Pov. Dewi
***“Wi, aku sudah bercerai.”Dengan berlinang air mata Aini menceritakan keadaannya hari itu padaku. Aku pun tak menyangka mengapa Aini bisa ada di kota ini. Bahkan kami sudah cukup lama tak berkomunikasi. Hanya saja sesekali kami masih berbalas komentar atau sekedar menyukai postingan di media sosial yang kami punya.Lebih tepat lagi media sosial milik Aini. Hampir tiap hari ada saja quotes tentang agama atau rumah tangga ataupun kalimat-kalimat galau yang dipostingnya. Kalau aku? Boro-boro memposting status. Sekedar scrol akun tiktok saja kadang malam baru bisa kulakuka. Itupun hanya sebentar saja. Saat menjelang tidur.Sebab pekerjaanku sebagai staf keuangan di salah satu perusahaan distributor consumer goods ternama cukup menyita waktuku. Walau aku hanya sebagai staf, tapi kesibukanku di kantor dan dunia nyataku bersama mas Pras cukup menyita waktu.“Astagfirullah. Apa sebabnya kalian bisa bercerai?”Kupikir suami Aini pria yang baik sebab tak jarang ia memposting kemesraannya bersama suaminya. Aku yang baru saja pulang kerja hari itu menerima Aini di ruang tamu rumah sederhana yang mas Pras beli di tahun pertama pernikahan kami.Sejujurnya aku tak punya waktu menerima tamu bila sore hari. Sebab sepulang kerja aku harus sibuk memasak makan malam untukku dan mas Pras. Belum lagi kusiapkan air hangat untuknya mandi.Eh, kadang-kadang kami mandi berdua dengan penuh kemesraan.Tapi, tentu saja aku tak tega mengatakan itu pada Aini.“Arfan suka main kasar dan dia berselingkuh, Wi.”Aini menyeka air matanya. Kusodorkan sebotol air dingin padanya agar perasaannya menjadi tenang.Akupun tak tahu harus berkomentar apa tentang cobaan pernikahan yang Aini alami. Aku hanya memintanya bersabar atas apa yang terjadi. Kupikir Aini lebih paham tentang dalil-dalil agama dalam rumah tangga.Namun saat ia membuka aib mantan suaminya yang tak terlalu kukenal, aku cukup terkejut.Bukannya aib pasangan itu tak boleh diumbar?“Mungkin sudah jalannya begini, Aini. Jujur aku terkejut dengan kehadiran kamu di kota ini, dan lebih terkejut lagi dengan berita yang kamu sampaikan. Aku lihat selama ini kalian begitu mesra di foto-foto itu.”Lalu Aini tersenyum masam. Seperti sedang menyesali sesuatu.“Itu semua hanya untuk menutupi perasaanku yang hancur, sebab jika kuposting gambar-gambar kami, selingkuhannya akan melihat itu dan memilih munudr. Namun, yang ada Arfan malah memintaku mundur dari pernikahan kami.”“Aku turut prihatin atas apa yang terjadi. Tapi aku juga terkejut kenapa kamu bisa ada di kota ini?”Aku penasaran saja, sebab itu aku bertanya. Jujur saja aku belum masak sore itu. Lalu kukirim pesan pada mas Pras untuk singgah beli makanan tiga bungkus.Lalu jelaskan bila da tamu yang datang saat mas Pras bertanya heran melalui sambungan telepon. Lelaki itu selalu penasaran dengan siapa aku berbincang.Oh, mas Pras juga sering cemburu bila aku berbincang terlalu lama dengan kawan pria. Walaupun itu dengan atasanku sendiri.“Aku sengaja kesini untuk mencari pekerjaan, Wi. Mungkin kamu tahu ada lowongan yang cocok untukku. Kerja apa saja yang penting halal. Kamu tahu kan, betapa susahnya mencari pekerjaan untuk lulusan D.1 seperti saya ini. Belum lagi di kota Surabaya sana banyak saingan.”“Lalu kamu tinggal dimana selama disini?”“Sementara aku numpang di rumah bibi dari pihak ayahku. Nanti bila sudah dapat pekerjaan aku mau ngekost saja. Nggak enak kalau numpang terus, Wi.”“Iya sih.”Lalu pembicaraan kami terjeda sebentar. Saat deru mobil avanza hitam milik mas Pras terdengar di teras samping.“Suamimu kah?”“Iya. Sebentar ya!”Kutinggalkan Aini di ruang tamu, lalu gegas aku keluar. Menyambut suamiku yang bajunya tampak bahas di bagian pundak. Memang tadi sempat hujan. Walau sebentar tapi cukup deras.“Mas. Ada kawan lamaku bertamu.”“Hmm, siapa?”“Namanya Aini.”Kubiarkan mas Pras memeluk tubuhku sebentar sebelum kami berdua masuk menemui tamu kami yang tak diundang.“Ada perlu apa?”Mas Pras jelas penasaran. Sebab selama pernikahan kami, jarang sekali ada kawanku yang datang bertamu. Keluargaku pun. Biasanya kami yang ke rumah mereka. Sebab bila ada cara keluarga pasti dibikin di rumah mertuaku. Kalau dari pihak aku kami jarang berkumpul. Sebab kamipun perantau di kota ini. Waktu berkumpulnya paling lebaran saja.“Katanya lagi cari kerjaan. Siapa tahu di kantor mas ada lowongan apa aja. Cleaning service atau kasir pun dia mau.”“Nanti mas tanya. Di kantor mu sendiri belum ada lowongan?”“Belum, Mas.”Lalu mas Pras mengamit pinggangku sambil melangkah ke dalam rumah di mana Aini menunggu di ruang tamu.“Mas, ini mbak Aini. Aini, ini suami saya, mas Pras!”Kulihat netra Aini yang masih basah mengerjap dan menatap tak berkedip pada pergelangan kekar mas Pras yang mengamit pinggang langsingku.Lalu diulurkannya tangan terlebih dahulu untuk menyalami mas Pras. Tentu mas Pras sedikit terkejut sebab ia menyangka Aini dengan penampilannya yang begitu tertutup tak ingin berjabat tangan dengan pria lain.“Apa kabar? saya Pras. Suaminya Dewi.”“Saya Aini mas Pras. Kawan lama Dewi!”pov. Dewi***Selanjutnya Aini kerap datang bertamu di rumah kami.Terlebih ketika mas Pras berhasil mendapatkan sebuah lowongan pekerjaan untuknya. Meski hanya sebagai staf administrasi di koperasi karyawan milik perusahaan tempat mas Pras bekerja.Sabtu atau minggu Aini kerap datang berkunjung. Kadang-kadang mas Pras protes sebab ia ingin berdua saja denganku di hari sabtu minggu, tapi Aini yang hadir tanpa diundang tentu tak bisa kami suruh pulang."Apa kamu nggak istirahat, ini hari libur kan?""Di kost sepi. Nggak ada teman."Aku cukup kesal juga hari itu. Saat Aini terlihat memaksakan diri untuk datang ke rumahku, padahal hujan sedang deras-derasnya.Padahal tak ada hal penting juga, dia hanya akan duduk di ruang tamu sambil memainkan ponsel bila bahan pembicaraan sudah habis.Lalu aku dan mas Pras akan nonton sambil berbaring atau sambil duduk dan berpegangan tangan. Inginnya mas Pras kami berpelukan, tapi kehadiran Aini tentu membatasi gerak geriknya. Meski kadang-kadang dia n
Pov. Pras***Awalnya aku cukup terganggu dengan kehadiran Aini.Kalau dilihat-lihat teman Dewi itu seperti wanita nelangsa yang membawa beban hati.Kedatangannya yang minta dibantu mencarikan pekerjaan, membuatku sedikit prihatin sekaligus jengkel.Prihatin sebab dia seorang janda yang hidup sendiri, tapi juga membuatku jengkel sebab di hari sabtu dan minggu ia kerap datang mengganggu waktu kebersamaanku dengan Dewi.Tinggal hanya berdua saja, membuatku bebas melakukan kemesraan bersama istriku dimana saja."Eh kok malah kebablasan sih, Mas?"Terngiang saat Dewi protes atas kemesraan yang kupinta di depan tv malah membuat kami berakhir dengan mandi wajib setelahnya.Dimana saja Dewi akan pasrah pada setiap inginku. Dan sabtu minggu adalah waktu khusus untuk kami bermesraan.Sebab dua hari itu adalah hari libur kami. Walau kadang-kadang di akhir bulan Dewi kadang lembur untuk menyiapkan laporan di kantornya.Aku dan Dewi saling mencintai begitu dalam dan sedikit menggebu.Dua tahun
Pov. Pras***Keberanian Aini dibalik wajah polosnya membuat darah lelakiku ikut tertantang.Aku tak menyangka, di balik penampilannya yang jauh lebih tertutup dari Dewi ternyata Aini menyimpan sesuatu sungguh berbahaya bagi seorang lelaki.Ah, aku rasa Aini sengaja memancing seekor kucing dengan ikan segar.Dan aku, ...Terpancing."Laki-laki bisa beristri dua, Mas."Aini semakin berani saja. Bahkan ia tak segan menyentuh jemari atau sekadar memukul lengan atau pundakku.Bahkan aku yang terbuai sensasi keberaniannya seolah mulai lupa dengan kekesalanku padanya di awal-awal ia datang dulu."Kenapa sudah jarang ke rumah?""Nggak kuat cemburunya, Mas.""Cemburu?""Ya. Aku cemburu kalau lihat Dewi nyender di dada kamu. Aku kan juga pengen.""Haha. Ada-ada aja kamu."Namun tak ayal wajahku memerah.Baru kali ini ada perempuan yang membuatku salah tingkah.Bahkan aku pun mulai berani, mengkhianati sedikit-sedikit kesetiaan dan kemesraan antar aku dan Dewi."Kok aku haid lagi, Mas?"Dewi
POV. DEWI.***Aku menangis.Pernah menangis. Bahkan berhari-hari kuluapkan kecewa dan sakit hatiku pada Tuhan. Bantal dan sajadah biru pemberian almarhum ibunya mas Pras menjadi saksi bagaimana aku meluapkan sakit hatiku atas apa yang telah dilakukan putranya padaku.“Ijinkan aku menikahi Aini, Sayang.”Sudah kuduga. Ini sudah menjadi firasatku beberapa bulan ini. Saat kawan lamaku tak lagi datang bertamu. Suamiku juga semakin sibuk dan kerap lembur. Bahkan mas Pras pernah tak pulang semalaman. Alasannya lembur hingga pagi.Kawan yang datang bertamu. Ternyata bukan hanya sekadar ingin bertanya kabar, tapi ternyata ingin juga mencuri apa yang menjadi milikku.Mungkin aku bisa meraung marah, andai hanya perempuan itu yang memaksa. Namun, ini mas Pras sendiri yang meminta ijin.Lama aku berusaha meredam gemuruh badai yang dalam hati.Di antara kepingan hatiku yang berserak atas permintaan mas Pras. Ada satu hal yang aku sadari, bila mas Pras sudah tak nyaman denganku. Bahkan janji untuk
Pov. Dewi***Kumatikan ponsel yang tak henti berdering. Ku_reject berulang kali panggilan mas Pras. Ada apa lagi menelpon sore-sore begini.Bukankah dia sedang menikmati masa indahnya bersama sahabat lawasku. Bahkan aku berharap, apa yang mas Pras inginkan bisa tercapai dengan menikahi Aini.Mungkin akulah yang memang tak bisa memberinya keturunan. Dan mas Pras bosan dengan kata setia.“Mungkin kita bisa punya anak bersama.”Begitu katanya. Namun kalimat itu sungguh menyakitiku. Aku bukan perempuan ikhlas saat suamiku mendua demi mendapatkan keturunan. Kurasapun mereka bermain di belakangku bukan karna inginkan keturunan.Laki-laki dan perempuan dewasa rela berkhianat diam-diam, apalagi yang mendorong keduanya kalau bukan nafsu.Lukaku belum sembuh. Bahkan perihnya kadang-kadang masih membuatku terbangun tiba-tiba dan meneteskan air mata. Tiga minggu lamanya, hampir empat minggu. Aku dan mas Pras tak pernah bertemu. Beberapa helai pakaian kerjanya yang tertinggal di dalam lemari d
Pov. Dewi*** Kuamati wajah Aini yang tiba-tiba kehilangan senyum. Bahkan keceriaan yang tadi ia tampilkan di wajah berpoles make up yang cukup tebal kini hilang berganti dengan raut terkejut.Mungkin ia tak menyangka bila aku benar-benar sudah tahu tentang pernikahannya dengan mas Pras.Perempuan yang jilbabnya semakin pendek ini kulihat diam tak berkutik. Bahkan begitu canggung senyum yang berusaha ia lemparkan.Sementara Hera menatap ke arah Aini dengan sinisnya, membuat istri muda mas Pras ini semakin pucat.Lalu bisik-bisik pengunjung di dekat kami jelas terdengar mereka mencibir Aini. Bahkan beberapa di antara mereka kudengar membandingkan wajah Aini dan wajahku. Ada pula yang mencibir pakaiannya yang tertutup tapi tak ada akhlak dengan menjadi pelakor.Walaupun aku tak menyebut Aini demikian sebab kutahu mas Pras juga menginginkan menjalin hubungan dengan kawanku ini, tapi anggapan di masyarakat tetaplah wanita kedua yang salah.“Kok diam? Jawab dong!” Hera tak tahan untuk ta
Akhirnya _me time_ku bersama Hera gagal. Curahan hati yang sedari tadi telah kusiapkan akhirnya menjadi curahan omelan dan kemarahan kawanku ini.Bahkan setelah kepergian Aini, Hera masih meluapkan amarahnya dan meladeni pertanyaan beberapa pengunjung yang kepo dengan kejadian tadi.Sementara Aini yang kutohok dengan kata-kata indah tadi, semakin malu dengan air mata yang melaju deras. Perempuan perebut itu akhirnya memilih meninggalkan cefe ini dengan wajah memerah dan diiringi terikan mencemoh dari pengunjung.Bisa-bisanya ia juga datang disini dan mempermalukan dirinya sendiri.Dan apa tadi katanya mas Pras tak bersamanya.Kemana lelaki itu. Harusnya mereka menikmati masa-masa indahnya pengantin baru mereka.Bukankah mas Pras mengatakan ingin punya anak dari perempuan itu."Dasar perempuan nggak tahu diri. Nggak punya kaca apa ya?""Cepet habisin, Her. Bentar lagi suamimu datang.""Kamu kok nggak jambak dia tadi sih? Gemes tahu!"Aku tertawa kecil mendengar kemarahan Hera.Siapa bi
"Dewi, tolong dengarkan aku!"Mas Pras mencengkal pergelenganku saat kuminta ia untuk pulang ke rumah istri mudanya.Tentu saja aku terkejut melihat lelakiku ini ada disini. Meski rasa rindu tak bisa kuenyahkan. Namun rasa sakit atas pengkhianatannya mampu menahanku agar tak memeluk tubuh tegapnya.Bahkan saat ia ingin membantu membawa sebagian belanjaanku, kutolaknya."Kenapa kesini, Mas? Nggak enak sama Aini. Kamu sama dia waktunya satu bulan dan aku, tahu dia nggak mau kamu datang menemuiku."Kutepis mas Pras, lalu kukeluarkan kunci dari dalam tas selempang yang tadi kugunakan.Biasanya aku dan mas Pras akan menyimpan kunci di bawah keset kaki bila kami sama-sama berangkat kerja.Agar bila salah satu di antara kami pulang duluan tetap bisa masuk ke rumah tanpa saling menunggu.Sebenarnya dulu kunci pintu ini ada dua. Namun salah satunya hilang entah kemana. Mungkin saja aku yang lupa menyimpannya dimana."Tadi mas mau masuk tapi di bawah keset nggak ada kunci."Mas Pras tak menangg