Home / Rumah Tangga / AKU (BUKAN) WANITA KEDUA / Bab 1 Siapa Wanita Ini?

Share

AKU (BUKAN) WANITA KEDUA
AKU (BUKAN) WANITA KEDUA
Author: Buluh Perindu

Bab 1 Siapa Wanita Ini?

last update Last Updated: 2023-02-18 21:00:02

"Jadi Ibu yang bernama Wulandari Purnama? Cantik juga ternyata. Tak jauh beda dengan foto yang ada di media sosial Anda."

Mengurungkan gerakan tangannya, Wulan menarik kembali tangan kanan yang hampir digerakkannya tadi. Tatapan mata wanita ini tak layak disebut bersahabat. Lebih pada tatapan sinis jika tak boleh disebut mengejek. 

Wulan mengernyitkan dahinya saat mendengar ucapan sinis yang sungguh membuatnya terkejut bukan kepalang. Tak paham dengan arah pembicaraan yang akan dilakukan wanita yang berhadapan dengannya ini. Rasanya mereka belum pernah berjumpa sebelum hari ini. 

"Ibu siapa? Kenal saya darimana?" 

Wulan menyampaikan rasa penasarannya. Mereka tak saling mengenal sebelumnya. Mengapa wanita ini meminta bertemu dengannya?

Wulan terpaksa menghentikan aktivitasnya mengajarnya di kelas tadi saat Indri, rekannya yang bertugas sebagai guru piket hari ini mengetuk pintu kelas mengajarnya. 

Soal-soal persilangan tanaman yang sedang dibahas Wulan bersama murid-muridnya itu terpaksa dihentikan. Padahal murid-murid itu sedang sangat antusias membahas soal-soal tersebut. 

"Ada tamu, Wulan. Sedang menunggu di ruang tamu," ujar Indri sembari melangkah mendekati Wulan yang masih berdiri di samping papan tulis berwarna putih itu.

“Tamu saya? Siapa? Keluarga saya?" tanya Wulan dengan nada bingung. 

Jarang sekali Wulan menerima tamu di sekolah, kecuali orang tua atau wali murid yang memang dipanggil karena ada masalah. Keluarganya pun sejauh ini tak pernah menemui Wulan secara langsung di sekolah tempatnya mengabdi ini. Kalaupun ada pihak keluarga yang ingin menemuinya, tentu mereka akan mengabarkan terlebih dahulu.

"Aku pun tak kenal. Hanya saja katanya ingin bertemu dengan guru yang bernama Wulandari Purnama. Itu kan dirimu? Tak menjelaskan tujuannya."

Indri berusaha menjelaskan maksud sang tamu, sesuai yang disampaikan sang empunya tadi. Sementara Wulan semakin bertambah bingung.

"Bukan orang tua murid ya, Ndri?" tanya Wulan untuk memastikan kembali sosok tamu tersebut.

Indri tampak menggelengkan kepalanya. Rasanya gaya wanita tadi sungguh jauh berbeda dengan gaya orang tua murid yang sering dijumpainya. Sedikit angkuh jika tak ingin disebut sombong. Gaya wanita kelas sosial tinggi jika boleh Indri menilainya. 

“Sepertinya bukan. Dan kelihatannya tak ada sangkut pautnya dengan urusan sekolah."

Lagi-lagi ucapan Indri itu membuat Wulan mengernyitkan dahinya.

"Aku kembali ke meja piket dulu, Lan! Tak enak kelamaan meninggalkan tamunya," ujar Indri seraya melangkah meninggalkan Wulan yang masih diliputi kebingungan dan rasa penasaran.

"Aku ke sana sebentar lagi, Ndri. Mau memberikan tugas dulu kepada anak-anak biar tak ribut saat aku tinggal nanti. Nanti tolong lihat-lihat mereka ya!" pinta Wulan sembari kembali menuju mejanya yang terletak di samping papan tulis berbahan kaca itu.

Dengan sigap Wulan membolak-balikkan buku pegangannya lantas menandai beberapa nomor soal yang berkaitan dengan materi persilangan tanaman yang sedang mereka bahas.  Gerakan cepat jemari tangan kanan Wulan menuliskan beberapa halaman dan nomor soal yang ditandai tersebut di papan tulis. Tujuannya agar murid-murid yang ditinggalkannya nanti mempunyai aktivitas. Tak menimbulkan keributan yang akan mengganggu kelas sebelahnya. 

Setelah meminta murid-muridnya untuk mengerjakan soal-soal tersebut dengan tetap menjaga ketenangan ruangan kelas, Wulan pun melangkah dengan degup jantung yang tak karuan rasanya. Firasatnya mengatakan jika akan ada sesuatu yang dihadapinya nanti. Entah apa itu. Tapi batinnya gelisah. Seolah mengatakan ada hal buruk yang akan dihadapinya sesaat nanti. Langkahnya setengah memburu. Jika tak ingin disebut setengah berlari. 

Benar saja, firasatnya tak salah. Tamu yang tak dikenalnya ini hadir dengan wajah yang kaku. Tak ada senyum yang terlihat di wajah mulus khas perawatan klinik kecantikan itu. Dan Wulan merasakan aroma ketidaknyamanan tiba-tiba terjadi di ruang tamu ini.

"Bu Wulan mungkin tidak mengenal saya. Tetapi saya tahu siapa Bu Wulan," sahut wanita dengan senyum sinis yang seolah tak lepas dari bibirnya itu. 

Irama jantung Wulan mendadak tak beraturan. Ada sesak yang seakan menghimpit dadanya tiba-tiba. Gaya bicara wanita ini jelas-jelas mengisyaratkan hal buruk. Apa yang akan dihadapinya kali ini? 

"Kita pernah bertemu?" tanya Wulan untuk memastikan sosok wanita yang ada di hadapannya ini.

"Belum. Ini pertemuan kita yang pertama."

Wanita itu menegakkan posisi tubuhnya yang duduk di kursi. Menghujam Wulan yang ikut mengambil posisi akan duduk dengan tatapan tajamnya.

"Lantas apa hubungan kita jika memang tak pernah bertemu sebelumnya?" tanya Wulan sembari menyinggungkan senyumnya. 

Mencoba menunjukkan keramahan meskipun hatinya diliputi kegelisahan.  Terlepas dari bagaimanapun sikap wanita ini kepadanya, Wulan ingin bersikap sopan kepada tamu yang tak dikenalnya sama sekali ini.

"Bu Wulan sudah menikah?"

Wanita ini memang berkata dengan lembut. Namun tetap saja, nada suaranya tak nyaman di gendang telinga Wulan.

Untung saja, ruang tamu berdinding cokelat muda yang memang disediakan khusus untuk menerima tamu ini terletak terpisah dari ruang guru dan ruang tata usaha. Tak banyak orang yang biasa melintas di depan ruangan ini. Faktor kenyamanan memang sengaja dijadikan alasan saat pembangunan bangunan ini. 

"Alhamdulillah sudah, Bu."

Wajah Wulan berseri saat mengucapkan kalimat itu. Bahagia yang dirasakan Wulan tak mampu disembunyikannya di hadapan wanita ini.

"Mohon maaf, Ibu! Sebelum kita melanjutkan pembicaraan ini, apakah boleh saya mengetahui nama Ibu? Tak mungkin kita berbicara panjang lebar, jika kita tak saling mengenal bukan? Ibu mengenal saya, tapi saya tak mengenal Ibu," ujar Wulan sembari terus berusaha menghiasi bingkai wajahnya dengan senyuman. 

Senyum sinis terlihat di bibir wanita itu. Wulan merasa pembicaraan ini akan berlangsung sangat panjang dan lama. Semoga saja dugaannya salah. 

"Nanti Bu Wulan akan mengenal saya. Belum sekarang."

Dengan penuh ketegasan wanita itu mengucapkan kalimatnya.

"Sudah punya anak kan?" 

Kembali wanita yang ada di hadapan Wulan melemparkan pertanyaan yang membuat Wulan sungguh sangat terkejut. Sejauh itu wanita ini mengenal sosoknya? Darimana wanita ini bahkan tahu jika dirinya sudah mempunyai anak?

Hanya anggukan yang diberikan Wulan sebagai jawaban atas pertanyaan itu. Untuk apa menjawabnya sementara wanita ini sudah mengetahui jawabannya?

"Bu Wulan bahagia dengan kehidupan rumah tangga yang sedang Ibu jalani saat ini?"

Lagi-lagu Wulan merasa bingung. Mengapa wanita ini harus mempertanyakan tentang kebahagiaan rumah tangganya? Haruskah? Apa hubungan kebahagiaan rumah tangganya dengan wanita ini?

"Sejauh ini saya patut merasakan bersyukur, Bu. Rumah tangga kami cukup bahagia untuk kami, setidaknya itu yang kami rasakan. Tapi saya tak tahu jika orang lain memandang kehidupan rumah tangga kami seperti apa. Dan bagi saya, terpenting menurut saya, suami saya, bukan penilaian orang lain."

Tak kalah tegasnya, Wulan mencoba menyampaikan apa yang dirasakannya kepada wanita yang duduk di hadapannya.

"Bu Wulan mencintai suami Ibu?" 

Sontak saja pertanyaan itu membuat Wulan terkejut. Mengapa wanita ini kembali harus mempertanyakan perasaannya? Tak cukupkah kata bahagia atas pernikahan dan rumah tangga yang diungkapkannya tadi?

"Sangat! Apakah Ibu tak melihat kebahagiaan itu pada saya? Saya bahagia karena suami saya sangat mencintai saya. Ada masalah dengan Ibu?"

Akhirnya tak tahan juga Wulan meluncurkan pertanyaan yang menggelitik hatinya sejak tadi. Siapakah sebenarnya wanita ini? Mengapa harus mempertanyakan tentang kebahagiaan rumah tangganya? Apa urusannya rasa bahagia mereka dengan wanita ini? 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • AKU (BUKAN) WANITA KEDUA   Kesempatan Untuk Hanif

    "Apa maksud Bapak? Boncengan? Mau kemana?" balas Wulan sembari mengernyitkan dahinya. "Ibu belum tahu kalau kita berdua ditugaskan untuk mengikuti Technical Meeting Kabupaten?"Dengan santainya Hanif memasang tampang lugu dan polos di hadapan Wulan. "Kita? Saya saja, Pak. Tidak Bapak."Dengan tegas Wulan membantah ucapan Hanif itu. Dirinya tak mungkin salah mendengar kalimat yang disampaikan Bu Lidia tadi pagi. Hanya namanya. Tak ada nama guru laki-laki ini."Di surat tugas ini tertera nama kita berdua, Bu. Saya dan Ibu."Tak kalah tegasnya Hanif pun menunjukkan bukti atas ucapannya tadi. Tak ingin dianggap bercanda apalagi berbohong oleh wanita yang memang sedang ditaksirnya ini. Dengan gerakan tangan yang cepat Wulan meraih kertas yang disodorkan Hanif itu. Memindainya dengan cepat. Air wajahnya berubah seketika. Benar saja. Nama mereka berdua tertera di sana. Perint

  • AKU (BUKAN) WANITA KEDUA   Godaan

    Wulan baru saja tiba di parkiran. Ketika tangannya bergerak hendak membuka helm yang menutupi kepala, sebuah sepeda motor berhenti tepat di sampingnya. "Bu Wulan, mengapa pesan saya tak dibalas? Padahal saya beberapa kali mengirimkan pesan. Dan semuanya centang dua biru. Dibaca Bu Wulan bukan?"Lidah Wulan mendadak kelu. Mengapa sepagi ini dirinya harus bertemu dengan lelaki ini? "Anak saya yang membukanya barangkali, Pak. Maklumlah kalau di rumah, HP ini menjadi milik berdua."Wulan terpaksa berbohong. Jika tidak, entah apa alasan yang harus dikatakannya kepada lelaki ini. "Oh begitu. Nanti siang ada acara? Sepulang sekolah maksud saya."Meletakkan helm pada spion sepeda motornya, Wulan ingin segera pergi dari hadapan lelaki ini. "Memangnya ada apa, Pak? Ada kegiatan tambahan ya kita hari ini? Kok saya tak tahu infonya?"Wulan mengernyitkan dahi. Seingatnya tak ada in

  • AKU (BUKAN) WANITA KEDUA   Bukalah Pintu Hatimu

    "Lan, kamu melamun?"Wulan menolehkan kepalanya. Tatapannya bertemu dengan wanita yang telah menghadirkannya ke dunia. Wanita yang senantiasa mendukungnya menjalani masa-masa sulit satu tahun terakhir ini. Mereka saling menguatkan setelah sama-sama kehilangan. Kehilangan lelaki yang sama-sama mereka cintai. Kepergian selamanya, tak akan pernah kembali lagi. Tak selesai begitu saja. Bahkan belum lagi kering air mata akibat kehilangan cinta pertamanya, pipi Wulan masih harus terus membasah. Perpisahan, meskipun dirinya yang meminta tetap saja menyakitkan rasanya. Bukan sakit karena perpisahan itu sendiri sebenarnya. Sakit yang terbesar adalah ketika menyadari dirinya telah dibohongi selama ini. Menghabiskan waktu dengan lelaki yang salah. Melabuhkan cinta kepada lelaki yang tak sepatutnya. "Tak ada. Menikmati malam saja. Kebetulan purnama begitu sempurna. Ibu belum tidur?" tanya Wulan sembari menggeser posisi duduknya, memberi

  • AKU (BUKAN) WANITA KEDUA   Talak

    "Apa???"Jelas sekali Bu Yayuk tak dapat menutupi keterkejutannya. Bahkan suara wanita itu yang tadinya lirih berubah lebih tinggi tiba-tiba. "Jangan bercanda, Lan! Ibu tak suka!" ucap Bu Ayu dengan nada tegas. "Bu, Wulan tak bercanda. Memang demikian fakta yang sebenarnya. Suka tidak suka, mau tidak mau, itulah kenyataan yang ada."Akhirnya Wahyu ikut berbicara. Sebagai sulung keluarga Wiryawan, masalah ini jelas menjadi tanggung jawabnya. "Tapi bagaimana bisa? Bukankah pada saat Wulan dan Damar menikah jelas status keduanya sebagai gadis dan perjaka? Ibu tak mengerti. Sungguh-sungguh tak mengerti."Bu Yayuk semakin bingung. Terlebih mendengar kalimat yang diucapkan putranya. "Kalau untuk hal itu, Ibu jangan menanyakannya kepada Wulan. Damar tentu akan lebih dapat memberikan penjelasan."Tatapan mata Bu Yayuk berpindah ke arah Damar, menantu yang selama ini menjadi ke

  • AKU (BUKAN) WANITA KEDUA   Di Depan Pusara Ayah

    Para pelayat satu per satu pergi meninggalkan area pemakaman. Para kerabat pun mendekati Bu Yayuk dan anak-anaknya, memohon izin untuk pulang lebih dulu. Hanya tersisa keluarga besar Wiryawan saja. Tiga pasang anak menantu, lima orang cucu, dan seorang wanita yang resmi telah menyandang gelar sebagai seorang janda. "Ibu tak menyangka jika ayah kalian akan pergi secepat ini. Padahal kondisi Ayah sebelumnya sudah membaik. Entah mengapa tiba-tiba menurun lagi."Isakan tangis Bu Yayuk masih terus terdengar. Sementara ketiga anaknya nampak diam dengan wajah yang sama sembapnya. Seluruhnya berjongkok, mengelilingi gundukan tanah merah yang masih basah. "Wahyu, Firman, ayah kalian sudah tak ada. Pelindung keluarga ini sudah tak ada. Tanggung jawab itu ada di pundak kalian sekarang."Kalimat itu diucapkan Bu Yayuk dengan lirih. Bulir bening membasahi pipi. Tak menyangka jika secepat ini lelaki halalnya akan pergi. Wahy

  • AKU (BUKAN) WANITA KEDUA   Kepergian Ayah

    "Siapa?" tanya Firman dan Wahyu serempak. Raut wajah Wulan terlihat jelas menunjukkan kebingungan. Dan membuat kedua lelaki itu fokus pada bungsu mereka. Tanpa menjawab Wulan segera mengarahkan benda pipih itu ke arah telinganya. Tentu saja setelah menggeser tombol hijau yang ada pada layar pipih itu sebelumnya. "Assalamu'alaikum, Bu. Ada apa? Maaf Wulan masih ada urusan sedikit yang harus diselesaikan. Jadi agak lama. Kak Ayu sudah membawakan Ibu nasi bukan? Ibu masih mau dibelikan nasi bungkusnya?"Wulan hendak memperjelas ucapan abangnya tadi. Jangan sampai dirinya disalahkan oleh sang ibu. "Waalaikum salam. Bukan masalah nasi Ibu, Wulan. Kalian dimana sekarang? Kedua abangmu pun  tak ada. Ayah tiba-tiba kritis."Sontak saja Wulan menutup pembicaraan itu tanpa mengucap salam sama sekali. "Ayah kritis."Hanya kalimat itu yang terucap dari bibir Wulan. Kakinya melang

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status