Pov. Dewi
***Kumatikan ponsel yang tak henti berdering. Ku_reject berulang kali panggilan mas Pras. Ada apa lagi menelpon sore-sore begini.Bukankah dia sedang menikmati masa indahnya bersama sahabat lawasku. Bahkan aku berharap, apa yang mas Pras inginkan bisa tercapai dengan menikahi Aini.Mungkin akulah yang memang tak bisa memberinya keturunan. Dan mas Pras bosan dengan kata setia.“Mungkin kita bisa punya anak bersama.”Begitu katanya. Namun kalimat itu sungguh menyakitiku. Aku bukan perempuan ikhlas saat suamiku mendua demi mendapatkan keturunan. Kurasapun mereka bermain di belakangku bukan karna inginkan keturunan.Laki-laki dan perempuan dewasa rela berkhianat diam-diam, apalagi yang mendorong keduanya kalau bukan nafsu.Lukaku belum sembuh. Bahkan perihnya kadang-kadang masih membuatku terbangun tiba-tiba dan meneteskan air mata.Tiga minggu lamanya, hampir empat minggu. Aku dan mas Pras tak pernah bertemu. Beberapa helai pakaian kerjanya yang tertinggal di dalam lemari dan meja setrika hanya membuatku merasakan luka itu lagi.Sesak dan bersebak. Kadang kuhirup udara sebanyak mungkin, namun lega belum sepenuhnya kurasa.Gerimis sudah benar-benar berhenti saat Hera dan suaminya tiba di depan rumah.Bau tanah dan bunyi klakson sungguh perpaduan harmoni yang indah untukku saat ini.“Terbayanga pisang bakar dan bakso ikan tenggiri yang sebentar lagi bisa kunikmati.”“Anak gadis ayo!”Kulihat Hera turun dan berjalan ke arahku. Akupun terburu menyambutnya. Kusambar tas dan kupastikan lagi pintu sudah kukunci.“Anak gadis apa? Ayo. Laper nih!”Kami berdua berpelukan sebentar. Kusapa dengan ramah mas Arman yang duduk di belakang kemudi.“Sehat, Mbak Dewi?”“Alhamdulillah sehat, Mas.”Tentu Hera sudah menceritakan kondisi rumah tanggaku pada suaminya. Kulihat sekilas raut prihatin pada wajah lelaki baik ini.“Maaf, Mas. Jadi sopir dulu ya.”“Siap, Bu.”Hera memilih duduk di belakang bersama denganku.“Ya ampun malah suaminya dijadiin sopir.”Aku tertawa kecil saat mendegar guyonan mereka berdua.Mas Arman dan mas Pras juga kenal. Bahkan kami pernah beberapa kali jalan berempat. Apalagi kalau ada undangan. Pasti kami akan janjian duduk berdekatan.“Maaf ya, Mas. Mbak Hera lagi kangen sama saya.”“Woles, Mbak Dewi. Dia kaya gitu mah. Senang menganiaya suami.”Aku tertawa lagi mendegar guyonan itu.“Kamu sehat kah say. Aku kangen banget sama kamu.”“Alhamdulillah.”Aku tersenyum saat Hera menggenggam jemariku dengan kuat. Pasti banyak yang ingin ia tanyakan. Pun denganku. Banyak yang ingin kuceritakan padanya. Termasuk rasa sakit yang menderaku.Aku tak punya siapa-siapa lagi di dunia ini. Hanya ada sepupu perempuan yang bernama Nurlita. Dulu kami bertetangga. Tapi sekarang dia ikut dengan suaminya ke Kalimantan.Ah, aku jadi teringat rumah peninggalan orang tuaku. Sudah cukup lama aku tak kesana. Nantilah hari minggu, mungkin akan kupanggil tukang yang biasa membantuku membersihkan.Kami tiba di sebuah cafe baru dekat pelabuhan. Sepertinya cafe ini pemiliknya orang makassar. Aneka makanan khas Sulawesi menjadi menu utama di cafe yang berkonsep semi outdoor ini.“Nanti telepon kalau mau dijemput ya. Aku ada urusan sedikit dengan teman di jalan Ahmad Yani.”“Oke.”“Mbak Dewi, dinikmati me timenya sama Hera ya, saya tinggal dulu.”“Siap, Mas. Terima kasih banyak sudah anter.”“Sama-sama, Mbak.”Lalu mas Arman melajukan mobil setelah aku dan Hera turun.Kami berdua memilih tempat di bagian belakang. Sisa air hujan terlihat membasahi lantai yang berwarna coklat itu. Bagian belakang dari cafe ini menghadap ke laut dan sebagian ruangannya tak ditutupo tembok. Juga tak beratap. Jadi kalau hujan memang tampiasnya bisa masuk.Namun, begitu aku dan Hera tetap ingin duduk di kursi belakang ini. Semilir angin laut yang membawa sisa hujan tadi begitu segar menerpa kulit wajahku.“Kita pesan dulu, Wi. Kamu mau apa?”“Aku mau pisang bakar sama bakso ikan tenggiri dan Jus jeruk. Jangan lupa air mineral satu botol ya.”Kutulis pesananku pada kertas kecil yang ada di atas meja.Sementara kuliat Hera memilih mie Tiktik, pisang bakar dan jus alpukat.“Kamu duduk aja, biar aku yang kesana.”Lalau Hera berjalan ke arah kasir untuk memberikan kertas orderan kami. Sambil menunggu, ku mainkan HP. Kuliat panggilan mas Pras ada lebih dari dua puluh kali. Namun tak kuhiraukan. Kumatikan lagi ponsel hadiah darinya.Bahkan ponsel ini rasanya ingin kuganti saja.“Tunggu ya, katanya sekitar lima belas menit.”“Oke nggak masalah.”“Gimana keadaan kamu, Wi. Aku benar-benar prihatin dengan apa yang terjadi sama rumah tangga kamu dengan mas Pras.”“Ya, mungkin sudah takdir. Dia dan …”Aku tak sempat menyelesaikan kalimatku. Sebab pandanganku menangkap sesosok wanita yang berjalan dengan anggunnya ke arah kami.Itu Aini.Mengapa ia ada disini.Hera sudah hamir emosi. Tapi kuberikan kode agar dia pura-pura tak tahu dengan kondisi pernikahanku.Perempuan ini juga berani sekali datang menemuiku. Apa tak punya malu kah?Bahkan ia tersenyum begitu lebarnya ke arahku, seolah ia ingin pamer dengan apa yang telah berhasil ia rebut.“Assalamualaikum.”“Waalaikumsalam.”Aku yang menjawab, sementara Hera mungkin menjawab dalam hati. Temanku yang satu ini kulihat tak bisa menahan dongkol di wajahnya.“Tumben sama mbak Hera, Wi. Mas Pras mana?”Aini bertanya basa basi. Atau mungkin memang ia tak tahu kalau aku sudah mengetahui tentang pernikahannya dengan suamiku.Berusaha kutekan sakit dan amarahku padanya. Apa maksudnya bertanya seperti itu. Apa mau pamer. Atau memang benar-benar tak tahu.Hera hampir menjawab saat kusentuh kakinya dengan ujung sepatuku di bawah meja.Kukuatkan hati dan menjawab pertanyaa perempuan yang telah merampas kebahagiaanku sedemikian rupa.“Bukannya tiga minggu ini mas Pras dan kamu sedang bulan madu?”Kulihat wajah Aini langsung memucat. Bahkan beberapa pengunjung di dekat kami, langsung menoleh ke arah kami. Tepatnya ke arah Aini yang tiba-tiba terdiam dan terlihat terkejut.Hujan di luar semakin deras, membasahi genting tua rumah ini. Winda berdiri di hadapan Gavin dengan wajah memerah karena amarah yang tertahan. Matanya berkilat penuh luka.Jemarinya menyentuh layar, memutar video yang Winda maksud. Suara itu... suara dirinya sendiri yang sedang mengigau dalam tidur.“Kania …, Kania, … maafkan aku, Kania.”Gavin terpaku. Tubuhnya kaku mendengar betapa pilunya ia menyebut nama almarhum istrinya. Suara yang penuh sesal, penuh rindu, namun tak pantas diucapkan ketika ada Winda di sisinya.“Apa ini, Winda?” Gavin berusaha mempertahankan kendali, tapi nada suaranya bergetar jelas disesaki oleh rasa bersalah.“Ini yang aku dengar hampir setiap malam, Mas,” balas Winda dingin. “Dan lebih parahnya lagi, Mas pernah...” Winda menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan air mata.“Pernah apa?” Gavin mendesak.Winda mengalihkan pandangan, tapi bibirnya meluncurkan kebenaran yang menghantam Gavin tanpa ampun. “Mas pernah menyebut nama Kania saat kita.
Gemuruh di langit semakin nyaring, hujan kini turun dengan deras. Gavin duduk di kursi makan. Sendok di tangan kirinya mengetuk-ngetuk piring, tanda pikirannya sedang tidak fokus. Uap dari mie instan di hadapannya mengepul, tetapi selera makannya sudah lebih dulu lenyap, terkalahkan oleh perasaan jengah yang tiba-tiba menyeruak di dada.Ada yang Gavin tak lihat, tapi itu terjadi. Sama halnya saat Kania dulu tak melihat apa-apa yang dilakukannya bersama Aline di belakang istri pertamanya itu.Bahkan Kania sudah pergi pada alam yang berbeda. Namun, rasa sakitnya masih terngiang pada semesta yang memberi balas.Namun, Gavin mungkin tak sadari itu, seperti tak sadarnya dulu saat terlena dalam bara zina yang ditawarkan oleh selingkuhnannya.Lelaki bermata tajam ini menatap jendela yang mengembun oleh hujan. Matanya terasa berat, seperti menanggung beban dari kenangan-kenangan yang kini melintas tanpa diundang. Kania. Nama itu terlintas begitu saja. Istrinya yang dulu. Almarhumah yang dia
Kilas Hidup yang Kedua**Seberapa kuat Gavin melangkah sendiri di antara umurnya yang masih ingin ditemani. Seberapa kuat ia menahan diri dalam sesalan, tapi hidup memang terus berjalan dan lelaki empat puluh delapan tahun ini memang butuh teman.Usia yang makin banyak, benar-benar membuatnya tak hanya bisa menyesali kesalahannya di masa lalu. Gavin butuh kawan. Bukan hanya sekadar tentang pelampiasan hasratnya di atas ranjang, tapi ia butuhkan kawan berbagi cerita.Rasanya waktu terus meneror kesendiriannya. Seolah masa inginkan ada kehidupan kedua yang harus ia jalani setelah kehidupan menyakitkan telah ia berikan untuk Kania di masa lalu.Tok! Tok!“Masuk!”Hujan turun rintik-rintik di sore itu, membawa aroma tanah basah yang menusuk hidung. Di rumah peninggalan orang tua Gavin, bayangan masa lalu terasa begitu pekat. Ruang tamu yang dipenuhi perabotan mulai menuai menjadi saksi bisu kesepian seorang pria yang pernah melakukan kesalahan fatal di masa lalu. Seorang wanita yang ma
Dua minggu sudah berlalu sejak pertemuan tak terduga antara Gavin dan Kania. Juga pertemuannya dengan pak RT yang dating menyampaikan keluhan warga akan pembayaran tanah yang belum selesai. Gavin bahkan tak menyangka bila ruko yang dibelinya ada hubungannya dengan Doni. Mantan suami Hera yang diam-diam juga menjalin affair Bersama wanita yang pernah menjadi kekasih gelapnya. Bahkan ungkapan pertanyaannya pada Winda hari itu seolah angin lalu yang sudah terlupakan. Gavin pun sekarang lebih banyak menghabiskan waktu sebagai sopir taksi online daripada mengunjungi tokonya. Laporan penjualan oli akan ia terima lewat emailnya. Winda sudah sangat cekatan mengirim laporan melalui email. Sementara untuk pembelian, Gavin akan langsung menelpon supplier oli yang telah menjadi langganannya. Pembayaran pun dilakukan melalui transfer. Tak ada yang tahu balasan takdir apa yang akan diterima setelah melakukan kesalahan-kesalahan di masa lalu. Bertaubat mungkin sudah dilakukan, tapi balas
"Sudah dua tahun kamu hidup sendiri, apa nggak ada niatan untuk kamu buka hati, Nia?" "Luka yang lama rasanya susah betul sembuhnya, aku takut mengulang cerita yang akan memberikan rasa sakit di ujungnya, Ta." Kania tahu kemana arah pembicaraan Sita. Ini bukan kali pertama ibu satu anak ini menyampaikan makna tersurat tentang perasaan seseorang padanya. "Mas Daksa itu suka sama kamu, ibunya juga berharap kamu ada perasaan yang sama." Kania tersenyum miris setipis mungkin. Sebagai Perempuan dewasa, Kania juga tahu tentang perasaan pria itu.Mas Daksa pria yang baik, hanya saja Kania rasanya masih takut memulai hubungan yang baru, apalagi statusnya hanya sebagai pembantu di rumah pria itu.Ada kenangan yang membekas dan mungkin tak mampu dihapus waktu. Kenangan akan statusnya Bersama Gavin.“Aku ini orang susah, Ta. Aku hanya pekerja di rumah orang tua mas Daksa.”“Nggak ada masalah. Problemnya dimana. Mas Daksa serius ingin membangun rumah tangga. Dia juga pernah gagal,
"Tanah ini pembayarannya belum diselesaikan, Pak Gavin." Seorang pria tua berpeci yang sedari tadi menunggu Gavin, langsung membeberkan inti persoalan yang menyebabkan beliau harus datang menemui pemilik ruko ini. Rupanya beliau ketua RT di daerah ini. "Gimana maksudnya, Pak? Saya juga tidak tahu menahu dengan pembayaran tanah yang bapak maksud." Gavin tentu menerima dengan baik tamu yang tak diharapkan kehadirannya siang ini. Belum lagi tadi pertemuan tak sengaja antara dirinya dan Kania membuat perasaannya jelas terusik. "Pihak developer belum menyelesaikan pembayaran tanah ini, Pak. Dan warga tidak mau tahu, mereka meminta saya untuk menemui pemilik ruko satu persatu." "Tapi saya sudah membayar lunas pembelian ruko ini, Pak. Entah dengan yang lainnya." Raut wajah pak RT terlihat cemas. Lelaki berkacamata ini menarik napas panjang lalu menghembuskan dengan berat. "Pak Gavin bukan pemilik ruko yang pertama yang saya datangi, tapi jawaban mereka ham