku sambil berjalan ke parkiran.
“Makan lumpia mau ga? Aku udah lama ga makan lumpia yang deket alun-alun. Sekalian refresing disana.”
“Boleh aku juga sudah lama ga makan Lumpia, udah lama juga ga nongkrong di alun-alun.”
Kami naik motor dengan beriringan sampai di Alun-alun kota Semarang.
“Kamu mau lumpia basah apa kering Ning?”
“Aku lumpia basah aja Ning, biar ga tambah gendut.”
“Ning Ning badan sekecil itu kok takut gendut.” Gerutunya sambil berjalan ke gerobak penjual Lumpia.
“Pak Lumpia basahnya dua yaa pak, makan disini.”
Setelah memesan dia kembali menghampiriku “Minumnya mau es apa Ning?” tanyanya sambil mengabsen para penjual di alun-alun.
“Aku es kepala muda saja, kamu mau apa? Biar aku yang beli.”
“Aku mau es dawet saja Ning kayaknya enak. Aku tunggu sini yaa sambil ngadem.”
“Sip, agak lama ga papa ya nit? Aku sekalian mau jajan.”
“Iya santai saja sana.”
Aku pergi meninggalkan Nita dan membeli minuman sesuai dengan pesananya. Aku juga banyak membeli jajanan masa kecilku seperti leker, cilok, telur gulung, sostel dan cimol. Setelah menikah dengan Mas Dimas aku jarang menikmati hidup seperti ini. Aku hanya focus pada pekerjaan rumah, dan sibuk menerjemahkan novel. Waktuku hanya habis didalam rubah, mau jajan makanan kekinian yang menggugah selera saja tidak sempat. Aku seperti terkurung di sangkar, tapi bukan sangkar emas.
“Ini Nit es dawetnya, aku juga udah beli banyak jajanan dimakan aja.”
“Kamu ini Ning, kayak ga pernah jajan aja semuanya dibeli.”
“Emang iya, aku jarang banget jajan makanan seperti ini. Jajannya sayuran sama lauk pauk Nit.” Ujarku smabil terkekeh.
“Iya tahu ya namanya tinggal di rumah mertua pasti serba salah ya Ning?”
“Ibu mertuaku baik kok Nit sama aku, aku aja yang ga enakan.”
“Yang namanya ibu mertua itu sama saja Ning.” Sewot Nita
“Udah ah ga usah dibahas lagi, dimakan dulu lumpianya keburu dingin ga enak.”
Kita berdua makan dengan menikamati alun-alun yang panas tapi dengan angin sepoi-sepoi yang menyegarkan. Karena masih siang belum terlalu banyak pengunjung yang datang.
"Males pulang Nit aku rasannya."
"Ya udah disini saja sampai sore, aku juga sendirian di rumah. Suamiku lagi dinas ke luar Kota."
"Jadi ini alasan kamu kerja? Dari penampilanmu kulihat barang branded semua."
"Branded apanya Ning, ini semua kan produk lokal. Masih buatan Indonesia."
"Iya memang made in Indonesia, tapi jarang ada yang mampu beli karena harganya selangit."
"Bisa saja kamu Ning, sebenernya aku jadi penulis novel di platform online Ning. Lumayan buat jajan Lumpia, ada juga beberapa novel yang udah terbit."
"Udah kece gini kok masih ngelamar kerja jadi editor Nit?"
"Biar punya temen ngobrol, aku ga mau terlena di dunia maya. Biasanya aku juga suka nulis di cafe sihh buat nyari suasana baru. Tapi aku kan fokus nulis jadi ga bisa ngobrol juga sama orang lain. Kalo kerja langsung gini kan ada coffe break ada rehat bisa buah ngobrol sama temen."
Kita saling curhat sampai sore menjelang dan memutuskan langsung pulang ke rumah masing-masing.
Aku sampai rumah sore hari, saking asyiknya ngobrol sama Nita sampai lupa waktu.“Assalamualakum bu.” Ujarku sambil mencium tangan ibu.“Waalaikum salam, kamu darimana saja Ning jam segini kok baru pulang?”“Nining tadi ada keperluan sebentar bu sama temen, ini Nining bawain lumpia.”“Lumpia daging bukan Ning?” Tanya ibuku dengan semangat.“Lumpia biasa bu, kan ibu tau Nining lagi ga punya uang.” Kulihat wajah ibu tak sesemangat tadi.Mas Dimas pulang setelah maghrib“Mas Dimas mandi dulu ya, nanti langsung makan malam. ada yang mau aku omongin.”“Ya udah mas mandi dulu biar seger badannya. Mas capek banget hari ini.” Mas Dimas memasuki kamar mandi dengan lesu.“Tumben makannya cuma sama tahu tempe Ning?”“Iya mas kan uang bulanan kita menipis sekarang.”“Kemaren-kemaren ga pernah begini, kamu jangan boros dong ning.”“Kemarin kan aku tutupin pake uangku Mas, tapi karena ibu menganggap selama ini aku hanya numpang hidup denganmu maka akan kuperlihatkan arti numpang hidup yang sebenarn
Habis maghrib para tetangga menjenguk ibu mertua“Bu Siti sakit apa bu? Kemarin perasaan masih segar bugar penuh semangat ee kok malemnya loyo.” Tanya bu lilis.“Ga tau nih bu lilis, mungkin karena pikiran.”“Jangan terlalu banyak pikiran bu Siti, Zulaikah bawakan bu Siti buah pear katanya bagus untuk menurunkan tekanan darah. Buah pear kan banyak airnya jadi pasti bu siti jadi semangat makan buah.”“Zulaikah selain pinter nyari uang juga perhatian ya sama orang tua, terima kasih ya Zul.” Ucap ibu mertua berseri-seri“Iya bu Siti sama-sama, sesama tetangga kan harus saling tolong menolong.”Aku melenggang pergi meninggalkan ibu mertua dan ibu-ibu yang lain untuk membuat minuman. Jika tidak menyuguhi minuman aku nanti akan semakin di jelek-jelekin sama ibu mertua.“Nining lama banget sih kamu cuma bikin minumas aja.” Ujar ibu saat melihatku mengantarkan the hangat.Aku hanya diam sambil menyajikan minuman untuk para tetangga“Jangan keras-keras bu Siti kalau bicara sama menantu.”“Saya
Aku mengikuti saran Nita untuk menpublishkan novel yang sudah aku terjemahkan selama satu tahun ini. Ada beberapa paltform online yang katanya bisa mempublish novel terjemahan. Ya untung untung investasi jangka panjang.“Ning mending untuk menambah pendapatan, kamu upload cerita yang sudah kamu terjemahkan ke platform-platform cerita online. Sekerang sudah banyak yang berbayar kok. Untuk penambah pembaca kamu juga membuat akun f******k untuk mempromosikannya. Memang perlu usaha yang keras sih kalau baru mulai merintis. Tapi dari pada didiamkan sama di komputer kan sayang Ning.”“Emang boleh Nit novel terjemahan dimasukin ke platform-platform online?”“Boleh banget dong ning, apalagi sekarang ada yang namanya kontrak exclusif dan non exclusif. Jadi kamu bisa bilih mau di publikasikan ke satu platform saja atau ke banyak platform. Apa lagi kalau kamu bisa nulis dengan Bahasa yang mudah dipahami oleh orang-orang awam. Kamu tahukan kalau novel terjemahan biasanya bahasnya amburadul. Nanti
Ternyata menjadi penulis di Platform online tidak mudah. Aku butuh lebih banyak waktu untuk beradaptasi dengan ritmenya. Benar kata orang “Hal yang paling sulit adalah memulai sesuatu”. Aku yang sudah terbiasa menulis novel terjemahan nyatanya masih kelimpungan. Aku harus menyesuaikan Bahasa yang aku gunakan agar mudah dipahami oleh semua kalangan. Tidak mudah mengajukan kontrak dengan platform platform tersebut. Mungkin aku harus banyak belajar biar bisa membaca peluang. Dan belajar menulis novel sendiri agar memiliki karga original. Bismilah mudah mudahan semua dilancarkan dan aku bisa istiqamah pada jalan yang telah aku pilih. “Gimana Ning nulis di platform online?” Tanya Nita padaku saat break makan siang. “Susah Ning, pusing banget aku, masih bingung butuh waktu buat beradaptasi.” “Ga papa Ning nikmati saja prosesnya, lama lama juga pasti enak kok ngejalaninnya.” “Iya kamu bener banget Nit. Kita harus bisa membuka peluang yang ada didepan mata. Jangan sampai terlewat begitu s
Seminggu sudah kita memutuskan untuk menyewa sebuah rumah untuk kita tinggali. Akan tetapi aku merasa selalu sendiri di rumah kontrakan. Waktu luang lebih aku pergunakan untuk menulis cerita daripada aku terus memikirkan kapan Mas Dimas akan pulang dari rumah Ibunya. Sekarang aku juga bergabung menjadi reseller pakaian, hanya bedanya aku bekerja sama dengan adikku yang tinggal di Solo. Karena aku tidak punya waktu untuk pergi ke Solo mengambil pakaian yang aku pasarkan. “Dek nanti Mas Dimas pulang kerja mampir dulu ke rumah Ibu ya Ning, mau melihat kondisi Ibu.” Pulang kerja Mas Dimas selalu mampir ke tempat Ibunya dan pulang ke kontrakan saat aku sudah tidur, entah jam berapa. Waktuku dengannya hanya waktu pagi sebelum dia berangkat kerja. “Iya Mas meskipun sekarang kamu sudah menjadi suamiku, aku juga tahu posisi kamu sebagai anak satu satunya Ibu.” “Seandainya kamu dan Ibu bisa akur, pasti Mas seneng banget Ning.” “Mas kamu lihat sendiri kan perlakuan Ibu kamu ke aku? Aku kuran
Sudah tiga bulan kami tinggal di kontrakan, hubunganku dengan Mas Dimas sudah sangat membaik. Meskipun saat ini ada wabah Covid 19 tapi tidak berpengaruh pada pekerjaanku, bahkan sedang ada proyek sebagai editor untuk sebuah novel online. Karena lockdown dan dianjurkan dirumah saja membuat peminat novel online meningkat tajam. Hal ini membuat aku harus sering lembur di kantor. Bahkan novel yang aku publish di platform online juga jadi banjir pembaca mesipun aku belum bisa menghasilkan banyak rupiah dari novel online. Tapi aku yakin bahwa usaha tidak akan menghianati hasil.“Mumpung hari ini aku pulang lebih awal sebaiknya aku mampir ke rumah ibu mertua.” gumamku. Kulihat ada mobil Mas Dimas terparkir di halaman rumah ibu.“Aku parkir di pinggir jalan sajalah, biar nanti pulangnya enak. Sudah ada mobil Mas Dimas jadi sempit kalau aku parkir motor di halaman.” Samar-samar aku mendengar obrolan ibu dengan Mas Dimas.“Kamu kok masih jam kerja gini di rumah ibu sih Dim seminggu ini, kamu d
Pov Ibu MertuaAku harus bisa membuat Dimas kembali lagi ke rumah ini. Dan aku berharap dia kembali ke rumah ini sendiri tanpa Nining.“Dimas kamu ga bisa tinggal di rumah ini lagi? Ibu kesepian dim dirumah sebesar ini sendirian.” Ucapku memelas untuk mencari perhatian putra kesayanganku ini.“Ibu kan tahu dimas ga bisa lihat ibu dan nining adu mulut terus tiap hari. Kapala dimas rasanya mau pecah kalau mendengar perdebatan kalian berdua. Ini pilihan yang tepat agar Ibu dan Nining berjauhan untuk menghindari konflik diantara kalian. Ibu paham kan? Aku ingin yang terbaik buat Ibu dan Nining.”“Ya udah terserah kamu deh, yang penting setiap makan malam kamu harus makan disini. Kalau kamu ga makan malam disini ibu ga mau makan.” Ancamku pada Dimas.“Iya bu, Dimas janji sama ibu.” Pintaku pada dimas sebelum dia meninggalkan rumah ini untuk tinggal bersama istrinya di sebuah rumah kontrakan sederhana.Aku harus mendekatkan Zulaikah sama Dimas, kulihat sepertinya perasaan Zulaikah sama Dima
Hari ini aku melihat wajah bahagia ibu ketika kami makan malam bersama Zulaikah. Dia begitu perhatian terhadap ibu, melayani ibu makan. Nining dulunya juga perhatian begitu sama ibu, tapi ibu selalu menolak kebaikan Nining. Aku sedih melihat wajahnya sedih menerima penolakan dari ibu. Tapi akupun tidak bisa berbuat apa-apa, aku hanya bisa menyaksikan semua itu terjadi di depan mataku.Aku sangat menyayangi Nining sebagai istri, tapi aku juga menyayangi dan menghormati ibu sebagai orang tuaku. Aku sangat bahagia jika bisa melihat mereka bisa saling menyayangi satu sama lain. Tapi ternyata hari ini aku merasa seperti gagal menjadi suami dan anak yang baik. Aku melihat ibu bahagia dengan wanita lain. Wanita yang merupakan masa laluku.Wanita itu begitu baik mau melayani ibu yang bukan siapa-siapa baginya. Aku pun sudah lama sekali melihat wajah ibu sebahagia itu. Apa yang harus aku lakukan? Jika aku mengikuti keinginan ibu maka aku akan menyakiti nining, jika aku memilih nining aku tidak