Share

Bab. 2

Pov. Dewi

***

“Wi, aku sudah bercerai.”

Dengan berlinang air mata Aini menceritakan keadaannya hari itu padaku. 

Aku pun tak menyangka mengapa Aini bisa ada di kota ini. Bahkan kami sudah cukup lama tak berkomunikasi. Hanya saja sesekali kami masih berbalas komentar atau sekedar menyukai postingan di media sosial yang kami punya.

Lebih tepat lagi media sosial milik Aini. Hampir tiap hari ada saja quotes tentang agama atau rumah tangga ataupun kalimat-kalimat galau yang dipostingnya. Kalau aku? Boro-boro memposting status. Sekedar scrol akun tiktok  saja kadang malam baru bisa kulakuka. Itupun hanya sebentar saja. Saat menjelang tidur.

Sebab pekerjaanku sebagai staf keuangan di salah satu perusahaan distributor consumer goods ternama cukup menyita waktuku. Walau aku hanya sebagai staf, tapi kesibukanku di kantor dan dunia nyataku bersama mas Pras cukup menyita waktu.

“Astagfirullah. Apa sebabnya kalian bisa bercerai?”

Kupikir suami Aini pria yang baik sebab tak jarang ia memposting kemesraannya bersama suaminya. 

Aku yang baru saja pulang kerja hari itu menerima Aini di ruang tamu rumah sederhana yang mas Pras beli di tahun pertama pernikahan kami.

Sejujurnya aku tak punya waktu menerima tamu bila sore hari. Sebab sepulang kerja aku harus sibuk memasak makan malam untukku dan mas Pras. Belum lagi kusiapkan air hangat untuknya mandi.

Eh, kadang-kadang kami mandi berdua dengan penuh kemesraan.

Tapi, tentu saja aku tak tega mengatakan itu pada Aini.

“Arfan suka main kasar dan dia berselingkuh, Wi.”

Aini menyeka air matanya. Kusodorkan sebotol air dingin padanya agar perasaannya menjadi tenang.

Akupun tak tahu harus berkomentar apa tentang cobaan pernikahan yang Aini alami. Aku hanya memintanya bersabar atas apa yang terjadi. Kupikir Aini lebih paham tentang dalil-dalil agama dalam rumah tangga.

Namun saat ia membuka aib mantan suaminya yang tak terlalu kukenal, aku cukup terkejut.

Bukannya aib pasangan itu tak boleh diumbar?

“Mungkin sudah jalannya begini, Aini. Jujur aku terkejut dengan kehadiran kamu di kota ini, dan lebih terkejut lagi dengan berita yang kamu sampaikan. Aku lihat selama ini kalian begitu mesra di foto-foto itu.”

Lalu Aini tersenyum masam. Seperti sedang menyesali sesuatu.

“Itu semua hanya untuk menutupi perasaanku yang hancur, sebab jika kuposting gambar-gambar kami, selingkuhannya akan melihat itu dan memilih munudr. Namun, yang ada Arfan malah memintaku mundur dari pernikahan kami.”

“Aku turut prihatin atas apa yang terjadi. Tapi aku juga terkejut kenapa kamu bisa ada di kota ini?”

Aku penasaran saja, sebab itu aku bertanya. Jujur saja aku belum masak sore itu. Lalu kukirim pesan pada mas Pras untuk singgah beli makanan tiga bungkus.

Lalu jelaskan bila da tamu yang datang saat mas Pras bertanya heran melalui sambungan telepon. Lelaki itu selalu penasaran dengan siapa aku berbincang.

Oh, mas Pras juga sering cemburu bila aku berbincang terlalu lama dengan kawan pria. Walaupun itu dengan atasanku sendiri.

“Aku sengaja kesini untuk mencari pekerjaan, Wi. Mungkin kamu tahu ada lowongan yang cocok untukku. Kerja apa saja yang penting halal. Kamu tahu kan, betapa susahnya mencari pekerjaan untuk lulusan D.1 seperti saya ini. Belum lagi di kota Surabaya sana banyak saingan.”

“Lalu kamu tinggal dimana selama disini?”

“Sementara aku numpang di rumah bibi dari pihak ayahku. Nanti bila sudah dapat pekerjaan aku mau ngekost saja. Nggak enak kalau numpang terus, Wi.”

“Iya sih.”

Lalu pembicaraan kami terjeda sebentar. Saat deru mobil avanza hitam milik mas Pras terdengar di teras samping.

“Suamimu kah?”

“Iya. Sebentar ya!”

Kutinggalkan Aini di ruang tamu, lalu gegas aku keluar. Menyambut suamiku yang bajunya tampak bahas di bagian pundak. Memang tadi sempat hujan. Walau sebentar tapi cukup deras.

“Mas. Ada kawan lamaku bertamu.”

“Hmm, siapa?”

“Namanya Aini.”

Kubiarkan mas Pras memeluk tubuhku sebentar sebelum kami berdua masuk menemui tamu kami yang tak diundang.

“Ada perlu apa?”

Mas Pras jelas penasaran. Sebab selama pernikahan kami, jarang sekali ada kawanku yang datang bertamu. Keluargaku pun. Biasanya kami yang ke rumah mereka. Sebab bila ada cara keluarga pasti dibikin di rumah mertuaku. Kalau dari pihak aku kami jarang berkumpul. Sebab kamipun perantau di kota ini. Waktu berkumpulnya paling lebaran saja.

“Katanya lagi cari kerjaan. Siapa tahu di kantor mas ada lowongan apa aja. Cleaning service atau kasir pun dia  mau.”

“Nanti mas tanya. Di kantor mu sendiri belum ada lowongan?”

“Belum, Mas.”

Lalu mas Pras mengamit pinggangku sambil melangkah ke dalam rumah di mana Aini menunggu di ruang tamu.

“Mas, ini mbak Aini. Aini, ini suami saya, mas Pras!”

Kulihat netra Aini yang masih basah mengerjap dan menatap tak berkedip pada pergelangan kekar mas Pras yang mengamit pinggang langsingku.

Lalu diulurkannya tangan terlebih dahulu untuk menyalami mas Pras. Tentu mas Pras sedikit terkejut sebab ia menyangka Aini dengan penampilannya yang begitu tertutup tak ingin berjabat tangan dengan pria lain.

“Apa kabar?  saya Pras. Suaminya Dewi.”

“Saya Aini mas Pras. Kawan lama Dewi!”

 

 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status