Part 4
Begitulah seterusnya. Mas Fahmi selalu marah saat aku menanyakan perihal Ema. Bukan tanpa sebab. Bukan sebuah tuduhan yang aku buat secara membabi buta. Akan tetapi, semua memiliki dasar yang sangat kuat. Pesan yang dikirim dari nomor yang tidak kukenal, seakan masih menghantui pikiran ini. Bahkan meski kejadian itu sudah beberapa bulan berlalu, dan Mas Fahmi nyatanya ada setiap hari untukku. Hanya hari Jumat saja dia pergi, dan pulangnya pun pasti membawa uang. Pernah sekali waktu aku memeriksa ponsel Mas Fahmi, tapi nomor tersebut tidak ada dalam daftar kontaknya. Hendak memeriksa foto? Ponselnya bukan ponsel canggih seperti saat ini yang memiliki fitur kamera.
“Kamu gak mau ganti hape, Mas?” Pernah aku bertanya demikian. Karena tidak ingin dikira aku tidak peduli padanya.
“Buat apa? Aku sudah melihat kamu setiap hari. Aku bersama kamu terus. Jadi, tidak perlu ponsel cantik. Cukup kamu saja yang tercantik di hati ini,” godanya sambil mencolek daguku.
“Ya, buat foto-foto kalau kamu lagi jauh dari aku. ‘Kan aku bisa tahu, kamu pergi kemana saja,” jawabku asal.
“Kamu masih curiga sama aku? Silakan saja, cek hape ku. Ada tidak, pesan yang aneh-aneh.”
Aku menatap Mas Fahmi sayu. Mencoba mencari gurat kejujuran di wajahnya. Namun, hati ini tetap merasa dia menyembunyikan sesuatu hal.
“Mau ikut aku mengajar? Tidak apa-apa. Ikut saja kalau pas kamu tidak ada jadwal berangkat ke rumah sakit. Atau, mau sekalian awasi aku pas lagi ngajarin anak-anak karate? Boleh juga.”
Aku menggeleng.
“Lalu?” tanyanya bingung.
“Aku mau ikut kamu jualan pas hari Jumat. Aku mau tahu, kamu mengantar kain kemana saja. Ke penjahit siapa saja. Ke konveksi mana saja. Dimana tempatnya. Agar suatu saat ketika kamu tidak pulang, aku bisa mencarimu kemana,” jawabku dengan nada sendu.
Mas Fahmi tiba-tiba memandang tanpa kedip. “Hanum, bisakah kamu percaya sepenuhnya sama aku? Kenapa kamu seperti ini? Bukankah aku sudah berusaha menjadi suami yang bertanggung jawab sama kamu di tengah segala keterbatasanku? Aku memberimu nafkah yang cukup untuk kita makan berdua. Untuk bayar kontrakan, untuk tabungan juga ketika nanti anak kita lahir. Tolong, dukunglah aku. Jangan kamu bertanya banyak hal yang justru menambah beban pikiranku. Kamu tahu, ‘kan? Aku harus banting tulang untuk memenuhi itu semua? Kalau pikiranku sudah terganggu, aku tidak bisa fokus bekerja. Saat ini, konveksi yang langganan kain sama aku, sedang banyak orderan. Aku lelah pikiran. Aku butuh modal banyak dan aku tidak meminta itu sama kamu meski kamu banyak uang. Itu karena apa? Aku ini lelaki yang harus bertanggung jawab segala hal sama kamu. Aku tidak mau, dikira numpang hidup dengan hidupmu yang sudah sukses. Jadi kumohon, jangan bahas apapun lagi, ya? Ceritakan yang senang-senang saja. Misalnya, perkembangan anak kita dalam perut kamu. Pasien kamu di rumah sakit, atau apa yang lainnya. Kamu mau curhat tentang teman kerja kamu? Tentang tetanggamu? Aku siap mendengarkan ….” Ia berbicara panjang lebar seolah ingin membungkam agar mulut ini tidak mengatakan hal-hal tentang kecurigaanku.
“Aku berbicara seperti ini bukan tanpa alasan, Mas. Aku ingin jujur sama kamu, tapi belum ada waktu yang tepat. Tapi, sekarang aku mau bilang tentang hal itu.” Aku berhenti sejenak mengamati ekspresi Mas Fahmi.
“Tentang apa lagi?” Mas Fahmi terlihat lelah hati.
“Aku pernah mendapatkan SMS yang mengatakan, dia berterima kasih karena aku telah merawat suaminya.” Kulihat ekspresi kaget dari wajah Mas Fahmi. Entah kaget karena apa.
“Terus, kamu percaya? Itu pesan bisa saja nyasar. Itu pesan bisa saja iseng. Orang yang ingin menghancurkan rumah tangga kita. Kamu sudah coba telpon dia?” tanya Mas Fahmi kesal.
Aku menggeleng lemah.
“Kamu kenapa mudah percaya sama hal yang begituan sih, Hanum? Jadi selama ini kamu uring-uringan sama aku karena menghubungkan segala yang terjadi dengan pesan misterius yang pemilik nomornya tidak kamu kenal sama sekali?”
Aku terdiam. Bukan hal yang salah jika menghubungkan semuanya. Setiap wanita akan berpikir demikian.
“Kapan pesan itu dikirim?” tanya Mas Fahmi. Ia sudah terlihat emosi.
“Waktu kita baru menikah dua bulan. Waktu aku belum hamil.”
“Dan sekarang, berapa usia kandungan kamu? Aku tahu usianya berapa. Tapi aku akan memastikan saja karena kamu yang mengandung.”
“Tiga bulan,” jawabku pelan.
“Selama lima bulan, kamu telah dihantui hal konyol, Hanum! Kamu tahu, pikiran jelek akan mempengaruhi emosi kita? Akan mempengaruhi semuanya. Dan kamu malah seolah memelihara dengan baik di dalam tubuh. Sudah! Aku tidak mau lagi membahas hal-hal semacam ini. Kalau kamu mau tetap membahasnya, maka aku akan diam seribu bahasa. Tidak ada pembicaraan yang akan kulakukan jika menyangkut kecurigaan yang tidak beralasan.”
Lagi, Mas Fahmi berlalu dengan emosi. Seperti biasa, ia masuk ke dalam kamar dan menutupnya rapat. Jika sudah seperti itu, maka aku akan tidur di kamar yang satunya. Melewati malam dengan banyak pertanyaan.
Namun, aku bertekad jika ada sesuatu hal yang mencurigakan lagi, aku akan mencari tahunya sendiri.
Part 5Usia kandunganku sudah menginjak tujuh bulan sekarang. Sesuai adat orang Jawa, akan diadakan tasyakuran mitoni. Keluarga Mas Fahmi yang mengurus semuanya. Namun, acara akan dilangsungkan di rumah ibuku. Jika di rumah kontrakan kami jelas tidak akan cukup. Karena tempatnya sangat sempit.Setelah perdebatan ku dengan Mas Fahmi tempo hari, aku tidak menemukan kejadian yang membuat curiga. Saat ke rumah keluarganya, semua bersikap biasa saja. Ia empat bersaudara. Kakak pertamanya Mas Wahyu. Kedua Mbak Santi, Mas Fahmi nomer tiga dan terakhir Dewi yang seumuran denganku dan sudah menikah serta memiliki anak. Aku lebih sering bertemu dengan saudara perempuannya.“Nduk, apa tidak sebaiknya kamu pulang kesini saja? Kandunganmu sudah besar itu lho. Lagipula, kamu ini ‘kan kerjanya lebih dekat kalau dari rumah Ibu,” ucap Ibu saat aku mampir ke rumah ketika pulang kerja.“Tidak, Bu. Aku gak mau ngerepotin Ibu,” tolakku halus. Karena yang sebenarnya adalah Mas Fahmi tidak mau jika tinggal
Part 6Aku bukan tipe orang yang cepat emosian. Meluapkan kekesalan dengan teriak-teriak. Bagiku, jika hal itu masih bisa diselesaikan dengan bicara baik-baik, maka tidak perlu adu mulut. Maka, kuputuskan untuk meredam kesal karena bagaimanapun sedang ada acara yang berlangsung untuk selamatan calon bayi.Namun, tetap saja, hati rasanya tidak tenang. Apalagi, Mas Fahmi belum pulang sampai detik ini. Menunggu saat yang tepat dan sepi untuk berbicara empat mata dengan Dewi, rasanya susah sekali. Tamu datang silih berganti. Mereka umumnya teman Ibu yang mengembalikan sumbangan. Seperti itulah adat di tempat kami.Kamar kututup rapat. Aku benar-benar sudah gelisah karena hampir zuhur, Mas Fahmi tidak kunjung datang. Tiba-tiba, terlintas dalam benak, kenapa aku tidak membawa Dewi masuk ke kamar saja. Lalu, kaki ini melangkah keluar mencari keberadaan Dewi. Kenapa dia, bukan Mbak Santi yang kucari? Karena usia kami seumuran. Aku merasa lebih leluasa jika berbicara dengan dia.“Wi,” panggilk
Part 7 “Hanum, jangan membatasi gerakku, tolong! Aku ini lelaki. Apakah setiap usahaku untuk mencari rezeki harus aku ceritakan sama kamu? Aku malu, Hanum. Aku malu sampai meminta uang pada kamu untuk acara mitoni ini. Makanya, semalam aku berusaha mencari bantuan kemanapun. Mencari usaha baru pada teman-teman. Aku hanya bisa menggunakan waktu malam tadi karena kamu sudah mengijinkan aku untuk keluar. Kamu mau tahu aku dimana? Baiklah. Aku akan menelpon temanku. Kamu bicara sama dia, ya? Kamu tanya semalam aku ada dimana.”Mas Fahmi mengeluarkan ponsel dan menelpon seseorang. Aku masih belum melarangnya. Aku ingin tahu, apa dia berkata jujur tentang keberadaannya tadi malam.Telepon tersambung. Mas Fahmi berbicara pada orang yang ditelpon. “Tolong katakana pada istriku, Hanum, kalua semalam aku ke rumahmu untuk membahas bisnis baru,” katanya lalu menyerahkan ponsel padauk.Aku langsung menerimanya dan orang itu menjelaskan jika Mas Fahmi semalam ada di sana. Bersama orang itu juga is
Part 8Tanpa terasa tangan ini meremas benda pribadi milik perempuan yang aku pegang. Kulihat Mas Fahmi sudah tertidur pulas. Aku meletakkan dengan hati-hati, bra dan juga celana dalam di atas bantal guling. Harapanku, saat bangun nanti Mas Fahmi kaget dan mengetahui jika benda-benda itu sudah ketemu oleh aku. Setelahnya, aku memilih tidur di kamar lain yang masih kosong. Tidak lupa, sebelum tidur, aku membaca Surah Yusuf. Selama hamil, setiap malamnya aku membaca surah Yusuf dan Surah Maryam secara bergantian. Setelah membaca Al-Quran, hati terasa lebih tenang. Sejenak aku memandangi tembok yang ada di hadapan. "Ya Allah, jika memang aku salah, tunjukkan kesalahanku. Jika memang aku benar, maka tunjukkanlah kesalahan suamiku. Aku tidak ingin terus hidup dalam kecurigaan ini," ujarku lirih. Dulu, aku bukan orang yang mudah emosi. Namun, sejak hal-hal yang berhubungan dengan Mas Fahmi terasa janggal, aku jadi lebih sensitif. Apa karena aku sedang hamil? Meski lelah melanda, sulit
Part 9“Kamu mau makan apa?” tanya Mas Fahmi berbisik.Aku hanya diam saja enggan menanggapi.“Hanum,” panggilnya lirih.“Aku mau sendiri. Tolong tinggalkan aku,” jawabku lirih.“Kamu kenapa?” bisiknya mesra di telinga. Jika tidak dalam keadaan marah, tentu saja aku akan tergoda."Ada apa sebenarnya, Hanum?" tanya ibuku yang tiba-tiba masuk ke ruang dimana aku dirawat.Kata dokter, setidaknya aku harus dirawat paling tidak semalam. Untuk mengobservasi keadaan."Hanum terlalu lelah dan banyak pikiran sepertinya," jawab Mas Fahmi yang langsung berdiri. "Ibu mau ambil makanan yang ketinggalan di motor dulu, ya?" kata Ibu kemudian. Kami berdua kembali di ruangan yang hanya berisi pasien aku seorang saja. "Pergilah, Mas! Aku sama Ibu. Barangkali kamu sudah ada yang menunggu di tempat lain. Aku tidak mau membatasi gerakmu sekarang," kataku sambil menitikkan air mata."Hanum, kamu bicara apa? Dokter sudah bilang jangan banyak pikiran! Kamu terlalu stress dan terbebani dengan prasangka kam
Part 10 Saat mendengar langkah kaki mendekat, aku pura-pura tidur. Namun, sesekali mengamati gerak-gerik Mas Fahmi dengan membuka kelopak sedikit. Saat ini, aku merasa buntu sekali untuk mencari tahu yang sebenarnya terjadi. Namun, mengingat kondisi yang sedang hamil dan ada bayi yang harus kujaga, maka memilih berpikir positif saja. Bukan karena bodoh, bukan karena lemah, tapi, keselamatan bayi yang tengah ku kandung yang menjadi alasan. 'Mas Fahmi tidak punya selingkuhan! Mas Fahmi suami yang bertanggung jawab. Mas Fahmi adalah calon ayah yang baik.' Hatiku terus menekan kalimat itu. Kalaupun itu terjadi, maka aku akan tetap bertahan. Untuk anakku. Jika benar mereka selingkuh, Ema hanyalah pacar di masa lalu. Ia tidak boleh memiliki suamiku. * Malam itu, aku mendekati Dewi yang tengah bersantai duduk di teras samping rumah. Dia tersenyum saat aku duduk di sampingnya. "Sudah baikan, Mbak?" tanyanya. "Sudah, Alhamdulillah. Anakmu sudah tidur?" "Sudah, Mbak ...." Aku d
Part 11 Semalaman Mas Fahmi murung. Ia pelit jadi bicara, padahal sebelumnya dialah yang selalu mengajakku berbincang. "Apa kamu sedih tidak bisa menemui seseorang?" tanyaku tanpa basa-basi. "Kamu bicara apa? Aku sedang merasa tidak enak karena sudah menggunakan uang kamu," katanya. "Kemarin saat mitoni juga pakai uangku. Kamu biasa saja, Mas. Kamu tidak sedih, tidak juga murung. Kamu malah semangat mempersiapkan acara itu. Beli apapun kamu yang mempersiapkan. Apa karena saat itu, aku masih mengijinkan kamu pergi? Atau karena yang belanja semua persiapan acara adalah orang lain yang aku tidak kenal sama sekali?" Sambil tersenyum getir, kuucapkan segala rasa kesal. "Hanum, jangan mulai! Kamu mulai ngelantur. Bukankah aku sudah menjelang semuanya sama kamu? Aku sudah menyuruhmu untuk menelpon temanku juga istrinya. Kurang apa lagi? Jangan memancing perdebatan! Nanti kamu bisa sakit lagi." "Kalau begitu, kamu juga ikut menjaga kondisi emosiku! Jangan aku saja yang harus menjagan
Part 12 "Mbak Hanum ...." Dewi memanggil. Aku tidak peduli. Tetap mengemasi barang-barangku, memasukkan ke dalam tas. Suara lantunan orang mengaji yang saling bersahutan menambah pilu hati ini. Sampai detik ini, Mas Fahmi tidak menyusulku. "Kamu tahu hubungan mereka 'kan, Dewi?" tanyaku. "Mbak Ema hanya datang karena Bapak meninggal, Mbak." "Dari mana dia tahu kalau Bapak meninggal? Siapa yang memberitahu?" Dewi diam. Aku menghentikan aktivitas dan menatapnya. "Kamu yang memberitahu?" tuduhku. Dewi menggeleng cepat. "Tidak, Mbak. Tidak sama sekali. Bukan aku yang kasih tahu." "Mbak Santi?" Aku menuduh lagi. "Mbak Santi dari tadi sibuk menenangkan Ibu," jawab Dewi. "Mungkin Mas Fahmi sendiri yang kasih tahu." "Itu artinya mereka berhubungan. Kamu tahu itu, 'kan?" "Mbak, aku tidak--" "Aku tidak tahu lagi harus percaya siapa, Dewi. Aku mau pulang dulu. Daripada di sini, akan membuat suasana hati semakin sakit. Lihat, Mas kamu tidak juga menyusulku ke sini, 'kan?" "Mba