Share

Bab 3 Harga Diri Yang Runtuh

Lantai yang dipijak Wulan seolah tenggelam ke dasar bumi tiba-tiba. Tubuh Wulan ikut terpuruk ke dasarnya.  Apakah telinganya tak salah menangkap gelombang suara itu?

"Apa maksud ucapan Ibu barusan?" tanya Wulan sembari menahan sesak di dadanya. Dadanya bergerak naik turun, menahan emosi yang mulai menguasainya.

Hanum menyunggingkan senyum sinisnya kembali. Walaupun jelas mata wanita itu menahan kesedihan yang coba ditutupinya.

"Bu Wulan belum jelas dengan ucapan saya tadi? Damar Prawira itu merupakan suami saya sejak lima belas tahun yang lalu. Suami sekaligus imam saya, Bu. Dan Raya Putri Kirana itu merupakan putri sulung kami. Artinya lelaki yang bernama Damar Prawira itu berstatus sebagai ayah dari dua orang anak sebelum mengikat janji dan menghalalkan Ibu. Bahkan sampai sekarang, ikatan itu masih terjalin di antara kami."

Tampak sekali Hanum berusaha mempertegas statusnya di hadapan Wulan. Sepasang manik itu tajam menghujam Wulan. Penuh ketegasan. Bahkan rahang wanita ini tampak mengeras untuk mempertegas ucapannya. 

"Bagaimana bisa Mas Damar menjadi suami Ibu? Mas Damar itu suami saya. Ayah putri kecil kami. Saya istrinya."

Wulan sedikit menaikkan nada suaranya. Wanita yang bernama Hanum ini harus tahu posisinya. Jangan sembarangan berbicara. Apalagi dengan kata-kata yang jelas memfitnah. 

"Masih belum jelas dengan ucapan saya tadi, Bu Wulan? Oh iya, terkait bagaimana bisa Mas Damar menjadi suami saya, harusnya saya yang bertanya, bagaimana bisa Ibu menikahi laki-laki beristri? Menjadi wanita kedua di hati lelaki yang pernah mengucapkan akad pada wanita lain sebelumnya!"

Wulan tampak menggeleng-gelengkan kepalanya. Tak percaya apa yang dikatakan wanita yang ada di hadapannya ini. Tentu wanita ini hanya ingin membuat hancur rumah tangganya karena gagal mendapatkan Damar sebagai pendampingnya.

"Saya tak pernah menikahi laki-laki beristri. Mas Damar berstatus bujangan saat menikahi saya. Saya yang menjadi istri satu-satunya. Ibu jangan membuat fitnah seperti ini! Tak patut Ibu menyebarkan berita bohong hanya karena Ibu gagal mendapatkan Mas Damar kembali?"

Kali ini Wulan benar-benar tak mampu menahan emosinya. Menegaskan statusnya di hadapan wanita yang jelas-jelas sembarangan bekerja. 

Terdengar kekehan kecil dari mulut Hanum. Sementara itu, Wulan berusaha menguatkan dirinya. Wanita yang ada di hadapannya ini benar-benar sangat licik. Siapa lagi yang akan membela laki-laki yang menjadi suaminya itu, jika bukan dirinya sebagai istri?

Tampak Hanum membuka tas hitam yang sedari tadi ada di dekatnya. Wanita itu mengambil sebuah amplop berwarna cokelat. Membuka penutup amplop lantas mengeluarkan beberapa lembaran kertas dari dalamnya. Dengan gerakan yang pasti Hanum menata lembaran-lembaran kertas itu di atas meja yang membatasi dirinya dan Wulan.

"Apa yang akan Bu Wulan katakan saat melihat semua ini?"

Sontak saja Wulan dengan gerakan cepat menarik lembaran-lembaran itu. Memindai satu per satu lembaran kertas tersebut dengan napas yang memburu. Pupil matanya bergerak cepat untuk menangkap bayangan benda yang terpampang jelas di hadapannya. Tak boleh salah menangkap bayangan benda yang tercipta. 

Salinan surat nikah, salinan dua akta kelahiran, beberapa foto keluarga dengan wajah Damar dan Hanum tampak jelas di sana. Tampak bahagia. Senyuman lepas tercetak dari setiap lengkungan bibir keempat sosok yang ada di sana. 

Wulan tertegun tiba-tiba. Apakah semua yang ada di hadapannya nyata? Apakah ini hanya halusinasi saja? Mengapa semuanya tergambar sempurna? 

Perlahan Wulan kembali berusaha menajamkan penglihatannya. Menelusuri deretan aksara di tiap lembar kertas yang terhampar di hadapannya. 

Lembar pertama yang ditelusuri Wulan adalah salinan surat nikah. Jelas sekali nama Damar Prawira dan Hanum Khoirunnisa tertulis di lembaran itu. Wulan merasa langit seolah runtuh menimpanya seketika.

Mencoba menahan nyeri di kepala yang mulai dirasakannya, Wulan berpindah ke dua salinan akta kelahiran yang ada di samping surat nikah. Jantungnya berdegup sangat kencang, tak ubah genderang perang. 

Salinan akta kelahiran anak atas nama Raya Putri Kirana dan Hanif Fathurrahman ada di tangan Wulan sekarang. Kedua anak itu memiliki nama orang tua yang sama, Hanum Khoirunnisa dan Damar Prawira. 

Dada Wulan terasa semakin sesak. Jantungnya kian bergemuruh. Dua kenyataan pahit baru saja ditemukannya. Akankah ada kenyataan pahit lain yang akan didapatkannya lagi?

Berpindah ke lembaran lainnya, Wulan menemukan beberapa helai foto. Banyak peristiwa dan momen penting yang tergambar di foto itu. Momen kebersamaan sebuah keluarga kecil yang benar-benar bahagia. 

Foto pernikahan sepasang suami istri yang membuat Wulan kembali harus membelalakkan matanya. 

Bagaimana tidak? Tanggal foto itu diambil jelas terlihat di sudut kanan bawah. Tak hanya itu, meski perawakannya sedikit berbeda, Wulan tak mungkin salah mengenal sosok sang mempelai laki-lakinya. Hanya karena usia, sosok itu terlihat sedikit berbeda. Jauh lebih muda dari sekarang tentunya. 

Tak hanya itu, ada beberapa foto lainnya yang cukup membuat hati Wulan tercabik-cabik. Bukan hanya sayatan, torehan luka dirasakan Wulan saat ini. Bahkan hatinya sangat hancur, sehancur-hancurnya. Berkeping-keping, bahkan tak berbentuk lagi.

Ada foto mereka sepasang suami istri sedang berlibur dengan putri kecil mereka yang berusia sekitar dua tahun. Ada pula foto seorang sedang wanita menggendong bayi dengan suaminya memeluk erat pinggangnya dengan latar tulisan "Akikah Raya Putri Kirana". Tak hanya itu, foto keluarga dengan pakaian seragam yang sama, yang sepertinya diambil saat hari Raya Idul Fitri atau Idul Fitri pun ada. 

Masih ada beberapa foto lainnya, namun Wulan tak punya lagi kekuatan untuk melihatnya. Tak ingin luka yang ada akan semakin nyeri dan berdarah-darah bak disiram dengan air garam tentunya.

"Jangan menuduh saya telah mengedit foto-foto dan bukti ini, Bu Wulan! Terlalu banyak bukti yang ada. Bahkan sebenarnya ... ini hanya sebagian saja."

Hanum menatap tajam pada Wulan. Hanum sepertinya sedang menunggu reaksi Wulan selanjutnya.

"Masih banyak bukti lainnya yang  dapat saya tunjukkan. Bu Wulan siap?" tanya Hanum dengan penuh ketegasan.

Wulan diam. Tak menolak ataupun mengiyakan. Semuanya ini terlalu di luar dugaannya. Bahkan bagi Wulan, semua yang sedang berjajar di hadapannya ini bak petir menyambar di siang bolong saja rasanya.

"Jadi Ibu adalah istri Mas Damar? Ibu bukan sekadar kerabat jauh seperti yang dikatakan Mas Damar selama ini kepada saya?" tanya Wulan dengan bibir yang gemetar. 

Lirih, tak lagi tegas seperti sebelumnya. 

Tak ada lagi kekuatan untuk menatap wajah Hanum. Harga diri Wulan runtuh saat harus mengakui jika dirinya tak lebih hanya seorang istri kedua, bukan pertama apalagi satu-satunya.

Hanya gelengan yang sekilas dilihat Wulan dari kepala Hanum sebagai jawaban atas pertanyaannya. Cukup untuk membuat hati Wulan semakin terkoyak-koyak.

"Kami masih terikat sebagai suami istri. Tak ada talak, apalagi surat cerai. Dan mau tidak mau Bu Wulan harus mengakui, Ibu merupakan orang ketiga dalam rumah tangga kami, saya dan Mas Damar."

Tegas ucapan itu dilontarkan Hanum. Dan sukses membuat hati Wulan semakin nyeri hingga nyaris tak mampu lagi mengangkat wajahnya. Apakah dirinya menjadi wanita kedua? Perusak rumah tangga wanita lainnya? 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status