Wulan menghela napasnya. Ada rasa tak tega di hatinya saat melihat air mata dari sosok yang berjenis kelamin yang sama dengannya ini.
Sejatinya mereka berada pada posisi yang sama. Terluka karena telah didustai oleh lelaki yang sama. Tanpa mereka tahu jika telah dibohongi selama ini. Apalagi Wulan yang artinya sudah terikat pernikahan dengan landasan dusta dari lelaki pujaan hatinya itu. Melihat detail informasi yang disampaikan Hanum, Wulan yakin wanita ini bukan baru kemarin menemukan kenyataan pahit ini. Jelas informasi yang dikantongi Hanum sangat jelas dan rinci.Hanum jelas sudah mempersiapkan diri untuk berhadapan secara langsung dengannya hari ini. Mempersiapkan mental dan juga emosi untuk bertatap muka langsung dengan dirinya, wanita yang berstatus sebagai adik madu seorang Hanum Khoirunnisa. Wulan menggumam perlahan dalam kecemasan hatinya. Wanita kedua. Suka atau tidak, status itu melekat dengan dirinya sejak saat ini. Tidak, lebih tepatnya baru disadarinya saat ini. "Seorang pecundang tak akan pernah mengaku. Seorang pembohong akan selalu berdalih dan membuat kebohongan berikutnya. Tak mungkin lelaki yang kita panggil dengan gelar suami itu akan mengakui semua dustanya," ucap Hanum dengan tegas seraya menyunggingkan senyum kecutnya.Wulan merasa dirinya begitu bodoh karena terlalu memercayai laki-laki yang berstatus suaminya itu. Walaupun selama ini Wulan merasa ada beberapa kejanggalan, tetap saja penjelasan Damar menutupi semuanya. Rasa percaya yang diberikannya terlampau besar untuk lelaki itu. "Beberapa minggu yang lalu saya mendapatkan semua kenyataan pahit ini. Dari seseorang yang sengaja saya tugaskan untuk mencari semua kebenaran ini. Bahkan sampai datang ke kota ini. Bagaimanapun naluri saya sebagai istri harus dibuktikan setelah kecurigaan yang saya rasakan. Bu Wulan pun harusnya mampu menajamkan naluri sejak dulu. Saya yakin, dusta Mas Damar sejatinya tak akan sempurna. Hanya saja, Bu Wulan tak jeli menyadarinya."Hati Wulan merasa pilu ketika melihat gerakan perlahan tangan Hanum. Wanita itu tampak mengusap pipinya yang membasah. Air mata itu jelas tumpah dari wanita yang bergelar kakak madunya ini. "Walaupun akhirnya saya harus merasa kecewa karena ternyata semuanya bukanlah ketakutan saya saja. Berminggu-minggu saya terpuruk, sampai akhirnya saya memutuskan untuk menemui Ibu hari ini. Memantapkan hati untuk memperjelas status saya saat ini."Wulan tak mampu menahan deraian air matanya. Sikap Hanum yang jauh lebih lembut dari sebelumnya justru semakin membuat Wulan di posisi sangat bersalah."Bukankah Mas Damar pamit padamu selama lima hari untuk urusan kantor?" tanya Hanum kembali.Ada bulir bening yang coba kembali diseka wanita itu. Wulan dapat melihatnya dengan jelas. Sama seperti dirinya. Mereka menangis untuk lelaki yang sama. Anggukan kepala diberikan Wulan sebagai jawaban atas pertanyaan kakak madunya itu. Suka atau tidak suka, posisi Wulan saat ini merupakan adik madu Hanum.Suaminya itu memang pamit untuk urusan pekerjaan sejak kemarin. Dan benar, untuk lima hari ke depan."Urusan pekerjaan hanya dua hari saja sebenarnya. Malam ini urusan pekerjaan itu selesai dan Mas Damar akan pulang ke rumah kami sampai tiga hari selanjutnya," ucap Hanum dengan tenang.Wulan mengernyitkan dahinya. Sedetail itu Hanum mendapatkan informasi. Berbanding terbalik dengan dirinya yang tak tahu apa-apa."Jangan heran darimana saya mendapatkan semua informasi ini! Bu Wulan pasti paham, istri yang nekat dan terluka dapat melakukan apa pun tentunya. Dan saya di posisi itu saat ini.”Ada sayatan belati lagi-lagi dirasakan Wulan atas ucapan Hanum itu. Nekat? Apa yang dimaksud Hanum dengan kalimat itu?"Bu Wulan boleh jadi masih merasa ragu. Saya tak akan menyalahkan itu. Tak mudah menerima semua yang sudah saya ungkapkan ini."Hanum menjeda kalimatnya. Berupaya meraup oksigen untuk mengisi paru-parunya."Saya akan mengirimkan bukti keberadaan Mas Damar di rumah kami nanti. Saya pastikan, lelaki itu akan ada di rumah kami malam ini. Setelah itu, silahkan Bu Wulan menyikapinya!"Hanum menegakkan tubuhnya. Meraih tas yang sejak tadi diletakkannya di samping tubuh yang menurut Wulan sangat ideal itu. Berkulit putih khas wanita Sunda, Hanum jelas masih menunjukkan daya tariknya. Hati Wulan tergelitik. Lantas apa yang membuat Damar harus mencari wanita lainnya? Apakah karena nafsu atau untuk kepuasaan saja? "Maaf jika kehadiran saya tidak Ibu inginkan! Apalagi Ibu harapkan. Namun Bu Wulan harus tahu semua ini. Satu lagi, nomor kontak Ibu sudah ada di saya. Saya akan mengirimkan pesan kepada Ibu nanti. Tolong simpan kontak saya juga! Karena Ibu pasti membutuhkannya."Wulan kembali terhenyak. Bahkan nomor kontaknya pun sudah ada di tangan Hanum. Apalagi yang dapat dilakukannya saat ini?Hanum mengulurkan tangannya kepada Wulan. Mau tak mau Wulan menyambut uluran tangan wanita yang telah sukses memporak-porandakan hatinya hari ini. "Saya langsung pulang. Dengan penerbangan satu jam lagi. Harus sampai di rumah malam ini. Menjaga anak-anak kami. Buah cinta kami selama ini. Ibu bisa bayangkan perasaan anak-anak saya jika tahu semua kenyataan ini?" tukas Hanum sebelum menegakkan tubuhnya dan berdiri. Setelah mengucapkan salam, Hanum berlalu dari hadapan Wulan. Wulan terhenyak dan kembali duduk menyandarkan tubuhnya yang tiba-tiba oleng.Mencoba menahan air matanya, Wulan merasa tak kuat jika harus menahannya lebih lama. Dengan langkah gegas, Wulan melangkahkan kakinya ke ruang guru. Untung saja, tak ada siapa pun di sana. Dengan cepat Wulan meraih tas dan jaketnya lantas bergegas kembali melangkah."Ndri, titip kelas aku tadi! Setelah itu aku tak ada lagi jam. Ada urusan yang harus aku selesaikan," ujar Wulan saat melangkah ke meja piket.Sepertinya rekan Wulan itu cukup paham akan situasi yang terjadi. Anggukan kepala diberikannya sebagai jawaban atas permintaan Wulan itu. Tanpa bertanya apa-apa lagi. Melajukan sepeda motornya dengan kecepatan cukup tinggi, Wulan berusaha agar tetap fokus pada jalanan yang dilaluinya. Rumah merupakan tempat yang ingin ditujunya saat ini."Bik Tika, tolong jangan ganggu saya saat ini! Saya titip Syifa ya, Bu!" pinta Wulan pada wanita yang baru saja membuka pintu rumahnya itu.Jarak perjalanan yang biasanya ditempuh selama tiga puluh menit dipangkas Wulan separuhnya. Untung saja suasana jalan tak ramai tadi. Laju putaran kendaraan roda duanya melesat sempurna. Bik Tika, wanita itu bekerja untuk mengasuh putri kecilnya sekaligus membantu membereskan rumah sejak Wulan melahirkan Syifa. Datang pukul enam pagi dan akan pulang pukul lima sore nanti. Tak menunggu jawaban Bik Tika, Wulan dengan cepat melangkahkan kakinya ke dalam kamar. Meletakkan tas lantas merebahkan tubuh penatnya ke atas kasur. Deraian air mata tumpah tanpa bisa dicegah. Seperti inikah takdir mempermainkan nasibnya? Haruskah dirinya menggugat takdir? Wulan meraup wajahnya yang basah oleh air mata. Menatap langit-langit kamar sembari mengurai kisah dua tahun silam yang masih melekat kuat di memorinya. Apakah Damar telah menjebaknya? Mengapa laki-laki itu berbohong padanya?"Saya terima nikahnya dan kawinnya Wulandari Purnama binti Ahmad Wiryawan dengan mas kawinnya yang tersebut, tunai.”"Bagaimana saksi?" tanya laki-laki dengan jas berwarna hitam dan peci warna yang sama sembari menolehkan kepalanya pada dua orang saksi yang duduk di dekat meja yang sama."Sah."Kompak kedua laki-laki itu berkata yang disambut lafaz hamdalah dari setiap bibir orang-orang yang memenuhi ruangan itu. Raut wajah bahagia tergambar dari setiap orang yang hadir menyaksikan momen sakral dalam kehidupan putri bungsu keluarga Wiryawan itu. Wulan menyapu wajahnya dengan kedua telapak tangan. Hal yang sama dilakukan juga oleh Damar Prawira, laki-laki yang baru menghalalkannya itu. Laki-laki pujaan hati yang menjadikan dirinya sebagai pasangan tulang rusuk. Nama mereka tertulis di Lauhul Mahfuz sejak akad tadi terucapkan, lancar tanpa pengulangan. Lega, bahagia. Perasaan itu yang bercampur aduk dalam hat
"Pengantin perempuan silahkan untuk menciumi tangan suaminya."Sontak saja lamunan Wulan menjadi buyar seketika. Mungkin sudah sejak tadi Kak Ana, sang MC memberikan arahan itu kepadanya. Mengingat perjuangannya untuk bersanding dengan lelaki pujaannya ini membuat Wulan lupa akan keadaannya sekarang.Bukan hal yang mudah untuk mendapatkan restu dari kedua orang tuanya. Butuh kegigihan menunjukkan niat baik sang calon imam untuk menghalalkannya. Wulan tak berjuang sendiri. Damar pun berusaha sekuat tenaga menunjukkan keseriusannya. Dengan rasa gugup dan malu, Wulan memutar tubuhnya sembilan puluh derajat. Berhadapan dengan lelaki yang telah mengambil alih tanggung jawab atas dirinya dari sang ayah. Ketika akad itu terucap, banyak hal yang berubah atas dirinya. Perlahan Wulan mengangkat tangan kanannya. Meraih tangan kanan lelaki yang sudah bergelar suaminya yang sudah terulur lebih dulu. Menciumi dengan takzim tangan yang akan
Wulan duduk di tepi tempat tidur. Mengarahkan pandangannya ke sekeliling kamar yang tampak mewah dengan berbagai dekorasi selayak kamar pengantin umumnya. Hiasan bunga imitasi mendominasi ornamen kamarnya. Ditambah satu vas mawar merah segar dengan aroma khasnya. Harum menguar memenuhi indera penciumannya. Ada beberapa tangkai melati segar yang diselipkan di bagian atas tempat tidur. Harumnya berpadu menciptakan sebuah sensasi. Harusnya malam ini merupakan malam kebahagiaannya. Harusnya malam ini dirinya tak sendiri di kamar indah ini. Harusnya malam ini dirinya memadu kasih dengan sang pujangga hati yang didambakannya selama ini. Angan Wulan membayang kelebat kisah tadi sore."Mas, apa Wulan ikut saja?" Tiba-tiba Wulan menawarkan ide yang menurutnya terbaik untuk mereka. Terlalu sesak rasanya dada jika harus berpisah hingga beberapa hari ke depan nantinya.Bagaimana tidak, baru tadi pagi akad itu diucapkan. Ti
"Mas mau salat Asar, setelah itu bersiap pergi. Mau salat sama-sama?" tanya Damar sembari melangkah meraih sarung yang ada di ujung tempat tidur mereka."Mas duluan saja, Wulan nanti mau mandi dulu. Badan gerah dan kotor rasanya jika tak dibersihkan dulu."Damar tersenyum dan mulai mengenakan sarungnya. Sementara Wulan meraih gawai yang sejak pagi tadi tak tersentuh jemarinya sama sekali. Banyak pesan yang masuk melalui aplikasi berlogo hijau. Semuanya berisi ucapan yang senada, selamat atas pernikahannya. Juga doa agar pernikahannya sakinah, mawaddah warahmah. Senyum bahagia kembali tersungging di bibir Wulan. Sebahagia ini rasanya menikah? Mungkin usianya saat ini tergolong masih wajar saja belum menikah. Baru dua puluh tujuh tahun. Belum pantas dijuluki perawan tua. Sedangkan Damar akan berusia tiga puluh enam tahun, enam bulan lagi. Nyaris menyandang gelar sebagai bujang lapuk tentunya menurut istilah orang di
Ketukan pintu kamar membuyarkan lamunan Wulan. Mengusap matanya yang sempat mengembun, Wulan lantas melangkahkan kaki menuju pintu dan menarik gagangnya."Ibu?" ucap Wulan saat melihat sosok yang ada di hadapannya saat pintu terbuka. "Ibu hanya ingin melihat keadaanmu, Lan. Sejak Magrib tadi kamu masuk kamar tapi tak keluar-keluar lagi setelah itu. Kamu sakit?" tanya Bu Yayuk sembari menatap wajah putrinya.Wulan menggelengkan kepalanya. Tak berbohong. Memang dirinya tak sakit. Hanya saja hatinya merasa kosong saat ini. Ada sesuatu di lubuk hatinya yang dirinya sendiri tak tahu apa namanya. Entahlah, tak nyaman pokoknya."Lantas mengapa mengurung diri di kamar? Damar juga kan tak ada di kamar."Bu Yayuk memang tahu jika menantunya itu pergi. Laki-laki itu sendiri yang berpamitan pada Bu Yayuk dan suaminya saat hendak berangkat tadi. Bahkan laki-laki itu sempat berpesan, menitipkan istrinya pada kedua mertuanya.
Inikah rasanya nikmat menikah? Merindui dan dirindukan sebagai pasangan halal tentunya. Wulan menyandarkan tubuhnya pada kepala tempat tidur saat sudah lelah menghubungi Damar tanpa hasil. Ingatannya membayang saat laki-laki itu meminta kesediaannya sebagai pendamping hidup hingga menua."Dek, Mas ingin menjadikan Adek sebagai pasangan hidup. Mas merasa Adek merupakan sosok wanita yang selama ini Mas cari," ujar Damar sembari menatap mata Wulan yang terkejut dengan ucapannya.Wulan memang sungguh terkejut. Baru dua bulan lebih mereka saling mengenal dan Damar langsung mengutarakan keseriusannya.Suasana di sekeliling mereka memang cukup ramai. Apalagi saat malam Minggu seperti ini. Rumah makan Aroma Laut yang dipilih Damar sebagai tempat makan malam mereka berada di tepi pantai Pasir Padi. Pantai yang menjadi ikon kota yang menjadi ibu kota provinsi Serumpun Sebalai ini. Suasana malam Minggu akan dipenuhi para muda-m
[Maaf, Mas semalam diajak teman kumpul-kumpul sebelum besok mulai bergelut dengan rapat. Kembali ke kamar sudah larut. Pas mau telepon Adek, HP Mas habis dayanya. Mas rindu dan cinta Adek]Pesan yang diakhiri dengan emotikon hati itu masuk ke aplikasi pesan berlogo hijau saat Wulan menghidupkan gawai miliknya. Gawai yang baru diaktifkan kembali sejak semalam. Karena kesal tak dapat berbicara dengan suaminya itu, Wulan memutuskan menonaktifkan gawainya. Kesal, sedih, marah. Semua perasaan itu bercampur aduk dalam hati Wulan. Bahkan air mata sempat membasahi pipinya tadi malam.Apakah dirinya tak penting bagi Damar? Apakah akad yang baru terucap tak bermakna sama sekali bagi lelaki itu? Tak seharusnya lelaki itu mengabaikannya di saat malam pertama yang seharusnya menjadi milik mereka. Harusnya lelaki itu mengingat dirinya. Apakah tak ada sosoknya di dalam ingatan lelaki itu? Pesan itu dikirimkan pukul dua dini h
"Satu hal lagi yang harus kamu pahami, Lan. Selama ini Damar itu sendiri. Mau bekerja sesibuk apa pun, Ibu yakin dia tak peduli. Tak ada anak ataupun istri yang dipikirkannya. Nah, merubah pola pikir jika sekarang dirinya sudah memiliki tanggung jawab pada seorang wanita itu tak mudah.""Ibu membela Mas Damar?" tanya Wulan dengan tatapan tajam pada ibunya. Tak lagi berusaha menutupi kekecewaannya, Wulan memilih mengungkapkannya secara terang-terangan. Ibunya yang dulu sempat sulit memberi restu berbalik arah membela lelaki itu. Lelaki yang telah membuat hatinya terombang-ambing dalam gelisah saat ini. Bu Yayuk menggelengkan kepalanya. Tabiat merajuk putri bungsunya masih tak berubah."Bukan membela, Lan. Hanya mencoba menjelaskan posisi Damar menurut Ibu. Mungkin sekarang, Damar belum menyadari bahwa saat ini statusnya adalah seorang suami. Terlalu lama sendiri membuat suamimu itu lengah dan lupa, jika ada istri yang menunggu