"Apa ada yang sakit?" tanya Abara kini sembari melihat ke arah Nenek tua itu, yang sudah ia baringkan di atas kasurnya.
"Tentu saja, sepertinya pinggangku ini terkilir," ucapan wanita paruh baya itu membuat Bara geleng-geleng kepala. Dimana-mana harusnya kaki yang terkilir ini malah pinggang
"Boleh minta bantuan lagi?" ucap lagi nenek itu
"Apa?"
"Bolehkah jika kau membantu untuk mengoleskan balsem ke pinggangku?" pintanya. Sontak membuat Bara bergidik ngeri.
"Saya gak jago ngurut dan cukup gak suka sama aroma balsem," terang Bara kini menolak membuat Nenek itu agak sedikit kecewa
"Bara, ayolah. Aku kan istrimu, tak seharus-"
"Stop! Jangan mengaku anda istri saya," potong Bara kini. Akhirnya, ia buru-buru mengambil balsem di nakas dekat kasur. Ia pikir mungkin itu milik nenek itu.
Dari pada lama-lama berdebat kusir, mending ia cepat-cepat mengabulkan permintaan nenek di hadapannya ini.
"Sebelah mana yang sakit?" tanyanya dengan acuh.
"Sebelah sini," balas nenek sembari membuka sedikit baju dan menunjuk ke arah pinggangnya.
"Maaf, Nek. Aku coba oleskan yah ..."
"Lah, kok panggil nenek. Panggil aja aku sayang, aku ini istrimu, loh, Mas! Jadi, Jangan sungkan dan wajar kalo kamu menyentuhku," ucapan nenek itu lagi-lagi membuat Bara merasa merinding. Dan menghentikan aktifitasnya untuk mengolesi balsem pada pingging nenek.
"Sudahlah, aku mau pakai dulu baju," terang Bara kini. Sembari berlalu pergi, buru-buru ia mengambil baju dari lemari untuk memakainya di kamar mandi. Sementara Nenek yang mengaku Liyana itu hanya senyum-senyum sendiri melihat tingkah suaminya yang malang itu. Ia pasti kini merasa ilfil terhadap dirinya. Tapi, kenapa rumah tangga ini sekarang merasa lucu.
💕
Bara berdiri di atas balkon rumahnya. Sudah pasti, malam ini ia mencoba menghindar karena takut menjadi mangsa dari terkaman Mak lampir yang mengaku istrinya itu. Dari pada harus berdebat kusir dan mendengarkan rayuan nenek tua itu. Bara memilih untuk menatap langit yang mana bertaburan bintang berkerlap Kerlip. Cuaca malam ini sangat bagus dan bersahabat. Namun, tak secerah pikirnya, yang sangat berantakan.
Ia masih bingung sebenarnya... Kemana pergi istrinya? Dan apakah mungkin jika nenek tua itu adalah istrinya?
"Nih, di minum. Kebetulan tadi aku bikinin kamu teh," seketika terdengar suara dari sebelahnya. Sembari menyodorkan secangkir teh yang masih mengepul. Membuat Bara bangun dari lamunannya.
"Saya, gak suka minum teh!" tolak Bara kini sembari menolak cangkir yang ada di hadapannya.
"Kenapa sayang? Aku padahal sudah bikinin ini loh, buat kamu," ucap lagi wanita paruh baya yang sekarang ada di pinggirnya.
"Mulai sekarang, saya sangat membenci "Teh" mengerti! Dan ingat, malam ini jangan tidur di kamar saya. Karena saya, tidak suka aroma balsem!" tegas Bara sembari berlalu pergi meninggalkan nenek yang mengaku sebagai Liyana?
Wanita itu hanya berdiri mematung sembari memandang punggung pria tinggi itu yang sudah masuk ke dalam rumah. Air mata tak sengaja lolos dari hadapannya. Ia berpikir, kalo seandainya ia masih memiliki paras cantik, body yang bagus dan masih muda. Sudah pasti suaminya tak akan meninggalkan dirinya.
**
"Di mana nenek tua itu?" Risa yang baru saja datang ke dalam rumah, langsung saja mendengar pertanyaan dari mertuanya yang tengah terduduk dan menyilangkan kakinya itu.
"Ia sudah pulang," balasnya kini sembari menutup pintu rumah.
"Syukurlah, kamu sendiri aja sudah merepotkan! apalagi ditambah dua orang dengan nenek tua itu. Aku gak bisa membayangkan! sekacau apa hidup ini. Pasti akan stres dibuatnya."
Risa tak menjawab apa-apa lagi. Hanya diam mematung di depan pintu. Yang kemudian, terdengar suara mobil dari luar lalu terbukalah pintu rumah dan ternyata benar saja, suaminya- David baru pulang.
"Assalamualaikum," ucap David yang baru membuka pintu, lalu dibalas salamnya oleh Risa berbarengan dengan dirinya yang mencium tangan suaminya itu.
"Loh, Bu. Belum tidur?" tanya David kini sembari melihat ke arah ibunya yang tengah terduduk itu.
"Syukurlah ... David kamu sudah pulang, sini duduk. Ibu mau bicara sama kamu," balas Bu Mala sembari meyuruh anaknya untuk mendekat dan duduk disampingnya.
David pun memegang tangan istrinya untuk sama-sama mendekati Ibunya dan duduk. Karena sedari tadi, Risa hanya berdiri dan tak dipedulikan oleh mertuanya itu. Risa selalu merasa nyaman kala dekat David dan bersyukur jika David sudah pulang ke rumah. Terkadang, kalau suaminya belum pulang ia lebih memilih untuk diam di dalam kamar. Dari pada harus berurusan dengan Ibu mertuanya yang selalu menyalahkan dirinya atas segala sesuatu hal yang ada di dalam rumah.
"Ada apa, Bu?" tanya David kini sembari menatap Ibunya
"Ini, coba lihat. Ini foto calon istrimu," balas Bu Mala sembari menyodorkan handphone genggamnya itu. Di mana terdapat foto wanita cantik berambut pirang dibalut gaun merah maroon tengah berdiri di dekat tangga.
"Cantik, kan. Dia juga wanita karier yang sukses! independent woman! Sudah pasti dia lebih cocok dengan kamu nak. Dan kamu tahu dia adalah teman masa kecilmu dulu," lanjut lagi Bu Mala yang tengah membanggakan sosok calon menantu barunya itu.
"Dari pada kamu harus sama wanita kampung kaya Risa. Iih ... Kalau Ibu pasti sudah tidak tahan! Dia bisanya apa sih?" Kini lagi-lagi Bu Mala berucap sembari mengibaskan rambutnya seakan merasa gerah.
Entah, kenapa ucapan dari Ibu mertuanya itu. Seakan menggores hati Risa kini. Kenapa rasanya Ibu mertuanya tak memperdulika dirinya. David juga menatap ke arah istrinya yang tengah merunduk berwajah masam itu.
David kembali memegang tangan Risa yang terduduk di sebelahnya.
"Sudah David bilang, kalo aku gak mau nikah lagi, Bu!" Ucapan anaknya yang tegas membuat Mala tersulut emosi.
"Tapi, nak-"
"Aku katakan tidak Bu, aku sangat mencintai Risa!" David pun berdiri dari duduknya dan beranjak untuk meninggalkan ibunya sembari membawa Risa untuk pergi ke dalam kamar.
"Apa yang kamu pertahankan dari gadis kampung itu! Hanya penderitaan yang ia buat!" Mala terus saja ngomel-ngomel sembari berdiri. Namun, David tetap melanjutkan langkahnya untuk pergi ke dalam kamar. Begitu pun dengan Risa. Walaupun umpatan dan makian terdengar ia juga tak memperdulikan. Ia lagi-lagi merasa bersyukur karena suaminya selalu berada di sampingnya dan menjadi garda terdepan untuk mebelanya.
💕
Cahaya sinar matahari mencoba masuk ke dalam kamar, melalui cela gorden berwarna abu yang masih tertutup itu.
Bara mencoba mengucekan kedua bola matanya. Dan terkaget, setelah melihat tangan yang melingkar pada tubuhnya.
Dan ternyata itu adalah nenek yang ia sebut bau balsem, tengah tertidur di sampingnya.
Ia merasa ingin muntah mencium aroma balsem itu. Dan mencoba melepaskan tangan wanita paruh baya itu.
"Lepaskan!"
"Kenapa, sayang?" Wanita itu terbangun karena suara Bara yang keras.
"Suruh siapa anda tidur di kamar saya!" Kini Abara naik pitam
"Lah ... Kita kan suami dan is-"
"Stop! Jangan katakan itu lagi!" ucap Bara memotong pembicaraan
"Tapi, sayang. Aku ini istrimu, mas!" Balasan nenek itu membuat Bara kembali merasa geli
"Stooppp! Jangan katakan!" Bara pun buru-buru melepaskan tangan nenek, mengambil handuk lalu pergi ke dalam kamar meninggalkan wanita tua itu.
Bara berpikir kalo akan ada baiknya, kalo ia mencarikan asisten rumah tangga untuk mengurus nenek tua itu dan sebagai alibi jika nenek itu mendekati dirinya.
---Sapphire – Senyuman BeracunLangkah kaki Sapphire kembali ke kamarnya terasa ringan, tapi bukan karena bahagia. Itu ringan seperti helai bulu yang terbakar—sepi, namun menyimpan bara panas yang siap menyambar.Ia menutup pintu perlahan, lalu mendekati meja riasnya. Di cermin, ia melihat wajah cantik yang selama ini ia andalkan untuk menundukkan banyak laki-laki. Tapi untuk pertama kalinya, wajah itu terasa... tidak cukup.“Lily.”Nama itu terus terngiang. Panggilan penuh kelembutan yang keluar dari mulut Bara. Bukan “Bayu”, bukan “asisten”—tapi Lily. Penuh perasaan.Sapphire menyentuh bibirnya sendiri. Senyum tipis tercetak, namun matanya menajam.“Aku kalah karena aku terlalu sabar,” gumamnya. “Sekarang, waktunya aku main di arena yang sebenarnya.”Ia membuka laci dan menarik sebuah map biru tua. Di dalamnya, ada beberapa dokumen rahasia hasil penyelidikan pribadinya, termasuk fotokopi akta kelahiran seseorang bernama Liyana Sarah dan sebuah surat tugas investigasi dari lembaga m
Liyana menutup jendela dengan hati-hati. Tirai ditarik, bukan untuk menghalangi cahaya, tapi untuk memutus pandangan dari dunia luar—dari mata-mata yang bisa saja dikirim Sapphire atau Gustur.Langkahnya ringan menuju meja kecil di sudut kamar. Ia menarik laci dan mengeluarkan ponsel cadangan. Ponsel itu tidak terhubung dengan jaringan utama rumah Danendra, dan hanya digunakan untuk satu hal: menghubungi penyelidik kepercayaannya.Kode Aman: L-52 diaktifkan.Liyana mengetik pesan cepat ke seseorang bernama “Titik Bening”:> “Sapphire tahu identitasku. Minta tolong cari hubungan dia dengan Gustur. Jangan lacak dari rumah ini. Prioritaskan nama ‘Arta Kencana’—pernah dengar dia sebut diam-diam.”Pesan terkirim.Liyana menghela napas. Ia tahu langkah selanjutnya bukan hanya bertahan, tapi menyerang balik.Karena Sapphire telah menunjukkan wajah aslinya, artinya Liyana tak perlu lagi pura-pura ramah jika harus bertemu.Lalu, pikirannya melayang pada Bara.Laki-laki itu... pria yang dulu ha
Liyana berdiri membeku di balik dinding batu taman. Nafasnya tercekat saat mendengar gumaman terakhir Sapphire yang menusuk seperti jarum dingin ke tulang belakangnya.> “Aku tahu kamu dengar semuanya, Bayu, UPS salah, Lily.”Sapphire kemudian berbalik dan melangkah anggun menuju rumah, meninggalkan jejak ancaman halus yang masih menggantung di udara.Liyana mengepalkan tangan, rahangnya mengeras. Jantungnya berdentam kencang, tapi bukan karena takut. Ini bukan hanya soal rahasia yang terbongkar—ini soal Bara. Tentang bagaimana wanita lain mencoba memutar balik kepercayaannya.Ia tahu Sapphire bukan sekadar datang sebagai “mantan”. Perempuan itu licin, penuh strategi. Dan barusan, dia meletakkan bom psikologis di hati Bara.Liyana buru-buru masuk ke kamarnya, duduk di tepi ranjang sambil memijit pelipis. Ia harus bertindak. Tapi dengan cara yang tak sembrono.Beberapa menit kemudian, terdengar ketukan di pintu kamarnya.Tok. Tok. Tok.Suara itu berat. Ia langsung tahu.“Lily,” panggi
Langit mulai berwarna jingga ketika Bara melangkah keluar dari kamarnya. Kepalanya masih dipenuhi tanya, hatinya masih digelayuti rasa ragu. Bayu—atau siapa pun dia sebenarnya—semakin membuat pikirannya tak tenang. Tapi belum sempat ia menarik napas panjang, seseorang menghampirinya dari arah taman samping rumah.“Sapphire?” Bara sedikit terkejut melihat wanita itu muncul tanpa pemberitahuan.Sapphire mengenakan gaun biru muda yang jatuh lembut, kontras dengan rambut hitamnya yang dikuncir rapi. Tatapannya hangat, tapi ada sesuatu di balik senyumannya yang tak bisa Bara baca."Kenapa kamu tak menghampiriku? dan mengabaikan pesan," ungkapnya kini“Aku tahu kamu sedang kacau. Makanya aku datang. Aku... mau jujur,” ucap Sapphire pelan, suaranya mengambang di udara sore itu.Bara mengernyit. “Jujur tentang apa?”Sapphire menarik napas dalam, lalu melangkah lebih dekat. “Aku minta maaf, Bara. Aku... sudah tahu sejak awal siapa Bayu sebenarnya. Tapi aku diam. Aku... aku disuruh Ryven buat m
Di sudut rumah, malam itu sunyi. Bara duduk di ruang kerjanya, menatap foto pernikahannya yang terbingkai di rak kayu. Foto itu kini terasa asing. Dua wanita—satu di rumahnya kini mengaku Liyana, satu lagi adalah Bayu yang ia pikir asisten, tapi ternyata juga Liyana.Bara menutup mata. Pusing. Perasaannya campur aduk.“Kenapa semua orang menipu saya?” bisiknya lirih.Malam semakin larut. Udara dingin menyusup di antara sela-sela jendela kamar, namun hati Bara lebih beku dari cuaca. Ia masih duduk termenung di kursi kerjanya, memandangi surat perceraian yang belum ia tanda tangani.Tangannya menggenggam pena, tapi matanya kosong. Setiap kali ia menatap nama “Liyana” di lembar itu, dadanya seperti diremas. Ia benci. Tapi juga... rindu. Ia kecewa, namun juga merasa hangat saat mengingat semua hari-hari bersama Bayu—atau Liyana, sekarang. Ia bahkan tak bisa menyebutnya dengan pasti."Kenapa kamu harus jadi Bayu?" gumamnya lirih.Tak lama kemudian, terdengar ketukan pelan di pintu kamar Ba
Pagi itu, matahari enggan menyinari kamar Bara. Tirai masih tertutup rapat, dan udara di dalam kamar terasa pengap, seperti hatinya yang sesak oleh berbagai perasaan yang bertumpuk.Bara masih duduk di meja kerjanya. Matanya menatap satu berkas di hadapannya — berkas pengajuan cerai.Tangannya menggenggam pulpen, namun tak kunjung menorehkan tanda tangan di atas kertas itu. Di luar, terdengar suara burung berkicau, seolah mengejek kebimbangannya.“Kenapa kamu gak pergi aja, Lily?” gumamnya pelan. “Kenapa kamu harus bikin semuanya serumit ini?”Kata-katanya dingin, tapi suaranya bergetar. Ia bukan benar-benar marah... lebih tepatnya, kecewa. Terluka. Tertusuk oleh harapan yang sempat ia pupuk diam-diam sejak Liyana — atau Lily — kembali hadir di hidupnya sebagai Bayu.“Lily...” Bara memejamkan mata, menyebut nama itu dengan berat. “Kamu tahu enggak... saat kamu ngelap keringat saya waktu saya demam... saya ngerasa damai. Saya pikir, Bayu i