LOGINTama masih berdiri di teras, mendengar samar-samar tangisan Vika, menyadari ia sudah terlambat untuk apa pun.
Beberapa menit kemudian, Marno keluar menemui Tama. "Maaf, Nak. Dia nggak mau keluar." "Saya juga minta maaf, Pak. Ini... ini punya Vika," Tanpa berkata apa pun lagi, Marno mengangguk, menerima liontin biru motif matahari yang disodorkan Tama, lalu menutup pintu perlahan. Dan Tama pun pergi dengan rasa sangat terpaksa. Di balik pintu itu, selang beberapa saat Ravika akhirnya tertidur dengan mata yang bengkak, bukan karena menyerah, tapi karena mulai paham satu hal, dunia bisa hancur hari ini, tapi ia masih punya seorang ayah yang tidak akan pergi darinya. -oOo- Tujuh bulan sepuluh hari berlalu setelah test pack itu, HPL sudah saatnya menjemputnya... Ketika akhirnya bayi itu lahir di sebuah klinik sederhana, Ravika menangis bukan karena sakit, tapi sebaliknya karena lega. Bayinya kecil, lucu, hangat, harum wangi susu, perempuan, dan sehat. Bagian kecil dari dunianya yang ia simpan dan perjuangkan sendirian selama sembilan bulan sepuluh hari. “Ely…Elyra Ananda,” katanya, memberi nama itu sambil menyentuh pipi mungil putrinya. Mata Ely terbuka, dan... astaga, sangat mirip seseorang. Mirip lelaki yang ia cintai, yang kini berada jauh dari hidupnya, yang mungkin bahkan tidak mengingat dia lagi. Mirip Nayottama, dengan sorot mata lembut yang membuat Ravika dulu tergila-gila jatuh hati. Ravika mengusap matanya, “Mama di sini, Sayang. Mama nggak akan ke mana-mana.” Sampai rumah, suara hujan di luar jatuh ke atap seng, berisik menandai awal kehidupan baru. Tidak mudah. Tak indah. Bukan romantis. Bahkan penuh cobaan. Tapi nyata. Sangat nyata dan penuh cinta yang keras kepala. Perasaan itu mulai mengendap di dadanya, sebuah cinta yang bertahan di tengah kehilangan, kesunyian, dan dunia yang tidak pernah berpihak padanya. Ia tidak menunggu siapa pun. Ia hanya belum selesai mencintai seseorang, yang sekarang menitis ke anaknya. Dan cinta itu, betapa pun sepi dan panjang jalannya, telah memilih tempatnya di dunia, sebagai buah cinta terlarang... Elyra. -oOo- Pagi-pagi di rumah Marno berubah jadi rutinitas baru yang anehnya menenangkan. Bukan karena semua baik-baik saja, tapi karena Ravika sudah terbiasa mengalah pada semesta. Kain popok dijemur berdempetan seperti bendera-bendera kecil anak Pramuka. Botol susu direbus di panci aluminium yang mulai menguning. Suara Elyra kadang cuma gumaman, kadang jeritan, kadang tawa kecil yang bikin dada Ravika hangat tetapi perih oleh ingatan. Marno pulang kerja lebih awal beberapa hari pertama, ia masih canggung menggendong bayi mungil, seorang cucu penerus sejarahnya. “Gimana tadi anaknya?” tanya Marno sambil melepas sepatu bot dengan wajah kusut penuh debu semen. Lalu membasuh tangannya di kran luar. “Rewel, Yah. Tapi tidur juga akhirnya,” jawab Ravika, mengelap keringat di leher Ely yang barusan selesai menyusu. “Ayah coba gendong sini.” “Takutnya jatuh nanti.” “Lah, kamu pikir Ayah segoblok itu? Memangnya yang gendong kamu waktu kecil siapa?” Ravika akhirnya tertawa kecil, suara bahagia yang pertama kali muncul setelah hatinya hancur sembilan bulan lalu. Elyra pun digendong Marno. Dan ajaibnya, bocah kecil itu langsung diam, matanya fokus ke wajah keriput yang jarang tersenyum. Marno tertegun. “Dia kayak kenal Ayah,” gumamnya. “Memang kenal. Waktu aku hamil, Ayah tiap hari ngomel sambil mijetin kakiku. Suaranya nembus ke rahim.” Marno mendelik sok marah. “Kamu ini, Nak.” Tapi detik itu, Ravika tambah sadar, dunia kecil mereka mungkin penuh keterbatasan, tapi Elyra tidak lahir di rumah yang kekurangan cinta. Malam-malam berikutnya, Ravika belajar tidur sambil setengah sadar, telinganya disetel otomatis menangkap tangis Ely. Ia bangun, menyusui, mengganti popok, kadang sambil menangis diam-diam, bukan menyesal karena melahirkan Ely, melainkan menyesal pernah percaya masa depan bisa direncanakan manusia. Namun setiap kali Elyra menggenggam jarinya, sekecil apa pun, Ravika merasa hidupnya membuka menerima cahaya. Marno sering memperhatikan dari kusen pintu, tidak banyak bicara, hanya memastikan anak dan cucunya tetap bernapas tenang. Suatu malam, saat Ely baru tidur dan rumah sunyi, Ravika menatap jendela kecil yang menghadap gang. “Aku bisa, Yah,” bisiknya ke udara, seperti bicara pada dirinya sendiri. “Aku harus bisa.” Elyra menjadi jangkar yang mengikat Ravika pada dunia yang berkali-kali mencoba menenggelamkannya. Dan semesta punya selera humor sendiri, kadang ia memberi luka besar untuk menghadirkan cinta yang lebih besar lagi. Segalanya berjalan tanpa glamor, tanpa soundtrack romantis, tanpa pahlawan yang datang menjemput. Hanya Ravika, Marno, dan Elyra, bertahan dengan cara yang paling manusiawi. Tiap pagi dan sore hari, rumah kecil itu selalu beraroma campuran bedak bayi, minyak telon, dan tumisan sederhana dari dapur sempit. Sesekali tetangga lewat sambil melongok, lalu bilang, “Mirip banget kamu ya, Vik,” atau... “Bayi yang cantik, matanya tajem,” terus pergi begitu saja, meninggalkan Ravika dengan rasa bangga yang getir. Ravika mengatur hidupnya memakai pola yang dibuat Elyra, tidur ketika Ely tidur, makan cepat ketika Ely anteng, mandi kalau semesta sedang baik hati. Rambutnya sering diikat asal-asalan, kaos belel jadi seragam harian, tapi matanya… matanya tetap sama seperti sebelum semua badai, keras, jujur, dan penuh cinta yang tak mau mati meski dipaksa. Kadang Ravika menatap liontin biru motif matahari itu, yang waktu itu dikembalikan Tama melalui ayahnya. Liontin itu tetap disimpan dalam kotak kecil, tidak ia buang. Ia tak mau menyentuh masa lalu, tapi juga tidak sanggup memutusnya. “Aku nggak nunggu kamu, Mas,” bisiknya setiap kali kotak itu terbuka. “Aku cuma… belum selesai mencintaimu.” Kalimat itu bukan doa, bukan harapan, cuma pengakuan paling jujur yang ia punya sebagai manusia. Malam lain saat hujan turun deras. Atap seng rumah Marno ribut seperti perang antar wajan. Elyra gelisah, menangis tanpa jeda. Ravika menggendongnya, mondar-mandir dalam rumah sepetak, menepuk-nepuk punggung mungil itu. “Ayo, Sayang… tidur, ya? Mama capek banget hari ini.” Marno muncul dari balik pintu, wajahnya lelah tapi tetap mencoba kuat. “Sini, Ayah bantu,” katanya. Ravika menyerahkan Ely, dan untuk beberapa menit, rumah itu terasa seperti kapal kecil yang terapung di tengah badai tapi tidak karam. Marno menimang Ely sambil bersenandung lirih lagu Jawa yang dulu dinyanyikannya ke Ravika saat kecil. Ely akhirnya tenang. Ravika bersandar di dinding, menatap ayahnya. Ada rasa bersalah, rasa sayang, rasa ingin memeluk dunia yang sangat kejam, tapi juga sangat murah hati di waktu yang tak ia duga. “Ayah…” Ucapannya terpotong napas panjang. “Makasih ya.” “Makasi apaan? Kamu pikir Ayah cuma bangun rumah orang? Ini rumah Ayah sendiri, rumah kita, meskipun nyatanya ngontrak.” Ravika senyum. “Ya maksudku, makasi udah bangun aku juga, Yah.” Marno mendengus, pura-pura cuek, padahal matanya terlihat basah. Hari-hari seperti itu menumpuk, membentuk mosaik kecil dari cinta yang diam. Tidak ada yang spektakuler. Tidak ada yang heroik. Tapi Ravika tumbuh menjadi ibu, detik demi detik, luka demi luka. Setiap gigitan kecil di jarinya, setiap tawa renyah Ely, setiap malam panjang tanpa tidur, secara perlahan memperbaiki bagian dirinya yang remuk. Cinta itu keras kepala, tapi juga penyembuh yang paling sabar. Ketika semuanya berjalan stabil, stabil versi sederhana mereka, waktu akhirnya bergerak juga. Dan di suatu sore yang biasa-biasa saja, Ravika mengangkat Ely di pundaknya, meniup perutnya sambil tertawa, ia tidak sadar kalau hidup mereka sedang bersiap berbelok ke jurang yang lebih dalam.Pagi itu, halaman Greenfield riuh oleh anak-anak dan guru-guru yang bersiap untuk acara peresmian Langit Cerah Anak Negeri. Balon-balon warna-warni menari di tiup angin, spanduk bergoyang lembut. Ravika berdiri di dekat pintu gerbang, clipboard di tangan, matanya mengikuti setiap gerakan tim koordinasi.“Pak Seno, pastikan meja tamu sudah rapi. Sound system dicek lagi, ya, jangan sampai mikrofonnya mati pas sambutan,” katanya sambil tersenyum tipis.Seno mengangguk cepat, ia sedang sibuk menata kursi dan dokumen. “Siap, Bu. Semua sesuai jadwal. Tamu VIP akan datang lima menit lagi.”Tapi hanya berselang detik, Mobil hitam berhenti di depan gerbang Greenfield. Tama keluar dengan jas rapi, wajahnya tenang tapi matanya terus mengamati suasana. Begitu tatapannya bertemu Ravika, ada detik hening mengambang. Tak perlu kata-kata, hanya rasa familiar yang menggantung di udara.Kepala sekolah, sebagian guru Greenfield dan guru sekolah mitra yang bergabung menyambutnya. "Selamat datang, Pak
Vika segera merapikan diri dan bergegas keluar. "Mas Tama?!" sapanya saat membuka gorden lusuh kamarnya. Tama tersenyum, wajah cantik tanpa riasan dan seragam guru itu masih sama dengan delapan tahun silam. Tapi ada rasa sedih setelah matanya menyapu seluruh isi rumah yang sempit. Betapa sederhananya kehidupan mereka. Sangat jomplang dibandungkan rumahnya. Ia merasa sangat terpukul dan bersalah. "Kita ngobrol di luar aja, lebih bebas," ucap Tama mengalihkan. Vika pun mengangguk, mengikuti ajakan Tama. "Setelah delapan tahun, keluargamu masih di sini?" Tama membuka obrolannya lirih setelah mereka duduk berdampingan. Gang kecil didepannya adalah bukti berderetnya rumah sederhana di kampung tengah kota itu. Omongan keras pasti akan terdengar tetangga. Vika membalas cepat tapi lirih, "Mau ke mana lagi, Mas. Ini pun kontrak. Biaya buat nyari rumah nggak pernah cukup. Aku cuma honorer. Ayah buruh bangunan, sekarang udah tua dan sakit-sakitan." Tama diam, matanya sayu m
Tinggallah Ravika dan Tama yang keduanya sudah masuk di dalamnya.Hening melingkupi...Hanya dengung mesin halus, detak jam tangan yang entah milik siapa, dan desir AC yang seakan berusaha mendinginkan hati yang panas. Tama menoleh pelan, melihat Ravika yang masih menggenggam ponselnya. Wajahnya pucat, pandangannya tak fokus.“Kamu kenapa? Sekarang mau jujur?” suaranya rendah, nyaris bergetar, dan kini lugas, meruntuhkan topeng formal keduanya. Ravika tak langsung menjawab. Matanya menatap keluar jendela, pada barisan anak-anak yang mulai pulang. Elyra ada di antaranya, masih berlarian kecil bersama teman-temannya di halaman sambil membawa tasnya sendiri.Memastikan anaknya aman, Ravika menoleh ke wajah Tama dengan tetesan air mata yang tak terbendung. Suaranya mulai serak. Perasaannya campur aduk. Ada rindu membara, sakit, khawatir, dan rasa untuk tetap tangguh. "Mas, liontin ini...benar punya kita sejak delapan tahun lalu. Elyra yang minta memakainya. Tapi aku belum mau bahas ini
Liontin itu memantulkan cahaya sore di permukaannya, sekaligus memantulkan juga sesuatu yang selama ini ia pendam, memori lama, hadiah yang seharusnya tak kembali “Liontin ini... dari mana Bapak bilang tadi?”“Taman belakang Greenfield,” jawab Tama pelan. “Beberapa hari lalu. Seorang anak kecil ada di sana menolong anak kucing, mungkin dia yang menjatuhkan.”Ravika berusaha menahan nada suaranya agar tetap stabil.“Anak kecil itu... siapa?”“Saya belum yakin,” kata Tama hati-hati. “Tapi anak itu sepertinya Elyra.”Nama itu membuat Ravika seolah kehilangan napasnya sesaat. Ia cepat menunduk, menatap liontin itu lama.Setiap retak kecil di permukaannya seperti mengembalikan potongan waktu yang ia kubur delapan tahun silam.Seno muncul dari arah taman sambil membawa clipboard. “Bu, Pak, ini layout panggung udah disetujui. Oh, liontin, ya? Cantik banget. Punya anaknya, Bu?”Ravika cepat merapikan ekspresinya, mengambil alih situasi. “Iya, sepertinya Ely sempat bilang kehilangan gantung
Tama akhirnya membuka sedikit rahasianya. “Dulu aku pernah punya benda yang sama. Hadiah, tapi sempat kukembalikan.” Tama mengusap tepi liontin itu dengan ibu jari. “Sekarang, entah gimana, benda ini muncul lagi. Dari tangan seorang anak.”Seno bersiul pelan. “Plot twist hidup, Pak. Jangan-jangan anak itu...”“...Ely.” Tama memotongnya cepat, matanya menatap lurus ke depan. “Dan kalau benar liontin ini punya anak itu, berarti... ini dari ibunya.”Seno mencondongkan badannya. “Ibunya? Maksud Bapak... Bu Ravika adalah kenalan Bapak dulu?”Tama tak menjawab. Angin sore masuk lewat jendela, membawa aroma cat baru dari taman belakang. Ia hanya menatap kilau biru itu, seperti sedang menimbang antara logika dan takdir.“Delapan tahun berlalu, Sen,” katanya pelan. “Dan benda sekecil ini masih bisa muterin arah hidup orang.”Seno berdecak. “Kalo kayak gini, saya jadi takut tiap nemu koin di jalan. Siapa tahu punya kisah belum kelar juga.”Tama tertawa tipis. “Kamu aja yang takut. Aku cuma pen
Esoknya... SD Harapan Bunda tak semewah Greenfield, tapi halaman depannya terasa hangat. Cat temboknya mulai pudar, pohon ketapang menjulang teduh, dan suara anak-anak terdengar bernyanyi dari dalam kelas.Tama membuka kaca jendela mobilnya di depan gerbang, menatap papan nama sekolah itu lama. “Tempat ini… kayak nggak asing,” gumamnya.Saat berhenti, Seno membukakan pintu mobil. “Aneh juga, ya. Dari semua sekolah mitra, kenapa Bapak pengin datang ke yang ini?”Tama tersenyum tipis. “Insting.”Begitu mereka masuk, seorang perempuan berseragam sederhana bergegas mendekat dengan senyum ramah dan profesional. “Selamat pagi, Bapak dari DharmaLux, ya?”Tama mengangguk. “Saya Nayottama. Ini asisten saya, Seno.”Perempuan itu tampak ragu, seperti dipaksakan harus menjabat tangan Tama. “Saya Ravika.”Waktu berhenti seketika. Mata beradu pandang. Cukup lama bagi dua orang yang normal bersalaman. Sekilas angin menyingkap ujung jilbabnya, dan seolah semua bunyi di sekitar menghilang. Nama







