Aku bisa merasakan tubuh Erna yang sedikit bergetar. Dia justru melengos. Tak menoleh ke arahku yang tengah menatapnya dengan tajam.
"Kamu salah memilih lawan, sayang," bisiku lirih di telinganya. Baru setelah itu ia hanya diam. Tak menantangku seperti tadi.Aku kembali berhadapan dengan keluarga besar Mas Agam."Jadi bagaimana Mas? Di talak sekarang? Atau langsung diurus perceraian kita?" tanyaku tanpa sedikitpun menunjukan raut sedihku.Mas Agam masih saja bergeming."Ayolah jawab. Apa menunggu di breafing dulu sama Mama biar mau menjawab? Ah tidak perlu diperjelas lagi kan, kamu laki laki loh Mas," tanyaku lagi setengah mendesak."Permisi Tuan. Acara sudah bisa dimulai," ucapnya, yang ku yakin dia adalah seorang panitiaNamun mereka justru melihat ke arahku."Kenapa? Kalian menyuruhku pergi? Aku juga berhak loh. Aku punya akses untuk masuk kesini," kataku sembari menyodorkan tanganku yang memakai gelang akses masuk kembali di hadapan mereka."Dasar wanita tidak tau malu," cerca Mama mertua.Marah? Oh tidak. Aku justru tersenyum kecil."Lebih baik tidak tau malu. Daripada tidak tau diri. Seharusnya mama mengerti dong, mama juga punya anak perempuan loh. Apa tidak takut anaknya diperlakukan seperti aku? Dengar dengar hukum karma dan tabur tuai itu masih berlaku loh Ma," jawabku sembari berbisik lirih di telinganya"Kamu masih mau disini Manda? Tapi ini acara syukuran anakku," tanya Mas AgamMendengar kata 'anakkku' disebut, bohong sekali jika hatiku tidak sakit. Sakit sekali. Dan tetap pada pendiriannya untuk tidak memperlihatkan rasa sakitku di hadapan mereka."Iya. Kalian syukuran kelahiran seorang anak, aku juga syukuran karena bisa terlepas dari keluarga toxic seperti kalian," jawabku.Melihatku yang keras kepala. Sepertinya Mas Agam mengalah karena juga melihat banyak sekali tamu yang sudah datang. Tak lucu bukan jika dia tiba tiba membubarkan acara ini? Dan akhirnya menyuruh panitia untuk segera memulai.Aku tertawa girang dalam hati, sepanjang acara sangat terlihat sekali bahwa Mas Agam kikuk. Mungkin karena kehadiranku. Bodoh amat.Dan di penghujung acara. Panitia mempersilahkan para hadirin yang ingin memberi sambutan sekaligus memberi ucapan kepada keluarga besar.Oh tentu aku mengacungkan jari pertama kali. Panitia yang notabenenya tidak tau siapa aku, tentu sangat mengizinkan. Sementara dapat ku lihat, keluarga Mas Agam ketar ketir melihat aku berdiri di depan sembari memegang mic menghadap semua tamu undangan yang datang."Selamat Malam. Disini yang pertama saya tentu mengucapkan selamat kepada Bapak Agam dan keluarga atas kelahiran putri keduanya. Dan do'a saya hanya satu, semoga ananda tidak mengikuti jejak orang tuanya. Terimakasih"Kalimat sambutanku yang sederhana itu mampu membuat wajah keluarga Mas Adam memerah bak kepiting rebus. Dan tentu saja yang paling penting, membuat para hadirin saling berbisik bisik. Apa lagi kalau bukan karena menghibahkan mereka. Rasakan!Secara umum, acara memang terlihat normal. Namun tentu saja ada ketidakcocokan di hati Mas Agam dan keluarga besarnya. Hingga tiba di penghujung acara, semua hadirin pulang. Dan aku masih disini juga."Kamu tidak ikut pulang? Atau mau bantu bersih bersih disini? Oh pantas sih, jika sudah tidak bersama Agam, kamu pantas mendapatkan peran itu," olok Mama mertua."Saya masih disini untuk menagih hutang," jawabku."Hutang? Mana mungkin anak saya punya hutang ke kamu? Yang ada kamu yang punya hutang nafkah yang diberikan anak saya setiap bulan,""Idih. Nafkah kok dihitung hutang. Katanya kaya raya. Apa tidak malu berkata seperti itu?" lawanku."Manda, kita bisa bicara di luar. Tidak perlu disini," rayu Mas Agam lagi."Aku sudah bilang Mas. Aku ingin menyelesaikan disini. Untuk apa harus di luar? Sama saja.""Mbak tolong tenang. Tolong difikir dengan keadaan kepala yang dingin," kata Aisyah menenangkan.Aku menoleh tajam ke arahnya."Tidak ada yang meminta pendapatmu ya. Jangan bicara otak yang dingin, jika kamu saja juga merusak rumah tanggaku tanpa otak," bentakku.Aisyah tertunduk."Saya memang bersalah Mbak.""Oh jelas tentu. Seperti apapun alasannya, kamu memang salah. Menjalin hubungan dengan pria beristri," serangku lagi."Amanda, saya masih berbaik hati untuk mengizinkan anak saya mempertahankan rumah tangganya denganmu ya. Kalau bukan dengan Agam, mau jadi apa kamu? Apa ada yang sanggup memberimu nafkah hingga tiga digit setiap bulanya? Jadi jangan sia siakan kesempatan ini, sebelum dirimu menderita," ancam Mama mertua lagi.Aku tersenyum kecut."Apa Mama lupa? Kakakku diangkat menjadi perwira tinggi di kota ini. Dan Papaku baru saja diangkat menjadi anggota dewan. Mamaku membesarkan usaha skincarenya yang kini menempati penjualan tertinggi di pasar nasional? Aku juga tidak jelek jelek amat, aku lulusan terbaik universitas favorit, aku mandiri. Lalu bagaimana kalau nyatanya di luar sana aku bisa mendapatkan jodoh yang bahkan bisa menafkahiku sebesar empat digit?" tantangku.Agam melongo. Apakah nasibnya akan seperti sang Mama? Terbaring di rumah sakit seperti ini?Bagaikan sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Ditinggal istri dan sekarang harus kehilangan satu satunya sumber penghasilan.Belum usai, seorang dokter keluar dari ruang rawat mamanya. Masih dengan wajah sedih bercampur bingung, ia menghadap sang dokter."Keluarganya Bu Melani?"Agam mengangguk"Iya. Saya anaknya," jawab Agam"Ibu anda terserang stroke. Dan mungkin harus selalu didampingi ya Pak. Karena tubuhnya sulit untuk digerakan.""Dok, tapi mama saya sebelumnya tidak punya penyakit darah tinggi. Mana mungkin mama saya terkena stroke tiba tiba?" tanya Naya masih tak percaya. Ia tak bisa membayangkan mamanya yang semula bisa beraktivitas tiba tiba harus berubah tak bisa untuk apa apa"Penyakit stroke bisa menyerang siapa dan dengan latar belakang apapun Mbak. Lagipula umur ibu anda sudah tidak muda lagi. Mungkin sebelumnya ada berita yang mengagetkan. Bisa jadi itu memacu tekanan darah beliau
Neni menoleh kanan kiri dengan suara tersebut "Aku disini Mbak," ucap suara itu.Berapa terkejutnya Neni saat mengetahui Naya ada dibelakangnya. Lidah Neni saat itu terasa kelu."Kenapa Mbak? Biasa saja wajahnya. Tidak usah kaget," lanjut Naya dengan senyum mengejeknya."Nay, kenapa kamu ada disini?"Lagi lagi Naya tersenyum penuh remeh"Memangnya kenapa Mbak? Ini tempat umum. Bukan milik Mbak Neni. Jadi wajar aku ada disini," lawan Naya."Untuk apa kamu di ATM? Kamu pasti sengaja ngikutin aku ya?""Tak perlu aku jelaskan bukan apa fungsi ATM. Lagipula bukan hanya Mbak Neni kok yang punya uang. Aku juga punya. Uang halal malahan. Percuma kan uangnya banyak, bisa beli barang branded ternyata uang dari simpanan. Upps." kata Naya lagi Ng dengan sengaja menyindir Neni."Memangnya kenapa? Itu juga karena kesalahan Abang kamu. Tidak bisa mencukupi kebutuhan istrinya." sengit Neni tak mau kalah.Naya menggeleng walau tak percaya. Ternyata ada iblis di balik polos dan cantiknya wajah seorang
Tak ada perlawanan dari Bu Melisa, kecuali menurut untuk turun dari panggung."Ini yang mau Mama cela? Lihatlah bahkan lebih dari Mas Agam," kata NayaBu Melisa hanya melengos. Ya mau bagaimana memang Yoga lebih mapan adanya.Sementara Neni tak perduli. Mau suaminya kalah dengan suami Manda sekalipun, ia tak perduli. Toh ia sudah ada yang baru.Baru saja hendak menyuapkan satu suapan ke mulutnya, Bu Melisa mendapatkan telepon dari salah satu anak buahnya bahwa salah satunya rumah makan mereka yang ada di pusat, yang paling terbesar kebakaran.Bu Melisa tentu shock bukan main. Satu sendok di tanganya gagal masuk ke mulut. Bahkan sekedar untuk memberi tau anak anaknya pun lidahnya terasa kelu.Bu Melisa hanya mampu menepuk bahu Naya yang ada di sampingnya"Ada apa Ma?"Bu Melisa masih diam. Sulit sekali untuk berucap. Karena merasa aneh, Bata mengambil alih handphone mamanya. Dan ia mendengar sendiri bahwa rumah makan mereka sedang kebakaran.Tak banyak tingkah, Naya segera mungkin memb
"Neni bekerja Nay. Dia itu model beberapa baju temannya," bela Agam.Naya hanya melengos. Ia menghela nafas dengan kasar"Gaji dari model baju bisa untuk membeli baju branded seperti itu ya Mas? Mbak Neni bukan artis dengan bayaran fantastis. Artis saja mungkin berfikir berkali kali untuk membeli barang semewah itu. Coba Mas Agam lebih perhatikan Mbak Neni. Lebih tepatnya selidiki. Percaya boleh. Tapi dibodohi jangan mau mas. Jangan hanya menerima begitu saja." kata Naya lagi.Agam hanya mengangguk. Ya Naya memang baru tau hanya pakaian yang diberikan kepada Mama. Belum pakaian yang kemarin. Yang bahkan sempat dibelikan untuk dia.Sepulang dari rumah Mama, Agam mengutarakan rasa penasarannya juga karena aduan dari Naya tersebut."Neni, boleh aku bertanya sesuatu?" tanya Agam dengan pelan"Langsung tanya saja kenapa sih Mas.""Gaji kamu berapa jadi model Nen?"Neni yang ada di sebelah Agam langsungenoleh tajam menatap sang suami."Kenapa Mas Agam tanya seperti itu? Tumben. Aneh. Dan pe
"Tumben sekali. Apa kamu tidak mengajakku untuk turut serta Nen?" tanya Agam sembari menikmati makanan."Duh, bagaimana ya Mas. Teman temanku tidak ada yang membawa suami. Jadi aku tidak enak kalau membawa suami sendiri. Ka.u dirumah saja ya. Ehm sebagai gantinya nanti aku belikan oleh oleh yang mahal tentunya dari hasilku menjadi model baju. Bagaimana?" tawar Neni.Agam mengangguk."Bolehlah."Neni tentu tersenyum penuh kemenangan.'Dasar kere. Disogok pakai barang mahal langsung nurut begitu saja,' gumam Neni."Oh iya Nen. Aku sudah bercerai dengan Aisyah," ucap Agam tiba tiba."Oh iya? Baguslah kalau begitu." jawab Neni dengan santai."Kok responmu biasa saja Nen? Bukankah ini yang kamu harapkan dari dulu?"Neni sedikit salah tingkah."Bukan begitu Mas. Tapi aku sadar, aku sudah bersuami. Itu artinya aku juga harus lebih dewasa dari sebelumnya. Lalu mau Mas Agam aku harus bagaimana? Jingkrak jingkrak begitu? Yang ada ditertawakan ayam mas," elak Neni. Padahal dalam hati juga Neni b
Tentu Manda kebingungan dengan Naya yang ada dihadapannya tersebut."Nay, tenang dulu. Ada apa?"Naya mengusap air matanya."Romi, Mbak."Mendengar itu, Manda yang justru gemetar."Iya benar. Harusnya dari awal aku harus hati hati. Menyelediki di setiap sisinya. Di hari pertunangan, justru dia baru mengaku bahwa menikahiku untuk dijadikan istri ke tiganya. Aku malu Mbak. Malu sekali kepada Mbak Manda,"Manda masih mengggenggam tangan Naya."Tidak perlu malu Nay. Aku juga tidak akan mengolokku. Pak Romi adalah tetanggaku. Jadi aku tau,"Mendengar itu justru tangis Naya semakin pecah."Nay, sudah. Itu artinya Tuhan sudah menyelamatkanmu dari hal yang salah. Kamu tidak perlu malu. Tidak perlu menyesal. Tapi kamu harus bersyukur," pesan Manda.Naya hanya mengangguk kecil."Aku juga minta maaf ya Mbak. Atas topengku. Atas kemunafikan ku. Terutama keluargaku."Manda mengambil nafas panjang. Sejenak netranya terpejam."Iya." jawab Manda singkat."Berat ya Mbak? Iya dan aku sudah merasakanya.