Share

Bab 4

Aвтор: Nay Azzikra
last update Последнее обновление: 2023-12-20 13:29:38

Part 4

Begitulah seterusnya. Mas Fahmi selalu marah  saat aku menanyakan perihal Ema. Bukan tanpa sebab. Bukan sebuah tuduhan yang aku buat secara membabi buta. Akan tetapi, semua memiliki dasar yang sangat kuat. Pesan yang dikirim dari nomor yang tidak kukenal, seakan masih menghantui pikiran ini. Bahkan meski kejadian itu sudah beberapa bulan berlalu, dan Mas Fahmi nyatanya ada setiap hari untukku. Hanya hari Jumat saja dia pergi, dan pulangnya pun pasti membawa uang. Pernah sekali waktu aku memeriksa ponsel Mas Fahmi, tapi nomor tersebut tidak ada dalam daftar kontaknya. Hendak memeriksa foto? Ponselnya bukan ponsel canggih seperti saat ini yang memiliki fitur kamera.

“Kamu gak mau ganti hape, Mas?” Pernah aku bertanya demikian. Karena tidak ingin dikira aku tidak peduli padanya.

“Buat apa? Aku sudah melihat kamu setiap hari. Aku bersama kamu terus. Jadi, tidak perlu ponsel cantik. Cukup kamu saja yang tercantik di hati ini,” godanya sambil mencolek daguku.

“Ya, buat foto-foto kalau kamu lagi jauh dari aku. ‘Kan aku bisa tahu, kamu pergi kemana saja,” jawabku asal.

“Kamu masih curiga sama aku? Silakan saja, cek hape ku. Ada tidak, pesan yang aneh-aneh.”

Aku menatap Mas Fahmi sayu. Mencoba mencari gurat kejujuran di wajahnya. Namun, hati ini tetap merasa dia menyembunyikan sesuatu hal.

“Mau ikut aku mengajar? Tidak apa-apa. Ikut saja kalau pas kamu tidak ada jadwal berangkat ke rumah sakit. Atau, mau sekalian awasi aku pas lagi ngajarin anak-anak karate? Boleh juga.”

Aku menggeleng.

“Lalu?” tanyanya bingung.

“Aku mau ikut kamu jualan pas hari Jumat. Aku mau tahu, kamu mengantar kain kemana saja. Ke penjahit siapa saja. Ke konveksi mana saja. Dimana tempatnya. Agar suatu saat ketika kamu tidak pulang, aku bisa mencarimu kemana,” jawabku dengan nada sendu.

Mas Fahmi tiba-tiba memandang tanpa kedip. “Hanum, bisakah kamu percaya sepenuhnya sama aku? Kenapa kamu seperti ini? Bukankah aku sudah berusaha menjadi suami yang bertanggung jawab sama kamu di tengah segala keterbatasanku? Aku memberimu nafkah yang cukup untuk kita makan berdua. Untuk bayar kontrakan, untuk tabungan juga ketika nanti anak kita lahir. Tolong, dukunglah aku. Jangan kamu bertanya banyak hal yang justru menambah beban pikiranku. Kamu tahu, ‘kan? Aku harus banting tulang untuk memenuhi itu semua? Kalau pikiranku sudah terganggu, aku tidak bisa fokus bekerja. Saat ini, konveksi yang langganan kain sama aku, sedang banyak orderan. Aku lelah pikiran. Aku butuh modal banyak dan aku tidak meminta itu sama kamu meski kamu banyak uang. Itu karena apa? Aku ini lelaki yang harus bertanggung jawab segala hal sama kamu. Aku tidak mau, dikira numpang hidup dengan hidupmu yang sudah sukses. Jadi kumohon, jangan bahas apapun lagi, ya? Ceritakan yang senang-senang saja. Misalnya, perkembangan anak kita dalam perut kamu. Pasien kamu di rumah sakit, atau apa yang lainnya. Kamu mau curhat tentang teman kerja kamu? Tentang tetanggamu? Aku siap mendengarkan ….” Ia berbicara panjang lebar seolah ingin membungkam agar mulut ini tidak mengatakan hal-hal tentang kecurigaanku.

“Aku berbicara seperti ini bukan tanpa alasan, Mas. Aku ingin jujur sama kamu, tapi belum ada waktu yang tepat. Tapi, sekarang aku mau bilang tentang hal itu.” Aku berhenti sejenak mengamati ekspresi Mas Fahmi.

“Tentang apa lagi?” Mas Fahmi terlihat lelah hati.

“Aku pernah mendapatkan SMS yang mengatakan, dia berterima kasih karena aku telah merawat suaminya.” Kulihat ekspresi kaget dari wajah Mas Fahmi. Entah kaget karena apa.

“Terus, kamu percaya? Itu pesan bisa saja nyasar. Itu pesan bisa saja iseng. Orang yang ingin menghancurkan rumah tangga kita. Kamu sudah coba telpon dia?” tanya Mas Fahmi kesal.

Aku menggeleng lemah.

“Kamu kenapa mudah percaya sama hal yang begituan sih, Hanum? Jadi selama ini kamu uring-uringan sama aku karena menghubungkan segala yang terjadi dengan pesan misterius yang pemilik nomornya tidak kamu kenal sama sekali?”

Aku terdiam. Bukan hal yang salah jika menghubungkan semuanya. Setiap wanita akan berpikir demikian.

“Kapan pesan itu dikirim?” tanya Mas Fahmi. Ia sudah terlihat emosi.

“Waktu kita baru menikah dua bulan. Waktu aku belum hamil.”

“Dan sekarang, berapa usia kandungan kamu? Aku tahu usianya berapa. Tapi aku akan memastikan saja karena kamu yang mengandung.”

“Tiga bulan,” jawabku pelan.

“Selama lima bulan, kamu telah dihantui hal konyol, Hanum! Kamu tahu, pikiran jelek akan mempengaruhi emosi kita? Akan mempengaruhi semuanya. Dan kamu malah seolah memelihara dengan baik di dalam tubuh. Sudah! Aku tidak mau lagi membahas hal-hal semacam ini. Kalau kamu mau tetap membahasnya, maka aku akan diam seribu bahasa. Tidak ada pembicaraan yang akan kulakukan jika menyangkut kecurigaan yang tidak beralasan.”

Lagi, Mas Fahmi berlalu dengan emosi. Seperti biasa, ia masuk ke dalam kamar dan menutupnya rapat. Jika sudah seperti itu, maka aku akan tidur di kamar yang satunya. Melewati malam dengan banyak pertanyaan.

Namun, aku bertekad jika ada sesuatu hal yang mencurigakan lagi, aku akan mencari tahunya sendiri.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • AKU HANYALAH SELIR   Season 2

    Tangis bayi membuatku membuka mata perlahan. Meski terasa berat, aku memaksakan diri untuk bangkit. “Aww,” pekikku saat menyadari perutku sakit. “Jangan bangun! Kamu habis dioperasi.” Sayup terdengar seseorang menjawab. Itu suara Bapak. Kepalaku pusing, bumi seakan berputar karena terkena gempa. Pikiran melayang seperti aku terbang di atas taman bunga. Aku berpikir apakah aku akan mati? Lalu aku kembali lupa. Saat terbangun lagi, keadaan sudah lebih baik. Ternyata apa yang kurasakan tadi hanyalah efek bius. “Mas Fahmi mana, Pak?” tanyaku saat melihat bapak duduk di samping ranjang. “Fahmi belum datang,” jawab bapak dengan mata berkaca-kaca. Aku hanya bisa menunduk sedih, ingat kalau sejak pertama kontraksi, Mas Fahmi tidak mendampingi. Selama menikah beberapa bulan dengannya, aku hanya didatangi ke rumah kontrakan berapa hari sekali saja. Sering menjalani kehamilan seorang diri tanpa ada suami yang mendampingi, membuatku merasa kalau pernikahan dengan Mas Fahmi tidak membuat ap

  • AKU HANYALAH SELIR   EKSTRA PART 3

    Part 45Pagi itu, Rahmi kembali sehabis membeli sayuran pada tukang sayur keliling. Wajahnya nampak kemarahan yang menyala-nyala.“Kamu kenapa?” tanya Herman saat istrinya sampai di rumah.“Orang-orang menggunjing Ema, Pak,” jawabnya.Herman yang berada di depan mesin jahit menghentikan aktivitas kerjanya. “Apa kita mengalah saja, menemui Fahmi ke rumahnya dan meminta pertanggungjawaban darinya?” ucapnya pelan. Ada rasa tidak ikhlas yang melanda hati saat mengucap kalimat demikian.Rahmi diam di tempat duduknya. “Tidak ada pilihan lain, Pak. Kita tidak bisa membiarkan Ema menanggung semuanya sendiri. Bagaimanapun, anak yang dikandungnya butuh seorang ayah,” katanya seolah setuju dengan apa yang diusulkan oleh Herman.Ema sudah berkali-keli menghubungi Fahmi. Akan tetapi, pria itu sama

  • AKU HANYALAH SELIR   EKSTRA PART 2

    Part 44Plak!Sebuah tamparan keras mengenai pipi Ema saat ia baru saja menginjakkan kaki di ruang tamu. Tubuhnya terhuyung hampir jatuh. Untung saja satu tangannya dengan sigap memegang tembok sebagai tempat bertumpu. Satu tangan yang lain memegang pipi yang terasa panas.“Dari mana saja kamu, anak nakal?” tanya ayahnya dengan wajah yang merah padam penuh kemarahan.“Ema, apa yang kamu lakukan berhari-hari ini? Kemana kamu pergi?” tanya ibunya tidak sedikitpun berminat menolong anak perempuannya yang terlihat kesakitan menahan tangis.“Kalau aku pergi, apa kalian akan peduli?” Alih-alih menjawab pertanyaan dari orang tuanya, Ema malah balik bertanya dengan suara yang sedikit tinggi. Pertanyaan yang seolah menyudutkan orang tua yang sedari dulu tidak pernah menyetujui hubungannya dengan Fahmi.“Kalau beg

  • AKU HANYALAH SELIR   ESTRA PART 1

    Part 43 (Ekstra Part 1)POV HANUMTidak mudah menjalani hari setelah bercerai dengan Mas Fahmi. Kenangan indah, kenangan buruk, datang silih berganti menorehkan sejuta luka. Aku selalu mengatakan pada saudara-saudaraku jika hati ini bahagia dan lega dengan keputusan yang telah kuambil.Namun, tentu saja aku berbohong.Hati wanita mana yang tidak sakit bila harus mengalami kenyataan pahit menjadi seorang selir? Ibarat sebuah sayatan pisau di tubuh yang menancap dalam, tentu saja tidak bisa sembuh dengan seketika. Butuh waktu yang lama, butuh obat yang banyak untuk bisa sembuh, meski setelahnya tetap saja menorehkan bekas.Bak sebuah sayatan tadi, ketika sembuh tetap ada bekas lukanya bukan?Cinta tidak akan hilang begitu saja dalam sekejap, meski orang yang kita cintai telah berbuat hal yang menyakitkan.Perceraian tentu juga

  • AKU HANYALAH SELIR   Bab 42

    Part 42 (ENDING)Wahyu dan adik-adiknya pulang dengan tangan kosong. Sejak naik mobil dari rumah Hanum, mereka saling diam."Berarti, sudah tidak ada harapan kah bagi mereka untuk bersama? Rasanya aku sangat tidak rela jika Mbak Hanum keluar dari anggota keluarga kita," ujar Dewi memecah keheningan.Santi yang duduk di samping Wahyu, hanya menatap pepohonan di luar yang sekarang berjalan melewatinya."Ya mau bagaimana lagi, Hanum sudah tidak mau bersama kembali dengan Fahmi," sahut Wahyu pasrah."Padahal, Mas Fahmi sedikit terangkat harga dirinya karena menikah dengan Mbak Hanum. Aku seperti tidak rela jika posisi Mbak Hanum digantikan oleh Mbak Ema," kata Dewi lagi.Semua kembali terdiam karena larut dengan pikiran masing-masing. Tidak ada yang mau jika Hanum bercerai dengan Fahmi. Namun, bagaimanapun juga, lelaki

  • AKU HANYALAH SELIR   Bab 41

    Part 41Wahyu dan adik-adiknya pulang dengan tangan kosong. Sejak naik mobil dari rumah Hanum, mereka saling diam."Berarti, sudah tidak ada harapan kah bagi mereka untuk bersama? Rasanya aku sangat tidak rela jika Mbak Hanum keluar dari anggota keluarga kita," ujar Dewi memecah keheningan.Santi yang duduk di samping Wahyu, hanya menatap pepohonan di luar yang sekarang berjalan melewatinya."Ya mau bagaimana lagi, Hanum sudah tidak mau bersama kembali dengan Fahmi," sahut Wahyu pasrah."Padahal, Mas Fahmi sedikit terangkat harga dirinya karena menikah dengan Mbak Hanum. Aku seperti tidak rela jika posisi Mbak Hanum digantikan oleh Mbak Ema," kata Dewi lagi.Semua kembali terdiam karena larut dengan pikiran masing-masing. Tidak ada yang mau jika Hanum bercerai dengan Fahmi. Namun, bagaimanapun juga, lelaki itu telah bersalah. Siapapun yang berad

  • AKU HANYALAH SELIR   Bab 40

    Part 40 Satu hari menjelang sidang, Hanum yang sudah mulai berangkat bekerjadan hendak pulang--didatangi Fahmi. Lelaki itu benar-benar tidak mau bercerai darinya. “Kasihan Abhi, Hanum. Pikirkanlah sekali lagi! Jangan egois hanya mengambil keputusan berdasarkan dengan pandangan kamu dan juga saudara-saudaramu saja. Siapapun anaknya, dia pasti ingin ayah dan ibunya bersatu. Apa yang akan kamu jelaskan kelak jika Abhi dewasa, Hanum? Apa kamu ingin dia mentalahkan kamu karena menceraikan ayahnya?” tanya Fahmi yang masih duduk di atas kendaraan. “Pikirkan sekali lagi, Bunda! Jangan gegabah,” katanya lagi. Dahi Hanum mengernyit. ‘Bunda?’ Begitu pertanyaan yang terlintas dalam pikirannya. Selama ini, Fahmi tidak pernah memanggilnya dengan panggilan yang spesial. Kali ini adalah kali pertama Hanum mendengar panggilang yang begitu manis. ‘Dia pikir aku akan luluh hanya karena dipanggil seperti itu?’ kata Hanum dalam hati. “Apa yang akan terjadi di masa depan, itu adalah urusanku, Mas. Ak

  • AKU HANYALAH SELIR   Bab 39

    Ema masih tetap bertahan dalam beberapa hari di rumah Fahmi, meskipun mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan. Hanya ibu Fahmi yang sesekali masih menawarinya makan. "Aku tidak nafsu makan, Bu," jawab Ema selalu menolak. Siang itu, sudah seminggu lebih Ema berada di rumah Fahmi. Berkali-kali kepala sekolahnya menelpon menanyakan keberadaan nya mengapa tidak berangkat. "Saya sedang ada masalah, Bu. Izinkan saya menyelesaikan masalah ini. Setelah selesai, saya pasti akan ke sekolah dan bercerita sama Ibu. Maaf jika saya tidak bisa bercerita sekarang," kata Ema melalui sambungan telepon. Siang itu, Ema menemui Santi di rumahnya. Tatapan tidak suka langsung diarahkan padanya begitu ia masuk. "Ema, kenapa kamu kesini? Warga sudah banyak yang bergosip tentang kamu, Ema. Aku mohon, pulanglah! Jika kamu mau menyelesaikan masalah ini, maka cukup sama Fahmi. Jangan libatkan kami! Kami sudah cukup pusing dengan banyak sekali akibat yang ditimbulkan dari perbuatan kalian. Maka, tolong,

  • AKU HANYALAH SELIR   Bab 38

    AHS 38Ema terbaring lemah diatas tempat tidurnya. Berhari-hari tidak ada makanan yang bisa masuk ke perut. Setiap kali memaksa makan, maka ia akan memuntahkannya."Kamu hamil?" tanya ibunya. "Jawab saja dengan jujur, Ema!" tekan sang ibu lagi saat masuk ke kamar putrinya.Ema hanya menangis dari balik selimut yang menutup tubuh."Bukankah dia sudah menikah, Ema? Dia menikah dengan orang lain dan kamu sekarang hamil?" Kesal, ibunya sedikit meninggikan nada suara. Meski masih dalam batas yang wajar karena tidak mau jika terdengar keributan oleh para tetangga.Isakan Ema semakin jelas terdengar."Jika dulu Ibu tidak melarangku, maka aku tidak akan mengalami semua ini. Jika saja Ibu dan Bapak mengakui pernikahan kami, aku pasti yang menjadi istri dah Mas Fahmi," kata Ema lirih."Kenapa kamu mau dimad

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status