Home / Rumah Tangga / AKU (BUKAN) WANITA KEDUA / Bab 5 Haruskah Menggugat Takdir?

Share

Bab 5 Haruskah Menggugat Takdir?

last update Last Updated: 2023-02-19 21:15:46

Wulan menghela napasnya. Ada rasa tak tega di hatinya saat melihat air mata dari sosok yang berjenis kelamin yang sama dengannya ini. 

Sejatinya mereka berada pada posisi yang sama. Terluka karena telah didustai oleh lelaki yang sama. Tanpa mereka tahu jika telah dibohongi selama ini. Apalagi Wulan yang artinya sudah terikat pernikahan dengan landasan dusta dari lelaki pujaan hatinya itu. 

Melihat detail informasi yang disampaikan Hanum, Wulan yakin wanita ini bukan baru kemarin menemukan kenyataan pahit ini. Jelas informasi yang dikantongi Hanum sangat jelas dan rinci.

Hanum jelas sudah mempersiapkan diri untuk berhadapan secara langsung dengannya hari ini. Mempersiapkan mental dan juga emosi untuk bertatap muka langsung dengan dirinya, wanita yang berstatus sebagai adik madu seorang Hanum Khoirunnisa. 

Wulan menggumam perlahan dalam kecemasan hatinya. Wanita kedua. Suka atau tidak, status itu melekat dengan dirinya sejak saat ini. Tidak, lebih tepatnya baru disadarinya saat ini. 

"Seorang pecundang tak akan pernah mengaku. Seorang pembohong akan selalu berdalih dan membuat kebohongan berikutnya. Tak mungkin lelaki yang kita panggil dengan gelar suami itu akan mengakui semua dustanya," ucap Hanum dengan tegas seraya menyunggingkan senyum kecutnya.

Wulan merasa dirinya begitu bodoh karena terlalu memercayai laki-laki yang berstatus suaminya itu. Walaupun selama ini Wulan merasa ada beberapa kejanggalan, tetap saja penjelasan Damar menutupi semuanya. Rasa percaya yang diberikannya terlampau besar untuk lelaki itu. 

"Beberapa minggu yang lalu saya mendapatkan semua kenyataan pahit ini. Dari seseorang yang sengaja saya tugaskan untuk mencari semua kebenaran ini. Bahkan sampai datang ke kota ini. Bagaimanapun naluri saya sebagai istri harus dibuktikan setelah kecurigaan yang saya rasakan. Bu Wulan pun harusnya mampu menajamkan naluri sejak dulu. Saya yakin, dusta Mas Damar sejatinya tak akan sempurna. Hanya saja, Bu Wulan tak jeli menyadarinya."

Hati Wulan merasa pilu ketika melihat gerakan perlahan tangan Hanum. Wanita itu tampak mengusap pipinya yang membasah. Air mata itu jelas tumpah dari wanita yang bergelar kakak madunya ini. 

"Walaupun akhirnya saya harus merasa kecewa karena ternyata semuanya bukanlah ketakutan saya saja. Berminggu-minggu saya terpuruk, sampai akhirnya saya memutuskan untuk menemui Ibu hari ini. Memantapkan hati untuk memperjelas status saya saat ini."

Wulan tak mampu menahan deraian air matanya. Sikap Hanum yang jauh lebih lembut dari sebelumnya justru semakin membuat Wulan di posisi sangat bersalah.

"Bukankah Mas Damar pamit padamu selama lima hari untuk urusan kantor?" tanya Hanum kembali.

Ada bulir bening yang coba kembali diseka wanita itu. Wulan dapat melihatnya dengan jelas. Sama seperti dirinya. Mereka menangis untuk lelaki yang sama. 

Anggukan kepala diberikan Wulan sebagai jawaban atas pertanyaan kakak madunya itu. Suka atau tidak suka, posisi Wulan saat ini merupakan adik madu Hanum.

Suaminya itu memang pamit untuk urusan pekerjaan sejak kemarin. Dan benar, untuk lima hari ke depan.

"Urusan pekerjaan hanya dua hari saja sebenarnya. Malam ini urusan pekerjaan itu selesai dan Mas Damar akan pulang ke rumah kami sampai tiga hari selanjutnya," ucap Hanum dengan tenang.

Wulan mengernyitkan dahinya. Sedetail itu Hanum mendapatkan informasi. Berbanding terbalik dengan dirinya yang tak tahu apa-apa.

"Jangan heran darimana saya mendapatkan semua informasi ini! Bu Wulan pasti paham, istri yang nekat dan terluka dapat melakukan apa pun tentunya. Dan saya di posisi itu saat ini.”

Ada sayatan belati lagi-lagi dirasakan Wulan atas ucapan Hanum itu. Nekat? Apa yang dimaksud Hanum dengan kalimat itu?

"Bu Wulan boleh jadi masih merasa ragu. Saya tak akan menyalahkan itu. Tak mudah menerima semua yang sudah saya ungkapkan ini."

Hanum menjeda kalimatnya. Berupaya meraup oksigen untuk mengisi paru-parunya.

"Saya akan mengirimkan bukti keberadaan Mas Damar di rumah kami nanti. Saya pastikan, lelaki itu akan ada di rumah kami malam ini. Setelah itu, silahkan Bu Wulan menyikapinya!"

Hanum menegakkan tubuhnya. Meraih tas yang sejak tadi diletakkannya di samping tubuh yang menurut Wulan sangat ideal itu. 

Berkulit putih khas wanita Sunda, Hanum jelas masih menunjukkan daya tariknya. Hati Wulan tergelitik. Lantas apa yang membuat Damar harus mencari wanita lainnya? Apakah karena nafsu atau untuk kepuasaan saja? 

"Maaf jika kehadiran saya tidak Ibu inginkan! Apalagi Ibu harapkan. Namun Bu Wulan harus tahu semua ini. Satu lagi, nomor kontak Ibu sudah ada di saya. Saya akan mengirimkan pesan kepada Ibu nanti. Tolong simpan kontak saya juga! Karena Ibu pasti membutuhkannya."

Wulan kembali terhenyak. Bahkan nomor kontaknya pun sudah ada di tangan Hanum. Apalagi yang dapat dilakukannya saat ini?

Hanum mengulurkan tangannya kepada Wulan. Mau tak mau Wulan menyambut uluran tangan wanita yang telah sukses memporak-porandakan hatinya hari ini. 

"Saya langsung pulang. Dengan penerbangan satu jam lagi. Harus sampai di rumah malam ini. Menjaga anak-anak kami. Buah cinta kami selama ini. Ibu bisa bayangkan perasaan anak-anak saya jika tahu semua kenyataan ini?" tukas Hanum sebelum menegakkan tubuhnya dan berdiri. 

Setelah mengucapkan salam, Hanum berlalu dari hadapan Wulan. Wulan terhenyak dan kembali duduk menyandarkan tubuhnya yang tiba-tiba oleng.

Mencoba menahan air matanya, Wulan merasa tak kuat jika harus menahannya lebih lama. Dengan langkah gegas, Wulan melangkahkan kakinya ke ruang guru. Untung saja, tak ada siapa pun di sana. Dengan cepat Wulan meraih tas dan jaketnya lantas bergegas kembali melangkah.

"Ndri, titip kelas  aku tadi! Setelah itu aku tak ada lagi jam. Ada urusan yang harus aku selesaikan," ujar Wulan saat melangkah ke meja piket.

Sepertinya rekan Wulan itu cukup paham akan situasi yang terjadi. Anggukan kepala diberikannya sebagai jawaban atas permintaan Wulan itu. Tanpa bertanya apa-apa lagi. 

Melajukan sepeda motornya dengan kecepatan cukup tinggi, Wulan berusaha agar tetap fokus pada jalanan yang dilaluinya. Rumah merupakan tempat yang ingin ditujunya saat ini.

"Bik Tika, tolong jangan ganggu saya saat ini! Saya titip Syifa ya, Bu!" pinta Wulan pada wanita yang baru saja membuka pintu rumahnya itu.

Jarak perjalanan yang biasanya ditempuh selama tiga puluh menit dipangkas Wulan separuhnya. Untung saja suasana jalan tak ramai tadi. Laju putaran kendaraan roda duanya melesat sempurna. 

Bik Tika, wanita itu bekerja untuk mengasuh putri kecilnya sekaligus membantu membereskan rumah sejak Wulan melahirkan Syifa. Datang pukul enam pagi dan akan pulang pukul lima sore nanti. 

Tak menunggu jawaban Bik Tika, Wulan dengan cepat melangkahkan kakinya ke dalam kamar. Meletakkan tas lantas merebahkan tubuh penatnya ke atas kasur. 

Deraian air mata tumpah tanpa bisa dicegah. Seperti inikah takdir mempermainkan nasibnya? Haruskah dirinya menggugat takdir? 

Wulan meraup wajahnya yang basah oleh air mata. Menatap langit-langit kamar sembari mengurai kisah dua tahun silam yang masih melekat kuat di memorinya. Apakah Damar telah menjebaknya? Mengapa laki-laki itu berbohong padanya? 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • AKU (BUKAN) WANITA KEDUA   Kesempatan Untuk Hanif

    "Apa maksud Bapak? Boncengan? Mau kemana?" balas Wulan sembari mengernyitkan dahinya. "Ibu belum tahu kalau kita berdua ditugaskan untuk mengikuti Technical Meeting Kabupaten?"Dengan santainya Hanif memasang tampang lugu dan polos di hadapan Wulan. "Kita? Saya saja, Pak. Tidak Bapak."Dengan tegas Wulan membantah ucapan Hanif itu. Dirinya tak mungkin salah mendengar kalimat yang disampaikan Bu Lidia tadi pagi. Hanya namanya. Tak ada nama guru laki-laki ini."Di surat tugas ini tertera nama kita berdua, Bu. Saya dan Ibu."Tak kalah tegasnya Hanif pun menunjukkan bukti atas ucapannya tadi. Tak ingin dianggap bercanda apalagi berbohong oleh wanita yang memang sedang ditaksirnya ini. Dengan gerakan tangan yang cepat Wulan meraih kertas yang disodorkan Hanif itu. Memindainya dengan cepat. Air wajahnya berubah seketika. Benar saja. Nama mereka berdua tertera di sana. Perint

  • AKU (BUKAN) WANITA KEDUA   Godaan

    Wulan baru saja tiba di parkiran. Ketika tangannya bergerak hendak membuka helm yang menutupi kepala, sebuah sepeda motor berhenti tepat di sampingnya. "Bu Wulan, mengapa pesan saya tak dibalas? Padahal saya beberapa kali mengirimkan pesan. Dan semuanya centang dua biru. Dibaca Bu Wulan bukan?"Lidah Wulan mendadak kelu. Mengapa sepagi ini dirinya harus bertemu dengan lelaki ini? "Anak saya yang membukanya barangkali, Pak. Maklumlah kalau di rumah, HP ini menjadi milik berdua."Wulan terpaksa berbohong. Jika tidak, entah apa alasan yang harus dikatakannya kepada lelaki ini. "Oh begitu. Nanti siang ada acara? Sepulang sekolah maksud saya."Meletakkan helm pada spion sepeda motornya, Wulan ingin segera pergi dari hadapan lelaki ini. "Memangnya ada apa, Pak? Ada kegiatan tambahan ya kita hari ini? Kok saya tak tahu infonya?"Wulan mengernyitkan dahi. Seingatnya tak ada in

  • AKU (BUKAN) WANITA KEDUA   Bukalah Pintu Hatimu

    "Lan, kamu melamun?"Wulan menolehkan kepalanya. Tatapannya bertemu dengan wanita yang telah menghadirkannya ke dunia. Wanita yang senantiasa mendukungnya menjalani masa-masa sulit satu tahun terakhir ini. Mereka saling menguatkan setelah sama-sama kehilangan. Kehilangan lelaki yang sama-sama mereka cintai. Kepergian selamanya, tak akan pernah kembali lagi. Tak selesai begitu saja. Bahkan belum lagi kering air mata akibat kehilangan cinta pertamanya, pipi Wulan masih harus terus membasah. Perpisahan, meskipun dirinya yang meminta tetap saja menyakitkan rasanya. Bukan sakit karena perpisahan itu sendiri sebenarnya. Sakit yang terbesar adalah ketika menyadari dirinya telah dibohongi selama ini. Menghabiskan waktu dengan lelaki yang salah. Melabuhkan cinta kepada lelaki yang tak sepatutnya. "Tak ada. Menikmati malam saja. Kebetulan purnama begitu sempurna. Ibu belum tidur?" tanya Wulan sembari menggeser posisi duduknya, memberi

  • AKU (BUKAN) WANITA KEDUA   Talak

    "Apa???"Jelas sekali Bu Yayuk tak dapat menutupi keterkejutannya. Bahkan suara wanita itu yang tadinya lirih berubah lebih tinggi tiba-tiba. "Jangan bercanda, Lan! Ibu tak suka!" ucap Bu Ayu dengan nada tegas. "Bu, Wulan tak bercanda. Memang demikian fakta yang sebenarnya. Suka tidak suka, mau tidak mau, itulah kenyataan yang ada."Akhirnya Wahyu ikut berbicara. Sebagai sulung keluarga Wiryawan, masalah ini jelas menjadi tanggung jawabnya. "Tapi bagaimana bisa? Bukankah pada saat Wulan dan Damar menikah jelas status keduanya sebagai gadis dan perjaka? Ibu tak mengerti. Sungguh-sungguh tak mengerti."Bu Yayuk semakin bingung. Terlebih mendengar kalimat yang diucapkan putranya. "Kalau untuk hal itu, Ibu jangan menanyakannya kepada Wulan. Damar tentu akan lebih dapat memberikan penjelasan."Tatapan mata Bu Yayuk berpindah ke arah Damar, menantu yang selama ini menjadi ke

  • AKU (BUKAN) WANITA KEDUA   Di Depan Pusara Ayah

    Para pelayat satu per satu pergi meninggalkan area pemakaman. Para kerabat pun mendekati Bu Yayuk dan anak-anaknya, memohon izin untuk pulang lebih dulu. Hanya tersisa keluarga besar Wiryawan saja. Tiga pasang anak menantu, lima orang cucu, dan seorang wanita yang resmi telah menyandang gelar sebagai seorang janda. "Ibu tak menyangka jika ayah kalian akan pergi secepat ini. Padahal kondisi Ayah sebelumnya sudah membaik. Entah mengapa tiba-tiba menurun lagi."Isakan tangis Bu Yayuk masih terus terdengar. Sementara ketiga anaknya nampak diam dengan wajah yang sama sembapnya. Seluruhnya berjongkok, mengelilingi gundukan tanah merah yang masih basah. "Wahyu, Firman, ayah kalian sudah tak ada. Pelindung keluarga ini sudah tak ada. Tanggung jawab itu ada di pundak kalian sekarang."Kalimat itu diucapkan Bu Yayuk dengan lirih. Bulir bening membasahi pipi. Tak menyangka jika secepat ini lelaki halalnya akan pergi. Wahy

  • AKU (BUKAN) WANITA KEDUA   Kepergian Ayah

    "Siapa?" tanya Firman dan Wahyu serempak. Raut wajah Wulan terlihat jelas menunjukkan kebingungan. Dan membuat kedua lelaki itu fokus pada bungsu mereka. Tanpa menjawab Wulan segera mengarahkan benda pipih itu ke arah telinganya. Tentu saja setelah menggeser tombol hijau yang ada pada layar pipih itu sebelumnya. "Assalamu'alaikum, Bu. Ada apa? Maaf Wulan masih ada urusan sedikit yang harus diselesaikan. Jadi agak lama. Kak Ayu sudah membawakan Ibu nasi bukan? Ibu masih mau dibelikan nasi bungkusnya?"Wulan hendak memperjelas ucapan abangnya tadi. Jangan sampai dirinya disalahkan oleh sang ibu. "Waalaikum salam. Bukan masalah nasi Ibu, Wulan. Kalian dimana sekarang? Kedua abangmu pun  tak ada. Ayah tiba-tiba kritis."Sontak saja Wulan menutup pembicaraan itu tanpa mengucap salam sama sekali. "Ayah kritis."Hanya kalimat itu yang terucap dari bibir Wulan. Kakinya melang

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status