Bara terus saja mencari di mana sosok nenek-nenek yang ia lihat di kamarnya itu. Namun, sudah beberapa kilo meter ia tempuh, gunung yang ia daki bahkan lautan yah ia sebrangi tak kunjung ia temui.
Mulai dari jalanan sekitar rumahnya, di bawah kerikil dan batu. Bahkan atas pohon juga ia naiki. Yang ada hanya wanita berdaster putih dengan rambut yang acak-acakan dan terjulur panjang, yang menutupi wajahnya tengah duduk di sana. Sembari tertawa cekikikan lalu menangis.
Merasa lelah, Bara pun memutuskan untuk kembali ke rumahnya.
Saat, ia baru saja masuk ke dalam rumah dan menutup pintu. Tiba-tiba suara bell berbunyi bersamaan dengan ketukan pintu dari luar.
Bara pun kembali memutar badannya untuk membuka pintu dan menghampiri siapa orang yang malam-malam begini berkunjung ke rumahnya. Apa jangan-jangan wanita di atas pohon tadi? Seketika bulu kuduknya merinding.
"Assalamu'alaikum," ucap suara dari luar sana. Pertanda mungkin itu bukan makhluk jadi-jadian.
Bara pun dengan cepat membuka pintu.
Ia pun melihat dua orang wanita tengah berdiri di depan pintu yang baru ia buka.
Seorang wanita berjilbab hitam senada dengan gamis yang di pakai. Menuntun nenek-nenek tua di sampingnya.
Iya, bukannya itu nenek yang baru ia usir?
Dengan cepat nenek itu memeluk tubuhnya.
"Bara, aku mau tinggal di sini. Aku gak tahu harus kemana. Aku gak mau tinggal sama Mak lampir," terang Nenek itu sembari sesenggukan hingga ingusnya meluber dan mengenai kemeja Bara.
Bara mencoba melepaskan pelukan. Merasa sangat merinding sekarang dibanding bertemu dengan mbak Kun yang ada di atas pohon tadi.
"Apa benar, kamu yang namanya Bara?" tanya wanita berjilbab hitam itu kemudian.
Bara hanya mengangguk pelan.
"Kenalkan, aku Risa. Sahabatnya Liyana di kampung," ucap wanita itu lagi membuat Bara tampak gembira.
"Kamu sahabat Liyana? Apa kamu tahu di mana ia sekarang?" tanya Bara sambil memegang kedua bahu Risa.
"Iyah, aku tahu di mana ia sekarang," balas lagi Risa mencoba melepaskan pegangan tangan dari Bara. Merasa risih.
"Mana ia sekarang?" Nampaknya Bara sudah sangat rindu pada sahabat karibnya.
"Dia di sini," terang Risa
"Di mana?" Bara celingak-celinguk menatap ke sekitar rumah
"Dia di sini," balas Risa sambil menoleh ke sebelah kiri yang di mana ada wanita paruh baya itu.
Bara kali ini kembali merinding
"Bukan, dia bukan istriku!"
"Nenek tua ini, bukan Liyana!" elak Bara kali ini.
"Aku Liyana, aku istrimu Mas!" ucap lagi nenek itu sembari memeluk kembali tubuh Bara
"Hii, lepaskan. Kau bukan istriku," timpal lagi Bara sembari melepaskan pelukan erat sang nenek
"Entah, kamu belum bisa menerima atau memang tidak percaya. Tolong, terima dulu dia tinggal di sini yah, kasian di rumah hanya mendapat celotehan Ibu mertuaku," terang lagi Risa
Sebenarnya, Risa menyuruh agar temannya itu tinggal bersama dia di dalam rumahnya. Namun, sikap Ibu mertuanya yang tak suka terhadap kehadiran nenek yang ia akui sebagai neneknya. Membuatnya tak nyaman.
"Saya gak mau," tolak Bara kali ini
"Tolonglah, kasian," ucap Risa memelas
"Plissssshhhh," ucap Nenek itu kini menimpali
"Lagi pula kamu kan tinggal sendiri di sini," potong lagi Risa
Melihat kembali tatapan nenek bermata sendu itu membuat Bara seakan Iba.
"Maaf, mas. tadi saya udah usir mereka cuman tetap menerobos ke dalam," ucap Sekuriti yang tiba-tiba datang dan menangkap si nenek.
"Sudah, lepaskan. Dia akan tinggal di sini," balas Bara kini.
"Beneran, Mas? Adudu makacih loh cayangku," timpal lagi nenek begitu keras, kembali memeluk tubuh Bara.
"Hih, lepaskan. Kamu boleh tinggal di sini sambil mencari kemana perginya istri saya," ucap lagi Bara
Bara pikir dengan mengijinkannya di sini itung-itung minta maaf atas kejadian kemarin malam. Agar dia tidak dicap sebagai anak durhaka.
"Oke, Masku sayang. Love you. Saranghae," ucapnya kembali sembari memperlihatkan jarinya yang menyilang berbentuk love diudara.
Bara semakin merinding, lalu berbalik pergi ke dalam rumah.
"Yasudah, aku pamit dulu yah, Ly. Jaga dirimu baik-baik. Kalau butuh apa-apa. Hubungi aku," ucap Risa kini sembari memberikan kartu yang berisikan nama dan nomor telephone nya.
"Oke, makasih Ris!" balas lagi wanita paruh baya itu sembari mengacungkan jempol dan tersenyum. Deretan gigi yang ompong pun terlihat. Tak lupa gigi emas yang mengkilap menerangi malam ini, sehingga kunang-kunang ikut insekyur dibuatnya.
🥀
Bara terus berjalan ke arah kamarnya, tanpa ia sadari nenek itu mengikutinya masuk ke dalam kamar.
Ia melepaskan jas lalu menyambar handuk dan pergi ke kamar mandi.
Suara keran air kini terdengar dari dalam bilik kamar mandi.
Setelah dirasa sudah membersihkan diri. Dia pun keluar dari kamar mandi dengan memakai handuk putih yang melilit dan menutupi pinggangnya. Sehingga hanya bagian dada sixpacknya yang nampak terlihat.
"Sudah mandinya, sayang?" Namun, ia kaget saat mendapati sosok nenek tua itu tengah berbaring di ranjang tidurnya.
"Ngapain, nenek ada di sini?" tanya Bara keheranan.
"Yah, nungguin kamulah sayang," ucap nenek itu kembali sembari memainkan rambutnya yang terurai dan sudah memutih itu.
"Pergi dari kamar ini!" teriak Bara kini.
"Loh, aku 'kan istrimu mas, jadi yah ... Bakalan sekamar bareng kamu," ucap lagi nenek itu.
"Kamu itu bukan istri saya!" pekik lagi Bara
"Aduduh cayangku, jangan marah-marah entar cepat tua loh." Wanita itu berdiri dengan susah payah dari posisi tidurnya. Memegang pinggang yang terasa encok lalu berjalan ke arah Bara dan mengusap wajah lelaki tampan itu.
Bara semakin merinding kali ini
"Eits, tapi gak papa deh, biar kita sama-sama tua. Kan kita janji bakalan selalu saling cinta sampai hari tua dan sampai maut yang memisahkan," ucap lagi nenek itu kini
"Lepaskan, sekarang kamu pergi dari kamar ini atau aku yang pergi!" teriak lagi Bara kini
"Aku gak bakal pergi, aku kan istrimu mas. Seharusnya ini menjadi momen malam pertama kita yang sempat tertunda." Mendengar ucapan wanita tua itu lagi kini Bara seakan ingin muntah.
Bukannya jadi momen malam pertama, sepertinya malah akan jadi malam terakhir bagi dirinya.
"Yasudah, biar saya yang pergi," ucap Bara lagi namun nenek itu malah memeluknya
"Jangan pergi!"
"Lepaskan!" Bara mencoba melepaskan hingga tubuh nenek itu tak sengaja terdorong dan jatuh ke lantai.
"Aduh, pinggangku, encokku kambuh." Nenek itu meringis kesakitan memegangi pinggangnya.
"Tolong, sayang ...."
"Aduh, sakit." Ia terus meringis kesakitan.
Akhirnya, mau tak mau Bara pun memangkunya untuk naik ke atas ranjang. Nampaknya, kini. wanita paruh baya itu pun kegirangan.
"Terimakasih, sayang," ucapan yang keluar dari mulut nenek itu lagi-lagi seakan membuat bulu kuduknya merinding melebihi saat ia melihat wanita di atas pohon tadi.
Liyana menutup jendela dengan hati-hati. Tirai ditarik, bukan untuk menghalangi cahaya, tapi untuk memutus pandangan dari dunia luar—dari mata-mata yang bisa saja dikirim Sapphire atau Gustur.Langkahnya ringan menuju meja kecil di sudut kamar. Ia menarik laci dan mengeluarkan ponsel cadangan. Ponsel itu tidak terhubung dengan jaringan utama rumah Danendra, dan hanya digunakan untuk satu hal: menghubungi penyelidik kepercayaannya.Kode Aman: L-52 diaktifkan.Liyana mengetik pesan cepat ke seseorang bernama “Titik Bening”:> “Sapphire tahu identitasku. Minta tolong cari hubungan dia dengan Gustur. Jangan lacak dari rumah ini. Prioritaskan nama ‘Arta Kencana’—pernah dengar dia sebut diam-diam.”Pesan terkirim.Liyana menghela napas. Ia tahu langkah selanjutnya bukan hanya bertahan, tapi menyerang balik.Karena Sapphire telah menunjukkan wajah aslinya, artinya Liyana tak perlu lagi pura-pura ramah jika harus bertemu.Lalu, pikirannya melayang pada Bara.Laki-laki itu... pria yang dulu ha
Liyana berdiri membeku di balik dinding batu taman. Nafasnya tercekat saat mendengar gumaman terakhir Sapphire yang menusuk seperti jarum dingin ke tulang belakangnya.> “Aku tahu kamu dengar semuanya, Bayu, UPS salah, Lily.”Sapphire kemudian berbalik dan melangkah anggun menuju rumah, meninggalkan jejak ancaman halus yang masih menggantung di udara.Liyana mengepalkan tangan, rahangnya mengeras. Jantungnya berdentam kencang, tapi bukan karena takut. Ini bukan hanya soal rahasia yang terbongkar—ini soal Bara. Tentang bagaimana wanita lain mencoba memutar balik kepercayaannya.Ia tahu Sapphire bukan sekadar datang sebagai “mantan”. Perempuan itu licin, penuh strategi. Dan barusan, dia meletakkan bom psikologis di hati Bara.Liyana buru-buru masuk ke kamarnya, duduk di tepi ranjang sambil memijit pelipis. Ia harus bertindak. Tapi dengan cara yang tak sembrono.Beberapa menit kemudian, terdengar ketukan di pintu kamarnya.Tok. Tok. Tok.Suara itu berat. Ia langsung tahu.“Lily,” panggi
Langit mulai berwarna jingga ketika Bara melangkah keluar dari kamarnya. Kepalanya masih dipenuhi tanya, hatinya masih digelayuti rasa ragu. Bayu—atau siapa pun dia sebenarnya—semakin membuat pikirannya tak tenang. Tapi belum sempat ia menarik napas panjang, seseorang menghampirinya dari arah taman samping rumah.“Sapphire?” Bara sedikit terkejut melihat wanita itu muncul tanpa pemberitahuan.Sapphire mengenakan gaun biru muda yang jatuh lembut, kontras dengan rambut hitamnya yang dikuncir rapi. Tatapannya hangat, tapi ada sesuatu di balik senyumannya yang tak bisa Bara baca."Kenapa kamu tak menghampiriku? dan mengabaikan pesan," ungkapnya kini“Aku tahu kamu sedang kacau. Makanya aku datang. Aku... mau jujur,” ucap Sapphire pelan, suaranya mengambang di udara sore itu.Bara mengernyit. “Jujur tentang apa?”Sapphire menarik napas dalam, lalu melangkah lebih dekat. “Aku minta maaf, Bara. Aku... sudah tahu sejak awal siapa Bayu sebenarnya. Tapi aku diam. Aku... aku disuruh Ryven buat m
Di sudut rumah, malam itu sunyi. Bara duduk di ruang kerjanya, menatap foto pernikahannya yang terbingkai di rak kayu. Foto itu kini terasa asing. Dua wanita—satu di rumahnya kini mengaku Liyana, satu lagi adalah Bayu yang ia pikir asisten, tapi ternyata juga Liyana.Bara menutup mata. Pusing. Perasaannya campur aduk.“Kenapa semua orang menipu saya?” bisiknya lirih.Malam semakin larut. Udara dingin menyusup di antara sela-sela jendela kamar, namun hati Bara lebih beku dari cuaca. Ia masih duduk termenung di kursi kerjanya, memandangi surat perceraian yang belum ia tanda tangani.Tangannya menggenggam pena, tapi matanya kosong. Setiap kali ia menatap nama “Liyana” di lembar itu, dadanya seperti diremas. Ia benci. Tapi juga... rindu. Ia kecewa, namun juga merasa hangat saat mengingat semua hari-hari bersama Bayu—atau Liyana, sekarang. Ia bahkan tak bisa menyebutnya dengan pasti."Kenapa kamu harus jadi Bayu?" gumamnya lirih.Tak lama kemudian, terdengar ketukan pelan di pintu kamar Ba
Pagi itu, matahari enggan menyinari kamar Bara. Tirai masih tertutup rapat, dan udara di dalam kamar terasa pengap, seperti hatinya yang sesak oleh berbagai perasaan yang bertumpuk.Bara masih duduk di meja kerjanya. Matanya menatap satu berkas di hadapannya — berkas pengajuan cerai.Tangannya menggenggam pulpen, namun tak kunjung menorehkan tanda tangan di atas kertas itu. Di luar, terdengar suara burung berkicau, seolah mengejek kebimbangannya.“Kenapa kamu gak pergi aja, Lily?” gumamnya pelan. “Kenapa kamu harus bikin semuanya serumit ini?”Kata-katanya dingin, tapi suaranya bergetar. Ia bukan benar-benar marah... lebih tepatnya, kecewa. Terluka. Tertusuk oleh harapan yang sempat ia pupuk diam-diam sejak Liyana — atau Lily — kembali hadir di hidupnya sebagai Bayu.“Lily...” Bara memejamkan mata, menyebut nama itu dengan berat. “Kamu tahu enggak... saat kamu ngelap keringat saya waktu saya demam... saya ngerasa damai. Saya pikir, Bayu i
Malam itu Bayu (Liyana) berdiri ragu di depan pintu kamar Bara. Ia sudah berkali-kali mengangkat tangan untuk mengetuk, tapi akhirnya kembali ragu. Namun malam ini, ia sudah tak tahan lagi. Ia butuh kejelasan. Butuh berbicara. Butuh menjelaskan. Walau tidak semuanya. Kamu harus kuat, Liyana, bisiknya dalam hati. Dengan satu tarikan napas panjang, akhirnya ia mengetuk pintu. Tok. Tok. Beberapa detik sunyi. Lalu suara langkah pelan terdengar mendekat. Pintu terbuka. Bara berdiri di ambang, hanya menatap sebentar, lalu berbalik badan dan kembali masuk tanpa mempersilakan. Tapi Bayu (Liyana) menganggap itu sebagai isyarat untuk masuk. Ia melangkah perlahan, menutup pintu di belakangnya. Keduanya kini berada dalam satu ruangan yang hening. Suasana tegang merayap seperti kabut. “Ada apa?” tanya Bara tanpa menoleh. Suaranya datar. Bayu (Liyana) mengecap bibirnya yang kering. “Aku... aku mau bicara, Mas.” Bara duduk di kursi dekat meja, menyilangkan tangan. “Kalau ini s
Bayu (Liyana) duduk di atas ranjang sempit dengan mata kosong menatap langit-langit. Hatinya berat. Ia baru saja kehilangan Bara untuk kedua kalinya, dan kali ini lebih menyakitkan karena pria itu sendiri yang berpaling darinya."Dia pikir aku selingkuh..." bisiknya getir. "Dengan Ryven pula..."Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan. Rasanya ingin menjerit, tapi suara itu hanya terkurung di tenggorokan.Sementara itu, Bara duduk diam di ruang kerjanya, menatap foto pernikahannya dengan Liyana yang masih terpajang di rak. Tangannya mengepal."Kenapa kau kembali hanya untuk menghancurkan aku lagi, Liyana?" batinnya. Ia ingin marah, ingin menghapus foto itu, ingin melupakan segalanya—tapi wajah Liyana terus mengganggunya. Kenangan mereka dulu pun berkelebat tak henti.Bara menghempaskan diri ke kursi, frustrasi. Ia tidak tahu harus percaya siapa. Nenek yang mengaku Liyana, atau Bayu yang jelas-jelas berbohong? Tapi wajah Bayu saat bicara dengannya... entah kenapa selalu seperti Liyana.
---Di Vila DanendraSudah tiga hari Bara tidak menyapa Bayu. Bahkan tak menatapnya. Seolah keberadaannya transparan. Padahal biasanya, sekalipun mereka tak banyak bicara, ada tatapan… ada kesadaran bahwa mereka saling hadir.Bayu duduk di pinggir ranjang kecil di kamar tamu yang kini jadi tempat tidurnya. Wig-nya ia simpan rapi di dalam laci, dan rambut aslinya terurai, mulai tumbuh tak rapi. Ia menatap pantulan dirinya di cermin—mata Liyana menatap balik dari balik wajah Bayu."Apa aku harus menyerah...?" bisiknya lirih.Namun bayangan orangtuanya yang masih dalam cengkeraman Gustur membuatnya menggertakkan gigi. "Belum. Aku belum boleh pergi sebelum kebenaran terungkap."Ia keluar menuju dapur, berpura-pura mencari air. Tapi langkahnya terhenti saat melihat Bara di balkon atas, berdiri sendiri, memandang langit malam.Bayu menatap punggung itu lama. Hatinya sakit. Ingin mendekat, tapi takut ditolak.Sementara itu...Di BalkonBara menghela napas panjang. Wajahnya keras, tapi matany
Malam Hari – Ruang Tengah Rumah DanendraLangkah Bayu—atau Liyana—bergetar pelan saat menuruni tangga. Jantungnya berdetak tak karuan. Ia sudah bersiap. Sudah menyusun kata-kata di kepala, berkali-kali. Malam ini, ia ingin mengakhiri semua kebohongan dan mengatakan yang sebenarnya pada Bara.Namun, ketika ia sampai di ruang tengah... Bara tak ada di sana. Yang ada hanya keheningan. Bahkan aroma kopi kesukaan Bara pun tak tercium. Aneh. Biasanya pria itu akan duduk membaca atau diam menatap api perapian.“Pak Bara?” panggilnya pelan.Tak ada jawaban.Dengan hati-hati, Bayu melangkah ke arah kamar Bara. Pintu sedikit terbuka. Ia mendorongnya perlahan dan menemukan Bara sedang duduk sendiri di ranjang, memunggunginya.“Pak...”Bara tidak menoleh. Bahunya tegang. Sunyi.Bayu menegakkan tubuh, mencoba tetap tenang. “Saya ingin bicara sesuatu... penting.”Bara masih diam. Hanya suara angin malam dari jendela yang terbuka sedikit mengisi keheningan.Bayu melangkah maju. “Saya... saya tahu se