“Dik, sebentar lagi akan ada yang kirim lemari sama kasur ya. Baru setelah itu kita pergi belanja,” kata Mas Bayu sambil menurunkan barang-barang dari taxi online yang kami sewa.
Sebenarnya kami hanya membawa dua koper tas isi baju-baju kami, dan beberapa dus isi beberapa barang yang aku punya di kosan lama dan beberap kado-kado pernikahan kami.
Mas Bayu membawaku mengontrak di rumah petak. Aku tidak tahu kenapa. Aku pun tidak bertanya. Khawatir dia tersinggung. Bagaimanapun aku sekarang tahu posisiku di hatinya. Dia masih bersedia mengontrakkan rumah buat kami saja, aku sangat bersyukur.
Mas Bayu sudah selesai menurunkan barang-barang kami. Dia menumpuk barang-barang kami di pojok, sedangkan aku mengamati rumah yang baru saja kami masuki. Rumah dimana aku akan menghabiskan waktu di awal-awal pernikahanku ini.
Rumah petak yang kami tinggali terdiri dari tiga sekat. Petak pertama, sepertinya cocok untuk menerima tamu dan aktifitas utama kita lainnya. Petak kedua berukuran lebih sempit, bisa untuk ruang tidur. Dan petak ketiga adalah kamar mandi, yang depannya ada sedikit sisa ruang untuk dapur.
“Kamu nggak papa kan, kita tinggal disini?” kata Mas Bayu, tiba-tiba sudah berdiri tepat di belakangku.
“Oh, nggak masalah,” jawabku pendek. Asal bersamaku, pasti semua terasa indah. Itu dulu! Sebelum aku tahu bahwa hatinya belum menerimaku. Entah apa yang terjadi setelah ini, tampaknya aku harus memupuskan harapanku.
Tak lama, terdengar Mas Bayu menerima telpon seseorang. Kuduga itu adalah orang yang akan mengantar lemari dan tempat tidur yang dia pesan.
Benar saja, tak lama kulihat beberapa orang menggotong lemari, kasur, kulkas, kipas angin, dan tabung gas.
Bagimanapun, aku takjub. Dia sudah bisa membeli beberapa benda-benda utama yang kami perlukan. Mas Bayu lalu memberi instruksi dimana akan diletakkan barang-barang itu.
“Ayo, Dik, kita keluar sekaligus cari makan,” kata Mas Bayu setelah urusan rumah beres.
“Apa kita kenalan ke tetangga dulu?” tawarnya saat melihat dari balik jendela banyak tetangga yang duduk-duduk di luar rumah.
“Nanti saja, Mas. Sepertinya siang begini kita tidak bisa membedakan mana penghuni sini, mana tamu,” usulku.
Ya, kontrakan yang kami sewa memang area padat penduduk. Ada sepuluh pintu yang saling berhadapan dengan dipisahkan gang yang cukup untuk lewat satu mobil. Dan hari ini memang terlihat ramai sekali di depan rumah. Mungkin karena Hari Minggu, orang-orang semua ada dirumah.
“Mari, Bu,” sapa Mas Bayu ke gerombolan ibu-ibu yang kami lewati. Aku mengikutinya sambil memberikan mengangguk dan memberikan senyuman terbaikku kepada mereka yang melihatku.
“Motor Mas masih di kosan Mas yang lama. Besok sepulang kerja sekalian Mas ambil,” katanya seperti menjawab penasaranku.
Kami berjalan menyusuri gang. Sesekali kulihat Mas Bayu bertegur sapa dengan orang yang dilewatinya. Ini lah salah satu hal yang dulu membuatku jatuh cinta padanya. Sikapnya yang ramah ke semua orang. Baik yang dikenalnya, ataupun tidak.
Yang aku tidak tahu, kenapa Mas Bayu memilih mengontrak disini? Apakah uang gajinya tidak cukup untuk mengontrak di kontrakan yang letaknya lebih strategis? Padahal, aku bisa saja menawarkan gajiku untuk berbagi jika dia mau. Tapi ya sudahlah. Mungkin nanti aku akan tahu.
Kami berdua naik angkutan umum. Aku tidak tahu, apakah Mas Bayu memang terbiasa naik angkutan umum? Sepertinya, dia sudah hafal daerah sini.
Kami berdua pergi tanpa kata. Aku tak tahu harus bertanya apa. Aku takut dia akan tidak menjawab pertanyaanku jika aku mengajaknya bicara. Siapalah aku. Hanya Anita pengagum gelapnya. Biarlah kita berdua sesaat tenggelam dalam kebisuan.
Angkutan yang kami tumpangi berhenti di salah satu pusat perbelanjaan setelah Mas Bayu memberi aba-aba untuk turun.
Kami berdua menyusuri pusat perbelanjaan itu. Dan lagi-lagi, Mas Bayu sangat hafal lokasi yang hendak kami tuju. Sepertinya dia audah terbiasa dengan pusat perbelanjaan ini.
“Kita tidak punya alat masak, dan kebutuhan sehari-hari lainnya. Belilah apa yang sekiranya kita butuhkan,” katanya datar setelah kami masuk dan berdiri di salah satu rak yang menjual aneka perabot rumah tangga.
Aku mengangguk mengerti. Aku sudah terbiasa pindah-pindah kos. Dari kota tempat kuliahku, ke kota ini, tentu saja aku sudah hafal apa yang aku butuhkan.
“Bawa kartu ini, pin-nya tanggal pernikahan kita. Belilah apa saja yang kamu inginkan. Aku keluar sebentar,” pamit Mas Bayu usai menerima telpon.
Lagi-lagi Aku hanya bisa mengangguk.
Entahlah, setelah kata-katanya kemaren, rasanya seperti hambar. Rasa sukaku kepadanya, sepertinya sedikit pudar.
Aku bergegas mencari tempat barang-barang yang dibutuhkan. Selain perkakas dapur, aku juga membeli perkakas mandi, perkakas bersih-bersih, dan tak lupa bahan makanan dan cemilan. Hingga akhirnya trolly yang aku dorong sudah hampir penuh.
Kulirik jam yang tertera ponsel. Mas Bayu belum kelihatan. Kuputuskan untuk berlalu dan membayar saja belanjaan ini. Toh, Mas Bayu sudah memberikan kartu ATM nya.
Kukeluarkan barang-barang dari trolly, lalu satu per satu dipindai oleh Mbak kasir. Tiba-tiba ekor mataku menangkap sosok yang ada di luar supermarket yang berbatas dinding kaca.
Sosok yang kutunggu-tunggu kedatangannya, sedang asyik ngobrol seorang wanita.
Dadaku bergemuruh. Tulang-tulang kakiku seolah lolos dari tubuhku. Tapi kutahan. Cepat ku keluarkan belanjaanku dan kupindahkan barang-barang yang sudah di pindai ke tas belanjaku. Sesak rasa dadaku.
Bersambung...
Kudorong trolly yang berisi belanjaan. Kutahan airmata untuk tidak keluar. Berkali-kali kuhirup nafas kuat-kuat. Sekilas dari ekor mataku, perempuan itu sudah tidak ada. Mas Bayu kelihatan bergegas menghampiriku. “Sudah semua, Dik?” tanyanya. Aku hanya mengangguk pelan. Kuhempaskan kuat-kuat bayangan yang tadi terlihat. Beruntung Mas Bayu tidak melihat perubahan raut mukaku, atau pura-pura tak melihat. Aku tahu, dia pun tidak menginginkanku. Jadi tidak perlu juga terlalu perhatian kepadaku. “Sini biar aku saja,” katanya sambil mengambil trolly dari tanganku. “Kita makan disini aja sekalian. Di lantai bawah ada foodcourt,” katanya lagi. Dia benar-benar seperti sudah mengenal tempat ini. Kubiarkan dia melangkah di depanku, sedang aku mengekorinya. Toh percuma berjalan di sebelahnya, belum tentu dia akan mengajakku bicara. Apalagi menggandeng tanganku. Aku benar-benar hidup bagai pungguk merindukan bulan. Aku mengikuti saja kemana Mas Bayu berjalan. “Mau masakan Sunda, Padang, ata
“Di bungkus saja boleh?” bisikku pada Mas Bayu. Lelaki itu menatapku sejenak, lalu ia mengulaskan senyum di bibirnya sebelum kemudian mengangguk. Entahlah. Kulihat sikap Mas Bayu biasa saja. Tidak ada rasa gugup saat bertemu wanita yang bernama Sinta itu. Tidak seperti orang lain yang merasa gugup jika melakukan hubungan di luar hubungan sahnya. Benarkah dia pacarnya Mas Bayu? Tapi mengapa dia tetap ramah padaku? Seperti tidak ada dendam? Apa sebenarnya dalam hatinya juga ada dendam? Ah, aku tak tahu. Kepalaku terasa pusing memikirkannya. Kami segera beranjak dari tempat itu. Kulihat Mas Bayu berpamitan pada Sinta dan seorang perempuan yang menemaninya. Sepertinya, Mas Bayu pun sudah akrab dengannya. Aku tak tahu. Aku tidak mau tahu. Aku tidak ingin bertanya. Kami kembali pulang. Berjalan dalam diam. Sesekali Mas Bayu menyapa orang yang duduk-duduk di tepi gang menuju rumah kontrakan kami. Malam kian larut, setelah kami makan malam dan bersih-bersih, aku berniat merebahkan diriku
Mas Bayu memindahkan bubur ayam ke dalam mangkuk, lalu berjalan mendekatiku yang duduk di atas kasur busa yang baru dibelinya kemaren. “Makan dulu, ya,” katanya sambil menyendokkan bubur. Aku menggeleng. “Biar aku sendiri, Mas," ucapku. Dia mengangguk. Lalu memberikan mangkuk berisi bubur ayam itu kepadaku. Sementara, dia juga makan bubur yang sama langsung dari kemasan stereoform. Mungkin dia memindahkannya bagianku ke mangkuk karena aku makan di atas pembaringan, khawatir tumpah. Kami berdua makan dalam diam. “Dik, aku hari ini ke kantor. Kamu nggak papa kan Mas tinggal?” tanya Mas Bayu. Kuakui, Mas Bayu memang lembut dan perhatian. Itu juga yang membuatku jatuh hati padanya. Sayang, hatinya bukan milikku. Tak ada gunanya aku menang dan mendapatkan raganya bersamaku, jika perasaannya bukan milikku. Aku mengangguk menjawab pertanyaannya. Lidahku masih kelu untuk berucap sesuatu. “Nanti siang Mas pesenkan makan saja dari kantor,” tuturnya lagi sambil bersiap-siap ke kanto
Sudah hampir seminggu aku kembali bekerja. Pikiranku lebih fresh. Meskipun saat melihatnya di rumah, kadang masih ada rasa kesal. Ya, bukan kesal kepadanya. Tapi kesal kepada diriku sendiri. Mengapa dulu teramat mencintainya. Hingga aku terlupa, bahwa ada pemilik hatinya. Meski hampir tiap pagi Mas Bayu mengantarku, dan tiap sore dia menjemputku, tapi kami berdua selalu dalam diam. Rumah kubiarkan berantakan, bahka Mas Bayu yang sering mengalah merapikannya. Dia juga yang mencuci bekas makan dan minum kami. Dia pula yang mencuci baju kami. Aku memang benar-benar malas mengerjakan apapun. Tak kupedulikan apa yang ada dalam pikirannya tentangku. Yang kuinginkan, aku ingin bahagia. Itu saja. Pagi ini, Hari Sabtu. Aku hanya duduk merenung di karpet ruang depan sejak usai Salat Subuh tadi. Biasanya, kalau hari kerja, aku sudah bersiap-siap.“Mau cari sarapan? Sekitar 1 km dari sini ada pasar kaget. Biasanya banyak yang jual sarapan,” kata Mas Bayu.Aku menatapnya tak percaya. Dia bisa t
Mas Bayu masih menggenggam tanganku. Kami berjalan beriringan. Di depan kami tampak banyak penjual sayur-sayuran lengkap. Ada beraneka ikan segar termasuk cumi dan udang, ada berbagai daging sapi yang terlihat segar, juga ayam potong. “Kamu belum pernah masak, Dik. Setahuku dulu kamu suka memasak,” ujar Mas Bayu sambil menatapku. Seger kupalingkan mukaku ke penjual-penjual itu. Sedikit ge er aku mendengar Mas Bayu tahu kalau aku dulu suka memasak. “Kalau kamu mau masak, kita beli sayuran disini aja. Nanti aku bantu,” katanya lagi. Kulirik dia yang sudah berjongkok di depan pedagang sayuran itu. “Dik, kamu bisa buat trancam nggak, kayaknya seger ya kalau kita makan sambal urap nanti siang,” katanya sambil menengadah, menatapku yang masih berdiri di belakangnya. Rasa bersalah menyelimutiku. Hampir sepekan aku menjadi istrinya, tak pernah sekalipun aku menyalakan kompor di rumah. Padahal aku sudah berbelanja bumbu dapur lengkap saat pertama belanja, sebelum melihat wanita itu. Akh
Hari Minggu pagi, sehabis Salat Subuh, aku langsung beranjak. Tak seperti biasanya yang bermalas-malasan. Setelah membereskan tempat tidur dan semua isi rumah, aku berencana hendak memasak nasi goreng. Semua bumbu dan bahan sudah kupersiapkan. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul 06.00 pagi. Namun, sejak Subuh, Mas Bayu belum pulang dari masjid. Kemanakah dia? Hatiku mendadak gelisah. Pikiranku kembali mengembara kemana-mana. Mataku melirik rak yang ada di ruang depan, tempat dia biasa meletakkan ponsel. Tidak ada. Sejak kapan dia ke Masjid membawa ponsel? Seingatku, biasanya dia tidak pernah membawa benda pipih itu. Kemana dia perginya? Apakah menemui Sinta? Pikiranku berkecamuk. Hatiku menjadi tidak tenang. Nafas kuhela berkali-kali agar sesak di dada menjadi berkurang. Aku yang tadi sudah bersemangat untuk membuat sarapan, mendadak seleraku sudah hilang. Setega itukah kamu, Mas? Aku mencoba menguatkan hati. Namun, entah mengapa justru genangan di mata semakin membuat pandang
Sejak aku sering berpapasan dengan Sinta di sekitar kontrakan kami, aku benar-benar malas kalau Mas Bayu mengajak keluar rumah. Aku trauma. Tepatnya paranoid.Malam itu, menjelang tidur, aku mengambil buah mentimun di kulkas dan mengirisnya tipis. Aku ingin mengompres mataku, agar keesokan paginya mata ini tidak terlihat terlalu bengkak. Lagipula, rasanya pedih karena terlalu banyak menangis. Dengan dikompres, aku berharap akan memberikan efek dingin dan sejuk.Segera kubaringkan tubuhku di kasur, kemudian meletakkan irisan mentimun itu di atas kelopak mata yang sudah terpejam. Benar saja. Efek dinginnya tak hanya enak di mata, namun juga sedikit menenangkan hatiku yang galau. Harusnya pengantin baru sepertiku hidup diliputi kebahagiaan, namun justru sebaliknya. Aku tak tahu bagaimana perasaan Mas Bayu. Mungkin juga dia lebih terluka dari aku karena pernikahannya dengan Sinta yang kandas. Dengan mata terpejam, aku mencoba menghapus bayang-bayang kelam yang selama ini menyiksa. Saya
Dahiku mengernyit bersamaan dengan mata yang menyipit. Mulut ini berusaha mengeja kata demi kata yang tertera di sepucuk surat itu. Tagihan tunggakan cicilan rumah? itu yang tertulis di sana. Apa ini maksudnya?Slip tagihan aku baca berulang kali, memastikan aku tidak salah lihat.Dadaku bergemuruh. Ada rasa yang membuatku seolah terhisap ke dasar bumi. Rahasia apa lagi yang disembunyikan Mas Bayu. Aku sampai mengucek mata untuk meyakinkan kembali apa yang terbaca.Nama Mas Bayu terpampang jelas di slip tunggakan cicilan rumah. Ada tipe rumah, ada alamat dan ada nama pengembang perumahan tertera di surat itu.Mendadak wajahku terasa pias. Sesak rongga di dadaku seolah ada puluhan ton batu menindih di sana. Tiba-tiba, sebuah tangan lembut meraih surat yang aku pegang. Entah kapan Mas Bayu sudah ada di depanku. “Dik, duduk sini. Mari, Mas jelaskan.” Pria itu berkata dengan lembut sembari meraih tanganku. Dia membimbingku untuk duduk di sebelahnya. Aku sedikit memiringkan badan, beru