Masih seperti biasa. Mas Agam terlihat salah tingkah dalam kondisi panik. Sementara Mama Mertua hanya diam mematung, antara percaya dan tidak percaya dengan kedatanganku.
Aku tertawa kecil."Amanda, bagaimana bisa? Aduh kenapa? Aduh jangan marah," tanyanya dengan panik.Orang melihatnya terlihat lucu. Tapi aku merasa jijik.Aku benci dengan pembohong."Tenang Mas. Aku datang kesini dengan baik-baik. Harusnya disambut baik juga dong. Aku adalah tamu," ucapku dengan santai.Wajah Mas Agam memerah. Keringatnya mulai bercucuran. Kebiasaan lama. Itulah yang terjadi jika dia dalam keadaan panik.Aku juga melihat Kanaya-adik iparku tampak wara wiri melihat suasana acara. Aku menatapnya. Seolah menantang tatapan matanya. Dan setelah sadar, aku tau dia merasa aneh. Dan keanehan itu adalah aku. Ya aku bisa hadir di acara ini."Naya, biasa saja tatapanmu itu," tegurku setengah berteriak. Tapi jangan salah, aku masih memberikan senyum kepada Naya. Bagaimana tidak, selama ini hubunganku dan Naya memang baik-baik saja. Bahkan terkesan sangat dekat. Naya tengah menempuh kuliah di luar kota. Jika dia pulang, akulah yang selalu menjemputnya, menghabiskan waktu di restoran, di salon, shopping di mall. Ya hampir dimanapun dan di berbagai kesempatan, Naya selalu melibatkanku. Tapi hari ini, aku seperti melihat topeng Naya terlepas. Seolah dia mendukung dan turut andil penuh atas kebohongan yang dilakukan oleh keluarganya. Tanpa aku tau dimana letak salahku.Dan aku sadar, bahwa sakit hati yang dalam bisa saja hadir bahkan dari orang terdekat kita, orang yang kita anggap baik."Jangan buat onar di acara keluarga kami," ancam Mama mertua dengan tatapan tajam menghujam.Image mertua baik, lembut, loyal seketika hilang dalam dirinya. Dan kini aku sadar, semua hanya sandiwara belaka. Semua kebaikanya hanyalah kepura-puraan belaka. Jika statusnya saat ini bukan mertuaku, mungkin sudah aku tampar mulutnya.Aku tersenyum kecut."Santai Ma. Takut banget sih," ujarku melengang masuk.Namun rupanya Mama mertua terus mengikuti langkahku dari belakang. Beliau setengah berlari."Heh Manda. Enak sekali kamu masuk. Kamu bukan tamu disini. Tidak. Kamu tidak ada undangan. Silahkan pergi." larangnya lagi dengan tegas.Sedikitpun aku tidak gentar. Aku tak menjawab sepatah katapun. Aku sodorkan tanganku yang memakai gelang kertas pertanda akses masuk.Ku lihat juga dari ekor mataku bahwa Mas Agam tampak protes kepada panitia. Dia tampak marah besar.Dan panitia hanya tertunduk, tanpa bisa berbuat apa-apa.Rasakan!Apa yang dia rencanakan dengan baik bahkan penuh dengan kematangan, belum tentu berjalan dengan mulus juga.Dasar bodoh!Kenapa aku bilang begitu? Sudah tau ketangkap basah. Masih saja memperlihatkan gejala kebohongan mereka.Mama mertua masih diam. Mungkin beliau bingung dengan apa yang harus dilakukan.Aku tak mau membuang waktu terlalu lama. Aku menyeruak untuk maju lebih depan. Melihat dekorasi yang di persiapkan suami dan mertua di belakangku.Dan yang paling penting adalah melihat kejahatan mereka secara asli. Melihat orang yang dulu mengaku begitu baik terhadapku, perlahan melepas topengnya masing-masing.'Tasyakuran atas kelahiran anak kedua kami'Ada foto Mas Agam dan seorang wanita.Begitulah tulisan di layar depan.Mereka yang hebat atau aku yang bodoh bisa dibodohi hingga anak kedua?Aku sejenak berhenti. Mengatur nafas. Aku memang marah. Marah sekali. Tapi aku bertekad untuk bersikap elegan.Ternyata Mas Agam berhasil menyusulku yang tengah berdiri di depan dekorasi yang begitu indah. Dia meraih lenganku. Dan sedikitpun aku tidak menoleh."Kita bisa bicara baik-baik, Amanda," ucapnya dengan lembut.Tingkah paniknya tadi mendadak hilang. Entah dia di breafing apa oleh Mamanya sebelum menghampiriku."Bicara baik-baik? Setelah kamu melakukan sesuatu yang tidak baik-baik saja terhadapku? Seadil itukah?""Kamu boleh marah Manda. Tapi tolong jangan rusak acara ini.""Aku sudah bilang, aku tidak akan membuat onar. Aku hanya ingin menjadikan acara ini menjadi acara yang tidak akan kamu lupakan seumur hidup kamu. Baik bukan aku?"Mas Agam bergeming."Aku tau kamu cerdas, Manda. Tapi tolong jangan lakukan hal ini kepadaku. Apapun permintaanmu akan aku turuti. Kamu mau apa? Kamu mau penthouse? Kamu mau villa mewah? Atau kamu mau uang nafkah bertambah? Katakan berapa? Dua ratus juta? Tiga ratus juta?" tanyanya.Kali ini aku bergantian menatapnya dengan dalam, tajam menghujam.Plakkk....Tanganku berhasil mendarat di pipi Mas Agam dengan sempurna.Agam melongo. Apakah nasibnya akan seperti sang Mama? Terbaring di rumah sakit seperti ini?Bagaikan sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Ditinggal istri dan sekarang harus kehilangan satu satunya sumber penghasilan.Belum usai, seorang dokter keluar dari ruang rawat mamanya. Masih dengan wajah sedih bercampur bingung, ia menghadap sang dokter."Keluarganya Bu Melani?"Agam mengangguk"Iya. Saya anaknya," jawab Agam"Ibu anda terserang stroke. Dan mungkin harus selalu didampingi ya Pak. Karena tubuhnya sulit untuk digerakan.""Dok, tapi mama saya sebelumnya tidak punya penyakit darah tinggi. Mana mungkin mama saya terkena stroke tiba tiba?" tanya Naya masih tak percaya. Ia tak bisa membayangkan mamanya yang semula bisa beraktivitas tiba tiba harus berubah tak bisa untuk apa apa"Penyakit stroke bisa menyerang siapa dan dengan latar belakang apapun Mbak. Lagipula umur ibu anda sudah tidak muda lagi. Mungkin sebelumnya ada berita yang mengagetkan. Bisa jadi itu memacu tekanan darah beliau
Neni menoleh kanan kiri dengan suara tersebut "Aku disini Mbak," ucap suara itu.Berapa terkejutnya Neni saat mengetahui Naya ada dibelakangnya. Lidah Neni saat itu terasa kelu."Kenapa Mbak? Biasa saja wajahnya. Tidak usah kaget," lanjut Naya dengan senyum mengejeknya."Nay, kenapa kamu ada disini?"Lagi lagi Naya tersenyum penuh remeh"Memangnya kenapa Mbak? Ini tempat umum. Bukan milik Mbak Neni. Jadi wajar aku ada disini," lawan Naya."Untuk apa kamu di ATM? Kamu pasti sengaja ngikutin aku ya?""Tak perlu aku jelaskan bukan apa fungsi ATM. Lagipula bukan hanya Mbak Neni kok yang punya uang. Aku juga punya. Uang halal malahan. Percuma kan uangnya banyak, bisa beli barang branded ternyata uang dari simpanan. Upps." kata Naya lagi Ng dengan sengaja menyindir Neni."Memangnya kenapa? Itu juga karena kesalahan Abang kamu. Tidak bisa mencukupi kebutuhan istrinya." sengit Neni tak mau kalah.Naya menggeleng walau tak percaya. Ternyata ada iblis di balik polos dan cantiknya wajah seorang
Tak ada perlawanan dari Bu Melisa, kecuali menurut untuk turun dari panggung."Ini yang mau Mama cela? Lihatlah bahkan lebih dari Mas Agam," kata NayaBu Melisa hanya melengos. Ya mau bagaimana memang Yoga lebih mapan adanya.Sementara Neni tak perduli. Mau suaminya kalah dengan suami Manda sekalipun, ia tak perduli. Toh ia sudah ada yang baru.Baru saja hendak menyuapkan satu suapan ke mulutnya, Bu Melisa mendapatkan telepon dari salah satu anak buahnya bahwa salah satunya rumah makan mereka yang ada di pusat, yang paling terbesar kebakaran.Bu Melisa tentu shock bukan main. Satu sendok di tanganya gagal masuk ke mulut. Bahkan sekedar untuk memberi tau anak anaknya pun lidahnya terasa kelu.Bu Melisa hanya mampu menepuk bahu Naya yang ada di sampingnya"Ada apa Ma?"Bu Melisa masih diam. Sulit sekali untuk berucap. Karena merasa aneh, Bata mengambil alih handphone mamanya. Dan ia mendengar sendiri bahwa rumah makan mereka sedang kebakaran.Tak banyak tingkah, Naya segera mungkin memb
"Neni bekerja Nay. Dia itu model beberapa baju temannya," bela Agam.Naya hanya melengos. Ia menghela nafas dengan kasar"Gaji dari model baju bisa untuk membeli baju branded seperti itu ya Mas? Mbak Neni bukan artis dengan bayaran fantastis. Artis saja mungkin berfikir berkali kali untuk membeli barang semewah itu. Coba Mas Agam lebih perhatikan Mbak Neni. Lebih tepatnya selidiki. Percaya boleh. Tapi dibodohi jangan mau mas. Jangan hanya menerima begitu saja." kata Naya lagi.Agam hanya mengangguk. Ya Naya memang baru tau hanya pakaian yang diberikan kepada Mama. Belum pakaian yang kemarin. Yang bahkan sempat dibelikan untuk dia.Sepulang dari rumah Mama, Agam mengutarakan rasa penasarannya juga karena aduan dari Naya tersebut."Neni, boleh aku bertanya sesuatu?" tanya Agam dengan pelan"Langsung tanya saja kenapa sih Mas.""Gaji kamu berapa jadi model Nen?"Neni yang ada di sebelah Agam langsungenoleh tajam menatap sang suami."Kenapa Mas Agam tanya seperti itu? Tumben. Aneh. Dan pe
"Tumben sekali. Apa kamu tidak mengajakku untuk turut serta Nen?" tanya Agam sembari menikmati makanan."Duh, bagaimana ya Mas. Teman temanku tidak ada yang membawa suami. Jadi aku tidak enak kalau membawa suami sendiri. Ka.u dirumah saja ya. Ehm sebagai gantinya nanti aku belikan oleh oleh yang mahal tentunya dari hasilku menjadi model baju. Bagaimana?" tawar Neni.Agam mengangguk."Bolehlah."Neni tentu tersenyum penuh kemenangan.'Dasar kere. Disogok pakai barang mahal langsung nurut begitu saja,' gumam Neni."Oh iya Nen. Aku sudah bercerai dengan Aisyah," ucap Agam tiba tiba."Oh iya? Baguslah kalau begitu." jawab Neni dengan santai."Kok responmu biasa saja Nen? Bukankah ini yang kamu harapkan dari dulu?"Neni sedikit salah tingkah."Bukan begitu Mas. Tapi aku sadar, aku sudah bersuami. Itu artinya aku juga harus lebih dewasa dari sebelumnya. Lalu mau Mas Agam aku harus bagaimana? Jingkrak jingkrak begitu? Yang ada ditertawakan ayam mas," elak Neni. Padahal dalam hati juga Neni b
Tentu Manda kebingungan dengan Naya yang ada dihadapannya tersebut."Nay, tenang dulu. Ada apa?"Naya mengusap air matanya."Romi, Mbak."Mendengar itu, Manda yang justru gemetar."Iya benar. Harusnya dari awal aku harus hati hati. Menyelediki di setiap sisinya. Di hari pertunangan, justru dia baru mengaku bahwa menikahiku untuk dijadikan istri ke tiganya. Aku malu Mbak. Malu sekali kepada Mbak Manda,"Manda masih mengggenggam tangan Naya."Tidak perlu malu Nay. Aku juga tidak akan mengolokku. Pak Romi adalah tetanggaku. Jadi aku tau,"Mendengar itu justru tangis Naya semakin pecah."Nay, sudah. Itu artinya Tuhan sudah menyelamatkanmu dari hal yang salah. Kamu tidak perlu malu. Tidak perlu menyesal. Tapi kamu harus bersyukur," pesan Manda.Naya hanya mengangguk kecil."Aku juga minta maaf ya Mbak. Atas topengku. Atas kemunafikan ku. Terutama keluargaku."Manda mengambil nafas panjang. Sejenak netranya terpejam."Iya." jawab Manda singkat."Berat ya Mbak? Iya dan aku sudah merasakanya.