LOGINDua bulan sebelumnya di langit sore kampus Universitas terkenal di Salemba, Jakarta Pusat, berubah jingga, mirip bara api yang perlahan padam.
Lampion-lampion kertas menggantung di taman, dan di antara kerumunan toga hitam, tawa bahagia, serta kilatan kamera, dua sosok manusia berdiri sedikit terpisah dari keramaian. Vika hanya mengenakan kemeja putih dan rok panjang hitam sederhana, bukannya toga, karena ia memang belum waktunya lulus dari program sarjana beasiswanya. Salah satu toga itu dikenakan oleh Nayottama Dirgantara, kakak tingkatnya beda dua tahun, dengan jas hitam yang terlalu formal untuk sekedar wisuda, menatapnya seperti sedang menghafal sesuatu yang tak ingin dilupakannya. “Kamu datang juga, Vik,” suara Tama hampir tenggelam di tengah sorak sorai mahasiswa lain dan keluarganya. “Tentu. Aku kan udah janji, Mas,” jawabnya ringan, meski genggaman tangannya gemetaran di balik tas kecil di gantungan pundaknya. Tama tersenyum singkat, tapi matanya gelisah. Ada sesuatu yang ia sembunyikan. Mereka berjalan ke sisi taman, di dekat pohon flamboyan tua yang sedang gugur bunganya. Vika menyodorkan kotak kecil, berisi liontin biru berbentuk motif matahari. “Selamat diwisuda ya, Mas Tama. Ini cuma hadiah kecil. Gak mahal, tapi aku pilih sendiri dengan cinta.” Tama membuka kotak itu, menatapnya lama, tampak sederhana namun indah, lalu berkata pelan, “Kamu tahu aku gak pantas nerima ini, Vik.” “Maksudmu... Kenapa?” “Karena... karena aku nggak bisa janji akan dapat terus ada di sisimu. Tapi kamu harus tahu, itu bukan karena aku nggak mau, Vik.” Kata-kata itu seperti guncangan angin topan yang menciptakan retakan kecil, yang kemudian melebar jadi jurang. “Kenapa ngomong gitu sekarang, setelah semua ini, Mas?” mata Vika mendadak berubah memerah, suaranya sontak bergetar. Tama menarik napasnya panjang. Ada bongkahan berat di dada yang menghalanginya untuk bisa berkata jujur. “Papaku…papaku nggak setuju dengan hubungan kita, Vik. Dia udah menyiapkan rencana lain, semuanya. Setelah ini, aku akan langsung ke London, ikut pelatihan manajemen agar siap di perusahaan Papa, lalu kembali untuk… untuk pernikahan," suaranya terbata. “Pernikahan...?” nada Vika tercekat, hampir hilang. “Iya. Mereka bilang, ini keputusan dua keluarga, dua perusahaan. Untuk merger. Menjaga citra dan nama baik.” Vika mundur setapak, menatap Tama dengan mata yang mulai menggenang. “Kamu tahu, nama baik bukan cuma milik keluargamu, tapi punya kita kamu yang hancurin barusan. Kamu juga baru aja hancurin aku, Mas.” Tama mencoba mendekat, tapi Vika menahan dadanya dengan kedua telapak tangannya. “Jangan," cegahnya keras. “Dengar aku dulu, Vik.” “Enggak. Kamu yang denger aku. Kalau kamu gak bisa milih aku, kenapa dulu kamu ajarin aku percaya tentang kesetiaan cinta?” Suara musik dari lapangan menggema keras, lagu kelulusan yang harusnya menciptakan kebahagiaan semua orang, mendadak bagi Vika, setiap nadanya terdengar seperti ejekan yang menusuk jantung. "Aku udah ngelawan, Vik. Tapi di rumah itu, aku masih cuma sebatas anak yang dikasih uang buat diam, nggak bisa apa-apa.” Vika terdiam menahan tangis, sementara Tama hanya menatap, tanpa keberanian, tanpa alasan yang lebih bisa membenarkan pengkhianatannya. Lampion-lampion mulai dilepaskan ke udara. Satu, dua, tiga... Teriakan para mahasiswa menggelegar. Menandai keputusan besar yang mendadak harus Vika buat. “Selamat jalan, Mas Nayottama,” kata Vika akhirnya. “Semoga langitmu cukup tinggi buat menutupi jejakku.” Ia berbalik pergi sebelum air matanya jatuh, sementara Tama hanya berdiri mematung, memegangi liontin yang belum sempat ia kembalikan. Malamnya… Tama datang sendiri ke rumah Vika, mengetuk pintu rumahnya pelan, sekali, dua kali... Dari dalam kamar, Ravika memeluk dirinya sendiri, lutut ditarik ke dada, menahan isakan supaya tak terdengar. Dunia rasanya terlalu sempit buat menampung sakit yang baru saja menggempurnya. Ketukan itu tak berhenti. TOK... TOK... TOK... Marno, ayahnya muncul di ambang pintu kamar, wajahnya kaget melihat putrinya bersembunyi di bawah selimut. “Dia di luar,” ucap Marno lirih. “Katanya mau bicara.” “Bilang aja aku nggak mau ketemu!” seru Ravika, suaranya pecah. “Aku capek, Yah… aku capek diingkari orang yang aku percayai.” Marno mendekat dua langkah. “Vik, kamu jangan begini. Setidaknya dengerin dia dulu.” “Untuk apa?” Ravika mendongak, matanya merah, napasnya tersengal seperti habis marathon. “Buat apa aku denger orang yang bahkan nggak punya keberanian buat milih aku, Yah?” Marno terdiam, agak kikuk. Ravika nyaris tak pernah meninggikan suara kepadanya. Suasana berubah mencekat, ia tak tahu lagi cara membujuk Ravika. “Ayah cuma nggak mau kamu nyesel, Nak,” ucap Marno, pelan tapi tegas. “Aku nggak nyesel, Yah. Yang nyesel itu aku dulu, karena percaya hidup itu baik sama orang yang berjuang. Nyatanya, enggak sama sekali.” Marno menarik napasnya panjang. Pandangannya melembut, ia tak mau merendahkan dan menghakimi. Dia juga pernah muda, pernah jatuh cinta, pernah kalah oleh kenyataan. Ia mengenali luka seperti itu. “Vika…” suaranya lebih rendah sekarang, “Kalau kamu mau marah, marah aja. Kalau kamu mau nangis, nangis aja. Tapi jangan tutup pintunya ke Ayah.” Ravika menunduk. Dadanya sesak. Marno lalu duduk di tepian kasur, perlahan, seolah takut mengganggu dunia rapuh yang sedang berantakan di depan matanya. “Kamu tahu kenapa Ayah ngomong lembut sama kamu?” tanyanya. Ravika menggeleng, bingung dan lelah. Pikirannya gelap. Sempat terpikir sebaiknya ia akhiri saja hidupnya. Tapi Ayahnya memberikan jaminan kasih sayang. “Karena Ayah cuma punya kamu, Nak.” Marno menghela napas pendek, menahan getar di suaranya. “Ayah nggak bisa bantu banyak, Ayah bukan orang kaya. Tapi Ayah mau lihat kamu berdiri, bukannya hancur begini.” Kalimat itu masuk seperti pelukan tanpa sentuhan tangan. Perlahan, kemarahan Ravika runtuh, bukan karena datangnya Tama, tapi karena Ayahnya sedang berusaha merapikan dunianya yang tak mampu ia genggam. Ravika tiba-tiba meraih tangan Ayahnya. “Aku cuma… aku cuma merasa bodoh, Yah.” Marno mengusap kepala putrinya. “Kalau soal cinta, semua orang pernah bodoh, Vik. Tapi kamu kan nggak sendiri.” Tangis Ravika malah pecah total, tanpa pertahanan. Ia memeluk Ayahnya kuat-kuat. Marno membalas pelukan itu, patah, tapi hangat, berusaha tegar. Sementara di luar...Pagi itu, halaman Greenfield riuh oleh anak-anak dan guru-guru yang bersiap untuk acara peresmian Langit Cerah Anak Negeri. Balon-balon warna-warni menari di tiup angin, spanduk bergoyang lembut. Ravika berdiri di dekat pintu gerbang, clipboard di tangan, matanya mengikuti setiap gerakan tim koordinasi.“Pak Seno, pastikan meja tamu sudah rapi. Sound system dicek lagi, ya, jangan sampai mikrofonnya mati pas sambutan,” katanya sambil tersenyum tipis.Seno mengangguk cepat, ia sedang sibuk menata kursi dan dokumen. “Siap, Bu. Semua sesuai jadwal. Tamu VIP akan datang lima menit lagi.”Tapi hanya berselang detik, Mobil hitam berhenti di depan gerbang Greenfield. Tama keluar dengan jas rapi, wajahnya tenang tapi matanya terus mengamati suasana. Begitu tatapannya bertemu Ravika, ada detik hening mengambang. Tak perlu kata-kata, hanya rasa familiar yang menggantung di udara.Kepala sekolah, sebagian guru Greenfield dan guru sekolah mitra yang bergabung menyambutnya. "Selamat datang, Pak
Vika segera merapikan diri dan bergegas keluar. "Mas Tama?!" sapanya saat membuka gorden lusuh kamarnya. Tama tersenyum, wajah cantik tanpa riasan dan seragam guru itu masih sama dengan delapan tahun silam. Tapi ada rasa sedih setelah matanya menyapu seluruh isi rumah yang sempit. Betapa sederhananya kehidupan mereka. Sangat jomplang dibandungkan rumahnya. Ia merasa sangat terpukul dan bersalah. "Kita ngobrol di luar aja, lebih bebas," ucap Tama mengalihkan. Vika pun mengangguk, mengikuti ajakan Tama. "Setelah delapan tahun, keluargamu masih di sini?" Tama membuka obrolannya lirih setelah mereka duduk berdampingan. Gang kecil didepannya adalah bukti berderetnya rumah sederhana di kampung tengah kota itu. Omongan keras pasti akan terdengar tetangga. Vika membalas cepat tapi lirih, "Mau ke mana lagi, Mas. Ini pun kontrak. Biaya buat nyari rumah nggak pernah cukup. Aku cuma honorer. Ayah buruh bangunan, sekarang udah tua dan sakit-sakitan." Tama diam, matanya sayu m
Tinggallah Ravika dan Tama yang keduanya sudah masuk di dalamnya.Hening melingkupi...Hanya dengung mesin halus, detak jam tangan yang entah milik siapa, dan desir AC yang seakan berusaha mendinginkan hati yang panas. Tama menoleh pelan, melihat Ravika yang masih menggenggam ponselnya. Wajahnya pucat, pandangannya tak fokus.“Kamu kenapa? Sekarang mau jujur?” suaranya rendah, nyaris bergetar, dan kini lugas, meruntuhkan topeng formal keduanya. Ravika tak langsung menjawab. Matanya menatap keluar jendela, pada barisan anak-anak yang mulai pulang. Elyra ada di antaranya, masih berlarian kecil bersama teman-temannya di halaman sambil membawa tasnya sendiri.Memastikan anaknya aman, Ravika menoleh ke wajah Tama dengan tetesan air mata yang tak terbendung. Suaranya mulai serak. Perasaannya campur aduk. Ada rindu membara, sakit, khawatir, dan rasa untuk tetap tangguh. "Mas, liontin ini...benar punya kita sejak delapan tahun lalu. Elyra yang minta memakainya. Tapi aku belum mau bahas ini
Liontin itu memantulkan cahaya sore di permukaannya, sekaligus memantulkan juga sesuatu yang selama ini ia pendam, memori lama, hadiah yang seharusnya tak kembali “Liontin ini... dari mana Bapak bilang tadi?”“Taman belakang Greenfield,” jawab Tama pelan. “Beberapa hari lalu. Seorang anak kecil ada di sana menolong anak kucing, mungkin dia yang menjatuhkan.”Ravika berusaha menahan nada suaranya agar tetap stabil.“Anak kecil itu... siapa?”“Saya belum yakin,” kata Tama hati-hati. “Tapi anak itu sepertinya Elyra.”Nama itu membuat Ravika seolah kehilangan napasnya sesaat. Ia cepat menunduk, menatap liontin itu lama.Setiap retak kecil di permukaannya seperti mengembalikan potongan waktu yang ia kubur delapan tahun silam.Seno muncul dari arah taman sambil membawa clipboard. “Bu, Pak, ini layout panggung udah disetujui. Oh, liontin, ya? Cantik banget. Punya anaknya, Bu?”Ravika cepat merapikan ekspresinya, mengambil alih situasi. “Iya, sepertinya Ely sempat bilang kehilangan gantung
Tama akhirnya membuka sedikit rahasianya. “Dulu aku pernah punya benda yang sama. Hadiah, tapi sempat kukembalikan.” Tama mengusap tepi liontin itu dengan ibu jari. “Sekarang, entah gimana, benda ini muncul lagi. Dari tangan seorang anak.”Seno bersiul pelan. “Plot twist hidup, Pak. Jangan-jangan anak itu...”“...Ely.” Tama memotongnya cepat, matanya menatap lurus ke depan. “Dan kalau benar liontin ini punya anak itu, berarti... ini dari ibunya.”Seno mencondongkan badannya. “Ibunya? Maksud Bapak... Bu Ravika adalah kenalan Bapak dulu?”Tama tak menjawab. Angin sore masuk lewat jendela, membawa aroma cat baru dari taman belakang. Ia hanya menatap kilau biru itu, seperti sedang menimbang antara logika dan takdir.“Delapan tahun berlalu, Sen,” katanya pelan. “Dan benda sekecil ini masih bisa muterin arah hidup orang.”Seno berdecak. “Kalo kayak gini, saya jadi takut tiap nemu koin di jalan. Siapa tahu punya kisah belum kelar juga.”Tama tertawa tipis. “Kamu aja yang takut. Aku cuma pen
Esoknya... SD Harapan Bunda tak semewah Greenfield, tapi halaman depannya terasa hangat. Cat temboknya mulai pudar, pohon ketapang menjulang teduh, dan suara anak-anak terdengar bernyanyi dari dalam kelas.Tama membuka kaca jendela mobilnya di depan gerbang, menatap papan nama sekolah itu lama. “Tempat ini… kayak nggak asing,” gumamnya.Saat berhenti, Seno membukakan pintu mobil. “Aneh juga, ya. Dari semua sekolah mitra, kenapa Bapak pengin datang ke yang ini?”Tama tersenyum tipis. “Insting.”Begitu mereka masuk, seorang perempuan berseragam sederhana bergegas mendekat dengan senyum ramah dan profesional. “Selamat pagi, Bapak dari DharmaLux, ya?”Tama mengangguk. “Saya Nayottama. Ini asisten saya, Seno.”Perempuan itu tampak ragu, seperti dipaksakan harus menjabat tangan Tama. “Saya Ravika.”Waktu berhenti seketika. Mata beradu pandang. Cukup lama bagi dua orang yang normal bersalaman. Sekilas angin menyingkap ujung jilbabnya, dan seolah semua bunyi di sekitar menghilang. Nama







