Share

Bab 2.

last update Last Updated: 2022-07-18 20:12:37

“Dik, sebentar lagi akan ada yang kirim lemari sama kasur ya. Baru setelah itu kita pergi belanja,” kata Mas Bayu sambil menurunkan barang-barang dari taxi online yang kami sewa. 

Sebenarnya kami hanya membawa dua koper tas isi baju-baju kami, dan beberapa dus isi beberapa barang yang aku punya di kosan lama dan beberap kado-kado pernikahan kami. 

Mas Bayu membawaku mengontrak di rumah petak. Aku tidak tahu kenapa. Aku pun tidak bertanya. Khawatir dia tersinggung. Bagaimanapun aku sekarang tahu posisiku di hatinya. Dia masih bersedia mengontrakkan rumah buat kami saja, aku sangat bersyukur. 

Mas Bayu sudah selesai menurunkan barang-barang kami. Dia menumpuk barang-barang kami di pojok, sedangkan aku mengamati rumah yang baru saja kami masuki. Rumah dimana aku akan menghabiskan waktu di awal-awal pernikahanku ini. 

Rumah petak yang kami tinggali terdiri dari tiga sekat. Petak pertama, sepertinya cocok untuk menerima tamu dan aktifitas utama kita lainnya. Petak kedua berukuran lebih sempit, bisa untuk ruang tidur. Dan petak ketiga adalah kamar mandi, yang depannya ada sedikit sisa ruang untuk dapur. 

“Kamu nggak papa kan, kita tinggal disini?” kata Mas Bayu, tiba-tiba sudah berdiri tepat di belakangku. 

“Oh, nggak masalah,” jawabku pendek. Asal bersamaku, pasti semua terasa indah. Itu dulu! Sebelum aku tahu bahwa hatinya belum menerimaku. Entah apa yang terjadi setelah ini, tampaknya aku harus memupuskan harapanku.

Tak lama, terdengar Mas Bayu menerima telpon seseorang. Kuduga itu adalah orang yang akan mengantar lemari dan tempat tidur yang dia pesan. 

Benar saja, tak lama kulihat beberapa orang menggotong lemari, kasur, kulkas, kipas angin, dan tabung gas. 

Bagimanapun, aku takjub. Dia sudah bisa membeli beberapa benda-benda utama yang kami perlukan. Mas Bayu lalu memberi instruksi dimana akan diletakkan barang-barang itu. 

“Ayo, Dik, kita keluar sekaligus cari makan,” kata Mas Bayu setelah urusan rumah beres. 

“Apa kita kenalan ke tetangga dulu?” tawarnya saat melihat dari balik jendela banyak tetangga yang duduk-duduk di luar rumah. 

“Nanti saja, Mas. Sepertinya siang begini kita tidak bisa membedakan mana penghuni sini, mana tamu,” usulku. 

Ya, kontrakan yang kami sewa memang area padat penduduk. Ada sepuluh pintu yang saling berhadapan dengan dipisahkan gang yang cukup untuk lewat satu mobil. Dan hari ini memang terlihat ramai sekali di depan rumah. Mungkin karena Hari Minggu, orang-orang semua ada dirumah. 

“Mari, Bu,” sapa Mas Bayu ke gerombolan ibu-ibu yang kami lewati. Aku mengikutinya sambil memberikan mengangguk dan memberikan senyuman terbaikku kepada mereka yang melihatku. 

“Motor Mas masih di kosan Mas yang lama. Besok sepulang kerja sekalian Mas ambil,” katanya seperti menjawab penasaranku. 

Kami berjalan menyusuri gang. Sesekali kulihat Mas Bayu bertegur sapa dengan orang yang dilewatinya. Ini lah salah satu hal yang dulu membuatku jatuh cinta padanya. Sikapnya yang ramah ke semua orang. Baik yang dikenalnya, ataupun tidak. 

Yang aku tidak tahu, kenapa Mas Bayu memilih mengontrak disini? Apakah uang gajinya tidak cukup untuk mengontrak di kontrakan yang letaknya lebih strategis? Padahal, aku bisa saja menawarkan gajiku untuk berbagi jika dia mau. Tapi ya sudahlah. Mungkin nanti aku akan tahu. 

Kami berdua naik angkutan umum. Aku tidak tahu, apakah Mas Bayu memang terbiasa naik angkutan umum? Sepertinya, dia sudah hafal daerah sini. 

Kami berdua pergi tanpa kata. Aku tak tahu harus bertanya apa. Aku takut dia akan tidak menjawab pertanyaanku jika aku mengajaknya bicara. Siapalah aku. Hanya Anita pengagum gelapnya. Biarlah kita berdua sesaat tenggelam dalam kebisuan. 

Angkutan yang kami tumpangi berhenti di salah satu pusat perbelanjaan setelah Mas Bayu memberi aba-aba untuk turun. 

Kami berdua menyusuri pusat perbelanjaan itu. Dan lagi-lagi, Mas Bayu sangat hafal lokasi yang hendak kami tuju. Sepertinya dia audah terbiasa dengan pusat perbelanjaan ini.

“Kita tidak punya alat masak, dan kebutuhan sehari-hari lainnya. Belilah apa yang sekiranya kita butuhkan,” katanya datar setelah kami masuk dan berdiri di salah satu rak yang menjual aneka perabot rumah tangga. 

Aku mengangguk mengerti. Aku sudah terbiasa pindah-pindah kos. Dari kota tempat kuliahku, ke kota ini, tentu saja aku sudah hafal apa yang aku butuhkan. 

“Bawa kartu ini, pin-nya tanggal pernikahan kita. Belilah apa saja yang kamu inginkan. Aku keluar sebentar,” pamit Mas Bayu usai menerima telpon. 

Lagi-lagi Aku hanya bisa mengangguk. 

Entahlah, setelah kata-katanya kemaren, rasanya seperti hambar. Rasa sukaku kepadanya, sepertinya sedikit pudar. 

Aku bergegas mencari tempat barang-barang yang dibutuhkan. Selain perkakas dapur, aku juga membeli perkakas mandi, perkakas bersih-bersih, dan tak lupa bahan makanan dan cemilan. Hingga akhirnya trolly yang aku dorong sudah hampir penuh. 

Kulirik jam yang tertera ponsel. Mas Bayu belum kelihatan. Kuputuskan untuk berlalu dan membayar saja belanjaan ini. Toh, Mas Bayu sudah memberikan kartu ATM nya. 

Kukeluarkan barang-barang dari trolly, lalu satu per satu dipindai oleh Mbak kasir. Tiba-tiba ekor mataku menangkap sosok yang ada di luar supermarket yang berbatas dinding kaca. 

Sosok yang kutunggu-tunggu kedatangannya, sedang asyik ngobrol seorang wanita. 

Dadaku bergemuruh. Tulang-tulang kakiku seolah lolos dari tubuhku. Tapi kutahan. Cepat ku keluarkan belanjaanku dan kupindahkan barang-barang yang sudah di pindai ke tas belanjaku. Sesak rasa dadaku.

Bersambung...

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • AKU TAKKAN MENYERAH, MAS!   Bab 31 C (TAMAT)

    EPILOG “Dedek udah tidur, Bun?” tanya Mas Bayu saat aku keluar kamar. Dia baru pulang dari masjid. Kami masih mengontrak di kontrakan yang lama. Kata Mas Bayu, uangnya ditabung saja agar dapat membeli rumah cash. Dia sudah trauma mencicil rumah, ternyata kalau belum lunas, menjual kembalinya sulit sewaktu-waktu kita butuh uang. Mas Bayu juga jadi dipromosikan jabatannya. Aku mengalah meskipun dia bilang kalau aku menghendaki, dia bisa saja mengajukan pengunduran diri dari kantor itu. Tapi aku tak mau menjadi orang yang kalah. Sinta sudah tidak bekerja lagi di tempat itu. Tak pernah kusangka, justru dia yang mengundurkan diri. Sejak sakit, performanya menurun. Sebenarnya aku juga kasihan. Aku tahu, banyak yang masih menyalahkanku. Aku dianggap sebagai biang sakitnya Sinta, hingga kondisinya saat ini. Meski aku tak pernah merasa berkontribusi. “Berhentilah memikirkan pikiran orang lain, Dik. Selamanya kita tak bisa mengendalikan mereka.” Nasehat Mas Bayu setiap aku kembali lemah,

  • AKU TAKKAN MENYERAH, MAS!   Bab 31 B

    Acara tasyakuran pun tiba. Meski rencananya hanya sederhana, namun ternyata banyak juga yang kami undang. Bahkan, kami sampai menyewa tenda, antisipasi kalau carport penuh. Aku mengundang beberapa teman kantor yang cukup akrab denganku. Meski aku tidak pernah curhat ke mereka tentang masalahku dengan Mas Bayu, paling tidak, aku pun merasa tenang karena tamu tak hanya didominasi oleh rekan kerja dan teman-teman Mas Bayu saja. Tak lupa kami juga mengundang tetangga sekitar dan jamaah masjid yang sudah akrab dengan Mas Bayu. Kami sengaja mengundang dari jam sepuluh pagi. Rencana pagi diisi dengan siraman rohani oleh salah satu ustadz yang dikenal Mas Bayu. Setelah itu, baru ditutup dengan doa bersama dan ramah tamah. Sedari pagi, Mama sudah repot mengurus segala sesuatunya. Dari catering hingga ruangan. Mama mendesain bagaimana caranya agar semua tamu dapat duduk dengan nyaman selama berlangsung acara. Orang tuaku tak dapat hadir. Kehadirannya sudah diwakilkan dengan mama mertua

  • AKU TAKKAN MENYERAH, MAS!   Bab 31 A

    Pak Arman dan Bu Arman sudah pulang. Aku dan Mas Bayu membereskan semuanya. Lelaki itu lalu berinisiatif mencuci semua bekas makanan yang tadi telah kita gunakan. Sementara dia menyuruhku istirahat saja. “Kamu pasti lelah. Duduk saja di situ. Aku yang bereskan semuanya,” ucapnya. Kuakui, Mas Bayu memang sangat baik. Jadi, buat apa aku menyimpan segala kecewaku. Bukankah seharusnya aku bersyukur mendapatkannya.Perkara Sinta, harusnya tak lagi kupikirkan. Dia hanyalah duri dalam pernikahan kami. Bukan aku yang menjadi duri di hubungan mereka. Karena hubungan mereka adalah hubungan semu. Sementara hubunganku dengan Mas Bayu terikat norma agama. Ibadah yang menjadi landasannya.“Ngga usah dipikir, Dik kata-kata Pak Arman tadi,” ujar Mas Bayu sambil mengusap lenganku kala dia usai merapikan semua perabot. Aku menoleh ke arahnya. Bagaimana bisa aku tak memikirkannya, sementara mereka, seolah sangat serius mengatakannya padaku.“Gimana kalau kita bikin tasyakuran saja. Sebentar lagi kan

  • AKU TAKKAN MENYERAH, MAS!   Bab 30B

    “Bagaimana kalau besok Pak Arman dan Ibu kita undang makan bakso di rumah?” Tiba-tiba Mas Bayu memberi usul. Rupanya dia ingat kalau aku siang tadi juga belanja bahan bakso.Aku pun langsung menghiyakan. Pak Arman dan Bu Arman saling berpandangan, lalu mereka tersenyum. “Jangan merepotkan,” sahut Pak Arman. “Nggak repot, Pak. Kebetulan, Dik Anita ini senang masak, Pak. Iya kan, Dik?” ujarnya seraya menatapku disertai senyuman hangatnya. Hatiku menghangat. Dipromosikan seperti ini, aku merasa dihargai dan dianggap oleh Mas Bayu.“Iya Pak, Bu. Sekalian icip-icip bakso, kita bisa ngobrol.” Aku menyahut.Sepanjang jalan, aku tak lagi memikirkan bakso yang besok harus dimasak. Tapi, aku justru memikirkan obrolan apa yang sesuai saat bersama dengan Bu Arman nanti. Aku tak ingin melukai hatinya. Namun aku pun tetap ingin menunjukkan perhatianku padanya. ***“Bener tadi kamu nggak papa?” tanya Mas Bayu saat kami sudah bersiap-siap hendak tidur. “Aku tadi sedih banget, Mas, mendengar cer

  • AKU TAKKAN MENYERAH, MAS!   Bab 30 A

    Mas Bayu memarkir sepeda motornya di sebuah rumah minimalis tak jauh dari kontrakan kami. Pantas saja kalau kami tadi bertemu di supermarket. Ternyata rumah teman kantor Mas Bayu ini cukup dekat. Bisa jadi, sebelumnya aku pernah bertemu dengan beliau entah di mana. Tapi, karena aku tak mengenal beliau, kami tak pernah bertegur sapa. “Ayo, Dik,” ucap Mas Bayu seraya menggandeng tanganku, mendekat ke pintu pagar itu. Tampak cahaya lampu terang berpendar menyinari teras rumah itu. Sementara, di dalam rumah, ruang tamu terlihat gelap. Setelah sekali memencet bel, tak lama lampu ruang tamu menyala. “Lho, Dik Bayu.” Seorang lelaki menyembulkan kepalanya dari balik pintu. Lalu si empunya rumah membuka pintu itu lebar-lebar tatkala menyadari Mas Bayu yang datang. “Ayu masuk-masuk. Tadi, istri cerita kalau ketemu Mas Bayu di supermarket ya. Kebetulan saat belanja tadi, saya hanya nunggu di parkiran, karena istri ceritanya cuma mau beli buah aja,” jelasnya seraya mempersilahkan kami duduk

  • AKU TAKKAN MENYERAH, MAS!   Bab 29 B

    “Mau kemana, Dik?” tanya Mas Bayu saat mendapatiku sudah rapi dengan pakaian hendak pergi. Padahal kami baru saja pulang kondangan. “Pengen belanja, Mas. Bahan makanan di kulkas sudah habis.” Aku beralasan. Meski sebenarnya stok masih cukup untuk seminggu. Hanya saja, kalau untuk membuat siomay atau bakso sebagai pembanding makanan di pesta tadi, aku perlu belanja daging giling dan ikan tenggiri.“Ngga capek?” tanyanya. Aku tahu, sebenarnya dia yang capek. Padahal aku juga nggak minta dia mengantar. Aku bisa berangkat sendiri, toh banyak taksi online juga kalau dia nggak ngijinin aku naik ojek. “Mumpung Sabtu, Mas. Besok biar seharian di rumah." “Ya sudah. Tunggu sebentar. Aku siap-siap.” Mas Bayu yang masih berdiri di ruang tamu, bergegas ke kamar. Dia masih memakai baju sholat karena baru pulang dari masjid.“Ngga papa, Mas. Aku bisa sendiri,” sahutku. Nggak enak rasanya selalu tergantung padanya. Mungkin, dia pun juga perlu istirahat. Apalagi kami habis pergi kondangan. Aku tah

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status