Share

Part 2. Awal Petaka

Flash back

Hari itu, saat dalam perjalanan ke kantor. Seorang pria paruh baya hendak menyebrang, dari arah kiri jalan menuju arah warung yang berada di seberang jalan. tanpa menoleh terlebih dahulu. 

Aiman yang berjarak kurang dari sepuluh meter tak mampu lagi mengelak, menginjak tuas rem sekuat apapun rasanya tak kan membuahkan hasil. Hingga mobil yang ia kendalikan menabrak tubuh pria paruh baya itu, hingga terpental cukup jauh. 

Tubuhnya lemas dengan wajah pucat pasi.  Perlahan ia membuka pintu mobil dan keluar menghampiri tubuh yang baru saja membentur mobilnya. Suara riuh rendah terdengar di sekelilingnya. 

"Pak Bahri nyebrangnya gak noleh kanan kiri, sih. Jadinya kan begini." suara lelaki berkaos hitam tak jauh darinya berdiri berujar. 

"Iya, maklumlah, semenjak istrinya meninggal, Pak Bahri jadi linglung," jawab seorang ibu berjilbab biru tua di sebelahnya. Rasa bersalah di hatinya semakin menjadi-jadi setelah mendengarnya. 

Dalam waktu sebentar puluhan orang sudah mengerumuni tempat kejadian. Beberapa pengendara yang melintas turut serta, seakan tak ingin kehilangan momen. 

Seorang perempuan muda  berlari kearah yang sama, merangsek masuk ke dalam kerumunan, sesaat kemudian diangkatnya tubuh yang bersimbah darah, memeluknya sambil meraung pilu. 

Aiman turut mengiringi ketika korban diangkat ke dalam rumah. Ternyata rumah korban berada tepat di sisi jalan di tempat kejadian. Korban dibaringkan di karpet yang tergelar di ruang keluarga. 

"Innaalillaahi wainnaailaihi rooji'uun" ucap seseorang yang tadi memeriksa denyut nadi korban, kemudian disambut dengan ucapan yang sama oleh yang lain. 

Aiman tersentak. Yang ia rasakan bumi berputar lebih cepat, hingga membuat tubuhnya oleng dan terduduk di lantai keramik rumah korban. 

Setelah dirasa cukup kuat, ia berjalan menghampiri tempat di mana korban dibaringkan. 

"Maafkan kelalaianku, aku akan bertanggung jawab atas kejadian ini," ucapnya tertuju pada wanita yang sejak tadi menangis tersedu di samping tubuh kaku di hadapannya. 

"Bang Aiman!“ Sebuah suara mengagetkannya,  spontan membuat Aiman menoleh. 

"Sintia! Kau!" 

Aiman berseru dengan mata membulat sempurna, menatap perempuan di depannya. Rasa tak percaya menjalari hatinya. 

Sintia, tunangannya  yang dulu dikabarkan meninggal dalam kecelakaan tunggal yang menimpanya. Benarkah ... atau mungkin hanya memiliki kemiripan saja? Tapi, bukankah tadi ia memanggilnya dengan sebutan 'Bang'? Seperti Sintia memanggilku. Pikir Aiman. 

"Ceritanya panjang, Bang, ini bukan waktu yang tepat untuk membicarakannya," ujar Sintia tanpa menoleh, membuat Aiman semakin menatap tak percaya ke arahnya. 

"T —tapi! Ah, baiklah. Akan kutunggu sampai kau siap," jawab Aiman terbata berusaha kembali tenang, kemudian mundur dari kerumunan. 

Aiman kembali duduk di lantai yang tadi ia duduki dengan perasaan yang sulit digambarkan. Kemudian ia meraih telpon genggam dan segera menelpon nomor Reza untuk meminta izin, selaku  penanggung jawab absensi karyawan kantor, dan menceritakan kejadian yang baru saja menimpanya.

Aiman menyaksikan semua prosesi yang dilakukan dalam pengurusan jenazah ayah Sintia, dan ikut dalam sholat jenazah.

**** 

"Tunggu sebentar, Bang!" seru Sintia yang tengah  berjalan kearahnya saat rumah duka sudah terlihat sepi setelah tiga hari kepergian Pak Bahri. Aiman yang hendak menuju tempat mobilnya terparkir spontan menghentikan langkah. 

"Iya, Sin. Kenapa?" jawabnya setelah menoleh ke arah Sintia.

Sintia terdiam sejenak, hatinya ragu. Ini bukanlah Bang Aiman yang dulu, bahkan ia hanya memanggilku dengan 'nama' bukan dengan panggilan kesayangannya dulu, pikirnya. 

"Apa kabar kamu, Bang?"

"Baik, Sin!" jawab Aiman singkat, setelah mereka duduk di kursi teras yang berhadapan langsung dengan halaman depan rumah. 

"Kenapa, Abang tak pernah mencariku?" tanya Sintia canggung, matanya menatap lurus ke depan. 

"Aku mendapat kabar kalau kau sudah meninggal dalam kecelakaan itu, Sin." Aiman terlihat heran. 

"A—apa? Siapa yang mengabarimu kalau aku sudah meninggal?" 

"Rian yang mengabariku lewat telpon. Dia mengatakan, kalau jasadmu tak ditemukan, karena hanyut terbawa arus sungai dekat tempat kejadian." Rian adalah teman kuliah Aiman dulu, yang tempat tinggalnya satu kampung dengan Sintia. 

"Aku sudah menebak," jawab Sintia dengan ujung bibir sedikit terangkat. 

"Tunggu! Apa maksud Rian melakukannya?" sergah Aiman tak habis pikir. 

"Rian sudah lama menyimpan perasaan suka padaku, tapi selalu kutolak."

"Ah ... pantas saja, dia tak pernah bersedia saat aku memintanya menemaniku ke rumahmu" balas Aiman. Ada rasa sesal menelusup dalam dada. Kenapa dirinya harus cepat mempercayai pesan Rian? Hingga ia butuh waktu lima tahun untuk melupakan perempuan yang kini duduk di sampingnya. 

Sintia berusaha menata hatinya dengan gemuruh kekecewaan memenuhi dadanya.

"Maafkan, Abang, Sin. Abang tak berniat meninggalkanmu, bahkan lima tahun setelah itu, Abang tak pernah menjalin hubungan dengan siapapun."

Sintia bergeming, pikirannya melayang pada waktu lebih dari enam tahun sebelumnya. Saat ia berjuang melawan koma dan harus menelan kecewa setelah ia pulih. Mungkinkah, sekarang Aiman sudah memiliki pacar baru? Pikir Sintia. 

"Sekarang kejadian itu sudah lebih dari enam tahun. Apa mungkin, Abang sudah punya perempuan lain?" tanya Sintia ingin tahu. Hatinya sisusupi kekhawatiran berlebih.  

Ada rasa bersalah yang begitu besar tengah menggerayangi hati Aiman. Andai saja, dulu ia bersi keras mengunjungi kediaman Sintia, mungkin tak akan seperti ini ceritanya, sesalnya. Cepat ia beristigfar, menyadari kesalahannya pada takdir. 

"I —iya." Aiman meremas jari tangan sendiri.

Hati Sintia kian bergemuruh, dadanya sesak, hingga air mata mulai menganak sungai di pipi. 

"Maafkan, Abang," lanjut Aiman pelan, rasa bersalah semakin terasa. 

Keduanya terdiam cukup lama, sibuk dengan hati masing-masing. Pertemuan yang dulu sangat diharapkan terjadi, tapi kini menjadi sesal bagi keduanya. 

"Apakah, kesempatan itu masih ada untukku, Bang?" Sintia melirik sekilas pada kekasihnya, mungkin lebih tepat, mantan kekasihnya. 

"Aku sudah menikah, Sin, maaf." Aiman tertunduk. 

Sintia merasakan bulir bening semakin memaksa untuk keluar lebih cepat, hingga menciptakan isak yang membuat dadanya terasa sesak, dengan bahu bergetar hebat. 

"Apa kau tak lagi mencintaiku, Bang?"

Pertanyaan Sintia mampu membuat Aiman tersentak.

"Ku mohon, jangan menanyakan hal itu lagi!"

Bukan, bukan ia tak cinta lagi. Nyatanya cinta itu masih sangat kuat hingga kini. Namun ia pun tak mungkin mengkhianati istri sebaik Zia. 

"Apakah kau tak menanyakan hatiku? Hati yang tak pernah berhenti melantunkan do'a supaya keajaiban terjadi, untuk menemukanmu kembali. Lebih dari enam tahun, Bang. Aku berusaha mencarimu, tapi kau seolah hilang ditelan bumi."

"Maafkan, Abang. Seminggu setelah kabar itu, Ayah dimutasi ke kota ini, hingga mengharuskan kami ikut pindah, dan orang tuaku menjual rumah lama kami," jelas Aiman. 

"Sekarang tak ada harapan lagi tersisa, semua harapanku terkubur bersama dua orang yang paling berharga dalam hidupku. Lupakanlah, Bang. Aku memang tak berhak bahagia."

Luka lebih dari enam tahun lalu, seakan terulang kembali. Ingin rasanya ia mengusap pipi gadis itu. Memeluknya erat, sekedar mengurangi beban yang menimpanya. 

Namun tak ada yang bisa Aiman lakukan, selain menyemangati lewat kata-kata, ia tak mungkin melakukan apa yang tak seharusnya dilakukan seorang laki-laki beristri. 

"Bersabarlah. Allah tau kau kuat. Maaf, aku tak banyak membantu." Aiman berusaha bijak. "Aku hanya ingin bertanggung jawab atas keteledoranku kemarin. Katakan, bagaimana aku harus menebusnya?"

Rasa yang tak pernah hilang, seakan menemukan jawaban bagi Sintia. 

"A—aku, aku hanya ingin mewujudkan mimpiku dulu." Sintia terbata-bata. Ada kekhawatiran yang mengukung hatinya, kekhawatiran atas penolakan yang akan dikatakan Aiman. 

"Maksudmu?" Aiman mengerutkan keningnya, ia belum sepenuhnya paham dengan arah perkataan Sintia barusan. 

Sintia menarik napas pelan, kemudian mengembusnya perlaha  "Aku ingin menjadi istrimu, Bang," jawab Sintia sesikit ragu. 

Suara Aiman tercekat, seolah tiada kata yang mampu lolos dari bibirnya.

"Apakah tak ada cara lain, Sin? Akhirnya pertanyaan itu berhasil ke luar. 

Cinta itu hingga kini masih ada dan setelah bertemu Sintia tiga hari yang lalu, rasa itu kembali tumbuh subur. Namun cinta Aiman pada Zia masih tetap sama. 

Detik ini ia merasa berada di persimpangan jalan yang ia sendiri tak mampu memutuskan jalan mana yang akan ia tempuh. 

"Tak ada cara lain, hanya denganmu harapan baru itu kembali muncul. Jika kau menolak menghidupkan harapan itu, aku lebih memilih menyusul mereka dengan caraku." 

Pandangan Sintia mengabur, sesaat kemudian ia bangkit masuk rumah tanpa pamit. 

Pernyataan berisi ancaman yang Aiman dengar, mampu merobohkan pertahanannya. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status