LOGINWaktu tujuh tahun sangat cepat berlalu...
Pagi di gang sempit itu masih basah, meski hujan semalam sudah lama berhenti. Air menetes dari talang bocor, menghunjam ember plastik yang menampung cucian malam tadi. Dari dalam kontrakan paling ujung, sayup terdengar suara perempuan menyanyi kecil, pelan, tak sepenuhnya merdu, tapi hangat. Nyanyian itu terputus..., berganti nada suara tergesa dikejar waktu, namun lembut. “Bangun, Sayaaang… sudah pagi,” kata Vika sambil menepuk punggung kecil di bawah selimut lusuh bergambar Tayo. “Mama udah gorengin telur.” Bocah kecil perempuan itu menggeliat malas. Elyra Ananda kini rambutnya bergelombang sebahu, pipinya tembem membuat semua tetangga gemes. “Mama, tadi aku mimpiin dua matahari,” suaranya kecil, setengah mengantuk, seperti masih mengumpulkan nyawanya. “Dua matahari?” ulang Vika. “Iya. Satunya di sini…” ia menunjuk gambar krayonnya di tembok, “...satunya lagi di sana, jauh banget. Tapi cahayanya masih nyampe.” Vika teringat kompornya menyala. "Sebentar, ya Nak." Setelah mematikannya, ia kembali ke kamar melalui pintu yang hanya tertutupi gorden lusuh yang disingkap ke paku di samping. Satu detik yang sunyi menggantung di awang-awang. “Terus?” lanjut Vika. “Tapi satunya kayak sendirian banget, Ma. Nggak punya temen awan buat main. Terus aku gambar pelangi biar mereka bisa nyebrang," ungkapnya polos. Ada rasa sesak halus yang merayap di dada Vika. Ia tersenyum agar anaknya tak membaca raut getir di wajahnya. “Bagus sekali. Nanti kamu gambar lagi di kertas, ya. Nanti mama laminating, biar nggak rusak.” “Beneran, Ma?” “Iya, serius.” Ely tersenyum lebar, lalu lari ke kamar mandi, bersenandung lagu iklan sabun yang sering ia dengar di TV dengan suara imutnya. Sementara itu, Vika menatap dinding kusam dengan noda lembap di ujung bawah yang mengelupas catnya. Ia tahu, kenapa anaknya menggambar dua matahari. Karena tanpa sadar, ia tumbuh di bawah dua langit, satu penuh cahaya, satu lagi penuh bayangan. Ravika Alendra kini 29 tahun, masih menempati kontrakan sederhana yang sama, dengan dua kamar, satu untuknya dan Ely, dan satu lagi untuk kakeknya Ely, dengan teras kecil yang selalu panas di siang hari. Tapi setiap sudut punya cerita. Di rak atas lemari, masih tersimpan sebuah kotak beludru kecil, tempat liontin biru berbentuk matahari, yang beberapa hari ini selalu dipakai Ely di balik bajunya. Warnanya mulai kusam, tapi setiap kali terkena cahaya pagi, masih memantulkan kilau seperti kenangan yang menolak padam. Di sela pagi itu Vika terdiam, menatap liontin yang dilepas Ely saat mandi, di genggamannya. Permukaannya sudah tergores sedikit, tapi kilau kecilnya masih menari di bawah cahaya pagi. Ia meletakkannya di meja belajar Ely, karena Ely pasti meminta untuk memakainya setelah mandi. Ia lalu menatap foto kecil di meja itu, terpampang dirinya, Ely, dan Marno di acara sekolah. “Delapan tahun rasanya kayak baru kemarin. Udah cukup, Vik,” gumamnya pada bayangannya sendiri di kaca jendela teringat masa saat wisuda kekasihnya. “Kamu udah kuat sejauh ini. Jangan jatuh cuma karena kenangan yang nggak mau pergi.” Tiba-tiba, dari kamar mandi terdengar suara Ely memanggilnya yang sontak membangunkan lamunannya. "Maaa...handuknya mana?!" Buru-buru Vika lari menghampiri anak kesayangannya dengan handuk di pundaknya. Selesai sarapan, suara Ely yang penuh semangat kembali pecah, “Ma! Aku duluan ya!” “Ati-ati di jalan, Sayang!” serunya. Ravika pun mengambil tas lusuhnya, menatap dinding sekali lagi, dinding yang jadi saksi hidup sederhana dan cinta yang tak pernah mati, hanya berubah warnanya lebih kusam. Lalu ia keluar, berpamitan kepada Marno yang masih ngopi di teras. "Vika berangkat, Yah. Nggak usah nguli ke proyek dulu, kalo masih sakit." Marno menatap putri tangguh satu-satunya itu dengan anggukan dan senyum, sambil melambaikan tangannya. "Iyaa...ati-ati." Sisa cahaya matahari pagi itu menerobos lewat sela tirai kontrakan sederhana itu, jatuh tepat di tempat kotak, yang liontinnya dipakai Ely. Satu cahaya kecil di ruang yang suram, seolah dunia diam-diam selalu mengingatkan, sesuatu yang benar-benar dicintai tidak pernah benar-benar hilang. Menjelang siang, matahari menembus sela-sela ranting flamboyan di halaman sekolah dasar tempat Ravika mengajar. Bangunannya sederhana, dengan cat biru muda, dindingnya sedikit lembap di pojokan kelas, dan suara anak-anak berlarian jadi musik harian yang tak pernah selesai. “Anak-anak, ayo dikumpul dulu bukunya,” kata Ravika sambil menepuk meja ringan. Suaranya lembut tapi tegas. Ely di barisan depan langsung mengangkat tangan kecilnya. “Mamaaa...eh, Bu Guru!” serunya spontan menutup mulut, membuat seisi kelas tertawa. Pipi Ravika memerah. “Di sini, bilangnya Bu Vika, ya, bukan Mama.” “Iya, Bu Vika,” jawab Ely manis, meski senyum nakalnya belum hilang. Tawa kecil mengalir di antara murid-murid. Ravika ikut tertawa, tapi di balik senyum itu, ia selalu merasa canggung, mengajar di tempat yang sama dengan anaknya sekolah, berarti setiap hari menyeberang antara dunia pribadi dan publik. Ia tak bisa benar-benar memisahkan keduanya. Saat anak-anak mulai menggambar bebas di jam terakhir, Ravika menata buku tugas di mejanya. Di antara kertas kerja, selembar pengumuman berwarna oranye mencolok terselip. "Program Pemeriksaan Gratis untuk Siswa, Pemeriksaan darah dan DNA dasar oleh Kementerian Kesehatan." Tulisan itu membuat Ravika terpaku sejenak. “DNA”, tiga huruf yang menggigit pikirannya diam-diam. “Bu Vika,” suara Bu Sri, kepala sekolah, terdengar dari pintu. “Nanti tolong bantu bagikan formulir ini ke kelas 1 dan 2, ya. Minggu depan tim medisnya datang.” Ravika tersenyum sopan. “Siap, Bu Sri.” Setelah pintu tertutup, ia duduk diam sebentar, menatap kertas itu lama. Ely tentu harus ikut, tapi… bagaimana kalau data itu membuka sesuatu yang seharusnya terkubur?Pagi itu, halaman Greenfield riuh oleh anak-anak dan guru-guru yang bersiap untuk acara peresmian Langit Cerah Anak Negeri. Balon-balon warna-warni menari di tiup angin, spanduk bergoyang lembut. Ravika berdiri di dekat pintu gerbang, clipboard di tangan, matanya mengikuti setiap gerakan tim koordinasi.“Pak Seno, pastikan meja tamu sudah rapi. Sound system dicek lagi, ya, jangan sampai mikrofonnya mati pas sambutan,” katanya sambil tersenyum tipis.Seno mengangguk cepat, ia sedang sibuk menata kursi dan dokumen. “Siap, Bu. Semua sesuai jadwal. Tamu VIP akan datang lima menit lagi.”Tapi hanya berselang detik, Mobil hitam berhenti di depan gerbang Greenfield. Tama keluar dengan jas rapi, wajahnya tenang tapi matanya terus mengamati suasana. Begitu tatapannya bertemu Ravika, ada detik hening mengambang. Tak perlu kata-kata, hanya rasa familiar yang menggantung di udara.Kepala sekolah, sebagian guru Greenfield dan guru sekolah mitra yang bergabung menyambutnya. "Selamat datang, Pak
Vika segera merapikan diri dan bergegas keluar. "Mas Tama?!" sapanya saat membuka gorden lusuh kamarnya. Tama tersenyum, wajah cantik tanpa riasan dan seragam guru itu masih sama dengan delapan tahun silam. Tapi ada rasa sedih setelah matanya menyapu seluruh isi rumah yang sempit. Betapa sederhananya kehidupan mereka. Sangat jomplang dibandungkan rumahnya. Ia merasa sangat terpukul dan bersalah. "Kita ngobrol di luar aja, lebih bebas," ucap Tama mengalihkan. Vika pun mengangguk, mengikuti ajakan Tama. "Setelah delapan tahun, keluargamu masih di sini?" Tama membuka obrolannya lirih setelah mereka duduk berdampingan. Gang kecil didepannya adalah bukti berderetnya rumah sederhana di kampung tengah kota itu. Omongan keras pasti akan terdengar tetangga. Vika membalas cepat tapi lirih, "Mau ke mana lagi, Mas. Ini pun kontrak. Biaya buat nyari rumah nggak pernah cukup. Aku cuma honorer. Ayah buruh bangunan, sekarang udah tua dan sakit-sakitan." Tama diam, matanya sayu m
Tinggallah Ravika dan Tama yang keduanya sudah masuk di dalamnya.Hening melingkupi...Hanya dengung mesin halus, detak jam tangan yang entah milik siapa, dan desir AC yang seakan berusaha mendinginkan hati yang panas. Tama menoleh pelan, melihat Ravika yang masih menggenggam ponselnya. Wajahnya pucat, pandangannya tak fokus.“Kamu kenapa? Sekarang mau jujur?” suaranya rendah, nyaris bergetar, dan kini lugas, meruntuhkan topeng formal keduanya. Ravika tak langsung menjawab. Matanya menatap keluar jendela, pada barisan anak-anak yang mulai pulang. Elyra ada di antaranya, masih berlarian kecil bersama teman-temannya di halaman sambil membawa tasnya sendiri.Memastikan anaknya aman, Ravika menoleh ke wajah Tama dengan tetesan air mata yang tak terbendung. Suaranya mulai serak. Perasaannya campur aduk. Ada rindu membara, sakit, khawatir, dan rasa untuk tetap tangguh. "Mas, liontin ini...benar punya kita sejak delapan tahun lalu. Elyra yang minta memakainya. Tapi aku belum mau bahas ini
Liontin itu memantulkan cahaya sore di permukaannya, sekaligus memantulkan juga sesuatu yang selama ini ia pendam, memori lama, hadiah yang seharusnya tak kembali “Liontin ini... dari mana Bapak bilang tadi?”“Taman belakang Greenfield,” jawab Tama pelan. “Beberapa hari lalu. Seorang anak kecil ada di sana menolong anak kucing, mungkin dia yang menjatuhkan.”Ravika berusaha menahan nada suaranya agar tetap stabil.“Anak kecil itu... siapa?”“Saya belum yakin,” kata Tama hati-hati. “Tapi anak itu sepertinya Elyra.”Nama itu membuat Ravika seolah kehilangan napasnya sesaat. Ia cepat menunduk, menatap liontin itu lama.Setiap retak kecil di permukaannya seperti mengembalikan potongan waktu yang ia kubur delapan tahun silam.Seno muncul dari arah taman sambil membawa clipboard. “Bu, Pak, ini layout panggung udah disetujui. Oh, liontin, ya? Cantik banget. Punya anaknya, Bu?”Ravika cepat merapikan ekspresinya, mengambil alih situasi. “Iya, sepertinya Ely sempat bilang kehilangan gantung
Tama akhirnya membuka sedikit rahasianya. “Dulu aku pernah punya benda yang sama. Hadiah, tapi sempat kukembalikan.” Tama mengusap tepi liontin itu dengan ibu jari. “Sekarang, entah gimana, benda ini muncul lagi. Dari tangan seorang anak.”Seno bersiul pelan. “Plot twist hidup, Pak. Jangan-jangan anak itu...”“...Ely.” Tama memotongnya cepat, matanya menatap lurus ke depan. “Dan kalau benar liontin ini punya anak itu, berarti... ini dari ibunya.”Seno mencondongkan badannya. “Ibunya? Maksud Bapak... Bu Ravika adalah kenalan Bapak dulu?”Tama tak menjawab. Angin sore masuk lewat jendela, membawa aroma cat baru dari taman belakang. Ia hanya menatap kilau biru itu, seperti sedang menimbang antara logika dan takdir.“Delapan tahun berlalu, Sen,” katanya pelan. “Dan benda sekecil ini masih bisa muterin arah hidup orang.”Seno berdecak. “Kalo kayak gini, saya jadi takut tiap nemu koin di jalan. Siapa tahu punya kisah belum kelar juga.”Tama tertawa tipis. “Kamu aja yang takut. Aku cuma pen
Esoknya... SD Harapan Bunda tak semewah Greenfield, tapi halaman depannya terasa hangat. Cat temboknya mulai pudar, pohon ketapang menjulang teduh, dan suara anak-anak terdengar bernyanyi dari dalam kelas.Tama membuka kaca jendela mobilnya di depan gerbang, menatap papan nama sekolah itu lama. “Tempat ini… kayak nggak asing,” gumamnya.Saat berhenti, Seno membukakan pintu mobil. “Aneh juga, ya. Dari semua sekolah mitra, kenapa Bapak pengin datang ke yang ini?”Tama tersenyum tipis. “Insting.”Begitu mereka masuk, seorang perempuan berseragam sederhana bergegas mendekat dengan senyum ramah dan profesional. “Selamat pagi, Bapak dari DharmaLux, ya?”Tama mengangguk. “Saya Nayottama. Ini asisten saya, Seno.”Perempuan itu tampak ragu, seperti dipaksakan harus menjabat tangan Tama. “Saya Ravika.”Waktu berhenti seketika. Mata beradu pandang. Cukup lama bagi dua orang yang normal bersalaman. Sekilas angin menyingkap ujung jilbabnya, dan seolah semua bunyi di sekitar menghilang. Nama







