Share

Akad

"Saya terima nikahnya dan kawinnya Wulandari Purnama binti Ahmad Wiryawan dengan mas kawinnya yang tersebut, tunai.”

"Bagaimana saksi?" tanya laki-laki dengan jas berwarna hitam dan peci warna yang sama sembari menolehkan kepalanya pada dua orang saksi yang duduk di dekat meja yang sama.

"Sah."

Kompak kedua laki-laki itu berkata yang disambut lafaz hamdalah dari setiap bibir orang-orang yang memenuhi ruangan itu. Raut wajah bahagia tergambar dari setiap orang yang hadir menyaksikan momen sakral dalam kehidupan putri bungsu keluarga Wiryawan itu.

 

Wulan menyapu wajahnya dengan kedua telapak tangan. Hal yang sama dilakukan juga oleh Damar Prawira, laki-laki yang baru menghalalkannya itu. Laki-laki pujaan hati yang menjadikan dirinya sebagai pasangan tulang rusuk. Nama mereka tertulis di Lauhul Mahfuz sejak akad tadi terucapkan, lancar tanpa pengulangan. 

Lega, bahagia. Perasaan itu yang bercampur aduk dalam hati Wulan saat ini. Akhirnya status lajangnya berakhir. Menikah dengan laki-laki yang dicintainya merupakan impiannya sejak dulu. 

Bertahan dengan kesendiriannya selama ini. Bertahun-tahun sabar menunggu sampai jodoh. Akhirnya penantian itu tak sia-sia. Penggenap agamanya itu akhirnya dikirimkan Sang Maha Kuasa, tanpa dapat diduga waktunya. 

Damar Prawira, laki-laki tampan dan gagah yang akhirnya menjadi jodoh yang dipilihkan Allah untuknya. Hanya Damar, laki-laki yang membuat Wulan benar-benar merasakan jatuh cinta. 

Menerima pinangan laki-laki yang usianya cukup terpaut jauh itu hanya setelah perkenalan mereka selama tiga bulan. Tak lama untuk menunjukkan niat seriusnya. 

Waktu yang singkat di mata banyak orang, bahkan di mata ibu kandungnya sendiri. Wanita yang telah melahirkan Wulan itu sempat merasa sangsi atas niat Damar untuk mempersunting Wulan saat itu. 

Bagaimana tidak? Wulan anak bungsu mereka. Satu-satunya putri dalam keluarga mereka. Ada kecemasan yang berlebih masih terasa untuk gadis yang sudah dewasa itu. 

"Lan, bukan Ibu melarang ataupun tak setuju. Apa tidak terlalu cepat kamu memutuskan untuk menikah dengan Damar?" tanya Bu Yayuk, sang ibu kandungnya. 

Nada kalimatnya hati-hati. Tak ingin ucapannya disalahartikan oleh si bungsu itu. Helaan napas panjang tak mampu tertutupi. 

Pertanyaan itu meluncur saat Wulan baru saja mengatakan tentang niat Damar untuk melamarnya secepat mungkin. Lelaki itu tak ingin menunda lebih lama lagi niat baiknya dengan alasan umur yang sudah cukup dewasa untuk mulai membina bahtera rumah tangga.

"Bukan masalah cepat atau lambatnya, Bu. Tapi tentang keyakinan hati kami berdua. Wulan sudah merasa yakin jika Mas Damar itu jodohnya Wulan. Sebaliknya juga begitu, Bu. Ibu ingat kan pengalaman Wulan sebelum-sebelumnya? Apakah waktu perkenalan yang lama akan menjamin segalanya?" tanya Wulan sembari merapatkan tubuhnya lebih dekat ke arah sang ibu.

Tubuh pasangan ibu dan anak itu saling berdampingan. Menempel satu sama lain dengan rangkulan tangan Wulan ke pinggang ibunya. Sifat manja itu masih terlihat meskipun tak lagi separah sebelumnya. 

"Wulan tak akan lupa kisah pahit itu selamanya. Tiga tahun Wulan berhubungan dengan Bang Agus saat itu. Apa yang Wulan dapatkan? Pengkhianatan, Bu. Tiga tahun waktu Wulan terbuang sia-sia hanya demi lelaki busuk itu. Lelaki yang harusnya tak pernah mendapatkan tempat di hati Wulan. Lantas jika sekarang waktunya lebih singkat, bukankah itu lebih baik, Bu? Kami akan lebih saling mengenal setelah terikat jalinan cinta yang halal."

Bu Yayuk tampak menatap lurus ke arah jendela di hadapannya yang memang terbuka. Memang benar kata orang. Menasehati manusia yang sedang jatuh cinta itu sangat sulit sekali. Bukan hanya akan masuk telinga kanan keluar telinga kiri saja, semua ucapannya tak masuk sama sekali ke telinga Wulan, putri bungsu mereka yang satu-satunya belum menikah. 

"Kamu kenal keluarga Damar? Sudah pernah bertemu mereka? Apakah mereka menerima kehadiranmu sebagai bagian keluarga mereka?" tanya Bu Yayuk dengan nada gusar.

Akhirnya wanita yang rahimnya pernah menjadi tempat berlindung Wulan selama sembilan bulan itu mengutarakan kegelisahannya. Bukan karena tak ingin memberi restu, namun ingin memastikan pilihan anak gadisnya. Tak ingin putrinya salah memilih, apalagi membuat keputusan. Bukankah menikah sekali dalam seumur hidup menjadi impian setiap orang? 

Wulan menggelengkan kepalanya. Namun tetap saja, lengkungan bibir itu mencetak seukir senyum yang sempurna bahagianya. Tak peduli dengan perasaan ibunya yang sedang berkecamuk saat ini. 

"Nah itu. Damar itu pendatang. Hanya kebetulan di sini karena pekerjaannya. Kita tak tahu asal usul keluarganya, latar belakang lelaki itu. Bagaimana perangai keluarga mereka? Bagaimana sikap calon mertuamu itu dalam kesehariannya?" ucap Bu Yayuk dengan nada gusar. 

Kembali Wulan mengulas senyum tipis di bibirnya. Binar cinta jelas terpendar dari sepasang manik indah itu. Rona bahagia benar-benar terpancar dari wajah ayu kuning langsat itu. 

"Mas Damar itu yatim piatu, Bu. Anak tunggal pula, tak ada saudara. Suatu saat Mas Damar sudah berjanji akan membawa Wulan ke Bandung, bertemu dengan kerabatnya. Berjumpa dengan keluarga besarnya. Tentu saja setelah hubungan kami dihalalkan. Tidak sekarang."

Wulan mengusap lengan ibunya, mencoba memberi pengertian pada wanita itu tentang kehidupan laki-laki yang akan meminangnya. Latar belakang calon suaminya sudah sangat gamblang dipaparkan lelaki itu sejak sebulan mereka saling berkenalan. 

"Kalau begitu mengapa kamu tak memintanya sekarang saja untuk mengenalkanmu pada kerabatnya itu, Lan?" timpal Bu Yayuk kembali. Hatinya merasa belum ikhlas sepenuhnya untuk menerima sosok Damar sebagai pendamping putrinya.

Bukan karena memandang bibit, bebet, ataupun bobot. Tidak sama sekali. Bukan itu yang menjadi kriteria dirinya saat merasa yakin dengan pasangan hidup anak-anaknya. Hanya saja tak ada keyakinan dalam hati Bu Yayuk atas diri Damar, sang calon menantunya. 

Laki-laki itu memang cukup tampan. Raut khas sukunya jelas terlihat dari bingkai wajah lelaki itu. Usianya pun sudah lebih dari tiga puluh lima tahun. Ibarat kata orang, dari usia jelas laki-laki itu sudah sangat matang sekali. 

Untuk urusan kemapanan, jelas sekali. Tak perlu diragukan lagi. Jabatannya jelas sebagai kepala cabang perusahaan perkreditan kendaraan yang cukup terkenal di ibu kota provinsi mereka ini.  Tak usah dipertanyakan lagi secara ekonomi. 

"Mas Damar tak bisa, Bu. Sekarang ini pekerjaannya sedang banyak. Ditambah lagi Mas Damar tak ingin kami pergi ke sana nantinya dalam kondisi yang belum halal. Takut jika terjadi hal-hal yang di luar kendali kami nantinya. Ibu paham kan?"

Bu Yayuk memijat kepalanya. Apakah Wulan sudah mantap dengan pilihannya ini? Baru sekali ini Wulan dengan tegas sekali dengan pilihannya. Belum pernah putrinya seyakin ini. Apalagi sejak hubungannya yang kandas secara mendadak oleh lelaki yang cukup lama menjalin hubungan dengan putrinya ini. 

"Ibu akan berbicara dengan Ayah. Katakan pada Damar untuk datang besok malam! Kami butuh kepastian dan ketegasannya." Akhirnya Bu Yayuk mengambil keputusan.

Benar kata orang. Jika dua manusia yang berlainan jenis sudah yakin untuk menyatukan hati, tak mungkin mereka sebagai orang tua akan mencegahnya. Lagi pula Bu Yayuk tak ingin terjadi sesuatu yang tidak diinginkan mereka nantinya. 

Wulan anak perempuan satu-satunya. Tak terbayangkan jika sesuatu terjadi di luar kendali mereka nantinya. Harus mencegah sebelum sesuatu yang lebih buruk terjadi nantinya. Haruskah restu itu mereka berikan pada putrinya? Mengapa naluri seorang ibu seolah ragu atas permintaan putrinya ini? 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status