"Apa ada yang sakit?" tanya Abara kini sembari melihat ke arah Nenek tua itu, yang sudah ia baringkan di atas kasurnya.
"Tentu saja, sepertinya pinggangku ini terkilir," ucapan wanita paruh baya itu membuat Bara geleng-geleng kepala. Dimana-mana harusnya kaki yang terkilir ini malah pinggang
"Boleh minta bantuan lagi?" ucap lagi nenek itu
"Apa?"
"Bolehkah jika kau membantu untuk mengoleskan balsem ke pinggangku?" pintanya. Sontak membuat Bara bergidik ngeri.
"Saya gak jago ngurut dan cukup gak suka sama aroma balsem," terang Bara kini menolak membuat Nenek itu agak sedikit kecewa
"Bara, ayolah. Aku kan istrimu, tak seharus-"
"Stop! Jangan mengaku anda istri saya," potong Bara kini. Akhirnya, ia buru-buru mengambil balsem di nakas dekat kasur. Ia pikir mungkin itu milik nenek itu.
Dari pada lama-lama berdebat kusir, mending ia cepat-cepat mengabulkan permintaan nenek di hadapannya ini.
"Sebelah mana yang sakit?" tanyanya dengan acuh.
"Sebelah sini," balas nenek sembari membuka sedikit baju dan menunjuk ke arah pinggangnya.
"Maaf, Nek. Aku coba oleskan yah ..."
"Lah, kok panggil nenek. Panggil aja aku sayang, aku ini istrimu, loh, Mas! Jadi, Jangan sungkan dan wajar kalo kamu menyentuhku," ucapan nenek itu lagi-lagi membuat Bara merasa merinding. Dan menghentikan aktifitasnya untuk mengolesi balsem pada pingging nenek.
"Sudahlah, aku mau pakai dulu baju," terang Bara kini. Sembari berlalu pergi, buru-buru ia mengambil baju dari lemari untuk memakainya di kamar mandi. Sementara Nenek yang mengaku Liyana itu hanya senyum-senyum sendiri melihat tingkah suaminya yang malang itu. Ia pasti kini merasa ilfil terhadap dirinya. Tapi, kenapa rumah tangga ini sekarang merasa lucu.
💕
Bara berdiri di atas balkon rumahnya. Sudah pasti, malam ini ia mencoba menghindar karena takut menjadi mangsa dari terkaman Mak lampir yang mengaku istrinya itu. Dari pada harus berdebat kusir dan mendengarkan rayuan nenek tua itu. Bara memilih untuk menatap langit yang mana bertaburan bintang berkerlap Kerlip. Cuaca malam ini sangat bagus dan bersahabat. Namun, tak secerah pikirnya, yang sangat berantakan.
Ia masih bingung sebenarnya... Kemana pergi istrinya? Dan apakah mungkin jika nenek tua itu adalah istrinya?
"Nih, di minum. Kebetulan tadi aku bikinin kamu teh," seketika terdengar suara dari sebelahnya. Sembari menyodorkan secangkir teh yang masih mengepul. Membuat Bara bangun dari lamunannya.
"Saya, gak suka minum teh!" tolak Bara kini sembari menolak cangkir yang ada di hadapannya.
"Kenapa sayang? Aku padahal sudah bikinin ini loh, buat kamu," ucap lagi wanita paruh baya yang sekarang ada di pinggirnya.
"Mulai sekarang, saya sangat membenci "Teh" mengerti! Dan ingat, malam ini jangan tidur di kamar saya. Karena saya, tidak suka aroma balsem!" tegas Bara sembari berlalu pergi meninggalkan nenek yang mengaku sebagai Liyana?
Wanita itu hanya berdiri mematung sembari memandang punggung pria tinggi itu yang sudah masuk ke dalam rumah. Air mata tak sengaja lolos dari hadapannya. Ia berpikir, kalo seandainya ia masih memiliki paras cantik, body yang bagus dan masih muda. Sudah pasti suaminya tak akan meninggalkan dirinya.
**
"Di mana nenek tua itu?" Risa yang baru saja datang ke dalam rumah, langsung saja mendengar pertanyaan dari mertuanya yang tengah terduduk dan menyilangkan kakinya itu.
"Ia sudah pulang," balasnya kini sembari menutup pintu rumah.
"Syukurlah, kamu sendiri aja sudah merepotkan! apalagi ditambah dua orang dengan nenek tua itu. Aku gak bisa membayangkan! sekacau apa hidup ini. Pasti akan stres dibuatnya."
Risa tak menjawab apa-apa lagi. Hanya diam mematung di depan pintu. Yang kemudian, terdengar suara mobil dari luar lalu terbukalah pintu rumah dan ternyata benar saja, suaminya- David baru pulang.
"Assalamualaikum," ucap David yang baru membuka pintu, lalu dibalas salamnya oleh Risa berbarengan dengan dirinya yang mencium tangan suaminya itu.
"Loh, Bu. Belum tidur?" tanya David kini sembari melihat ke arah ibunya yang tengah terduduk itu.
"Syukurlah ... David kamu sudah pulang, sini duduk. Ibu mau bicara sama kamu," balas Bu Mala sembari meyuruh anaknya untuk mendekat dan duduk disampingnya.
David pun memegang tangan istrinya untuk sama-sama mendekati Ibunya dan duduk. Karena sedari tadi, Risa hanya berdiri dan tak dipedulikan oleh mertuanya itu. Risa selalu merasa nyaman kala dekat David dan bersyukur jika David sudah pulang ke rumah. Terkadang, kalau suaminya belum pulang ia lebih memilih untuk diam di dalam kamar. Dari pada harus berurusan dengan Ibu mertuanya yang selalu menyalahkan dirinya atas segala sesuatu hal yang ada di dalam rumah.
"Ada apa, Bu?" tanya David kini sembari menatap Ibunya
"Ini, coba lihat. Ini foto calon istrimu," balas Bu Mala sembari menyodorkan handphone genggamnya itu. Di mana terdapat foto wanita cantik berambut pirang dibalut gaun merah maroon tengah berdiri di dekat tangga.
"Cantik, kan. Dia juga wanita karier yang sukses! independent woman! Sudah pasti dia lebih cocok dengan kamu nak. Dan kamu tahu dia adalah teman masa kecilmu dulu," lanjut lagi Bu Mala yang tengah membanggakan sosok calon menantu barunya itu.
"Dari pada kamu harus sama wanita kampung kaya Risa. Iih ... Kalau Ibu pasti sudah tidak tahan! Dia bisanya apa sih?" Kini lagi-lagi Bu Mala berucap sembari mengibaskan rambutnya seakan merasa gerah.
Entah, kenapa ucapan dari Ibu mertuanya itu. Seakan menggores hati Risa kini. Kenapa rasanya Ibu mertuanya tak memperdulika dirinya. David juga menatap ke arah istrinya yang tengah merunduk berwajah masam itu.
David kembali memegang tangan Risa yang terduduk di sebelahnya.
"Sudah David bilang, kalo aku gak mau nikah lagi, Bu!" Ucapan anaknya yang tegas membuat Mala tersulut emosi.
"Tapi, nak-"
"Aku katakan tidak Bu, aku sangat mencintai Risa!" David pun berdiri dari duduknya dan beranjak untuk meninggalkan ibunya sembari membawa Risa untuk pergi ke dalam kamar.
"Apa yang kamu pertahankan dari gadis kampung itu! Hanya penderitaan yang ia buat!" Mala terus saja ngomel-ngomel sembari berdiri. Namun, David tetap melanjutkan langkahnya untuk pergi ke dalam kamar. Begitu pun dengan Risa. Walaupun umpatan dan makian terdengar ia juga tak memperdulikan. Ia lagi-lagi merasa bersyukur karena suaminya selalu berada di sampingnya dan menjadi garda terdepan untuk mebelanya.
💕
Cahaya sinar matahari mencoba masuk ke dalam kamar, melalui cela gorden berwarna abu yang masih tertutup itu.
Bara mencoba mengucekan kedua bola matanya. Dan terkaget, setelah melihat tangan yang melingkar pada tubuhnya.
Dan ternyata itu adalah nenek yang ia sebut bau balsem, tengah tertidur di sampingnya.
Ia merasa ingin muntah mencium aroma balsem itu. Dan mencoba melepaskan tangan wanita paruh baya itu.
"Lepaskan!"
"Kenapa, sayang?" Wanita itu terbangun karena suara Bara yang keras.
"Suruh siapa anda tidur di kamar saya!" Kini Abara naik pitam
"Lah ... Kita kan suami dan is-"
"Stop! Jangan katakan itu lagi!" ucap Bara memotong pembicaraan
"Tapi, sayang. Aku ini istrimu, mas!" Balasan nenek itu membuat Bara kembali merasa geli
"Stooppp! Jangan katakan!" Bara pun buru-buru melepaskan tangan nenek, mengambil handuk lalu pergi ke dalam kamar meninggalkan wanita tua itu.
Bara berpikir kalo akan ada baiknya, kalo ia mencarikan asisten rumah tangga untuk mengurus nenek tua itu dan sebagai alibi jika nenek itu mendekati dirinya.
Abara berjalan menuju kamar mandi sambil tetap membayangkan wajah sang nenek yang mengaku sebagai istrinya. Ia merasa kesal dan ingin segera mencari solusi.Setelah mandi, Abara sarapan dan memutuskan untuk berangkat ke kantor. Di dalam mobil, dia memikirkan rencana untuk mencari pembantu rumah tangga."Ini adalah solusi terbaik," katanya pada dirinya sendiri. "Dengan begitu, aku bisa menghindari nenek itu."*Sesampainya di kantor, Abara langsung menemui sekretarisnya, Lestari.“Lestari, aku butuh bantuanmu,” kata Abara. "Saya ingin mencari pembantu rumah tangga. Bisakah Anda membantu saya mencarikannya?"Lestari mengangguk. “Tentu saja, Tuan. Saya akan mencari beberapa kandidat yang cocok.”Setelah menerima perintah,Lestaripun segera memberitahu beberapa rekannya dan membuat loker di media sosial untuk mencari asisten Bara. Dan tak butuh waktu lama, banyak orang yang menghubungi dan melamar melalui chat pada nomor yang ia lampirkan.Ketika dirasa sudah menemukan beberapa yang tepat,
Nenek tua itu mengetuk pintu kamar Abara dengan keras. "Abara, jangan tidur dengan orang lain! Aku adalah istrimu!"Abara merasa kesal. "Nenek, berhenti! Aku sudah bilang kamu tidak bisa mengontrol hidupku."Bayu berdiri dan berjalan ke arah pintu kamar dan membukanya. "Nenek, saya hanya membantu Pak Abara. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan."Nenek itu memandang Bayu dengan dendam. "Kamu pikir kamu bisa menggantikan aku? Aku tidak akan membiarkannya!"Bayu tetap tenang. "Nenek, saya hanya membantu Pak Abara. Saya tidak memiliki niat lain."Abara mencoba menenangkan. "Nenek, jangan salah paham. Bayu hanya asisten saya."Wanita paruh baya itu tidak percaya. "Aku tidak percaya! Aku melihat cara Bayu memandangmu. Aku tahu dia menyukaimu!"Bayu terkejut. "Saya? Menyukai Pak Abara? Tidak mungkin!"Abara merasa tidak nyaman dengan tuduhan wanita tua itu. "Nenek, berhenti! Kamu salah paham. Bayu hanya membantu saya."Nenek semakin marah. "Aku tidak salah paham! Aku lihat cara kamu memandangn
Abara keluar dari kamar mandi dan melihat wajah Bayu merah padam. "Bayu, apa salahnya? Kamu terlihat tidak enak badan," tanya Abara dengan khawatir.Bayu berusaha menyembunyikan perasaannya. "Tidak apa-apa, Pak Abara. Aku hanya... kepanasan saja."Abara mendekati Bayu dan bertanya, "Kamu yakin tidak ada yang lain?""Tidak, pak."Abara semakin mendekat ke arah Bayu, matanya menatap dalam. "Bayu, aku tahu ada sesuatu yang mengganggumu. Ceritakanlah."Bayu tergagap, berusaha menyembunyikan sesuatu di dalam dirinya. "T-tidak ada apa-apa, Pak Abara."Abara memegang bahu Bayu. "Bayu, aku percaya kamu. Ceritakanlah apa yang sebenarnya terjadi."Abara menatap mata Bayu dengan lembut, mencari kejujuran di balik pandangan Bayu. Bayu merasa terjebak, tidak bisa menghindari tatapan Abara.Jantung Bayu seakan berdegup kencang, merasa ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Dia tidak bisa menyangkal lagi sesuatu yang ingin ia katakan pada Abara.Seorang wanita paruh baya itu datang secara tiba-tiba
Setelah berbicara dengan wanita tua yang mengaku istri tuannya itu. Bayu masuk ke dalam bathroom yang terdapat di dalam kamar Abara untuk membersihkan diri.Dia melepaskan semua pakaian yang menempel pada tubuhnya tak lupa aksesoris, Kacamata, Topi, janggut dan kumis palsunya. lalu Ia menginjakkan kakinya memasuki bak berisi air itu dan merendamkan diri di bathtub. Perlahan mulai memasuki ke dalam air yang mengenai kulitnya.Ia mencoba mengingat kejadian beberapa waktu sebelumnya, saat ia berlari mencoba melewati hutan. kulitnya bahkan tergores oleh duri dan ranting pohon. Baju yang ia pakai menjadi compang-camping. Ia tak memakai alas kaki, Kakinya menginjak ke tanah dan terasa sangat becek karena habis hujan. Tak ada jalan hanya kegelapan dan pohon-pohon di kiri dan kanan. Ia hampir menyerah, jantungnya berdegup sangat kencang tak lupa nafasnya memburu dan tak beraturan. Semua orang berpakaian hitam dan bertubuh besar mengejarnya dari belakang.Bahkan ia sendiri sudah tak tahu baga
Entah kenapa Bayu (Liyana) merasakan sosok Abara begitu perhatian padahal dirinya, padahal Bara dikenal sangat cuek. Seandainya, saja bahwa ini dilakukan, terlihat seperti pasangan bukan atasan ke bawahan sudah pasti ia sangat bahagia. Walaupun sebenarnya mereka memang pasangan yang sesungguhnya. Tapi Bara, tidak mengetahui sosok dirinya (Bayu adalah Liyana) yang asli. Bayu tak mengerti mengapa Bara lebih memilih untuk makan siang bersamanya. Dibandingkan menyantap makananan dari istri tuanya itu. Saat Bayu dan Abara makan siang bersama. Abara tiba-tiba saja menyuruh Bayu untuk mencari istrinya. Abara menatap Bayu (Liyana) dengan mata dingin selama makan siang. "Bayu, aku ingin kamu melakukan sesuatu untukku." Bayu (Liyana) berhati-hati. "Apa itu, Pak Abara?" Abara tersenyum sinis. "Cari istriku yang hilang. Aku yakin dia masih di kota ini. Aku ingin kamu menemukannya dan membawanya kembali kepadaku." Liyana merasa ngeri, berusaha menyembunyikan kepanikan. "Baik, Abara. Aku ak
Nenek Liyana, yang sebenarnya adalah Liyana yang menyamar, memergoki adegan tersebut dan marah. "Apa yang terjadi di sini?!" nenek bertanya dengan suara keras.Bayu berusaha melepaskan diri dari pelukan Abara. "Nyonya, tidak apa-apa! Abara hanya mabuk dan terjatuh!"Nenek Liyana mendekati mereka dengan mata marah. "Abara, kamu tidak bisa mengendalikan diri! Bayu, lepaskan diri dari pelukannya!"Abara, masih mabuk, membuka mata dan melihat nenek. "Liy... Liyana... kamu...?" dia berbicara tidak jelas.Nenek Liyana terkejut. "Abara, kamu mengenal aku?!"Bayu berusaha menenangkan situasi. "Nenek, dia hanya mabuk. Dia tidak tahu apa yang dia katakan."Namun, nenek Liyana sudah marah. "Bayu, bawa Abara ke kamar sekarang juga!"Nenek Liyana, yang masih marah, memandang Abara dengan tajam. "Abara, kamu tidak bisa mengendalikan diri! Bayu, bawa dia ke kamar sekarang juga cepat!" timpalnya lagi dengan berteriak.Bayu mengangguk dan membantu Abara berdiri. Abara masih terhuyung-huyung, tapi dia
"Pak Abara, aku tidak tahu apa yang tuan maksud. Aku hanya ingin membantumu dan Nyonya Liyana," kata Bayu, mencoba menjawab dan tetap tenang.Abara menatap Bayu dengan mata yang tajam, mencoba membaca ekspresi wajahnya. "Saya tidak percaya padamu, Bayu. Saya merasa ada sesuatu yang kamu sembunyikan dariku."Bayu merasa hatinya berdebar, takut Abara akan menemukan kebenaran tentang identitasnya. "Pak Abara, aku benar-benar tidak tahu apa yang tuan maksud. Sungguh Aku hanya ingin membantumu dan Nyonya Liyana," kata Bayu sekali lagi, mencoba tetap tenang.Abara menghela napas, lalu berpaling dan hendak berjalan ke dalam kamar. Bayu menatapnya dengan perasaan lega, tapi juga khawatir tentang apa yang akan terjadi selanjutnya. "Lebih baik kau tidur lagi denganku Bayu, sekarang saya takut jika tidur sendiri," ucapan itu membuat Bayu seakan ingin tertawa. Namun, ia harus menahannya. Sejak kapan Sang Bos menjadi penakut seperti ini? 🥀🥀Abara dengan diikuti Bayu berjalan kembali ke dalam k
Abara menutup matanya lagi, dan Bayu bisa melihat bahwa Abara sedang berusaha untuk tidur. Bayu juga menutup matanya, tapi dia tidak bisa tidur karena masih memikirkan tentang apa yang terjadi hari ini. Dia memikirkan tentang Nyonya Liyana (Nenek tua), dan tentang kekhawatiran Abara.Setelah beberapa saat, Bayu mendengar suara napas Abara yang teratur, menandakan bahwa Abara sudah tertidur. Bayu berusaha untuk tidur juga, tapi dia masih terjaga karena masih memikirkan tentang banyak hal.Bayu terus berbaring di tempat tidurnya, memikirkan tentang apa yang terjadi hari ini. Dia memikirkan tentang Nyonya Liyana, dan tentang kekhawatiran Abara. Dia juga memikirkan tentang janjinya untuk mencari Liyana yang asli, padahal itu adalah dirinya sendiri. Dan tentang apa yang harus dia lakukan untuk memenuhi janjinya itu.Saat Bayu masih memikirkan tentang semua itu, dia mendengar suara langkah kaki yang lembut di luar kamar. Bayu membuka matanya dan menatap ke arah pintu, berusaha untuk melihat
Langit mulai berwarna jingga ketika Bara melangkah keluar dari kamarnya. Kepalanya masih dipenuhi tanya, hatinya masih digelayuti rasa ragu. Bayu—atau siapa pun dia sebenarnya—semakin membuat pikirannya tak tenang. Tapi belum sempat ia menarik napas panjang, seseorang menghampirinya dari arah taman samping rumah.“Sapphire?” Bara sedikit terkejut melihat wanita itu muncul tanpa pemberitahuan.Sapphire mengenakan gaun biru muda yang jatuh lembut, kontras dengan rambut hitamnya yang dikuncir rapi. Tatapannya hangat, tapi ada sesuatu di balik senyumannya yang tak bisa Bara baca."Kenapa kamu tak menghampiriku? dan mengabaikan pesan," ungkapnya kini“Aku tahu kamu sedang kacau. Makanya aku datang. Aku... mau jujur,” ucap Sapphire pelan, suaranya mengambang di udara sore itu.Bara mengernyit. “Jujur tentang apa?”Sapphire menarik napas dalam, lalu melangkah lebih dekat. “Aku minta maaf, Bara. Aku... sudah tahu sejak awal siapa Bayu sebenarnya. Tapi aku diam. Aku... aku disuruh Ryven buat m
Di sudut rumah, malam itu sunyi. Bara duduk di ruang kerjanya, menatap foto pernikahannya yang terbingkai di rak kayu. Foto itu kini terasa asing. Dua wanita—satu di rumahnya kini mengaku Liyana, satu lagi adalah Bayu yang ia pikir asisten, tapi ternyata juga Liyana.Bara menutup mata. Pusing. Perasaannya campur aduk.“Kenapa semua orang menipu saya?” bisiknya lirih.Malam semakin larut. Udara dingin menyusup di antara sela-sela jendela kamar, namun hati Bara lebih beku dari cuaca. Ia masih duduk termenung di kursi kerjanya, memandangi surat perceraian yang belum ia tanda tangani.Tangannya menggenggam pena, tapi matanya kosong. Setiap kali ia menatap nama “Liyana” di lembar itu, dadanya seperti diremas. Ia benci. Tapi juga... rindu. Ia kecewa, namun juga merasa hangat saat mengingat semua hari-hari bersama Bayu—atau Liyana, sekarang. Ia bahkan tak bisa menyebutnya dengan pasti."Kenapa kamu harus jadi Bayu?" gumamnya lirih.Tak lama kemudian, terdengar ketukan pelan di pintu kamar Ba
Pagi itu, matahari enggan menyinari kamar Bara. Tirai masih tertutup rapat, dan udara di dalam kamar terasa pengap, seperti hatinya yang sesak oleh berbagai perasaan yang bertumpuk.Bara masih duduk di meja kerjanya. Matanya menatap satu berkas di hadapannya — berkas pengajuan cerai.Tangannya menggenggam pulpen, namun tak kunjung menorehkan tanda tangan di atas kertas itu. Di luar, terdengar suara burung berkicau, seolah mengejek kebimbangannya.“Kenapa kamu gak pergi aja, Lily?” gumamnya pelan. “Kenapa kamu harus bikin semuanya serumit ini?”Kata-katanya dingin, tapi suaranya bergetar. Ia bukan benar-benar marah... lebih tepatnya, kecewa. Terluka. Tertusuk oleh harapan yang sempat ia pupuk diam-diam sejak Liyana — atau Lily — kembali hadir di hidupnya sebagai Bayu.“Lily...” Bara memejamkan mata, menyebut nama itu dengan berat. “Kamu tahu enggak... saat kamu ngelap keringat saya waktu saya demam... saya ngerasa damai. Saya pikir, Bayu i
Malam ituBayu (Liyana) berdiri ragu di depan pintu kamar Bara. Ia sudah berkali-kali mengangkat tangan untuk mengetuk, tapi akhirnya kembali ragu.Namun malam ini, ia sudah tak tahan lagi.Ia butuh kejelasan. Butuh berbicara. Butuh menjelaskan. Walau tidak semuanya.Kamu harus kuat, Liyana, bisiknya dalam hati.Dengan satu tarikan napas panjang, akhirnya ia mengetuk pintu.Tok. Tok.Beberapa detik sunyi. Lalu suara langkah pelan terdengar mendekat. Pintu terbuka.Bara berdiri di ambang, hanya menatap sebentar, lalu berbalik badan dan kembali masuk tanpa mempersilakan. Tapi Bayu (Liyana) menganggap itu sebagai isyarat untuk masuk. Ia melangkah perlahan, menutup pintu di belakangnya.Keduanya kini berada dalam satu ruangan yang hening. Suasana tegang merayap seperti kabut.“Ada apa?” tanya Bara tanpa menoleh. Suaranya datar.Bayu (Liyana) mengecap bibirnya yang kering. “Aku... aku mau bicara, Mas.”Bara duduk di kursi dekat meja, menyilangkan tangan. “Kalau ini soal pekerjaan, besok pa
Bayu (Liyana) duduk di atas ranjang sempit dengan mata kosong menatap langit-langit. Hatinya berat. Ia baru saja kehilangan Bara untuk kedua kalinya, dan kali ini lebih menyakitkan karena pria itu sendiri yang berpaling darinya."Dia pikir aku selingkuh..." bisiknya getir. "Dengan Ryven pula..."Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan. Rasanya ingin menjerit, tapi suara itu hanya terkurung di tenggorokan.Sementara itu, Bara duduk diam di ruang kerjanya, menatap foto pernikahannya dengan Liyana yang masih terpajang di rak. Tangannya mengepal."Kenapa kau kembali hanya untuk menghancurkan aku lagi, Liyana?" batinnya. Ia ingin marah, ingin menghapus foto itu, ingin melupakan segalanya—tapi wajah Liyana terus mengganggunya. Kenangan mereka dulu pun berkelebat tak henti.Bara menghempaskan diri ke kursi, frustrasi. Ia tidak tahu harus percaya siapa. Nenek yang mengaku Liyana, atau Bayu yang jelas-jelas berbohong? Tapi wajah Bayu saat bicara dengannya... entah kenapa selalu seperti Liyana.
---Di Vila DanendraSudah tiga hari Bara tidak menyapa Bayu. Bahkan tak menatapnya. Seolah keberadaannya transparan. Padahal biasanya, sekalipun mereka tak banyak bicara, ada tatapan… ada kesadaran bahwa mereka saling hadir.Bayu duduk di pinggir ranjang kecil di kamar tamu yang kini jadi tempat tidurnya. Wig-nya ia simpan rapi di dalam laci, dan rambut aslinya terurai, mulai tumbuh tak rapi. Ia menatap pantulan dirinya di cermin—mata Liyana menatap balik dari balik wajah Bayu."Apa aku harus menyerah...?" bisiknya lirih.Namun bayangan orangtuanya yang masih dalam cengkeraman Gustur membuatnya menggertakkan gigi. "Belum. Aku belum boleh pergi sebelum kebenaran terungkap."Ia keluar menuju dapur, berpura-pura mencari air. Tapi langkahnya terhenti saat melihat Bara di balkon atas, berdiri sendiri, memandang langit malam.Bayu menatap punggung itu lama. Hatinya sakit. Ingin mendekat, tapi takut ditolak.Sementara itu...Di BalkonBara menghela napas panjang. Wajahnya keras, tapi matany
Malam Hari – Ruang Tengah Rumah DanendraLangkah Bayu—atau Liyana—bergetar pelan saat menuruni tangga. Jantungnya berdetak tak karuan. Ia sudah bersiap. Sudah menyusun kata-kata di kepala, berkali-kali. Malam ini, ia ingin mengakhiri semua kebohongan dan mengatakan yang sebenarnya pada Bara.Namun, ketika ia sampai di ruang tengah... Bara tak ada di sana. Yang ada hanya keheningan. Bahkan aroma kopi kesukaan Bara pun tak tercium. Aneh. Biasanya pria itu akan duduk membaca atau diam menatap api perapian.“Pak Bara?” panggilnya pelan.Tak ada jawaban.Dengan hati-hati, Bayu melangkah ke arah kamar Bara. Pintu sedikit terbuka. Ia mendorongnya perlahan dan menemukan Bara sedang duduk sendiri di ranjang, memunggunginya.“Pak...”Bara tidak menoleh. Bahunya tegang. Sunyi.Bayu menegakkan tubuh, mencoba tetap tenang. “Saya ingin bicara sesuatu... penting.”Bara masih diam. Hanya suara angin malam dari jendela yang terbuka sedikit mengisi keheningan.Bayu melangkah maju. “Saya... saya tahu se
Kamar Bayu – Malam HariBayu bangkit dari duduknya begitu melihat Bara berdiri di ambang pintu. Namun, tatapan Bara yang dingin dan penuh tekanan membuat langkahnya tertahan. Tidak ada senyum. Tidak ada basa-basi. Hanya tatapan penuh kecurigaan dan luka.Bara masuk tanpa permisi, menutup pintu perlahan di belakangnya.“Kamu kenal Ryven?” suaranya datar, tapi tajam.Bayu terdiam sejenak. “Saya... iya.”“Sejak kapan kamu kenal dia?”“Sudah lama, Pak. Tapi bukan berarti saya ada hubungan khusus dengan dia—”“Jangan bohong.” Bara memotong cepat, matanya memicing. “Aku lihat kamu berbicara dengannya di taman. Aku lihat kamu... membuka wig itu.”Bayu membeku. Tubuhnya terasa dingin.“Aku lihat kamu, Bayu—atau siapa pun kamu sebenarnya. Dan yang paling membuatku muak…” Bara menunduk sebentar, menarik napas panjang seolah menahan letupan amarah. “Kau… adalah Liyana.”Sunyi.Dada Bayu bergemuruh. Matanya berkaca-kaca. Ia ingin sekali menjelaskan segalanya, tapi kata-kata tak keluar.“Selama in
--- Keesokan Paginya – Di Rumah Perkebunan Bayu baru saja turun dari kamar, matanya sayu karena tak tidur semalaman. Kepalanya penuh tanda tanya. Setelah kejadian semalam di bangunan kosong, ia merasa ada yang mengikutinya... tapi tak ada siapa pun saat ia menoleh. Namun yang membuatnya lebih bingung lagi adalah... Bara. Sejak pagi, pria itu berubah dingin. Tidak menyapa. Tidak menatap. Bahkan saat mereka duduk di meja makan, suasana seolah membeku. Bayu duduk perlahan, lalu memberanikan diri membuka percakapan. "Pak, tadi pagi saya sudah rapikan berkas-berkas yang Bapak minta kemarin..." Bara tidak menjawab. Ia hanya menyesap kopinya, tanpa menoleh. Tatapannya lurus ke luar jendela. Bayu menggigit bibir. Jantungnya berdetak cepat. Ada sesuatu yang aneh. Biasanya, sesibuk apa pun, Bara akan setidaknya menanggapi... walau dengan nada tegas. "Pak?" panggil Bayu lagi, lebih pelan. Masih tak ada respons. Akhirnya Bara bangkit dari duduknya, mengambil jaket yang disamp