Share

Bab 7 Keluarga Tama

Author: Lyren Kael
last update Last Updated: 2025-12-05 22:29:05

Ruang tamu rumah Tama sore itu sunyi, hanya suara gesekan jarum jam yang terdengar di antara interior megah bergaya mediteran.

Karin dan Sony, sedang ditemani Sari, pembantu mereka untuk belajar santai dan bermain di kamar lantai atas.

Sementara Alya, istri Tama duduk di sofa abu-abu ruang keluarga yang besar, menatap layar ponselnya tanpa ekspresi.

Pesan dari Tama baru saja masuk,

“Ada rapat tambahan di kantor cabang. Mungkin pulang agak malam.”

Alya menatap pesan itu sedikit lama. Hanya dua buah kalimat singkat, tapi ada sesuatu yang ia rasakan janggal.

Biasanya Tama selalu menutup pesan dengan, “Hati-hati di rumah,” atau “Nanti aku kabari lagi." Tapi itu sudah berbulan-bulan lalu.

Sekarang semakin dingin. Sebatas fungsional, lebih ke formalitas malah.

Ia menurunkan ponselnya pelan, lalu bersandar. Bayangan dirinya di kaca besar menatap balik dengan ekspresi lelah.

Perempuan di pantulan itu tampak sempurna dengan gaun putih santai, rambutnya disanggul rapi, kuku terawat di salon, tapi matanya kosong.

“Apa aku yang makin berubah… atau dia?” gumamnya lirih.

Beberapa bulan terakhir, Tama memang berbeda. Lebih tenang, tapi juga lebih jauh. Pulang malam, tapi tanpa aroma alkohol atau tanda-tanda affair yang biasa terjadi. Justru itu yang mengganggunya, Tama seperti menyembunyikan sesuatu yang bukan dosa, melainkan rahasia.

Pintu berderit pelan, suara langkah kaki masuk. Seorang perempuan muda berseragam hitam, asisten pribadi Alya, datang membawa map.

“Bu, ini laporan event dari divisi sosial untuk Dewan Komisaris, Ibu masih mau review malam ini?”

Alya menatap map itu sekilas, lalu menyingkirkan. “Nanti aja. Aku lagi nggak fokus.”

Asisten itu ragu. “Kalau begitu saya pamit dulu, Bu?”

“Ya. Tutup pintunya rapat-rapat.”

Begitu pintu tertutup, Alya menatap ke arah meja kerja Tama di ujung ruangan.

Laptopnya setengah terbuka. Ia berjalan mendekat, menatap layar yang masih menyala redup. Sebuah folder terbuka,

"CSR Project, Greenfield dan Harapan Bunda - Confidential." Program memperbaiki citra perusahaan agar nilai saham yang anjlog kembali naik dengan bantuan sosial ke sekolah untuk "Show Case".

Alya mengernyit. Ia tahu proyek CSR itu, tapi folder ini terasa aneh. Ia klik satu file di dalamnya. Muncul serangkaian rencana kegiatan sekolah, di SD Greenfield dan Harapan Bunda.

"Aku tahu Greenfield, tempat Karin sekolah. Tapi Harapan Bunda...? Bukannya ini SD di samping Grenfield?" gumamnya.

Alya menatap isi folder itu lama. Jantungnya sedikit berdebar aneh, bukan karena marah, tapi semacam firasat. Tapi tetap tak ada kesimpulan apa pun.

Ia menutup laptop perlahan dan berdiri. Lalu membuka ponselnya, men-scroll deretan kontak.

Nomor seseorang disimpan dengan inisial, D.R., singkatan dari “Dion Rahardian”, rekan bisnis sekaligus pria yang belakangan mengisi kesepian Alya dengan pertemuan samar di hotel-hotel senyap.

“Kamu di Jakarta?” tulis Alya.

Balasan muncul cepat. “Ada. Rapat jam 6 baru kelar. Kenapa?”

Alya mengetik cepat, jemarinya mantap.

“Aku butuh tempat tenang buat ngobrol. Bukan di rumah.”

Dion membalas dengan emoji senyum.

“Hotel yang biasa?”

Ia menatap layar beberapa detik sebelum mengetik, “Ya. Dua jam lagi.”

Ponsel ditaruhnya di meja. Ia memandang sekeliling ruangan luas itu, rumah yang seharusnya jadi lambang stabilitas, tapi kini terasa seperti museum dari kehidupan yang sudah lama mati.

Alya berjalan ke arah cermin besar di ruang ganti, menatap dirinya lagi.

“Jangan kalah, Alya,” bisiknya pada pantulan. “Kamu cuma butuh kontrol. Semua akan baik-baik saja.”

Ia mengganti pakaian, memilih setelan elegan tapi tidak berlebihan, lalu mengambil tas kecil. Aroma parfum impor menguar di udara.

"Sari...nanti anak-anak ajak makan malam, lalu tidurkan kayak biasa," suruhnya ketika Sari turun mengambil minum untuk Sony, adik Karin usia 4 tahun.

"Baik, bu. Ibu mau pergi?"

"Iya, rapat klien. Gak usah tunggu, aku bawa kunci sendiri."

"Baik, Bu."

Saat hendak melangkah keluar, matanya kembali tertuju ke ponsel, pesan terakhir dari Tama masih di sana, kaku dan dingin.

Di perjalanan, mobilnya meluncur tenang melewati lampu-lampu kota. Dari kaca jendela, Alya menatap dunia luar yang terus bergerak, tapi pikirannya berputar pada dua hal, suaminya yang kini terasa asing, dan dirinya sendiri yang tak lagi yakin pada apa yang sedang ia kejar. Ia dulu memang pernah cinta Tama, tapi sekarang, semua berubah sekedar rutinitas.

Sesampainya di hotel, Dion sudah menunggu di lounge. Pria itu menatapnya dengan senyum lelah tapi akrab.

“Lama nggak lihat kamu,” katanya ringan.

Alya duduk, menaruh tasnya, lalu menatap pria itu tanpa banyak basa-basi.

“Aku cuma pengin tenang. Nggak perlu basa-basi malam ini.”

Dion mengangguk, sangat memahami. Ia memesan dua gelas wine, lalu duduk berseberangan.

“Masih urusan rumah?”

“Selalu urusan rumah, Yon,” jawab Alya singkat.

“Kamu tahu, Dion… aku kadang iri sama perempuan yang bisa dicintai suami dengan tulus. Aku punya semuanya, tapi kayak nggak punya siapa pun.”

Dion menatapnya lama. “Dan Tama?”

Alya meneguk sedikit wine-nya, lalu tersenyum getir.

“Tama bukan jahat. Dia terlalu baik malah. Cuma… dia nggak lagi di sini. Tubuhnya iya, tapi jiwanya...entah di mana.”

“Jadi kamu cari tempat baru buat nyari yang hilang?”

Alya menatap Dion lurus-lurus, lalu berkata pelan,

“Aku cuma nggak mau jadi penonton di hidupku sendiri.”

Hening beberapa detik, lalu Dion menggenggam tangannya. Mereka saling diam, saling memahami tanpa banyak kata, kemudian tanpa kode, mereka beranjak ke suite room yang biasa mereka sewa.

Di dalam, mereka tak sampai masuk ke kamar, Alya sudah merangkulkan kedua tangannya di leher Dion di samping sofa ruang tamu, dengan tatapan lelah tapi menggoda, seolah kehausan di tengah gurun sahara.

"Buat aku lupa semuanya, Dion."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • AKU TETAP MENCINTAIMU, SAYANG   Bab 18 Peresmian Langit Cerah Anak Negeri

    Pagi itu, halaman Greenfield riuh oleh anak-anak dan guru-guru yang bersiap untuk acara peresmian Langit Cerah Anak Negeri. Balon-balon warna-warni menari di tiup angin, spanduk bergoyang lembut. Ravika berdiri di dekat pintu gerbang, clipboard di tangan, matanya mengikuti setiap gerakan tim koordinasi.“Pak Seno, pastikan meja tamu sudah rapi. Sound system dicek lagi, ya, jangan sampai mikrofonnya mati pas sambutan,” katanya sambil tersenyum tipis.Seno mengangguk cepat, ia sedang sibuk menata kursi dan dokumen. “Siap, Bu. Semua sesuai jadwal. Tamu VIP akan datang lima menit lagi.”Tapi hanya berselang detik, Mobil hitam berhenti di depan gerbang Greenfield. Tama keluar dengan jas rapi, wajahnya tenang tapi matanya terus mengamati suasana. Begitu tatapannya bertemu Ravika, ada detik hening mengambang. Tak perlu kata-kata, hanya rasa familiar yang menggantung di udara.Kepala sekolah, sebagian guru Greenfield dan guru sekolah mitra yang bergabung menyambutnya. "Selamat datang, Pak

  • AKU TETAP MENCINTAIMU, SAYANG   Bab 17 Martabak Manis Untuk Ely

    Vika segera merapikan diri dan bergegas keluar. "Mas Tama?!" sapanya saat membuka gorden lusuh kamarnya. Tama tersenyum, wajah cantik tanpa riasan dan seragam guru itu masih sama dengan delapan tahun silam. Tapi ada rasa sedih setelah matanya menyapu seluruh isi rumah yang sempit. Betapa sederhananya kehidupan mereka. Sangat jomplang dibandungkan rumahnya. Ia merasa sangat terpukul dan bersalah. "Kita ngobrol di luar aja, lebih bebas," ucap Tama mengalihkan. Vika pun mengangguk, mengikuti ajakan Tama. "Setelah delapan tahun, keluargamu masih di sini?" Tama membuka obrolannya lirih setelah mereka duduk berdampingan. Gang kecil didepannya adalah bukti berderetnya rumah sederhana di kampung tengah kota itu. Omongan keras pasti akan terdengar tetangga. Vika membalas cepat tapi lirih, "Mau ke mana lagi, Mas. Ini pun kontrak. Biaya buat nyari rumah nggak pernah cukup. Aku cuma honorer. Ayah buruh bangunan, sekarang udah tua dan sakit-sakitan." Tama diam, matanya sayu m

  • AKU TETAP MENCINTAIMU, SAYANG   Bab 16 Pengakuan Mengejutkan Ravika

    Tinggallah Ravika dan Tama yang keduanya sudah masuk di dalamnya.Hening melingkupi...Hanya dengung mesin halus, detak jam tangan yang entah milik siapa, dan desir AC yang seakan berusaha mendinginkan hati yang panas. Tama menoleh pelan, melihat Ravika yang masih menggenggam ponselnya. Wajahnya pucat, pandangannya tak fokus.“Kamu kenapa? Sekarang mau jujur?” suaranya rendah, nyaris bergetar, dan kini lugas, meruntuhkan topeng formal keduanya. Ravika tak langsung menjawab. Matanya menatap keluar jendela, pada barisan anak-anak yang mulai pulang. Elyra ada di antaranya, masih berlarian kecil bersama teman-temannya di halaman sambil membawa tasnya sendiri.Memastikan anaknya aman, Ravika menoleh ke wajah Tama dengan tetesan air mata yang tak terbendung. Suaranya mulai serak. Perasaannya campur aduk. Ada rindu membara, sakit, khawatir, dan rasa untuk tetap tangguh. "Mas, liontin ini...benar punya kita sejak delapan tahun lalu. Elyra yang minta memakainya. Tapi aku belum mau bahas ini

  • AKU TETAP MENCINTAIMU, SAYANG   Bab 15 Kembalinya Liontin Biru

    Liontin itu memantulkan cahaya sore di permukaannya, sekaligus memantulkan juga sesuatu yang selama ini ia pendam, memori lama, hadiah yang seharusnya tak kembali “Liontin ini... dari mana Bapak bilang tadi?”“Taman belakang Greenfield,” jawab Tama pelan. “Beberapa hari lalu. Seorang anak kecil ada di sana menolong anak kucing, mungkin dia yang menjatuhkan.”Ravika berusaha menahan nada suaranya agar tetap stabil.“Anak kecil itu... siapa?”“Saya belum yakin,” kata Tama hati-hati. “Tapi anak itu sepertinya Elyra.”Nama itu membuat Ravika seolah kehilangan napasnya sesaat. Ia cepat menunduk, menatap liontin itu lama.Setiap retak kecil di permukaannya seperti mengembalikan potongan waktu yang ia kubur delapan tahun silam.Seno muncul dari arah taman sambil membawa clipboard. “Bu, Pak, ini layout panggung udah disetujui. Oh, liontin, ya? Cantik banget. Punya anaknya, Bu?”Ravika cepat merapikan ekspresinya, mengambil alih situasi. “Iya, sepertinya Ely sempat bilang kehilangan gantung

  • AKU TETAP MENCINTAIMU, SAYANG   Bab 14 Masa Lalu yang Tak Mau Pergi

    Tama akhirnya membuka sedikit rahasianya. “Dulu aku pernah punya benda yang sama. Hadiah, tapi sempat kukembalikan.” Tama mengusap tepi liontin itu dengan ibu jari. “Sekarang, entah gimana, benda ini muncul lagi. Dari tangan seorang anak.”Seno bersiul pelan. “Plot twist hidup, Pak. Jangan-jangan anak itu...”“...Ely.” Tama memotongnya cepat, matanya menatap lurus ke depan. “Dan kalau benar liontin ini punya anak itu, berarti... ini dari ibunya.”Seno mencondongkan badannya. “Ibunya? Maksud Bapak... Bu Ravika adalah kenalan Bapak dulu?”Tama tak menjawab. Angin sore masuk lewat jendela, membawa aroma cat baru dari taman belakang. Ia hanya menatap kilau biru itu, seperti sedang menimbang antara logika dan takdir.“Delapan tahun berlalu, Sen,” katanya pelan. “Dan benda sekecil ini masih bisa muterin arah hidup orang.”Seno berdecak. “Kalo kayak gini, saya jadi takut tiap nemu koin di jalan. Siapa tahu punya kisah belum kelar juga.”Tama tertawa tipis. “Kamu aja yang takut. Aku cuma pen

  • AKU TETAP MENCINTAIMU, SAYANG   Bab 13 Pertemuan Dua Matahari

    Esoknya... SD Harapan Bunda tak semewah Greenfield, tapi halaman depannya terasa hangat. Cat temboknya mulai pudar, pohon ketapang menjulang teduh, dan suara anak-anak terdengar bernyanyi dari dalam kelas.Tama membuka kaca jendela mobilnya di depan gerbang, menatap papan nama sekolah itu lama. “Tempat ini… kayak nggak asing,” gumamnya.Saat berhenti, Seno membukakan pintu mobil. “Aneh juga, ya. Dari semua sekolah mitra, kenapa Bapak pengin datang ke yang ini?”Tama tersenyum tipis. “Insting.”Begitu mereka masuk, seorang perempuan berseragam sederhana bergegas mendekat dengan senyum ramah dan profesional. “Selamat pagi, Bapak dari DharmaLux, ya?”Tama mengangguk. “Saya Nayottama. Ini asisten saya, Seno.”Perempuan itu tampak ragu, seperti dipaksakan harus menjabat tangan Tama. “Saya Ravika.”Waktu berhenti seketika. Mata beradu pandang. Cukup lama bagi dua orang yang normal bersalaman. Sekilas angin menyingkap ujung jilbabnya, dan seolah semua bunyi di sekitar menghilang. Nama

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status