Share

Bab 5 Haruskah Menggugat Takdir?

Wulan menghela napasnya. Ada rasa tak tega di hatinya saat melihat air mata dari sosok yang berjenis kelamin yang sama dengannya ini. 

Sejatinya mereka berada pada posisi yang sama. Terluka karena telah didustai oleh lelaki yang sama. Tanpa mereka tahu jika telah dibohongi selama ini. Apalagi Wulan yang artinya sudah terikat pernikahan dengan landasan dusta dari lelaki pujaan hatinya itu. 

Melihat detail informasi yang disampaikan Hanum, Wulan yakin wanita ini bukan baru kemarin menemukan kenyataan pahit ini. Jelas informasi yang dikantongi Hanum sangat jelas dan rinci.

Hanum jelas sudah mempersiapkan diri untuk berhadapan secara langsung dengannya hari ini. Mempersiapkan mental dan juga emosi untuk bertatap muka langsung dengan dirinya, wanita yang berstatus sebagai adik madu seorang Hanum Khoirunnisa. 

Wulan menggumam perlahan dalam kecemasan hatinya. Wanita kedua. Suka atau tidak, status itu melekat dengan dirinya sejak saat ini. Tidak, lebih tepatnya baru disadarinya saat ini. 

"Seorang pecundang tak akan pernah mengaku. Seorang pembohong akan selalu berdalih dan membuat kebohongan berikutnya. Tak mungkin lelaki yang kita panggil dengan gelar suami itu akan mengakui semua dustanya," ucap Hanum dengan tegas seraya menyunggingkan senyum kecutnya.

Wulan merasa dirinya begitu bodoh karena terlalu memercayai laki-laki yang berstatus suaminya itu. Walaupun selama ini Wulan merasa ada beberapa kejanggalan, tetap saja penjelasan Damar menutupi semuanya. Rasa percaya yang diberikannya terlampau besar untuk lelaki itu. 

"Beberapa minggu yang lalu saya mendapatkan semua kenyataan pahit ini. Dari seseorang yang sengaja saya tugaskan untuk mencari semua kebenaran ini. Bahkan sampai datang ke kota ini. Bagaimanapun naluri saya sebagai istri harus dibuktikan setelah kecurigaan yang saya rasakan. Bu Wulan pun harusnya mampu menajamkan naluri sejak dulu. Saya yakin, dusta Mas Damar sejatinya tak akan sempurna. Hanya saja, Bu Wulan tak jeli menyadarinya."

Hati Wulan merasa pilu ketika melihat gerakan perlahan tangan Hanum. Wanita itu tampak mengusap pipinya yang membasah. Air mata itu jelas tumpah dari wanita yang bergelar kakak madunya ini. 

"Walaupun akhirnya saya harus merasa kecewa karena ternyata semuanya bukanlah ketakutan saya saja. Berminggu-minggu saya terpuruk, sampai akhirnya saya memutuskan untuk menemui Ibu hari ini. Memantapkan hati untuk memperjelas status saya saat ini."

Wulan tak mampu menahan deraian air matanya. Sikap Hanum yang jauh lebih lembut dari sebelumnya justru semakin membuat Wulan di posisi sangat bersalah.

"Bukankah Mas Damar pamit padamu selama lima hari untuk urusan kantor?" tanya Hanum kembali.

Ada bulir bening yang coba kembali diseka wanita itu. Wulan dapat melihatnya dengan jelas. Sama seperti dirinya. Mereka menangis untuk lelaki yang sama. 

Anggukan kepala diberikan Wulan sebagai jawaban atas pertanyaan kakak madunya itu. Suka atau tidak suka, posisi Wulan saat ini merupakan adik madu Hanum.

Suaminya itu memang pamit untuk urusan pekerjaan sejak kemarin. Dan benar, untuk lima hari ke depan.

"Urusan pekerjaan hanya dua hari saja sebenarnya. Malam ini urusan pekerjaan itu selesai dan Mas Damar akan pulang ke rumah kami sampai tiga hari selanjutnya," ucap Hanum dengan tenang.

Wulan mengernyitkan dahinya. Sedetail itu Hanum mendapatkan informasi. Berbanding terbalik dengan dirinya yang tak tahu apa-apa.

"Jangan heran darimana saya mendapatkan semua informasi ini! Bu Wulan pasti paham, istri yang nekat dan terluka dapat melakukan apa pun tentunya. Dan saya di posisi itu saat ini.”

Ada sayatan belati lagi-lagi dirasakan Wulan atas ucapan Hanum itu. Nekat? Apa yang dimaksud Hanum dengan kalimat itu?

"Bu Wulan boleh jadi masih merasa ragu. Saya tak akan menyalahkan itu. Tak mudah menerima semua yang sudah saya ungkapkan ini."

Hanum menjeda kalimatnya. Berupaya meraup oksigen untuk mengisi paru-parunya.

"Saya akan mengirimkan bukti keberadaan Mas Damar di rumah kami nanti. Saya pastikan, lelaki itu akan ada di rumah kami malam ini. Setelah itu, silahkan Bu Wulan menyikapinya!"

Hanum menegakkan tubuhnya. Meraih tas yang sejak tadi diletakkannya di samping tubuh yang menurut Wulan sangat ideal itu. 

Berkulit putih khas wanita Sunda, Hanum jelas masih menunjukkan daya tariknya. Hati Wulan tergelitik. Lantas apa yang membuat Damar harus mencari wanita lainnya? Apakah karena nafsu atau untuk kepuasaan saja? 

"Maaf jika kehadiran saya tidak Ibu inginkan! Apalagi Ibu harapkan. Namun Bu Wulan harus tahu semua ini. Satu lagi, nomor kontak Ibu sudah ada di saya. Saya akan mengirimkan pesan kepada Ibu nanti. Tolong simpan kontak saya juga! Karena Ibu pasti membutuhkannya."

Wulan kembali terhenyak. Bahkan nomor kontaknya pun sudah ada di tangan Hanum. Apalagi yang dapat dilakukannya saat ini?

Hanum mengulurkan tangannya kepada Wulan. Mau tak mau Wulan menyambut uluran tangan wanita yang telah sukses memporak-porandakan hatinya hari ini. 

"Saya langsung pulang. Dengan penerbangan satu jam lagi. Harus sampai di rumah malam ini. Menjaga anak-anak kami. Buah cinta kami selama ini. Ibu bisa bayangkan perasaan anak-anak saya jika tahu semua kenyataan ini?" tukas Hanum sebelum menegakkan tubuhnya dan berdiri. 

Setelah mengucapkan salam, Hanum berlalu dari hadapan Wulan. Wulan terhenyak dan kembali duduk menyandarkan tubuhnya yang tiba-tiba oleng.

Mencoba menahan air matanya, Wulan merasa tak kuat jika harus menahannya lebih lama. Dengan langkah gegas, Wulan melangkahkan kakinya ke ruang guru. Untung saja, tak ada siapa pun di sana. Dengan cepat Wulan meraih tas dan jaketnya lantas bergegas kembali melangkah.

"Ndri, titip kelas  aku tadi! Setelah itu aku tak ada lagi jam. Ada urusan yang harus aku selesaikan," ujar Wulan saat melangkah ke meja piket.

Sepertinya rekan Wulan itu cukup paham akan situasi yang terjadi. Anggukan kepala diberikannya sebagai jawaban atas permintaan Wulan itu. Tanpa bertanya apa-apa lagi. 

Melajukan sepeda motornya dengan kecepatan cukup tinggi, Wulan berusaha agar tetap fokus pada jalanan yang dilaluinya. Rumah merupakan tempat yang ingin ditujunya saat ini.

"Bik Tika, tolong jangan ganggu saya saat ini! Saya titip Syifa ya, Bu!" pinta Wulan pada wanita yang baru saja membuka pintu rumahnya itu.

Jarak perjalanan yang biasanya ditempuh selama tiga puluh menit dipangkas Wulan separuhnya. Untung saja suasana jalan tak ramai tadi. Laju putaran kendaraan roda duanya melesat sempurna. 

Bik Tika, wanita itu bekerja untuk mengasuh putri kecilnya sekaligus membantu membereskan rumah sejak Wulan melahirkan Syifa. Datang pukul enam pagi dan akan pulang pukul lima sore nanti. 

Tak menunggu jawaban Bik Tika, Wulan dengan cepat melangkahkan kakinya ke dalam kamar. Meletakkan tas lantas merebahkan tubuh penatnya ke atas kasur. 

Deraian air mata tumpah tanpa bisa dicegah. Seperti inikah takdir mempermainkan nasibnya? Haruskah dirinya menggugat takdir? 

Wulan meraup wajahnya yang basah oleh air mata. Menatap langit-langit kamar sembari mengurai kisah dua tahun silam yang masih melekat kuat di memorinya. Apakah Damar telah menjebaknya? Mengapa laki-laki itu berbohong padanya? 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status