Share

Butuh Sandaran

BAB 3

Indira bingung dibuatnya, suami yang sejak pagi sudah berangkat kerja, ternyata tidak ada di kantornya. Segala cara sudah dicoba dengan menghubungi orang-orang terdekatnya, tetapi mereka tidak ada yang tahu. Ponsel suaminya pun tidak bisa dihubungi.

 

Akhirnya wanita  beranak  satu  itu  memutuskan pergi ke rumah mertuanya di luar kota. Rumah yang agak jauh dan membutuhkan waktu dua jam untuk bisa sampai ke tempatnya.

 

Dengan mengendarai taksi yang sudah dia pesan melalui aplikasi, Indira dan anaknya berangkat.

 

Setelah dua jam perjalanan, istri dan anak  Revan  sampai di rumah tujuan. Rumah yang begitu besar dan berlantai dua, dengan cat biru langit dan halaman yang luas.

 

 Dihiasi taman dengan beraneka pohon dan bunga yang cantik, rapi dan terawat. Karena mertuanya mempunyai tukang kebun.

 

Setelah sampai di depan rumahnya, mereka disambut oleh Pak Jaya, dia tukang kebun ibu. Sambil dipersilakan masuk.

 

“Eh, Non Indira dan Den Manaf,” sapanya dengan penuh keakraban. Karena Mang Jaya sudah 20 tahun kerja di situ sejak Mas Revan kecil.

 

“Mang, Ibu ada?” tanya  menantu  Bu  Sugi karena tidak mengabari kalau mau datang.

“Ada, Non, Nyonya ada di dalam,” jawabnya  sambil menggendong Manaf ke dalam.

 

Wanita cantik  itu   langsung masuk menemui ibu mertuanya yang bernama Ibu Sugi, 55 tahun. Perempuan yang masih kelihatan muda dan cantik. Mertuanya kaget melihat kedatangan mereka.

 

“Indira, kenapa kamu ke sini tidak kasih kabar dulu?” tanyanya penasaran sambil menggendong cucunya.

“Maaf, Bu, lupa mau menelepon dulu,” balasnya sambil mencium punggung tangannya dengan takzim.

“Ada apa, Indira, kenapa tidak ajak suamimu?” cecarnya.

 

Wanita  berkulit  kuning  langsat  itu malu mau menceritakan tentang rumah tangganya yang kurang harmonis belakangan ini, tapi Indira butuh sandaran untuk menguatkan hatinya.

 

“Bu, apa Mas Revan ke sini?” tanya Indira dengan tatapan yang sendu.

“Revan tidak ke sini sudah dua minggu, memangnya ada apa? Apa kalian sedang berantem? coba cerita sama Ibu tidak perlu sungkan!” desaknya dengan tatapan penuh tanya.

“Mas Revan tidak masuk kantor, Bu, padahal sejak pagi sudah berangkat dari rumah. Tapi bukan ke kantor. Orang kantor telepon ngasih kabar kalau Mas Revan tidak masuk,” jelasnya dengan raut muka yang sendu.

“Terus kamu sudah kabari Revan belum?” cecarnya lagi.

 

Ibu mertuanya begitu baik dan perhatian, tidak memandang orang dari kastanya. Begitu pun kepada Indira dan anaknya, sangat baik.

 

“Sudah, Bu, tetapi ponselnya tidak aktif, makanya saya ke sini mau mencari Mas Revan.” Istri  dari  Revan  itu   menjatuhkan tubuhnya ke sofa yang empuk.

 

Mencoba menetralkan rasa yang berkecamuk di dalam dada, antara sedih, kecewa, marah, cemburu, semua menyatu bagai gado-gado.

 

“Lantas ke mana Revan pergi? Apa kamu sudah menghubungi teman-temannya? Revan punya banyak teman, sahabat, saudara, ya siapa tahu mereka ada yang tahu ke mana Revan pergi!” Ibu menghampiri menantunya kemudian ikut duduk di sebelahnya.

 

“Sudah, Bu, tapi mereka tidak ada yang tahu.” Sambil menenggak air putih yang berada di atas meja hingga tak bersisa, rasa lelah yang melanda membuatnya dahaga.

 

“Bu, Mas Revan kenapa ya akhir-akhir ini sering marah? Apa Mas Revan sudah tidak mencintaiku lagi?” Matanya sendu menyiratkan kesedihan yang mendalam.

 

 

“Masa, sih, enggaklah! Kamu jangan berpikir negatif, Revan itu sayang sama kamu dan Manaf.” Sambil menepuk pundaknya, Beliau meneduhkan hati Indira yang panas dan gersang karena api cemburu.

 

Di tengah obrolan yang semakin serius, tiba-tiba Manaf merengek minta makan, Ibu mertua yang melihatnya langsung mengajak mereka makan. Dengan beraneka makanan sudah terhidang di meja makan, Ibu Sugi yang menyuapi cucunya makan dengan telaten.

 

 Manaf pun senang disuapi neneknya, karena Ibu Sugi memperlakukan Manaf dengan baik sehingga Manaf merasa nyaman dekat dengan neneknya.

 

Setelah makan, mertuanya menyuruh mereka istirahat di kamar tamu.

 

“Na, tidur sana, kamu dan Manaf pasti cape!” titahnya.” Kamu jangan banyak pikiran, nanti sakit, kalau kamu sakit kasihan cucuku enggak ada yang jaga. Urusan Revan, biar nanti Ibu yang bicara sama dia. Kamu fokus saja sama Manaf,” serunya sambil memeluknya, pelukan Ibu mampu  mendamaikan jiwanya yang rapuh.

 

“Iya, Bu, terima kasih ya Bu sudah baik dan sayang sama kami,” balasnya, kemudian  mereka   saling berpelukan.

“Iya, Na,”  timpalnya lagi sambil mengulas senyum yang menyungging di bibirnya.

 

Mereka   masuk kamar tamu untuk istirahat, merebahkan tubuhnya yang begitu letih. Manaf juga sudah mengantuk, tidak lama kemudian mereka tertidur pulas.

 

Hari sudah mulai senja, mentari yang mulai redup memancarkan sinarnya, dan langit pun sudah berubah jingga. Menantu  Bu  Sugi   itu  baru terjaga dari tidurnya, ditatapnya jam yang menempel di dinding kamar tamu sudah pukul empat.

Dia bergegas bangun dan langsung membangunkan  putranya   yang masih tertidur pulas. Indira ingin langsung pulang karena takut suaminya sudah pulang kerja.

 

“Eh, sudah bangun cucu Ibu,” sapa Ibu mertuanya.

“Iya, Bu, aku harus pulang, sudah sore. Takut Mas Revan mencariku,” balasnya  sambil membenarkan kerudungnya yang tak beraturan.

 

“Oh, ya sudah, terus kamu pulang naik apa?” tanyanya penasaran.

“Aku sudah pesan taksi di aplikasi, Bu, sebentar lagi juga datang,” balasnya.

Tidak lama kemudian, taksinya datang. Sebelumnya Indira menyalami semua orang di rumah ini.

 

“Bu, dan semuanya kami pamit pulang dulu ya,” ucapnya sambil melambaikan tangan.

“Hati-hati ya,” sambungnya lagi.

 

Mobil yang  mereka tumpangi keluar dari halaman, mobil pun langsung melesat membelah jalanan yang sudah mulai padat, karena berbarengan dengan jam pulang kerja.

 

Indira menatap jalanan yang mulai dijatuhi air hujan, alam seperti mengerti kesedihannya.

 

Dua jam kemudian, mereka sampai di depan rumah. Rumah yang begitu besar dan halaman yang luas. Mereka masuk, dan ternyata Mas Revan sudah pulang, lelaki yang bertubuh tinggi itu membawa kunci cadangan.

 

Terlihat suaminya sedang menonton televisi dengan ditemani secangkir kopi.

“Mas, sudah pulang,?” tanyanya.

“Iya, dari tadi,”  jawabnya singkat.

“Mas, kamu ke mana dari pagi? Orang   kantor tadi pagi  menelepon ke sini  tanya kamu!” cecarnya.

“Oh, ya, tadi pagi Mas izin tidak masuk karena besuk teman di rumah sakit. Kasihan, dia tidak punya keluarga  makanya Mas diminta menemaninya,” kelitnya dengan menggaruk kepala yang tidak gatal.

 

“Kamu sebegitunya, Mas, peduli sama orang lain sampai kamu izin tidak masuk kantor!” protesnya dengan dahi melipat karena herannya melihat tingkah suaminya, ada gurat kecewa yang tersirat dari senyum   istrinya.

 

“Ya, kan suamimu ini orangnya solider sama teman,” kelitnya.

“ Mas, Mas, kamu itu kalau ngomong .... Dulu aku sakit saja kamu disuruh izin tidak mau, alasannya tidak enak sama Si Bos. Giliran sekarang kamu izin demi menjaga teman di rumah sakit. Di mana otakmu, Mas?” sanggahnya  dengan kening yang berlipat.

 

“Sudahlah! Tidak perlu kau bahas lagi,!”  berangnya sambil berlalu pergi ke kamar, membiarkan istrinya yang masih terpaku seolah sedang mencerna setiap kata yang terucap dari mulut suaminya.

 

Tanpa disadari, Mas Revan meninggalkan ponselnya di sofa. Tidak lama ada suara notifikasi masuk, lalu Indira mengambilnya hendak melihat siapa yang sudah berkirim pesan.

 

Deg! Ternyata pesan itu dari perempuan yang diberi nama Adi di kontaknya. Kalau laki-laki mana mungkin memanggilnya sayang, kecuali lelakiku ini Gai.

“Sebenarnya ini nomor siapa?” gumamnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status