Share

Bab 3

Part 3

Aku menatapnya curiga. Karena apa yang disampaikan barusan benar-benar bertolak belakang dengan kondisi Mas Fahmi?

“Mau bersih-bersih badan? Kamu kelihatannya sudah mandi. Sudah wangi. Aku malah belum,” kataku dengan pandangan menyelidik.

Mas Fahmi langsung tersenyum lalu memukul dahi. “Aku mau bersih-bersih rumah maksudnya. Lupa malah bilang mau bersih-bersih badan. Aku sudah mandi tadi di Masjid. Rasanya lelah dan penat keliling makam untuk berziarah,” ucapnya meralat, tapi aku justru bertambah curiga.

Tubuhku masih berdiri mengamatinya yang tersenyum dan mencoba meyakinkan. Entah apa yang sedang diyakinkannya padaku. Tapi, hati ini merasa begitu.

“Kamu kenapa? Apa ada yang salah dengan aku? Ayo, kita masuk rumah. Kandungan kamu baik-baik saja, ‘kan?” ajaknya sambil merangkul pundakku.

“Kamu mandi dimana?”

“Aku tadi sudah bilang bukan? Aku mandi di masjid. Menginap di sana juga. Karena aku sampai di kota sebelah sudah malam.”

“Kenapa gak langsung pulang kalau sudah sampai kota sebelah? Bukankah sudah dekat? Gak sampai dua jam perjalanan, kamu sudah sampai,” cecarku. Entah kenapa, aku mulai curiga.

“Aku sudah ngantuk sekali. Sampai sana jam 12 malam. Kamu tega ya, kalau aku ngantuk terus jatuh di jalan? Kenapa sih, mendadak kayak penyidik gitu? Emang ada yang salah? Atau, ada yang kamu curigai?”

“Habisnya, kamu mandi rapi gitu. Sudah bersih dan wangi. Padahal masih pagi.”

“Apa orang hamil semua sensitif seperti ini ya?” tanya Mas Fahmi menggoda. “Atau, kamu alergi kalau aku mandi. Ya sudah, aku menyesal karena aku sudah mandi. Aku minta maaf ya, Hanum?” ucapnya lagi sambil memegang bahuku lalu dilanjutkan mencium pucuk kepala ini.

Apa iya, aku memang sensitif sehingga mempermasalahkan hal yang sepele seperti itu? Tapi, SMS yang kubaca waktu itu. Ah, aku bahkan lupa untuk menanyakannya.

“Jangan bermain api di belakangku. Atau, kita akan berpisah,” ancamku.

“Kamu merajuk? Kamu mau dimanja pasti ya? Sini-sini! Memangnya setelah menikah ada hal yang aneh yang kulakukan? Enggak, ‘kan? Baru kali ini aku pergi menginap sampai dua malam. Kamu sudah tahu alasannya.” Tangannya mencoba menarik kepalaku.

“Apa kamu masih berhubungan dengan Ema?” Aku berada dalam dekapan Mas Fahmi, tapi tanganku tidak merespon untuk memeluknya.

Mas Fahmi mengurai pelukan. Ada ekspresi berbeda dari sebelumnya yang kutangkap. Sejenak ia menatapku, tanpa senyuman seperti tadi. “Aku tidak mau membahas siapapun dalam rumah tangga kita. Kamu paham itu, bukan? Kamu istri sahku sekarang. Berarti, kamu yang menang atas siapapun perempuan yang pernah bersamaku dulu. Jangan karena kamu sedang hamil muda, sensitif, terus kamu bawa-bawa orang yang tidak ada hubungannya dengan kehidupan kamu sama sekali.” Suaranya terdengar tidak suka.

“Kamu sepertinya marah saat aku menyebut namanya? Kenapa?”

“Karena hidupku adalah antara aku dan kamu. Tidak ada orang lain yang harus dilibatkan. Kamu paham?”

“Kamu bisa ‘kan, Mas, menjawab tidak ada hubungan atau sudah tidak berhubungan lagi sama dia? Gak perlu sewot seperti itu?” Kini, nada suaraku tinggi.

“Aku capek. Aku pulang dengan harapan kamu akan menyambutku dengan senyuman. Kita akan bercerita banyak hal. Tapi, kamu malah memancing emosiku dengan sebuah tema yang bila kita perpanjang akan menjadi sebuah perdebatan panjang.”

Mas Fahmi berlalu masuk ke kamar. Dan menutup pintunya rapat. Aku salah apa? Sehingga dia marah sekali saat mendengar nama Ema?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status