Pov. Author.Runtuh dunia Aini. Tubuh dan aset yang ia banggakan bisa menggaet lelaki mapan kini balik menghukum dirinya.Ia menangis berhari-hari tanpa ingin menyentuh jatah makanan yang diberikan untuknya.Bahkan kini Aini dipindahkan ke ruang perawatan khusus yang lebih mirip dengan ruangan isolasi.Tak ada satupun sanak saudara yang datang menjenguk. Tak juga para lelaki yang dulu memuja dirinya.Bahkan Pras yang kemarin masih sempat datang meminta maaf padanya, kini seolah tanpa kabar. Lelaki baik yang dulu ia rayu sedemikian rupa hingga membuat keluarganya berantakan kini tak ada kabar sama sekali. Bahkan mungkin sangat menyesal pernah tergoda untuk menikahi dirinya.“Maafkan aku, Dewi.”Parau suara Aini mengucap maaf itu. Bagaimana sekarang. Bagaimana caranya menemui Dewi dan memohon ampun pada kawan yang tega ia sakiti.Bukan hanya pada Dewi Aini ingin meminta maaf. Namun juga pada ayah dan ibunya yang sudah lama tiada.“Ibu harus rajin minum obatnya ya. Biar bisa sembuh.”Wal
Gerimis sore ini menguarkan bau tanah yang khas.Sabtu dan minggu adalah jadwal Dewi dan Satria mengunjungi rumah peninggalan mertuanya di desa.Hamparan padi yang mulai menguning membuat Dewi betah berlama-lama di desa kelahiran suaminya.Waktu berjalan begitu pantasnya. Sudah lima bulan saja kandungan Dewi.Segala macam rasa indah didapatkannya dari lelaki yang benar-benar meratukan dirinya.Dewi bersukur bisa sampai di titik ini. Mendapatkan suami yang baik, kehidupan ekonomi yang cukup juga pekerja yang jujur dan setia.Kini sudah bertambah karyawan di toko dan pengisian air galon milik mereka. Selain Esther yang berasal dari Nusa Tenggara Timur, karyawan yang lain adalah remaja-rejama sekitar rumah mereka yang tak mampu melanjtkan sekolah.Asal bisa baca tulis dan sopan, Dewi dan Satria memberi kesempatan untuk bekerja pada mereka.Bahkan di toko sekarang ada dua pekerja laki-laki yang membantu Esther dan juga ada seorang pekerja baru untuk mengurus air galon.Satria cukup pand
Pov. Author*** “Kenapa terlambat sih pulangnya, Mas?” "Tadi banyak penumpang, Dek. Lumayan." Kejujuran Pras akan masa lalu rumah tangganya malah membuatnya berada dalam tekanan cemburu seorang istri.Arina Dahlia. Gadis muda yang rupanya semanis dan seelok bunga dahlia. Siapa sangka hatinya yang selemah lembut itu harus patah dan terluka di hari pernikahannya.“Mempelai pria lari bersama perempuan lain!”Seorang utusan yang diperintahkan untuk mengecek keadaan mempelai pria yang belum datang hingga hampir sore, membuat riuh ruang tamu sederhana di rumah orang tua Arina.Sebagai anak tunggal yang mandiri, tentu kaburnya Firman bersama wanita lain sangat melukai hati pak Majid dan bu Sartia. Sementara pak RT dan istrinya, bukan main malunya. Entah bagaimana rasanya. bagaimana menghadapi kemarahan keluarga pak Majid atau menanggung malu atas cibiran warga.Sementara pak Majid berusaha tenang, meredakan amarahnya dan rasa malunya. Tidak mungkin juga mengamuki pak RT yang cukup
Masa lalu benar- benar sudah Dewi tinggalkan jauh dibelakang sana. Tak ada lagi kisah dan cerita yang ia ingin ingat. Kebaikan suaminya membuatnya akhirnya tunduk dalam rasa cinta yang sempat ia tahankan untuk Satria. "Ada yang sakit, Sayang?" "Cuma rasa nggak enak, Mas karna pakai kateter ini." "Sabar." "Bu Dewi, dokter sudah menunggu di ruang operasi. Kita antar bu Dewi sekarang ya!" "Boleh suster. Tapi, apa saya boleh ditemani sama suami saya?" "Boleh-boleh. Ayo pak ikut kami. Nanti ganti baju di dalam ya!" Hari ini adalah hari terindah bagi Dewi dan Satria. Hari yang paling mereka nantikan dalam hidup. Setelah kecewa dan luka menemani perjalanan Dewi. Hari ini adalah bahagia yang menjadi balasan atas doa-doanya dalam sujud panjang pada sang pencipta. Pun dengan Satria. Ia bukan menikahi Dewi karna inginkan seorang penerus tapi ia menikahi Dewi karna rasa cinta dan ketulusan yang hadir di hatinya untuk perempuan bermata indah ini
Pov. Pras *** Kenapa harus Arina. Kenapa harus istri keduaku yang tak tahu apa-apa. Aku menangis melihat keadaan Rina yang hancur. Bukan saja karna luka fisik yang di deritanya, tapi juga luka batinnya atas kehilangan calon bayi kami. Aku yang salah. aku terlambat menjemput istriku. "Dek," kuelus kening dan merapikan anak rambut bidadari keduaku. Matanya bahkan masih erat terpejam. Jangan ditanya dengan kesedihan mertuaku. Sungguh aku merasa bersalah melihat tangisan mereka. Mengapa Rina juga harus menanggung. Tak cukupkah dengan karma yang kudapat. "Kamu istirahat dulu. Biar gantian sama mbak!" Mbak Widya yang kukabari tentang kecelakaan yang menimpa Rina, esoknya langsung datang. Ini pertama kalinya Mbak Widya melihat Rina secara langsung. Sehari-hari istri dan kakakku hanya bertatap muka lewat video call yang semakin canggih. Aku memang mengantuk tapi rasanya enggan meninggalkan Rina. Aku sungguh takut bila terjadi apa-apa d
Pov. Pras***Kupandangi wajah bocah lelaki itu. Sungguh perpaduan yang sempurna dari wajah kedua orang tuanya. Netra sendu Dewi jelas dimiliki putranya itu. Alis tajamnya tentu menurun dari ayahnya. Sudah lima tahun saja sejak kepergian istri keduaku. Arina. Aku memutuskan untuk kembali ke kota kelahiranku dan memilih tinggal di rumah peninggalan orang tuaku. Tentu saja kedua mantan mertuaku tak kulupakan begitu saja. setiap bulan aku selalu mengirimkan mereka uang belanja. ini bentuk baktiku pada orang tua Arina. "Menikahlah bila masih ada jodohmu, Nak. Kami tak apa. Sudah takdirnya Rina pergi dengan cara seperti itu." Kedua mertuaku tentu mengerti kondisiku. Namun setelah kebersamaan singkatku bersama Arina. Rasanya aku tak ingin lagi membuka hati. Pada Dewi aku mencinta, pada Arina aku pernah merasakan bahagia menjadi calon ayah. Ah, bukan. Ini pernikahan yang ketiga. Namun apakah boleh bila kucatat dalam memoriku sebagai pernikahan ke
Pov. Dewi*** Aku tak menyangka hari ini melihatnya lagi. Ternyata mas Pras menjadi sopir taksi online. Tak sengaja hari ini dia yang mengantar putraku dari sekolah. Gemuruh badai sudah benar-benar meredah dari hatiku. Tak ada lagi dendam dan luka saat melihat wajah dan tubuhnya yang semakin kurus. Bahkan kulihat sedikit tak terurus. Sungguh aku terkejut saat mas Pras memberitahukan bila istrinya meninggal dalam keadaan hamil. "Innallillah, ... kami turut berduka, Mas." Aku ikut prihatin atas ujian hidup yang menimpanya. Apalagi katanya, istrinya meninggal dalam keadaan hamil. Tak ada luka yang benar-benar sembuh. Pun denganku. Namun perih yang dulu ada benar--benar sudah hilang terbawa waktu. Meski bekas lukanya tak bisa hilang begitu saja. Namun luka yang dulu ada hanya tersisa samarnya yang tak ingin kulihat lagi. "Mama, om yang tadi itu siapa?" Davin mendekat dan duduk di sampingku. "Om tadi itu teman mama sama papa, Nak. Namany
POV. Sita*** “Aku ini duda, Dek.”“Mana surat cerainya, Mas?”“Nggak ada. Kamu tahu kan, orang di kampung. Kami hanya nikah siri.”“Serius kah, Mas?”“Serius, Dek. Aku serius sama kamu. Ngapain aku deketin kamu kalau aku ada istri.”“Kenapa pilih aku, Mas?”“Karna kamu beda dari yang lain. Kamu pekerja keras, tapi nggak keras kepala.”“Aku ini tulang punggung keluarga, Mas. Ayah dan ibuku bukan orang yang mampu.”“Masya Allah. Aku ingin kita bangun rumah tangga ini dengan keikhlasan. Kalau kamu jadi istriku, kedua orang tuamu juga adalah orang tuaku.”Begitulah mulut manis mas Firman saat merayuku dengan tipuannya tiga bulan yang lalu.Karna pengakuannya sebagai seorang duda itulah yang membuatku hari ini terbaring di rumah sakit dengan luka memar di wajah dan beberapa bagian tubuhku.Seorang wanita yang sedang hamil besar datang ke rumah kontrakanku yang berapa bulan ini kutempati bersama mas Firman.Wanita hamil itu datang dan mengaku sebagai istri sah mas Firman. Saat kuakui bila