Part 2
Aku tidak berani menanyakan perihal pesan misterius itu pada Mas Fahmi. Karena saat ini, ia masih terbaring lemas.
“Jangan pernah percaya terhadap orang luar yang tidak kamu kenal,” pesan dari Ibu selalu terngiang kala aku menemui sebuah permasalahan yang berkaitan dengan hal itu.
Maka aku memutuskan untuk berpikiran positif saja.
Setelah sembuh, seperti biasanya, Mas Fahmi selalu menggunakan waktu seharinya pada hari Jumat untuk berdagang. Ia akan pulang setelah hari Sabtu.
Di usia pernikahan yang ke empat bulan, aku dinyatakan positif hamil. Betapa bahagianya hati ini. Juga Mas Fahmi yang memang melarangku untuk menggunakan alat kontrasepsi.
“Aku mau ziarah besok dua hari, ya? Aku pulang hari Minggu. Ini sebagai wujud rasa syukur kapada Allah. Aku akan berziarah ke makam-makam ulama yang memperjuangkan Islam. Kamu bisa pulang ke rumah ibumu. Aku akan berdoa semoga kamu diberi kesehatan selama mengandung anak kita,” ucap Mas Fahmi setelah luapan kebahagiaan kami reda.
Bibir ini sedikit mengerucut. Jelas hati serasa tak rela. Baru saja mendapat kabar bahagia, sudah mau ditinggal.
Setelah menikah, kami memang memutuskan untuk mengontrak rumah karena ingin menjaga privasi dan belajar hidup mandiri dengan jauh dari orang tuaku. Dan ia memintaku pulang ke rumah ibuku selama dia pergi. Enggan rasanya berpisah dengannya.
“Aku rasanya ingin selalu bersamamu, Mas,” rengekku manja sambil bersandar pada dada bidangnya.
“Iya, tapi aku sudah pernah bernazar, kalau nantinya punya anak, aku akan berziarah keliling. Satu hari saja tidak cukup. Apalagi harus sambil mengantar kain ini ke pelanggan,” kata Mas Fahmi. Ia mengelus kepala ini dengan lembut. Akhirnya, aku menurut saja.
Jumat pagi, ia begitu semangat sekali menata kain-kain yang akan diantar ke pelanggan. Senyum sumringah selalu mengembang di bibirnya saat bersitatap denganku. Namun, tidak begitu dengan hati ini yang merasa sedih. Harusnya ia meluapkan kebahagiaan dengan menikmati waktu bersamaku. Bukan malah pergi.
“Kamu mau berangkat ke rumah sakit, ‘kan? Nanti pulangnya langsung ke rumah ibu kamu, ya? Aku sudah izin sama kepala sekolah tadi. Biasa, hari Jumat tidak jadwalku mengajar. Jadi, sebagai tenaga honorer, aku bisa izin untuk mengais rezeki di tempat lain.” Ia berkata demikian sambil mendekatiku yang sudah memakai seragam putih. “Dan juga bayi kita yang ada dalam kandungan,” bisiknya di telingaku.
Selama menikah, belum pernah sekalipun Mas Fahmi memanggilku dengan panggilan yang spesial. Dia biasa menyebut dengan kata kamu, atau dengan memanggil namaku secara terang-terangan, Hanum.
“Nanti malam tidak bisakah kamu pulang, Mas?” Lagi, aku berusaha memintanya untuk mengerti keinginan hati ini.
“Tidak bisa,” jawabnya sambil memeluk.
“Besok?” Aku menawar lagi.
“Tidak bisa juga, Hanum. Sudahlah. Hari Minggu aku akan pulang pagi, ya?” katanya.
Entah mengapa, aku seperti enggan melepasnya.
Di saat selesai memeriksa pasien di ruangan, sebuah SMS dari Mas Fahmi kuterima.
[Sinyalnya sulit. Maaf, ya, kalau aku tidak bisa memberimu kabar?]
Belum juga hilang risau hati, Mas Fahmi sudah membuatku bertambah galau.
Selama pergi, ponsel Mas Fahmi benar-benar mati. Aku tidak bisa menghubunginya. Pun dengan siapa dia pergi, aku tidak tahu.
Minggu pagi, saat langit masih remang-remang, aku pamit dari rumah Ibu. Ingin segera sampai di rumah dengan cepat karena suamiku sudah berjanji akan pulang dengan cepat. Aku belum memberitahu kehamilan pada Ibu. Sehingga keluargaku biasa saja saat pagi buta aku sudah pergi.
Pukul delapan pagi Mas Fahmi pulang. Dia sangat kaget saat melihatku berdiri di teras sedang menunggunya. “Kamu kenapa sudah sampai? Rencananya aku mau ke rumah dulu, bersih-bersih badan baru jemput kamu,” ucapnya sambil melepas helm.
Aku mencium harum wangi shampo dan melihat wajahnya sudah segar serta rambut yang basah.
Apa tadi dia bilang? Mau bersih-bersih dulu? Bukankah dia sudah dalam keadaan bersih dan wangi?
Hati menjadi gelisah.
Tangis bayi membuatku membuka mata perlahan. Meski terasa berat, aku memaksakan diri untuk bangkit. “Aww,” pekikku saat menyadari perutku sakit. “Jangan bangun! Kamu habis dioperasi.” Sayup terdengar seseorang menjawab. Itu suara Bapak. Kepalaku pusing, bumi seakan berputar karena terkena gempa. Pikiran melayang seperti aku terbang di atas taman bunga. Aku berpikir apakah aku akan mati? Lalu aku kembali lupa. Saat terbangun lagi, keadaan sudah lebih baik. Ternyata apa yang kurasakan tadi hanyalah efek bius. “Mas Fahmi mana, Pak?” tanyaku saat melihat bapak duduk di samping ranjang. “Fahmi belum datang,” jawab bapak dengan mata berkaca-kaca. Aku hanya bisa menunduk sedih, ingat kalau sejak pertama kontraksi, Mas Fahmi tidak mendampingi. Selama menikah beberapa bulan dengannya, aku hanya didatangi ke rumah kontrakan berapa hari sekali saja. Sering menjalani kehamilan seorang diri tanpa ada suami yang mendampingi, membuatku merasa kalau pernikahan dengan Mas Fahmi tidak membuat ap
Part 45Pagi itu, Rahmi kembali sehabis membeli sayuran pada tukang sayur keliling. Wajahnya nampak kemarahan yang menyala-nyala.“Kamu kenapa?” tanya Herman saat istrinya sampai di rumah.“Orang-orang menggunjing Ema, Pak,” jawabnya.Herman yang berada di depan mesin jahit menghentikan aktivitas kerjanya. “Apa kita mengalah saja, menemui Fahmi ke rumahnya dan meminta pertanggungjawaban darinya?” ucapnya pelan. Ada rasa tidak ikhlas yang melanda hati saat mengucap kalimat demikian.Rahmi diam di tempat duduknya. “Tidak ada pilihan lain, Pak. Kita tidak bisa membiarkan Ema menanggung semuanya sendiri. Bagaimanapun, anak yang dikandungnya butuh seorang ayah,” katanya seolah setuju dengan apa yang diusulkan oleh Herman.Ema sudah berkali-keli menghubungi Fahmi. Akan tetapi, pria itu sama
Part 44Plak!Sebuah tamparan keras mengenai pipi Ema saat ia baru saja menginjakkan kaki di ruang tamu. Tubuhnya terhuyung hampir jatuh. Untung saja satu tangannya dengan sigap memegang tembok sebagai tempat bertumpu. Satu tangan yang lain memegang pipi yang terasa panas.“Dari mana saja kamu, anak nakal?” tanya ayahnya dengan wajah yang merah padam penuh kemarahan.“Ema, apa yang kamu lakukan berhari-hari ini? Kemana kamu pergi?” tanya ibunya tidak sedikitpun berminat menolong anak perempuannya yang terlihat kesakitan menahan tangis.“Kalau aku pergi, apa kalian akan peduli?” Alih-alih menjawab pertanyaan dari orang tuanya, Ema malah balik bertanya dengan suara yang sedikit tinggi. Pertanyaan yang seolah menyudutkan orang tua yang sedari dulu tidak pernah menyetujui hubungannya dengan Fahmi.“Kalau beg
Part 43 (Ekstra Part 1)POV HANUMTidak mudah menjalani hari setelah bercerai dengan Mas Fahmi. Kenangan indah, kenangan buruk, datang silih berganti menorehkan sejuta luka. Aku selalu mengatakan pada saudara-saudaraku jika hati ini bahagia dan lega dengan keputusan yang telah kuambil.Namun, tentu saja aku berbohong.Hati wanita mana yang tidak sakit bila harus mengalami kenyataan pahit menjadi seorang selir? Ibarat sebuah sayatan pisau di tubuh yang menancap dalam, tentu saja tidak bisa sembuh dengan seketika. Butuh waktu yang lama, butuh obat yang banyak untuk bisa sembuh, meski setelahnya tetap saja menorehkan bekas.Bak sebuah sayatan tadi, ketika sembuh tetap ada bekas lukanya bukan?Cinta tidak akan hilang begitu saja dalam sekejap, meski orang yang kita cintai telah berbuat hal yang menyakitkan.Perceraian tentu juga
Part 42 (ENDING)Wahyu dan adik-adiknya pulang dengan tangan kosong. Sejak naik mobil dari rumah Hanum, mereka saling diam."Berarti, sudah tidak ada harapan kah bagi mereka untuk bersama? Rasanya aku sangat tidak rela jika Mbak Hanum keluar dari anggota keluarga kita," ujar Dewi memecah keheningan.Santi yang duduk di samping Wahyu, hanya menatap pepohonan di luar yang sekarang berjalan melewatinya."Ya mau bagaimana lagi, Hanum sudah tidak mau bersama kembali dengan Fahmi," sahut Wahyu pasrah."Padahal, Mas Fahmi sedikit terangkat harga dirinya karena menikah dengan Mbak Hanum. Aku seperti tidak rela jika posisi Mbak Hanum digantikan oleh Mbak Ema," kata Dewi lagi.Semua kembali terdiam karena larut dengan pikiran masing-masing. Tidak ada yang mau jika Hanum bercerai dengan Fahmi. Namun, bagaimanapun juga, lelaki
Part 41Wahyu dan adik-adiknya pulang dengan tangan kosong. Sejak naik mobil dari rumah Hanum, mereka saling diam."Berarti, sudah tidak ada harapan kah bagi mereka untuk bersama? Rasanya aku sangat tidak rela jika Mbak Hanum keluar dari anggota keluarga kita," ujar Dewi memecah keheningan.Santi yang duduk di samping Wahyu, hanya menatap pepohonan di luar yang sekarang berjalan melewatinya."Ya mau bagaimana lagi, Hanum sudah tidak mau bersama kembali dengan Fahmi," sahut Wahyu pasrah."Padahal, Mas Fahmi sedikit terangkat harga dirinya karena menikah dengan Mbak Hanum. Aku seperti tidak rela jika posisi Mbak Hanum digantikan oleh Mbak Ema," kata Dewi lagi.Semua kembali terdiam karena larut dengan pikiran masing-masing. Tidak ada yang mau jika Hanum bercerai dengan Fahmi. Namun, bagaimanapun juga, lelaki itu telah bersalah. Siapapun yang berad
Part 40 Satu hari menjelang sidang, Hanum yang sudah mulai berangkat bekerjadan hendak pulang--didatangi Fahmi. Lelaki itu benar-benar tidak mau bercerai darinya. “Kasihan Abhi, Hanum. Pikirkanlah sekali lagi! Jangan egois hanya mengambil keputusan berdasarkan dengan pandangan kamu dan juga saudara-saudaramu saja. Siapapun anaknya, dia pasti ingin ayah dan ibunya bersatu. Apa yang akan kamu jelaskan kelak jika Abhi dewasa, Hanum? Apa kamu ingin dia mentalahkan kamu karena menceraikan ayahnya?” tanya Fahmi yang masih duduk di atas kendaraan. “Pikirkan sekali lagi, Bunda! Jangan gegabah,” katanya lagi. Dahi Hanum mengernyit. ‘Bunda?’ Begitu pertanyaan yang terlintas dalam pikirannya. Selama ini, Fahmi tidak pernah memanggilnya dengan panggilan yang spesial. Kali ini adalah kali pertama Hanum mendengar panggilang yang begitu manis. ‘Dia pikir aku akan luluh hanya karena dipanggil seperti itu?’ kata Hanum dalam hati. “Apa yang akan terjadi di masa depan, itu adalah urusanku, Mas. Ak
Ema masih tetap bertahan dalam beberapa hari di rumah Fahmi, meskipun mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan. Hanya ibu Fahmi yang sesekali masih menawarinya makan. "Aku tidak nafsu makan, Bu," jawab Ema selalu menolak. Siang itu, sudah seminggu lebih Ema berada di rumah Fahmi. Berkali-kali kepala sekolahnya menelpon menanyakan keberadaan nya mengapa tidak berangkat. "Saya sedang ada masalah, Bu. Izinkan saya menyelesaikan masalah ini. Setelah selesai, saya pasti akan ke sekolah dan bercerita sama Ibu. Maaf jika saya tidak bisa bercerita sekarang," kata Ema melalui sambungan telepon. Siang itu, Ema menemui Santi di rumahnya. Tatapan tidak suka langsung diarahkan padanya begitu ia masuk. "Ema, kenapa kamu kesini? Warga sudah banyak yang bergosip tentang kamu, Ema. Aku mohon, pulanglah! Jika kamu mau menyelesaikan masalah ini, maka cukup sama Fahmi. Jangan libatkan kami! Kami sudah cukup pusing dengan banyak sekali akibat yang ditimbulkan dari perbuatan kalian. Maka, tolong,
AHS 38Ema terbaring lemah diatas tempat tidurnya. Berhari-hari tidak ada makanan yang bisa masuk ke perut. Setiap kali memaksa makan, maka ia akan memuntahkannya."Kamu hamil?" tanya ibunya. "Jawab saja dengan jujur, Ema!" tekan sang ibu lagi saat masuk ke kamar putrinya.Ema hanya menangis dari balik selimut yang menutup tubuh."Bukankah dia sudah menikah, Ema? Dia menikah dengan orang lain dan kamu sekarang hamil?" Kesal, ibunya sedikit meninggikan nada suara. Meski masih dalam batas yang wajar karena tidak mau jika terdengar keributan oleh para tetangga.Isakan Ema semakin jelas terdengar."Jika dulu Ibu tidak melarangku, maka aku tidak akan mengalami semua ini. Jika saja Ibu dan Bapak mengakui pernikahan kami, aku pasti yang menjadi istri dah Mas Fahmi," kata Ema lirih."Kenapa kamu mau dimad