Share

Bab. 7

Pov. Dewi

***

Kumatikan ponsel yang tak henti berdering. Ku­_reject berulang kali panggilan mas Pras. Ada apa lagi menelpon sore-sore begini.

Bukankah dia sedang menikmati masa indahnya bersama sahabat lawasku. Bahkan aku berharap, apa yang mas Pras inginkan bisa tercapai dengan menikahi Aini.

Mungkin akulah yang memang tak bisa memberinya keturunan. Dan mas Pras bosan dengan kata setia.

“Mungkin kita bisa punya anak bersama.”

Begitu katanya. Namun kalimat itu sungguh menyakitiku. Aku bukan perempuan ikhlas saat suamiku mendua demi mendapatkan keturunan. Kurasapun mereka bermain di belakangku bukan karna inginkan keturunan.

Laki-laki dan perempuan dewasa rela berkhianat diam-diam, apalagi yang mendorong keduanya kalau bukan nafsu.

Lukaku belum sembuh. Bahkan perihnya kadang-kadang masih membuatku terbangun tiba-tiba dan meneteskan air mata.

Tiga minggu lamanya, hampir empat minggu. Aku dan mas Pras tak pernah bertemu. Beberapa helai pakaian kerjanya yang tertinggal di dalam lemari dan meja setrika hanya membuatku merasakan luka itu lagi.

Sesak dan bersebak. Kadang kuhirup udara sebanyak mungkin, namun lega belum sepenuhnya kurasa.

Gerimis sudah benar-benar berhenti saat Hera dan suaminya tiba di depan rumah.

Bau tanah dan bunyi klakson sungguh perpaduan harmoni yang indah untukku saat ini.

“Terbayanga pisang bakar dan bakso ikan tenggiri yang sebentar lagi bisa kunikmati.”

“Anak gadis ayo!”

Kulihat Hera turun dan berjalan ke arahku. Akupun terburu menyambutnya. Kusambar tas dan kupastikan lagi pintu sudah kukunci.

“Anak gadis apa? Ayo. Laper nih!”

Kami berdua berpelukan sebentar. Kusapa dengan ramah mas Arman yang duduk di belakang kemudi.

“Sehat, Mbak Dewi?”

“Alhamdulillah sehat, Mas.”

Tentu Hera sudah menceritakan kondisi rumah tanggaku pada suaminya. Kulihat sekilas raut prihatin pada wajah lelaki baik ini.

“Maaf, Mas. Jadi sopir dulu ya.”

“Siap, Bu.”

Hera memilih duduk di belakang bersama denganku.

“Ya ampun malah suaminya dijadiin sopir.”

Aku tertawa kecil saat mendegar guyonan mereka berdua.

Mas Arman dan mas Pras juga kenal. Bahkan kami pernah beberapa kali jalan berempat. Apalagi kalau ada undangan. Pasti kami akan janjian duduk berdekatan.

“Maaf ya, Mas. Mbak Hera lagi kangen sama saya.”

“Woles, Mbak Dewi. Dia kaya gitu mah. Senang menganiaya suami.”

Aku tertawa lagi mendegar guyonan itu.

“Kamu sehat kah say. Aku kangen banget sama kamu.”

“Alhamdulillah.”

Aku tersenyum saat Hera menggenggam jemariku dengan kuat. Pasti banyak yang ingin ia tanyakan. Pun denganku. Banyak yang ingin kuceritakan padanya. Termasuk rasa sakit yang menderaku.

Aku tak punya siapa-siapa lagi di dunia ini. Hanya ada sepupu perempuan yang bernama Nurlita. Dulu kami bertetangga. Tapi sekarang dia ikut dengan suaminya ke Kalimantan.

Ah, aku jadi teringat rumah peninggalan orang tuaku. Sudah cukup lama aku tak kesana. Nantilah hari minggu, mungkin akan kupanggil tukang yang biasa membantuku membersihkan.

Kami tiba di sebuah cafe baru dekat pelabuhan. Sepertinya cafe ini pemiliknya orang makassar. Aneka makanan khas Sulawesi menjadi menu utama di cafe yang berkonsep semi outdoor ini.

“Nanti telepon kalau mau dijemput ya. Aku ada urusan sedikit dengan teman di jalan Ahmad Yani.”

“Oke.”

“Mbak Dewi, dinikmati me timenya sama Hera ya, saya tinggal dulu.”

“Siap, Mas. Terima kasih banyak sudah anter.”

“Sama-sama, Mbak.”

Lalu mas Arman melajukan mobil setelah aku dan Hera turun.

Kami berdua memilih tempat di bagian belakang. Sisa air hujan terlihat membasahi lantai yang berwarna coklat itu. Bagian belakang dari cafe ini menghadap ke laut dan sebagian ruangannya tak ditutupo tembok. Juga tak beratap. Jadi kalau hujan memang tampiasnya bisa masuk.

Namun, begitu aku dan Hera tetap ingin duduk di kursi belakang ini. Semilir angin laut yang membawa sisa hujan tadi begitu segar menerpa kulit wajahku.

“Kita pesan dulu, Wi. Kamu mau apa?”

“Aku mau pisang bakar sama bakso ikan tenggiri dan Jus jeruk. Jangan lupa air mineral satu botol ya.”

Kutulis pesananku pada kertas kecil yang ada di atas meja.

Sementara kuliat Hera memilih mie Tiktik, pisang bakar dan jus alpukat.

“Kamu duduk aja, biar aku yang kesana.”

Lalau Hera berjalan ke arah kasir untuk memberikan kertas orderan kami. Sambil menunggu, ku mainkan HP. Kuliat panggilan mas Pras ada lebih dari dua puluh kali. Namun tak kuhiraukan. Kumatikan lagi ponsel hadiah darinya.

Bahkan ponsel ini rasanya ingin kuganti saja.

“Tunggu ya, katanya sekitar lima belas menit.”

“Oke nggak masalah.”

“Gimana keadaan kamu, Wi. Aku benar-benar prihatin dengan apa yang terjadi sama rumah tangga kamu dengan mas Pras.”

“Ya, mungkin sudah takdir. Dia dan …”

Aku tak sempat menyelesaikan kalimatku. Sebab pandanganku menangkap sesosok wanita yang berjalan dengan anggunnya ke arah kami.

Itu Aini.

Mengapa ia ada disini.

Hera sudah hamir emosi. Tapi kuberikan kode agar dia pura-pura tak tahu dengan kondisi pernikahanku.

Perempuan ini juga berani sekali datang menemuiku. Apa tak punya malu kah?

Bahkan ia tersenyum begitu lebarnya ke arahku, seolah ia ingin pamer dengan apa yang telah berhasil ia rebut.

“Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam.”

Aku yang menjawab, sementara Hera mungkin menjawab dalam hati. Temanku yang satu ini kulihat tak bisa menahan dongkol di wajahnya.

“Tumben sama mbak Hera, Wi. Mas Pras mana?”

Aini bertanya basa basi. Atau mungkin memang ia tak tahu kalau aku sudah mengetahui tentang pernikahannya dengan suamiku.

Berusaha kutekan sakit dan amarahku padanya. Apa maksudnya bertanya seperti itu. Apa mau pamer. Atau memang benar-benar tak tahu.

Hera hampir menjawab saat kusentuh kakinya dengan ujung sepatuku di bawah meja.

Kukuatkan hati dan menjawab pertanyaa perempuan yang telah merampas kebahagiaanku sedemikian rupa.

“Bukannya tiga minggu ini mas Pras dan kamu sedang bulan madu?”

Kulihat wajah Aini langsung memucat. Bahkan beberapa pengunjung di dekat kami, langsung menoleh ke arah kami. Tepatnya ke arah Aini yang tiba-tiba terdiam dan terlihat terkejut.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status