LOGINIa menatap ke arah Ely yang kini sibuk menggambar matahari besar di kertasnya, matahari yang memancarkan dua cahaya ke arah berbeda.
“Kenapa dua cahayanya?” tanya Ravika mendekat, pura-pura ringan. “Biar bisa nyentuh semua orang,” jawab Ely polos, tanpa sadar kalimat itu seperti doa yang menunggu takdirnya sendiri. "Bagus...teruskan, ya..." Jam 14.03, sekolah sudah sepi. Murid-murid pulang. Vika sedang menghapus papan tulis saat Bu Sri masuk lagi, membawa map lain warna biru. “Bu Vika, ini data guru honorer yang diminta pihak dinas. Ada format baru, butuh biodata lengkap, termasuk riwayat keluarga inti.” Nada Bu Sri terdengar biasa, tapi Vika tahu bagian itu akan selalu jadi momok menakutkan baginya. Ia mengambil map itu, menatap kolom yang bertuliskan, Status pernikahan: - Nama suami: - Nama anak: Elyra Ananda (7 th) Kolom "status nikah" dan “suami”, ia biarkan kosong. Pena Ravika berhenti mengambang. Ia menatap titik tinta yang sudah menempel di kertas, sebuah noda kecil, tapi cukup untuk menggambarkan betapa rapuh batas antara masa lalu dan masa kini. Malam pun tiba... Di rumah, Ely sudah tidur dengan selimut Tayo-nya. Di meja kecil dekat jendela, Vika merapikan kertas formulir siswa yang harus dikumpulkan besok. Namun matanya terpaku pada satu formulir yang berbeda, warna oranye terang, dengan tulisan “Persetujuan Tes DNA Dasar". Ia menatap kertas itu lama, lalu meremas ujungnya pelan, seperti berusaha menahan sesuatu yang ingin pecah dari dalam dadanya. Telepon di atas meja bergetar pelan. Nomornya tak dikenal. Ia menjawabnya ragu. “Halo?” “Selamat malam, dengan Ibu Ravika Alendra?” suara perempuan muda, formal, terdengar jelas dari seberang. “Kami dari Klinik Cendrawasih. Kami ingin menyampaikan hasil lanjutan pemeriksaan Elyra Ananda dua minggu yang lalu.” Ravika refleks menegakkan badannya. “Hasil pemeriksaan apa, ya?” “Yang waktu Ely demam, Bu. Kami menemukan indikasi tertentu di hasil darahnya. Tidak berbahaya, tapi sebaiknya Ibu datang besok pagi. Kami perlu verifikasi data medis, termasuk data ayah biologis untuk pencocokan lanjutan.” “Data… ayah biologis?” suara Ravika tercekat. “Betul, Bu. Kami tidak bisa jelaskan detailnya lewat telepon. Mohon datang ke klinik pukul sembilan, ya.” Sambungan terputus. Ravika tetap duduk, tak bergerak. Angin masuk lewat jendela, menggoyangkan tirai lusuh dan menjatuhkan selembar formulir dari meja, formulir tes DNA itu terjatuh tepat di lantai, di samping kotak kecil tempat liontin biru milik Ely beristirahat. Ravika menatapnya lama. Lalu dengan tangan gemetar, ia memungut liontin itu. Kilau birunya bergetar pelan di bawah cahaya lampu. Delapan tahun lalu, warna itu sama seperti cahaya senja ketika seseorang berjanji bahwa cinta mereka akan bertahan melawan waktu, sebelum akhirnya waktulah yang menang. Di luar, hujan kembali turun pelan. Di antara rintiknya, terdengar satu kalimat yang terlintas di benak Ravika, "Beberapa rahasia tidak bisa dikubur selamanya." -oOo- Udara pagi di depan Klinik Cendrawasih terasa dingin dan menusuk. Langit masih abu-abu muda, awan rendah menggantung di antara gedung-gedung tua yang catnya ada yang mengelupas. Ravika datang lebih awal. Jam tangannya baru menunjuk pukul delapan lewat sepuluh, tapi napasnya sudah terasa berat. Di kursi tunggu, ia memeluk tas kecil di pangkuannya, tangan kirinya terus meremas liontin biru Ely yang tadi malam ia masukkan diam-diam ke dalam saku. Ely duduk di sebelahnya, memainkan mainan kertas dari buku gambar sekolah. “Ma, nanti aku boleh makan roti isi cokelat, ya?” “Boleh, habis dari sini ya, Sayang,” jawab Vika, mencoba terdengar tenang. Pintu ruang pemeriksaan terbuka. Seorang perempuan muda berseragam putih keluar, tersenyum ramah. “Ibu Ravika Alendra? Bisa masuk sebentar, Bu. Elyra nanti bisa tunggu di luar sama suster, ya.” Ravika berdiri, mengusap kepala anaknya. “Sebentar aja ya, Sayang.” Begitu pintu tertutup, ruangan terasa terlalu putih. Bau antiseptik spontan menusuk hidung. Di balik meja, seorang dokter perempuan paruh baya membuka map berwarna hijau dengan nama “Elyra Ananda” tertera di depannya. “Bu Ravika, saya langsung saja ya,” katanya lembut. “Hasil pemeriksaan darah Ely menunjukkan kelainan minor pada sel plasma. Tidak berbahaya sekarang, tapi untuk jangka panjang, kami butuh donor genetik yang kompatibel sempurna. Biasanya dari orang tua biologis.” “Jadi... maksudnya, saya harus bawa data ayahnya?” tanya Ravika pelan. “Iya. Untuk tahap lanjutan, kami perlu pemeriksaan silang DNA orang tua kandung. Kalau hanya ibu, hasilnya belum cukup kuat.” Ravika menelan ludahnya. “Tapi… saya nggak tahu dia di mana sekarang, dok.” Dokter itu menatapnya dengan ekspresi yang paham tapi tetap profesional. “Kami bisa bantu cari lewat data Kementerian, Bu. Kadang nama ayah biologis terdaftar di sistem lama, terutama kalau dulu ada catatan rumah sakit waktu lahiran. Tapi tentu harus atas izin Anda.” Sekejap, dunia Ravika jadi menyempit. Semua bunyi di ruangan terasa jauh. “Kalau begitu, boleh saya pikir dulu, Dok?” “Tentu. Tapi kami sarankan jangan lama-lama. Karena, kalau hasil pengamatan kami tepat, Ely sebaiknya menjalani terapi dini, dan itu butuh donor genetik yang cocok.” Begitu keluar dari ruangan, Ravika nyaris tidak menyadari langkahnya sendiri. Ely menghampirinya sambil membawa kue bolu dari suster. “Ma, aku dapat hadiah!” katanya riang. Ravika berjongkok, menatap wajah anaknya. “Kamu hebat banget, Sayang.” Ia tersenyum, tapi matanya menyimpan gemuruh badai. Di luar klinik, hujan tipis mulai turun lagi. Ravika menatap langit, lalu menatap layar ponselnya yang tiba-tiba menyala, notifikasi dari aplikasi berita finansial, “DharmaLux Corporation dikabarkan alami krisis internal, saham anjlok 12%. CEO muda, Nayottama Dirgantara, enggan berkomentar.” Senyumnya hilang. Nama itu muncul begitu saja, satu nama yang dulu pernah ia hapus dari hatinya berkali-kali, seperti luka lama yang baru saja disobek. Muncul tiba-tiba, menganga kembali. "Nayottama Dirgantara?"Pagi itu, halaman Greenfield riuh oleh anak-anak dan guru-guru yang bersiap untuk acara peresmian Langit Cerah Anak Negeri. Balon-balon warna-warni menari di tiup angin, spanduk bergoyang lembut. Ravika berdiri di dekat pintu gerbang, clipboard di tangan, matanya mengikuti setiap gerakan tim koordinasi.“Pak Seno, pastikan meja tamu sudah rapi. Sound system dicek lagi, ya, jangan sampai mikrofonnya mati pas sambutan,” katanya sambil tersenyum tipis.Seno mengangguk cepat, ia sedang sibuk menata kursi dan dokumen. “Siap, Bu. Semua sesuai jadwal. Tamu VIP akan datang lima menit lagi.”Tapi hanya berselang detik, Mobil hitam berhenti di depan gerbang Greenfield. Tama keluar dengan jas rapi, wajahnya tenang tapi matanya terus mengamati suasana. Begitu tatapannya bertemu Ravika, ada detik hening mengambang. Tak perlu kata-kata, hanya rasa familiar yang menggantung di udara.Kepala sekolah, sebagian guru Greenfield dan guru sekolah mitra yang bergabung menyambutnya. "Selamat datang, Pak
Vika segera merapikan diri dan bergegas keluar. "Mas Tama?!" sapanya saat membuka gorden lusuh kamarnya. Tama tersenyum, wajah cantik tanpa riasan dan seragam guru itu masih sama dengan delapan tahun silam. Tapi ada rasa sedih setelah matanya menyapu seluruh isi rumah yang sempit. Betapa sederhananya kehidupan mereka. Sangat jomplang dibandungkan rumahnya. Ia merasa sangat terpukul dan bersalah. "Kita ngobrol di luar aja, lebih bebas," ucap Tama mengalihkan. Vika pun mengangguk, mengikuti ajakan Tama. "Setelah delapan tahun, keluargamu masih di sini?" Tama membuka obrolannya lirih setelah mereka duduk berdampingan. Gang kecil didepannya adalah bukti berderetnya rumah sederhana di kampung tengah kota itu. Omongan keras pasti akan terdengar tetangga. Vika membalas cepat tapi lirih, "Mau ke mana lagi, Mas. Ini pun kontrak. Biaya buat nyari rumah nggak pernah cukup. Aku cuma honorer. Ayah buruh bangunan, sekarang udah tua dan sakit-sakitan." Tama diam, matanya sayu m
Tinggallah Ravika dan Tama yang keduanya sudah masuk di dalamnya.Hening melingkupi...Hanya dengung mesin halus, detak jam tangan yang entah milik siapa, dan desir AC yang seakan berusaha mendinginkan hati yang panas. Tama menoleh pelan, melihat Ravika yang masih menggenggam ponselnya. Wajahnya pucat, pandangannya tak fokus.“Kamu kenapa? Sekarang mau jujur?” suaranya rendah, nyaris bergetar, dan kini lugas, meruntuhkan topeng formal keduanya. Ravika tak langsung menjawab. Matanya menatap keluar jendela, pada barisan anak-anak yang mulai pulang. Elyra ada di antaranya, masih berlarian kecil bersama teman-temannya di halaman sambil membawa tasnya sendiri.Memastikan anaknya aman, Ravika menoleh ke wajah Tama dengan tetesan air mata yang tak terbendung. Suaranya mulai serak. Perasaannya campur aduk. Ada rindu membara, sakit, khawatir, dan rasa untuk tetap tangguh. "Mas, liontin ini...benar punya kita sejak delapan tahun lalu. Elyra yang minta memakainya. Tapi aku belum mau bahas ini
Liontin itu memantulkan cahaya sore di permukaannya, sekaligus memantulkan juga sesuatu yang selama ini ia pendam, memori lama, hadiah yang seharusnya tak kembali “Liontin ini... dari mana Bapak bilang tadi?”“Taman belakang Greenfield,” jawab Tama pelan. “Beberapa hari lalu. Seorang anak kecil ada di sana menolong anak kucing, mungkin dia yang menjatuhkan.”Ravika berusaha menahan nada suaranya agar tetap stabil.“Anak kecil itu... siapa?”“Saya belum yakin,” kata Tama hati-hati. “Tapi anak itu sepertinya Elyra.”Nama itu membuat Ravika seolah kehilangan napasnya sesaat. Ia cepat menunduk, menatap liontin itu lama.Setiap retak kecil di permukaannya seperti mengembalikan potongan waktu yang ia kubur delapan tahun silam.Seno muncul dari arah taman sambil membawa clipboard. “Bu, Pak, ini layout panggung udah disetujui. Oh, liontin, ya? Cantik banget. Punya anaknya, Bu?”Ravika cepat merapikan ekspresinya, mengambil alih situasi. “Iya, sepertinya Ely sempat bilang kehilangan gantung
Tama akhirnya membuka sedikit rahasianya. “Dulu aku pernah punya benda yang sama. Hadiah, tapi sempat kukembalikan.” Tama mengusap tepi liontin itu dengan ibu jari. “Sekarang, entah gimana, benda ini muncul lagi. Dari tangan seorang anak.”Seno bersiul pelan. “Plot twist hidup, Pak. Jangan-jangan anak itu...”“...Ely.” Tama memotongnya cepat, matanya menatap lurus ke depan. “Dan kalau benar liontin ini punya anak itu, berarti... ini dari ibunya.”Seno mencondongkan badannya. “Ibunya? Maksud Bapak... Bu Ravika adalah kenalan Bapak dulu?”Tama tak menjawab. Angin sore masuk lewat jendela, membawa aroma cat baru dari taman belakang. Ia hanya menatap kilau biru itu, seperti sedang menimbang antara logika dan takdir.“Delapan tahun berlalu, Sen,” katanya pelan. “Dan benda sekecil ini masih bisa muterin arah hidup orang.”Seno berdecak. “Kalo kayak gini, saya jadi takut tiap nemu koin di jalan. Siapa tahu punya kisah belum kelar juga.”Tama tertawa tipis. “Kamu aja yang takut. Aku cuma pen
Esoknya... SD Harapan Bunda tak semewah Greenfield, tapi halaman depannya terasa hangat. Cat temboknya mulai pudar, pohon ketapang menjulang teduh, dan suara anak-anak terdengar bernyanyi dari dalam kelas.Tama membuka kaca jendela mobilnya di depan gerbang, menatap papan nama sekolah itu lama. “Tempat ini… kayak nggak asing,” gumamnya.Saat berhenti, Seno membukakan pintu mobil. “Aneh juga, ya. Dari semua sekolah mitra, kenapa Bapak pengin datang ke yang ini?”Tama tersenyum tipis. “Insting.”Begitu mereka masuk, seorang perempuan berseragam sederhana bergegas mendekat dengan senyum ramah dan profesional. “Selamat pagi, Bapak dari DharmaLux, ya?”Tama mengangguk. “Saya Nayottama. Ini asisten saya, Seno.”Perempuan itu tampak ragu, seperti dipaksakan harus menjabat tangan Tama. “Saya Ravika.”Waktu berhenti seketika. Mata beradu pandang. Cukup lama bagi dua orang yang normal bersalaman. Sekilas angin menyingkap ujung jilbabnya, dan seolah semua bunyi di sekitar menghilang. Nama







