Akhirnya _me time_ku bersama Hera gagal. Curahan hati yang sedari tadi telah kusiapkan akhirnya menjadi curahan omelan dan kemarahan kawanku ini.Bahkan setelah kepergian Aini, Hera masih meluapkan amarahnya dan meladeni pertanyaan beberapa pengunjung yang kepo dengan kejadian tadi.Sementara Aini yang kutohok dengan kata-kata indah tadi, semakin malu dengan air mata yang melaju deras. Perempuan perebut itu akhirnya memilih meninggalkan cefe ini dengan wajah memerah dan diiringi terikan mencemoh dari pengunjung.Bisa-bisanya ia juga datang disini dan mempermalukan dirinya sendiri.Dan apa tadi katanya mas Pras tak bersamanya.Kemana lelaki itu. Harusnya mereka menikmati masa-masa indahnya pengantin baru mereka.Bukankah mas Pras mengatakan ingin punya anak dari perempuan itu."Dasar perempuan nggak tahu diri. Nggak punya kaca apa ya?""Cepet habisin, Her. Bentar lagi suamimu datang.""Kamu kok nggak jambak dia tadi sih? Gemes tahu!"Aku tertawa kecil mendengar kemarahan Hera.Siapa bi
"Dewi, tolong dengarkan aku!"Mas Pras mencengkal pergelenganku saat kuminta ia untuk pulang ke rumah istri mudanya.Tentu saja aku terkejut melihat lelakiku ini ada disini. Meski rasa rindu tak bisa kuenyahkan. Namun rasa sakit atas pengkhianatannya mampu menahanku agar tak memeluk tubuh tegapnya.Bahkan saat ia ingin membantu membawa sebagian belanjaanku, kutolaknya."Kenapa kesini, Mas? Nggak enak sama Aini. Kamu sama dia waktunya satu bulan dan aku, tahu dia nggak mau kamu datang menemuiku."Kutepis mas Pras, lalu kukeluarkan kunci dari dalam tas selempang yang tadi kugunakan.Biasanya aku dan mas Pras akan menyimpan kunci di bawah keset kaki bila kami sama-sama berangkat kerja.Agar bila salah satu di antara kami pulang duluan tetap bisa masuk ke rumah tanpa saling menunggu.Sebenarnya dulu kunci pintu ini ada dua. Namun salah satunya hilang entah kemana. Mungkin saja aku yang lupa menyimpannya dimana."Tadi mas mau masuk tapi di bawah keset nggak ada kunci."Mas Pras tak menangg
Pov. Dewi***"TEGA KAMU YA!" Mbak Widia meraung marah dan melampiaskan rasa kecewanya pada mas Pras. Mbak Widia adalah kakak tertua mas Pras. Dia satu-satunya ipar yang kupunya. Walau hubungan kami sangat baik, tapi aku sangat jarang menyampaikan kesusahan ataupun masalah rumah tanggaku pada mbak Widya. Beliau pun juga jarang tinggal di kota ini, sebab ia lebih banyak menghabiskan waktu di Surabaya bersama suaminya yang sibuk dengan usaha toko kain mereka. "Maaf, Mbak! Saya benar-benar khilaf. "Khilaf katamu! Khilaf sampai menikahi perempun tak tahu diri itu. Dimana kalian menikah? Siapa yang jadi saksinya. Jangan-jangan kalian hanya kumpul kebo!" Mas Pras bersimpuh di hadapan mbak Widia yang sedang di bakar amarah. Memohon maaf atas khilafnya pada pernikahan kami. Khilaf katanya? Khilaf apa yang menyakitkan begini mas. Sedu sedan di antara rinai air mataku membuat mbak Widia tak kuasa menahan air mata di antara kemarahannya. Kami berdua me
Pov. Dewi *** Masa berlalu meninggalkan kenangannya pada tiap-tiap musim. Ada luka dan perih yang menjejas jelas, tapi aku tak memungkiri cinta juga pernah hadir begitu jelas. Bukan pernah, tapi mungkin masih. Hanya saja aku tak sanggup membawa hatiku yang terluka dalam kehidupan sosialku. Aku butuh tenaga dan hati yang damai untuk tetap bekerja demi memenuhi kebutuhan hidupku sendiri. Sakit memang sakit. Namun aku butuh kewarasan. Sebab itu aku memilih melepaskan rasa sakitku dengan caraku sendiri. "Hukumlah aku sayang. Asal jangan minta perceraian. Aku nggak sanggup kehilangan kamu." Mas Pras memeluk erat. Bahkan ia nyaris tak melepaskanku saat mbak Widya sudah pulang meninggalkan kami berdua saja. Kakak iparku itu tadi bahkan minta maaf sambil menangis memelukku. Beliau minta maaf atas apa yang adiknya lakukan padaku. Mungkin aku sedikit beruntung mendapatkan ipar sebaik mbak Widya. "Jangan gini, Mas. Pulanglah Aini menunggumu." Kal
POV. Pras***Hatiku terseok-seok di antara dua perempuan yang mengisi hidupku. Kupikir aku lelaki yang kuat iman. Kupikir aku lelaki yang bisa mengendalikan cintaku hanya untuk Dewi seorang. Kupikir aku lelaki setia yang patut di perhitungkan di zaman modern sekarang ini.Nyatanya aku hanyalah pecundang cinta yangtega berkhianat di atas ikatan suci yang pernah kujanjikan untuk Dewi seorang.Kehadiran kawan lama istriku yang kusangka lugu, rupanya berhasil membawaku pada jurang kehancuran yang paling dalam.Benar kata Dewi. Aku bukan menikahi Aini karna hanya ingin punya keturunan. Tapi karna nafsu dunia yang tak bisa kutahankan.Bahkan diam-diam wanita berwajah lugu dan bermulut manis itu mampu membuaiku siang itu. Bukan di hotel mewah atau di rumah kost sederhana yang ia tempati.Tapi kehadirannya yang memaksa berjumpa di siang itu, membuat aku berhasil mencumbui dirinya di ruang tengah.Ruangan dimana aku kerap menuntut Dewi untuk memuaskanku.“Aini, ini salah.”“Tapi kamu udah nye
Pov. Dewi***Tak perlu menunggu waktu yang lama untuk rasa sakit yang kualami. Memang tak serta merta cinta itu bisa kuhilangkan. Namun, sakit ini seolah menikamku begitu kuat. Dengan bantuan Hera dan suaminya. Aku dibantu salah seorang pengacara muda yang masih kerabat dari mas Arman.Bukan soal apa membayar pengacara. Tapi untuk masalah harta gono gini aku tak ingin berdebat dengan mas Pras. Cukuplah rasa sakitku atas pengkhianatan yang dilakukannya bersama kawan lamaku. Namun untuk urusan harta, walau tak banyak, tapi aku tak ingin merugi lahir batin.Cukuplah batinku tersiksa sedemikian rupa, tapi aku butuh melanjutkan hidup dan kupastikan harta yang kuhasilkan bersama mas Pras bisa menjadi milikku. Biar saja dia dan perempuan itu mulai lagi dari awal.Agar perempuan itu tahu bagaimana memulai semuanya dari nol. Minimal mereka harus merasakan bagaimana repotnya bila ingin punya rumah sendiri. Kulihat di kursi sebelah mas Pras tertunduk. Sesekali kurasa ia menatap ke arahku. Na
“Dewi!”Mas Pras mengejar langkahku ke dalam rumah. Sepulang dari pengadilan tadi, aku tak langsung pulang.Panasnya cuaca ditambah dengan panas hatiku membuatku memilih melipir sebentar ke warung khas Sunda yang menyediakan es teler khas kota Bandung.Aku dan Hera pulang terlebih dahulu, saat mbak Widya masih memuntahkan kemarahannya pada mas Pras.Namun tentu saja aku pamit pada kakak perempuan mas Pras itu. Meski mas Pras memanggil namaku, tapi tak kuperdulikannya.Aku memilih membungkus dua es teler dan siomay Bandung untuk kubawa pulang. Kubelikan juga untuk Hera dan suaminya.Mas Arman lagi-lagi siap repot. Beliau tadi menjemput kami dan mengantarku pulang.Namun aku tak menyangka saja, ternyata mas Pras lagi-lagi sudah menunggu di teras rumah.“Ada apa lgi, Mas?”Kutepis tangan mas Pras yang ingin memelukku. “Dewi, kenapa menghuku mas sekejam ini, Sayang?”“Kenapa mas harus selingkuh?”“Mas khilaf, Sayang. Mas minta maaf.”“Mas tahu kan yang namanya sakit hati. Aku tak ingin l
Pov. Dewi*** Aku memang mencintai mas Pras, tapi tikaman luka yang ia berikan di hatiku juga tak main-main pedihnya.Andai ia minta izin dulu padaku bila akan mendua tentu aku tak sesakit ini. Mungkin aku bisa mundur teratur tanpa emosi yang membabi buta.Tak pernah aku melapor pada mbak Widya akan apa yang menyakiti hatiku bebrapa bulan ini. Namun kemarin setelah kuberikan pelajaran dan kuusir mas Pras bersama istri mudanya itu, segera ku telepon mbak Widya dan menyampaikan kedatangan Aini yang ingin mencampuri urusanku dengan mas Pras.“Pergi kamu, Mas! Bawa perempuan ja-lang ini keluar dari rumahku!”“Dewi. Tahan emosimu, Sayang”“PERGI!”Dan mas membawa Aini keluar dari rumah ini dengan wajah menahan marah.Tak kuperdulikan tangisan Aini yang memohon pada mas Pras untuk membalasku. Pun dengan mas Pras yang tampak marah pada perempuan itu.Satu yang jaga kemarin, andai mas Pras berani melakukan kekerasan padaku seperti yang ia lakukan pada perempuan perebut itu, sudah kupastikan.