Share

Bab 2 Dia Suami Saya!

"Syukurlah jika memang begitu. Ibu bertanya, ada masalah dengan saya?"

Wanita itu menyunggingkan senyum sinisnya. Tatapannya jelas menyiratkan ejekan pada Wulan. 

"Bu Wulan akan sangat menyesal menanyakan itu pada saya."

Hati Wulan tiba-tiba bergemuruh. Wanita yang duduk di hadapannya saat ini bukanlah sosok yang biasa. Sedari tadi kata-katanya begitu tajam. Wulan merasakan ada sesuatu yang akan terjadi setelah ini. Entah apa itu. Hanya saja firasatnya kembali mengatakan jika kehadiran wanita ini bukanlah sesuatu yang baik untuknya. 

"Oke! Mungkin sudah saatnya saya mengenalkan diri. Saya seorang wanita yang mempunyai dua orang anak  dari seorang suami. Sampai beberapa minggu yang lalu, saya pun sama seperti Ibu. Merasa rumah tangga yang saya dan suami saya jalani sangat bahagia. Pernikahan kami sempurna di mata saya. Hanya saja ... semua itu sampai beberapa minggu yang lalu. Setelah itu saya merasakan dunia yang tiba-tiba runtuh, membuat saya tak mampu lagi berpijak pada bumi ini. " 

Kali ini wanita itu tampak merendahkan nada suaranya. Wulan dapat melihat sepasang manik itu mengembun tiba-tiba. Bingkai wajah itu tak lagi menunjukkan ketegasannya. Raut wajah itu berubah rupa tanpa diduga. Sedih membingkai rahang angkuh itu. 

Mengapa wanita ini hanya merasa bahagia sampai beberapa minggu yang lalu saja? Apa yang telah terjadi pada rumah tangganya? Apakah suaminya meninggal dunia dengan tiba-tiba? Lantas mengapa pula wanita ini harus mengadu kepadanya? Bukankah dirinya tak ada hubungan sama sekali dengan keluarga mereka? 

"Sama seperti yang dirasakan Anda saat ini, Bu Wulan. Saya pikir mahligai rumah tangga kami begitu sempurna. Bahkan saya cenderung merasa bangga dan sedikit menyombongkan diri. Suami tampan, mapan, dua gadis cantik buah hati kami. Saya seolah membayangkan, banyak orang yang iri dengan kehidupan keluarga kami. Kebahagiaan itu sempurna milik saya. Saya lupa jika kesempurnaan itu sejatinya hanya milik Allah."

Wanita itu menyeka bulir bening yang mengalir dari ujung netranya dengan ujung kerudung berwarna biru muda yang dikenakannya. Sangat serasi berpadu dengan gamis bermotif bunga kecil dengan warna yang sama. Paripurna dengan keayuan wajahnya meskipun Wulan yakin usianya tak lagi muda. 

"Maaf, saya tak akan meneruskan pembicaraan ini jika saya tak tahu nama Ibu. Ibu tahu nama saya, tapi saya bahkan tak mengenal Ibu sama sekali. Ini tak adil rasanya. Bukankah seharusnya kita saling mengenal satu sama lain?"

Wulan menegakkan tubuhnya. Mengambil posisi akan melangkah pergi dari hadapan wanita yang masih duduk di kursi berbahan jati dengan dudukan berwarna hitam itu.

"Nama saya Hanum Khoirunnisa."

Wulan mengurungkan niatnya saat mendengar wanita itu menyebutkan namanya. Kembali memutar tubuhnya dan duduk di tempat yang sama seperti sebelumnya.

Hanum Khoirunnisa? Bukankah nama itu pernah ada di memori Wulan sebelumnya? Wanita yang pernah memiliki hubungan sangat dekat dengan suaminya. Jauh sebelum Wulan mengenal lelaki yang menjadi imamnya saat ini. 

"Anak Ibu bernama Raya Putri Kirana?" tanya Wulan untuk memastikan memorinya tak salah merekam nama. 

Dua tahun berlalu, namun entah mengapa dua nama itu seolah melekat di ingatannya.

"Bu Wulan tahu nama anak saya?"

Sekarang giliran wanita yang bernama Hanum ini yang merasa bingung dengan ucapan Wulan. Tampak wanita itu mengernyitkan dahinya. Keheranan jelas tak dapat ditutupinya. 

"Kalian masih berkerabat dekat dengan suami saya. Tentu saya pernah mendengar nama Ibu dan anak Ibu tentunya. Hanya saja ... baru kali ini kita punya kesempatan untuk berjumpa. Alhamdulillah," ujar Wulan sembari melebarkan lengkungan bibirnya. Bahagia karena kali pertama bersua dengan kerabat suaminya. 

Jelas sekali raut wajah bingung bercampur terkejut terlihat pada wajah Hanum. Wulan jelas menangkap perubahan raut wajah wanita yang tadinya sendu menjadi terkejut luar biasa.

"Kerabat suami Bu Wulan?" 

Lagi-lagi wanita yang bernama Hanum ini menegaskan ucapan Wulan yang baru saja didengarnya.

"Suami saya sudah menceritakan semuanya. Dan saya harap, kehadiran Ibu bukan untuk membuat kehidupan rumah tangga kami menjadi retak. Saya tak ingin, Ibu berusaha menjadikan Mas Damar, suami saya bak sebuah barang yang setelah dicampakkan, Ibu harapkan kembali kehadirannya."

Hening. Tak ada suara yang terjadi di antara mereka. Mungkin saja mereka sedang berusaha menjabarkan isi hati masing-masing. 

"Mas Damar pernah bercerita tentang sosok kami kepada Bu Wulan?" tanya Hanum dengan nada lirih.

Wulan menganggukkan kepalanya. Tentu saja dengan senyuman kecil yang tak lepas di bibirnya. Wanita ini harus tahu bahwa Wulan tahu apa yang telah dilakukannya pada suaminya di masa dulu. Mengapa wanita ini masih juga nekat untuk menemuinya setelah semua yang terjadi antara dirinya dan suami Wulan dulu?

"Semuanya. Termasuk keputusan Bu Hanum meninggalkan Mas Damar kala itu. Membatalkan pertunangan kalian dan justru menikah dengan laki-laki lain," ujar Wulan dengan nada tegas.

Gantian Hanum yang terkekeh saat mendengar ucapan Wulan itu. Wajah sendu itu berganti rupa. 

"Jadi itu yang disampaikan Mas Damar kepada Bu Wulan? Dan Bu Wulan bahagia dengan semua kebohongan yang telah diciptakan suami Ibu itu?"

Kali ini jelas sekali senyuman sinis kembali tersungging di bibir Hanum. Wulan mulai terpancing emosi.  Merasa wanita ini hendak mempermainkan perasaannya, mengaduk-aduk emosinya.

"Maksudnya?" tanya Wulan dengan nada bingung sekaligus cemas. 

Tampak sekali ketenangan kembali menguasai Hanum. Berbeda dengan Wulan yang merasa gelisah saat menyadari situasi yang dihadapinya saat ini sangat jauh dari dugaannya. Harusnya wanita ini malu dengan semua kenyataan yang diungkapkan Wulan tadi. Namun mengapa rasa itu tak tampak sama sekali tergambar di wajah yang cukup terawat ini? 

"Suami Bu Wulan  yang bernama Damar itu, lengkapnya Damar Prawira itu tak lebih dari seorang pembohong ulung. Pernikahan Bu Wulan selama ini dipenuhi dengan kebohongan saja. Kebahagiaan yang Bu Wulan rasakan hanyalah semu belaka," ujar Hanum dengan lembut.Tak nampak lagi senyuman sinis itu tercetak di ujung lengkungan bibirnya. 

Namun tetap saja, Wulan melihat senyum kemenangan seolah terlukis di wajah Hanum. Matanya masih meneteskan bulir bening, namun Wulan tahu wanita seolah sedang bahagia. Bukan merasakan kesedihan seperti yang diharapkannya. 

"Ibu tak berhak menghina suami saya! Tahu apa Ibu tentang sosok suami saya!"

Kali ini Wulan menunjukkan keberaniannya. Jika sedari tadi melemah, itu hanya demi alasan menghormati sosok tamunya saja. Namun sepertinya Wulan harus mengubah sikapnya ini. Harus menunjukkan taringnya. Mempertegas statusnya. 

Lagi-lagi Hanum tertawa. Meraih sehelai tisu yang ada di atas meja, lantas menyeka wajahnya dengan lembar tipis putih itu. 

"Saya sangat mengenal siapa suami Bu Wulan itu. Bahkan jauh lebih lama dari Ibu, karena Damar Prawira ... merupakan suami saya. Dia yang Bu Wulan sebut sebagai suami sejak tadi merupakan suami saya sejak lima belas tahun yang lalu."

Ucapan tegas Hanum itu membuat Wulan harus membelalakkan matanya. Suami? Tak salahkah wanita ini berbicara? Damar Prawira merupakan suami Hanum Khoirunnisa?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status