Share

Chapter 4 Pengorbanan yang Sia-sia

Aku sampai rumah sore hari, saking asyiknya ngobrol sama Nita sampai lupa waktu.

“Assalamualakum bu.” Ujarku sambil mencium tangan ibu.

“Waalaikum salam, kamu darimana saja Ning jam segini kok baru pulang?”

“Nining tadi ada keperluan sebentar bu sama temen, ini Nining bawain lumpia.”

“Lumpia daging bukan Ning?” Tanya ibuku dengan semangat.

“Lumpia biasa bu, kan ibu tau Nining lagi ga punya uang.” Kulihat wajah ibu tak sesemangat tadi.

Mas Dimas pulang setelah maghrib

“Mas Dimas mandi dulu ya, nanti langsung makan malam. ada yang mau aku omongin.”

“Ya udah mas mandi dulu biar seger badannya. Mas capek banget hari ini.” Mas Dimas memasuki kamar mandi dengan lesu.

“Tumben makannya cuma sama tahu tempe Ning?”

“Iya mas kan uang bulanan kita menipis sekarang.”

“Kemaren-kemaren ga pernah begini, kamu jangan boros dong ning.”

“Kemarin kan aku tutupin pake uangku Mas, tapi karena ibu menganggap selama ini aku hanya numpang hidup denganmu maka akan kuperlihatkan arti numpang hidup yang sebenarnya pada ibumu.” Jawabku dalam hati.

Selesai makan malam langsung kuberekan meja makan, aku menemui Mas Dimas di depan rumah.

“Mas mulai besok Nining udah masuk kerja.”

“Kok kamu kerja sih Ning? Kan kamu tahu mas ga setuju kalau kamu kerja.”

“Aku ga minta ijin sama Mas Dimas aku cuma bilang, aku bosen mas di rumah terus ga punya kesibukan. Sedangkan apa yang selama ini aku lakukan selalu salah dimata ibu. Aku janji akan penuhi semua kewajiban aku sebagai istri. Cuma itukan yang Mas Dimas butuhkan?”

“Tapi Ning gimana sama ibu nanti kalau kamu kerja.”

“Kalau yang kamu khawatirin ibu, kamu tenang saja. selama ini juga ibu selalu pergi sendiri kok. Pokoknya aku mau kerja titik, udah aku mau tidur Mas Dimas jangan begadang sampe malem.”

“Kenapa kamu ga pernah akur sama ibu sih Ning?” gusar Mas Dimas sambil mengacak rambut.

“Aku memang tak pernah kurang dimatamu Mas, tapi aku selalu kurang dimata ibu. Walaupun sudah banyak yang kukorbankan selama ini demi mendapat hati ibu. Tapi mata hati ibu seolah tertutup sangat rapat Mas.” Batinku sambil mengusap lelehan air mataku.

“Kamu lihat sendiri kan bagaimana kelakuan istri kamu.” Suara ibu terdengar jelas dari kamarku. “Ibu sudah bilang jangan menikah dengan Nining apalagi dia dia bekerja selama ini. Harusnya kamu nurut sama ibu, nikah sama Zulaikah wanita mandiri, mapan, sholehah, berbakti sama orang tua. Lihat sekarang wanita yang kamu nikahi seperti apa!”

“Tapi aku cintanya sama Nining bu, aku ga cinta sama Zualaikah. Kenapa ga ibu aja yang menikah dengan Zulaikah?!”

“Nining ga punya kelebihan apapun disbanding Zulaikah bahkan dia tidak bisa mengurus ibu selama ini Dimas.”

“Bukan Nining ga bisa ngerawat ibu, tapi Dimas yang ga mampu memenuhi hidup mewah ibu. Makan selalu harus daging sapi, ibu sudah tua seharusnya ibu mulai hidup sehat dengan perbanyak makan sayur. Jangan hanya makan Nasi putih dengan daging sapi saja.”

“Kamu jangan sok tahu dengan kesehatan ibu. Selama ini ibu sehat-sehat saja hanya darah tinggi karena selalu emosi kalau melihat istrimu itu.”

“Nining adalah istri Dimas sekarang bu, dia adalah tanggung jawab Dimas. Karena ibu sekarang Dimas menjadi suami yang gagal. Dimas ga bisa memenuhi kewajiban sebagai suami. Sampai Nining harus kerja dan memenuhi kebutuhan dapur.”

“Ya bagus dong Mas kalau emang dia mau kerja, daripada dirumah cuma dikamar ga ngapa-ngapain. Kalau dia kerja kan jadi ada kesibukan, yang paling penting ada pemasukan. Jadi kamu ga usah capek-capek kerja sampingan.”

“Itu kewajiban Dimas buk untuk menfakahi Nining, udahlah Dimas pusing mau kekamar dulu.”

Aku langsung ke Kasur dan menutup seluruh tubuhku dengan selimut sampai kepada dan pura-pura tidur.

“Maaf ya Ning, Mas belum bisa bahagiakan kamu seperti janji mas sama Bapak kamu.” Ucap Mas Dimas sambil menyusulku di pembaringan.

***

Pagi ini aku membereskan rumah dan memasak lebih awal karena hari ini hari pertamaku mulai kerja.

“Tumben ibu belum keluar kamar dari subuh?” batinku lalu aku bergegas mandi. Aku akan berangkat lebih awal agar tidak terburu-buru.

“Dimas tolong anterin ibu periksa yaa pakai mobil kamu dari subuh tadi kepala ibu sakit.”

“Iya bu nanti Dimas anterin, Dimas telfon kantor dulu untuk ijin berangkat siang.”

“Mas aku udah sarapannya aku berangkat kerja dulu ya, nanti piring kotornya sampan aja di ember bawah biar nanti aku cuci. Jangan di wasteful ya takutnya ibu jijik sama piring kotornya.” Ucapku panjang lebar dengan Mas Dimas.

“Iya Ning mas tahu kamu tenang saja, kamu hati-hati ya ke kantornya.”

“Iya Mas, Buk Nining berangkat dulu.” Ujarku sambil mencium tangan kedua orang yang kuhormati itu.

Meskipun tak kulihat wajah bersahabat dari ibu mertuaku, yang kulihat hanya wajah masamnya.

Hari pertama bekerja belum banyak pekerjaan yang dilimpahkan kepadaku, setelah perkenalan dengan para karyaan dan penjelasan tentang job desk masing-masing.

Notifikasi whastapp dari Mas Dimas mengalihkan perhatianku “Ning ibu darah tinggi dan kolestrol, tolong nanti pulang kerja kamu masakin ibu yang bisa menurunkan kolestrol dan tekanan darah ibu ya Ning.”

“Iya mas nanti pulangnya aku mampir pasar dulu, membeli bahan makanan yang sehat untuk ibu.”

“Makasih ya ning, uang bulanannya masih ada kan Ning?”

“Masih, mas tenang aja.” Ujarku menenangkannya.

“Makasih ya Ning, maaf Mas belum bisa membahagiakan kamu dengan materi yang berkecukupan.”

“Ga papa mas, kita berusaha bareng-bareng ya mas.”

Sesampainya dipasar aku membelikan buah apel dan melon untuk ibu mertuaku. Aku membeli ikan tuna, susu kedelai dan sayuran hijau yang disukai ibu mertua.

“Ning kok makannya sama sayur bayem dam ikan tuna sih!, harusnya tadi kamu beli ikan salmon dipasar. Lebih sehat dan lebih enak dari ikan tuna.”

“Bulan depan ya bu kalau Mas Dimas udah gajian makan salmonnya. Ikan tuna sekilo cuma lima puluh ribu bu, kalau salmon satu kilo dua tiga ratus ribu. Apa ibu mau makan sama sayur bayem terus selama dua minggu kedepan? Ikan tuna sama salmon sama-sama bagus buat menurunkan kadar kolestrol bu” jelasku pada ibu agar mau makan dengan ikan tuna.

“Kamu itu sama ibu mertua kok itung-itungan.” Gerutu ibu mertua sambil makan makannannya.

Aku menghempukan nafaku kasar “aku harus sabar menghadapi sifat menyebalkan ibu, apalagi ibu sedang sakit saat ini.”

“Sudahlah bu jangan pilih-pilih makan lagi, syukuri aja makanan yang diiapin Nining di atas meja. Kemampuan Dimas hanya segini Bu.” Rayu mas Dimas pada Ibu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status