Wulan duduk di tepi tempat tidur. Mengarahkan pandangannya ke sekeliling kamar yang tampak mewah dengan berbagai dekorasi selayak kamar pengantin umumnya.
Hiasan bunga imitasi mendominasi ornamen kamarnya. Ditambah satu vas mawar merah segar dengan aroma khasnya. Harum menguar memenuhi indera penciumannya. Ada beberapa tangkai melati segar yang diselipkan di bagian atas tempat tidur. Harumnya berpadu menciptakan sebuah sensasi.Harusnya malam ini merupakan malam kebahagiaannya. Harusnya malam ini dirinya tak sendiri di kamar indah ini. Harusnya malam ini dirinya memadu kasih dengan sang pujangga hati yang didambakannya selama ini. Angan Wulan membayang kelebat kisah tadi sore."Mas, apa Wulan ikut saja?"Tiba-tiba Wulan menawarkan ide yang menurutnya terbaik untuk mereka. Terlalu sesak rasanya dada jika harus berpisah hingga beberapa hari ke depan nantinya.Bagaimana tidak, baru tadi pagi akad itu diucapkan. Ti"Mas mau salat Asar, setelah itu bersiap pergi. Mau salat sama-sama?" tanya Damar sembari melangkah meraih sarung yang ada di ujung tempat tidur mereka."Mas duluan saja, Wulan nanti mau mandi dulu. Badan gerah dan kotor rasanya jika tak dibersihkan dulu."Damar tersenyum dan mulai mengenakan sarungnya. Sementara Wulan meraih gawai yang sejak pagi tadi tak tersentuh jemarinya sama sekali. Banyak pesan yang masuk melalui aplikasi berlogo hijau. Semuanya berisi ucapan yang senada, selamat atas pernikahannya. Juga doa agar pernikahannya sakinah, mawaddah warahmah. Senyum bahagia kembali tersungging di bibir Wulan. Sebahagia ini rasanya menikah? Mungkin usianya saat ini tergolong masih wajar saja belum menikah. Baru dua puluh tujuh tahun. Belum pantas dijuluki perawan tua. Sedangkan Damar akan berusia tiga puluh enam tahun, enam bulan lagi. Nyaris menyandang gelar sebagai bujang lapuk tentunya menurut istilah orang di
Ketukan pintu kamar membuyarkan lamunan Wulan. Mengusap matanya yang sempat mengembun, Wulan lantas melangkahkan kaki menuju pintu dan menarik gagangnya."Ibu?" ucap Wulan saat melihat sosok yang ada di hadapannya saat pintu terbuka. "Ibu hanya ingin melihat keadaanmu, Lan. Sejak Magrib tadi kamu masuk kamar tapi tak keluar-keluar lagi setelah itu. Kamu sakit?" tanya Bu Yayuk sembari menatap wajah putrinya.Wulan menggelengkan kepalanya. Tak berbohong. Memang dirinya tak sakit. Hanya saja hatinya merasa kosong saat ini. Ada sesuatu di lubuk hatinya yang dirinya sendiri tak tahu apa namanya. Entahlah, tak nyaman pokoknya."Lantas mengapa mengurung diri di kamar? Damar juga kan tak ada di kamar."Bu Yayuk memang tahu jika menantunya itu pergi. Laki-laki itu sendiri yang berpamitan pada Bu Yayuk dan suaminya saat hendak berangkat tadi. Bahkan laki-laki itu sempat berpesan, menitipkan istrinya pada kedua mertuanya.
Inikah rasanya nikmat menikah? Merindui dan dirindukan sebagai pasangan halal tentunya. Wulan menyandarkan tubuhnya pada kepala tempat tidur saat sudah lelah menghubungi Damar tanpa hasil. Ingatannya membayang saat laki-laki itu meminta kesediaannya sebagai pendamping hidup hingga menua."Dek, Mas ingin menjadikan Adek sebagai pasangan hidup. Mas merasa Adek merupakan sosok wanita yang selama ini Mas cari," ujar Damar sembari menatap mata Wulan yang terkejut dengan ucapannya.Wulan memang sungguh terkejut. Baru dua bulan lebih mereka saling mengenal dan Damar langsung mengutarakan keseriusannya.Suasana di sekeliling mereka memang cukup ramai. Apalagi saat malam Minggu seperti ini. Rumah makan Aroma Laut yang dipilih Damar sebagai tempat makan malam mereka berada di tepi pantai Pasir Padi. Pantai yang menjadi ikon kota yang menjadi ibu kota provinsi Serumpun Sebalai ini. Suasana malam Minggu akan dipenuhi para muda-m
[Maaf, Mas semalam diajak teman kumpul-kumpul sebelum besok mulai bergelut dengan rapat. Kembali ke kamar sudah larut. Pas mau telepon Adek, HP Mas habis dayanya. Mas rindu dan cinta Adek]Pesan yang diakhiri dengan emotikon hati itu masuk ke aplikasi pesan berlogo hijau saat Wulan menghidupkan gawai miliknya. Gawai yang baru diaktifkan kembali sejak semalam. Karena kesal tak dapat berbicara dengan suaminya itu, Wulan memutuskan menonaktifkan gawainya. Kesal, sedih, marah. Semua perasaan itu bercampur aduk dalam hati Wulan. Bahkan air mata sempat membasahi pipinya tadi malam.Apakah dirinya tak penting bagi Damar? Apakah akad yang baru terucap tak bermakna sama sekali bagi lelaki itu? Tak seharusnya lelaki itu mengabaikannya di saat malam pertama yang seharusnya menjadi milik mereka. Harusnya lelaki itu mengingat dirinya. Apakah tak ada sosoknya di dalam ingatan lelaki itu? Pesan itu dikirimkan pukul dua dini h
"Satu hal lagi yang harus kamu pahami, Lan. Selama ini Damar itu sendiri. Mau bekerja sesibuk apa pun, Ibu yakin dia tak peduli. Tak ada anak ataupun istri yang dipikirkannya. Nah, merubah pola pikir jika sekarang dirinya sudah memiliki tanggung jawab pada seorang wanita itu tak mudah.""Ibu membela Mas Damar?" tanya Wulan dengan tatapan tajam pada ibunya. Tak lagi berusaha menutupi kekecewaannya, Wulan memilih mengungkapkannya secara terang-terangan. Ibunya yang dulu sempat sulit memberi restu berbalik arah membela lelaki itu. Lelaki yang telah membuat hatinya terombang-ambing dalam gelisah saat ini. Bu Yayuk menggelengkan kepalanya. Tabiat merajuk putri bungsunya masih tak berubah."Bukan membela, Lan. Hanya mencoba menjelaskan posisi Damar menurut Ibu. Mungkin sekarang, Damar belum menyadari bahwa saat ini statusnya adalah seorang suami. Terlalu lama sendiri membuat suamimu itu lengah dan lupa, jika ada istri yang menunggu
"Mas ... Mas sedang dimana sekarang?" tanya Wulan sembari mengernyitkan dahinya kembali. Pikirannya mulai mengembara kemana-mana. Siapa sosok yang ada di dekat suaminya? Seorang wanita, menawari minuman sepagi ini, tentu bukan hal yang biasa. Meskipun tak melihat secara langsung, telinganya tak mungkin salah. Gendang telinganya masih mampu membedakan suara seseorang untuk menentukan jenis kelaminnya. Jelas sekali, suara wanita dan laki-laki akan berbeda intonasinya. Dan baru saja, indra pendengarannya itu menangkap kalimat tanya untuk suaminya dari seorang wanita. Tak mungkin salah. "Sedang di hotel. Ada apa, Dek? Ada masalah?" Wulan semakin tak mengerti apa yang sedang dialaminya tadi. Tak mungkin dirinya berhalusinasi. Suara itu nyata. Bukan khayalan semata. "Tapi ... bukannya tadi ada suara wanita di dekat Mas? Aku tak mungkin salah mendengar. Suaranya jelas sekali."Akhirnya
"Tapi apa topik yang harus dibicarakannya dengan wanita itu? Berterus terang jika dirinya mencurigai suaminya sendiri? Semua orang mungkin justru akan menertawakannya. Baru sehari menikah sudah tak mampu mempercayai suaminya sendiri.Bukan ketenangan hati yang akan didapatkannya nanti. Rasa malu mungkin akan dirasakannya walaupun mereka tak bertatap muka. Bahkan Wulan tak mampu membayangkan jika dirinya dan wanita yang bernama Widya itu bertemu suatu saat nanti. Ceritanya bukan hanya sebatas itu. Boleh jadi Damar akan menjadi bulan-bulanan teman-temannya nanti. Dijuluki tergolong suami takut istri padahal mereka baru saja menikah."Tak usah, Mas. Wulan percaya pada Mas."Akhirnya kalimat itu yang dipilih Wulan untuk memperpendek cerita mereka. Terlalu rumit jika dirinya menanggapi permintaan suaminya tadi. "Alhamdulillah. Terima kasih. Adek harus percaya. Mas sangat mencintai Adek. Bayangkan saja, baru sekarang
"Dekorasinya sudah dilepas, Lan? Bukannya biasanya tiga hari?"Wulan memaksakan senyumnya pada sang kakak ipar. Wanita itu baru saja datang dengan kendaraan roda duanya. Wajahnya tampak terkejut melihat dua wanita dan seorang laki-laki yang sedang mengangkut perlengkapan dekorasi kamar pengantin.Tampak sekali sang kakak ipar mengernyitkan dahi. Pandangannya tak lepas dari ketiga pegawai rumah rias pengantin yang telah mengubah penampilan Wulan saat hari bahagianya kemarin. Harusnya, walaupun tidak pada kenyataannya. "Percuma juga. Mengapa harus menunggu tiga hari? Mas Damar baru lusa akan pulang. Lebih baik semua dekorasi dilepaskan saja menurut Wulan, Kak."Wulan sedikit meringis seiring deru mobil pick up berwarna putih itu. Bagian belakangnya dipenuhi beragam benda-benda yang sempat menghiasi bilik Wulan untuk beristirahat. Kendaraan roda empat itu baru saja meninggalkan halaman rumah mereka."Masuk, Kak! Se