Beranda / Rumah Tangga / AKU (BUKAN) WANITA KEDUA / Bab 3 Harga Diri Yang Runtuh

Share

Bab 3 Harga Diri Yang Runtuh

Penulis: Buluh Perindu
last update Terakhir Diperbarui: 2023-02-18 21:20:13

Lantai yang dipijak Wulan seolah tenggelam ke dasar bumi tiba-tiba. Tubuh Wulan ikut terpuruk ke dasarnya.  Apakah telinganya tak salah menangkap gelombang suara itu?

"Apa maksud ucapan Ibu barusan?" tanya Wulan sembari menahan sesak di dadanya. Dadanya bergerak naik turun, menahan emosi yang mulai menguasainya.

Hanum menyunggingkan senyum sinisnya kembali. Walaupun jelas mata wanita itu menahan kesedihan yang coba ditutupinya.

"Bu Wulan belum jelas dengan ucapan saya tadi? Damar Prawira itu merupakan suami saya sejak lima belas tahun yang lalu. Suami sekaligus imam saya, Bu. Dan Raya Putri Kirana itu merupakan putri sulung kami. Artinya lelaki yang bernama Damar Prawira itu berstatus sebagai ayah dari dua orang anak sebelum mengikat janji dan menghalalkan Ibu. Bahkan sampai sekarang, ikatan itu masih terjalin di antara kami."

Tampak sekali Hanum berusaha mempertegas statusnya di hadapan Wulan. Sepasang manik itu tajam menghujam Wulan. Penuh ketegasan. Bahkan rahang wanita ini tampak mengeras untuk mempertegas ucapannya. 

"Bagaimana bisa Mas Damar menjadi suami Ibu? Mas Damar itu suami saya. Ayah putri kecil kami. Saya istrinya."

Wulan sedikit menaikkan nada suaranya. Wanita yang bernama Hanum ini harus tahu posisinya. Jangan sembarangan berbicara. Apalagi dengan kata-kata yang jelas memfitnah. 

"Masih belum jelas dengan ucapan saya tadi, Bu Wulan? Oh iya, terkait bagaimana bisa Mas Damar menjadi suami saya, harusnya saya yang bertanya, bagaimana bisa Ibu menikahi laki-laki beristri? Menjadi wanita kedua di hati lelaki yang pernah mengucapkan akad pada wanita lain sebelumnya!"

Wulan tampak menggeleng-gelengkan kepalanya. Tak percaya apa yang dikatakan wanita yang ada di hadapannya ini. Tentu wanita ini hanya ingin membuat hancur rumah tangganya karena gagal mendapatkan Damar sebagai pendampingnya.

"Saya tak pernah menikahi laki-laki beristri. Mas Damar berstatus bujangan saat menikahi saya. Saya yang menjadi istri satu-satunya. Ibu jangan membuat fitnah seperti ini! Tak patut Ibu menyebarkan berita bohong hanya karena Ibu gagal mendapatkan Mas Damar kembali?"

Kali ini Wulan benar-benar tak mampu menahan emosinya. Menegaskan statusnya di hadapan wanita yang jelas-jelas sembarangan bekerja. 

Terdengar kekehan kecil dari mulut Hanum. Sementara itu, Wulan berusaha menguatkan dirinya. Wanita yang ada di hadapannya ini benar-benar sangat licik. Siapa lagi yang akan membela laki-laki yang menjadi suaminya itu, jika bukan dirinya sebagai istri?

Tampak Hanum membuka tas hitam yang sedari tadi ada di dekatnya. Wanita itu mengambil sebuah amplop berwarna cokelat. Membuka penutup amplop lantas mengeluarkan beberapa lembaran kertas dari dalamnya. Dengan gerakan yang pasti Hanum menata lembaran-lembaran kertas itu di atas meja yang membatasi dirinya dan Wulan.

"Apa yang akan Bu Wulan katakan saat melihat semua ini?"

Sontak saja Wulan dengan gerakan cepat menarik lembaran-lembaran itu. Memindai satu per satu lembaran kertas tersebut dengan napas yang memburu. Pupil matanya bergerak cepat untuk menangkap bayangan benda yang terpampang jelas di hadapannya. Tak boleh salah menangkap bayangan benda yang tercipta. 

Salinan surat nikah, salinan dua akta kelahiran, beberapa foto keluarga dengan wajah Damar dan Hanum tampak jelas di sana. Tampak bahagia. Senyuman lepas tercetak dari setiap lengkungan bibir keempat sosok yang ada di sana. 

Wulan tertegun tiba-tiba. Apakah semua yang ada di hadapannya nyata? Apakah ini hanya halusinasi saja? Mengapa semuanya tergambar sempurna? 

Perlahan Wulan kembali berusaha menajamkan penglihatannya. Menelusuri deretan aksara di tiap lembar kertas yang terhampar di hadapannya. 

Lembar pertama yang ditelusuri Wulan adalah salinan surat nikah. Jelas sekali nama Damar Prawira dan Hanum Khoirunnisa tertulis di lembaran itu. Wulan merasa langit seolah runtuh menimpanya seketika.

Mencoba menahan nyeri di kepala yang mulai dirasakannya, Wulan berpindah ke dua salinan akta kelahiran yang ada di samping surat nikah. Jantungnya berdegup sangat kencang, tak ubah genderang perang. 

Salinan akta kelahiran anak atas nama Raya Putri Kirana dan Hanif Fathurrahman ada di tangan Wulan sekarang. Kedua anak itu memiliki nama orang tua yang sama, Hanum Khoirunnisa dan Damar Prawira. 

Dada Wulan terasa semakin sesak. Jantungnya kian bergemuruh. Dua kenyataan pahit baru saja ditemukannya. Akankah ada kenyataan pahit lain yang akan didapatkannya lagi?

Berpindah ke lembaran lainnya, Wulan menemukan beberapa helai foto. Banyak peristiwa dan momen penting yang tergambar di foto itu. Momen kebersamaan sebuah keluarga kecil yang benar-benar bahagia. 

Foto pernikahan sepasang suami istri yang membuat Wulan kembali harus membelalakkan matanya. 

Bagaimana tidak? Tanggal foto itu diambil jelas terlihat di sudut kanan bawah. Tak hanya itu, meski perawakannya sedikit berbeda, Wulan tak mungkin salah mengenal sosok sang mempelai laki-lakinya. Hanya karena usia, sosok itu terlihat sedikit berbeda. Jauh lebih muda dari sekarang tentunya. 

Tak hanya itu, ada beberapa foto lainnya yang cukup membuat hati Wulan tercabik-cabik. Bukan hanya sayatan, torehan luka dirasakan Wulan saat ini. Bahkan hatinya sangat hancur, sehancur-hancurnya. Berkeping-keping, bahkan tak berbentuk lagi.

Ada foto mereka sepasang suami istri sedang berlibur dengan putri kecil mereka yang berusia sekitar dua tahun. Ada pula foto seorang sedang wanita menggendong bayi dengan suaminya memeluk erat pinggangnya dengan latar tulisan "Akikah Raya Putri Kirana". Tak hanya itu, foto keluarga dengan pakaian seragam yang sama, yang sepertinya diambil saat hari Raya Idul Fitri atau Idul Fitri pun ada. 

Masih ada beberapa foto lainnya, namun Wulan tak punya lagi kekuatan untuk melihatnya. Tak ingin luka yang ada akan semakin nyeri dan berdarah-darah bak disiram dengan air garam tentunya.

"Jangan menuduh saya telah mengedit foto-foto dan bukti ini, Bu Wulan! Terlalu banyak bukti yang ada. Bahkan sebenarnya ... ini hanya sebagian saja."

Hanum menatap tajam pada Wulan. Hanum sepertinya sedang menunggu reaksi Wulan selanjutnya.

"Masih banyak bukti lainnya yang  dapat saya tunjukkan. Bu Wulan siap?" tanya Hanum dengan penuh ketegasan.

Wulan diam. Tak menolak ataupun mengiyakan. Semuanya ini terlalu di luar dugaannya. Bahkan bagi Wulan, semua yang sedang berjajar di hadapannya ini bak petir menyambar di siang bolong saja rasanya.

"Jadi Ibu adalah istri Mas Damar? Ibu bukan sekadar kerabat jauh seperti yang dikatakan Mas Damar selama ini kepada saya?" tanya Wulan dengan bibir yang gemetar. 

Lirih, tak lagi tegas seperti sebelumnya. 

Tak ada lagi kekuatan untuk menatap wajah Hanum. Harga diri Wulan runtuh saat harus mengakui jika dirinya tak lebih hanya seorang istri kedua, bukan pertama apalagi satu-satunya.

Hanya gelengan yang sekilas dilihat Wulan dari kepala Hanum sebagai jawaban atas pertanyaannya. Cukup untuk membuat hati Wulan semakin terkoyak-koyak.

"Kami masih terikat sebagai suami istri. Tak ada talak, apalagi surat cerai. Dan mau tidak mau Bu Wulan harus mengakui, Ibu merupakan orang ketiga dalam rumah tangga kami, saya dan Mas Damar."

Tegas ucapan itu dilontarkan Hanum. Dan sukses membuat hati Wulan semakin nyeri hingga nyaris tak mampu lagi mengangkat wajahnya. Apakah dirinya menjadi wanita kedua? Perusak rumah tangga wanita lainnya? 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • AKU (BUKAN) WANITA KEDUA   Kesempatan Untuk Hanif

    "Apa maksud Bapak? Boncengan? Mau kemana?" balas Wulan sembari mengernyitkan dahinya. "Ibu belum tahu kalau kita berdua ditugaskan untuk mengikuti Technical Meeting Kabupaten?"Dengan santainya Hanif memasang tampang lugu dan polos di hadapan Wulan. "Kita? Saya saja, Pak. Tidak Bapak."Dengan tegas Wulan membantah ucapan Hanif itu. Dirinya tak mungkin salah mendengar kalimat yang disampaikan Bu Lidia tadi pagi. Hanya namanya. Tak ada nama guru laki-laki ini."Di surat tugas ini tertera nama kita berdua, Bu. Saya dan Ibu."Tak kalah tegasnya Hanif pun menunjukkan bukti atas ucapannya tadi. Tak ingin dianggap bercanda apalagi berbohong oleh wanita yang memang sedang ditaksirnya ini. Dengan gerakan tangan yang cepat Wulan meraih kertas yang disodorkan Hanif itu. Memindainya dengan cepat. Air wajahnya berubah seketika. Benar saja. Nama mereka berdua tertera di sana. Perint

  • AKU (BUKAN) WANITA KEDUA   Godaan

    Wulan baru saja tiba di parkiran. Ketika tangannya bergerak hendak membuka helm yang menutupi kepala, sebuah sepeda motor berhenti tepat di sampingnya. "Bu Wulan, mengapa pesan saya tak dibalas? Padahal saya beberapa kali mengirimkan pesan. Dan semuanya centang dua biru. Dibaca Bu Wulan bukan?"Lidah Wulan mendadak kelu. Mengapa sepagi ini dirinya harus bertemu dengan lelaki ini? "Anak saya yang membukanya barangkali, Pak. Maklumlah kalau di rumah, HP ini menjadi milik berdua."Wulan terpaksa berbohong. Jika tidak, entah apa alasan yang harus dikatakannya kepada lelaki ini. "Oh begitu. Nanti siang ada acara? Sepulang sekolah maksud saya."Meletakkan helm pada spion sepeda motornya, Wulan ingin segera pergi dari hadapan lelaki ini. "Memangnya ada apa, Pak? Ada kegiatan tambahan ya kita hari ini? Kok saya tak tahu infonya?"Wulan mengernyitkan dahi. Seingatnya tak ada in

  • AKU (BUKAN) WANITA KEDUA   Bukalah Pintu Hatimu

    "Lan, kamu melamun?"Wulan menolehkan kepalanya. Tatapannya bertemu dengan wanita yang telah menghadirkannya ke dunia. Wanita yang senantiasa mendukungnya menjalani masa-masa sulit satu tahun terakhir ini. Mereka saling menguatkan setelah sama-sama kehilangan. Kehilangan lelaki yang sama-sama mereka cintai. Kepergian selamanya, tak akan pernah kembali lagi. Tak selesai begitu saja. Bahkan belum lagi kering air mata akibat kehilangan cinta pertamanya, pipi Wulan masih harus terus membasah. Perpisahan, meskipun dirinya yang meminta tetap saja menyakitkan rasanya. Bukan sakit karena perpisahan itu sendiri sebenarnya. Sakit yang terbesar adalah ketika menyadari dirinya telah dibohongi selama ini. Menghabiskan waktu dengan lelaki yang salah. Melabuhkan cinta kepada lelaki yang tak sepatutnya. "Tak ada. Menikmati malam saja. Kebetulan purnama begitu sempurna. Ibu belum tidur?" tanya Wulan sembari menggeser posisi duduknya, memberi

  • AKU (BUKAN) WANITA KEDUA   Talak

    "Apa???"Jelas sekali Bu Yayuk tak dapat menutupi keterkejutannya. Bahkan suara wanita itu yang tadinya lirih berubah lebih tinggi tiba-tiba. "Jangan bercanda, Lan! Ibu tak suka!" ucap Bu Ayu dengan nada tegas. "Bu, Wulan tak bercanda. Memang demikian fakta yang sebenarnya. Suka tidak suka, mau tidak mau, itulah kenyataan yang ada."Akhirnya Wahyu ikut berbicara. Sebagai sulung keluarga Wiryawan, masalah ini jelas menjadi tanggung jawabnya. "Tapi bagaimana bisa? Bukankah pada saat Wulan dan Damar menikah jelas status keduanya sebagai gadis dan perjaka? Ibu tak mengerti. Sungguh-sungguh tak mengerti."Bu Yayuk semakin bingung. Terlebih mendengar kalimat yang diucapkan putranya. "Kalau untuk hal itu, Ibu jangan menanyakannya kepada Wulan. Damar tentu akan lebih dapat memberikan penjelasan."Tatapan mata Bu Yayuk berpindah ke arah Damar, menantu yang selama ini menjadi ke

  • AKU (BUKAN) WANITA KEDUA   Di Depan Pusara Ayah

    Para pelayat satu per satu pergi meninggalkan area pemakaman. Para kerabat pun mendekati Bu Yayuk dan anak-anaknya, memohon izin untuk pulang lebih dulu. Hanya tersisa keluarga besar Wiryawan saja. Tiga pasang anak menantu, lima orang cucu, dan seorang wanita yang resmi telah menyandang gelar sebagai seorang janda. "Ibu tak menyangka jika ayah kalian akan pergi secepat ini. Padahal kondisi Ayah sebelumnya sudah membaik. Entah mengapa tiba-tiba menurun lagi."Isakan tangis Bu Yayuk masih terus terdengar. Sementara ketiga anaknya nampak diam dengan wajah yang sama sembapnya. Seluruhnya berjongkok, mengelilingi gundukan tanah merah yang masih basah. "Wahyu, Firman, ayah kalian sudah tak ada. Pelindung keluarga ini sudah tak ada. Tanggung jawab itu ada di pundak kalian sekarang."Kalimat itu diucapkan Bu Yayuk dengan lirih. Bulir bening membasahi pipi. Tak menyangka jika secepat ini lelaki halalnya akan pergi. Wahy

  • AKU (BUKAN) WANITA KEDUA   Kepergian Ayah

    "Siapa?" tanya Firman dan Wahyu serempak. Raut wajah Wulan terlihat jelas menunjukkan kebingungan. Dan membuat kedua lelaki itu fokus pada bungsu mereka. Tanpa menjawab Wulan segera mengarahkan benda pipih itu ke arah telinganya. Tentu saja setelah menggeser tombol hijau yang ada pada layar pipih itu sebelumnya. "Assalamu'alaikum, Bu. Ada apa? Maaf Wulan masih ada urusan sedikit yang harus diselesaikan. Jadi agak lama. Kak Ayu sudah membawakan Ibu nasi bukan? Ibu masih mau dibelikan nasi bungkusnya?"Wulan hendak memperjelas ucapan abangnya tadi. Jangan sampai dirinya disalahkan oleh sang ibu. "Waalaikum salam. Bukan masalah nasi Ibu, Wulan. Kalian dimana sekarang? Kedua abangmu pun  tak ada. Ayah tiba-tiba kritis."Sontak saja Wulan menutup pembicaraan itu tanpa mengucap salam sama sekali. "Ayah kritis."Hanya kalimat itu yang terucap dari bibir Wulan. Kakinya melang

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status