Flash back
Hari itu, saat dalam perjalanan ke kantor. Seorang pria paruh baya hendak menyebrang, dari arah kiri jalan menuju arah warung yang berada di seberang jalan. tanpa menoleh terlebih dahulu.Aiman yang berjarak kurang dari sepuluh meter tak mampu lagi mengelak, menginjak tuas rem sekuat apapun rasanya tak kan membuahkan hasil. Hingga mobil yang ia kendalikan menabrak tubuh pria paruh baya itu, hingga terpental cukup jauh.
Tubuhnya lemas dengan wajah pucat pasi. Perlahan ia membuka pintu mobil dan keluar menghampiri tubuh yang baru saja membentur mobilnya. Suara riuh rendah terdengar di sekelilingnya.
"Pak Bahri nyebrangnya gak noleh kanan kiri, sih. Jadinya kan begini." suara lelaki berkaos hitam tak jauh darinya berdiri berujar.
"Iya, maklumlah, semenjak istrinya meninggal, Pak Bahri jadi linglung," jawab seorang ibu berjilbab biru tua di sebelahnya. Rasa bersalah di hatinya semakin menjadi-jadi setelah mendengarnya.
Dalam waktu sebentar puluhan orang sudah mengerumuni tempat kejadian. Beberapa pengendara yang melintas turut serta, seakan tak ingin kehilangan momen.
Seorang perempuan muda berlari kearah yang sama, merangsek masuk ke dalam kerumunan, sesaat kemudian diangkatnya tubuh yang bersimbah darah, memeluknya sambil meraung pilu.
Aiman turut mengiringi ketika korban diangkat ke dalam rumah. Ternyata rumah korban berada tepat di sisi jalan di tempat kejadian. Korban dibaringkan di karpet yang tergelar di ruang keluarga.
"Innaalillaahi wainnaailaihi rooji'uun" ucap seseorang yang tadi memeriksa denyut nadi korban, kemudian disambut dengan ucapan yang sama oleh yang lain.
Aiman tersentak. Yang ia rasakan bumi berputar lebih cepat, hingga membuat tubuhnya oleng dan terduduk di lantai keramik rumah korban.
Setelah dirasa cukup kuat, ia berjalan menghampiri tempat di mana korban dibaringkan.
"Maafkan kelalaianku, aku akan bertanggung jawab atas kejadian ini," ucapnya tertuju pada wanita yang sejak tadi menangis tersedu di samping tubuh kaku di hadapannya.
"Bang Aiman!“ Sebuah suara mengagetkannya, spontan membuat Aiman menoleh.
"Sintia! Kau!"
Aiman berseru dengan mata membulat sempurna, menatap perempuan di depannya. Rasa tak percaya menjalari hatinya.
Sintia, tunangannya yang dulu dikabarkan meninggal dalam kecelakaan tunggal yang menimpanya. Benarkah ... atau mungkin hanya memiliki kemiripan saja? Tapi, bukankah tadi ia memanggilnya dengan sebutan 'Bang'? Seperti Sintia memanggilku. Pikir Aiman.
"Ceritanya panjang, Bang, ini bukan waktu yang tepat untuk membicarakannya," ujar Sintia tanpa menoleh, membuat Aiman semakin menatap tak percaya ke arahnya.
"T —tapi! Ah, baiklah. Akan kutunggu sampai kau siap," jawab Aiman terbata berusaha kembali tenang, kemudian mundur dari kerumunan.
Aiman kembali duduk di lantai yang tadi ia duduki dengan perasaan yang sulit digambarkan. Kemudian ia meraih telpon genggam dan segera menelpon nomor Reza untuk meminta izin, selaku penanggung jawab absensi karyawan kantor, dan menceritakan kejadian yang baru saja menimpanya.
Aiman menyaksikan semua prosesi yang dilakukan dalam pengurusan jenazah ayah Sintia, dan ikut dalam sholat jenazah.
****
"Tunggu sebentar, Bang!" seru Sintia yang tengah berjalan kearahnya saat rumah duka sudah terlihat sepi setelah tiga hari kepergian Pak Bahri. Aiman yang hendak menuju tempat mobilnya terparkir spontan menghentikan langkah.
"Iya, Sin. Kenapa?" jawabnya setelah menoleh ke arah Sintia.
Sintia terdiam sejenak, hatinya ragu. Ini bukanlah Bang Aiman yang dulu, bahkan ia hanya memanggilku dengan 'nama' bukan dengan panggilan kesayangannya dulu, pikirnya.
"Apa kabar kamu, Bang?"
"Baik, Sin!" jawab Aiman singkat, setelah mereka duduk di kursi teras yang berhadapan langsung dengan halaman depan rumah.
"Kenapa, Abang tak pernah mencariku?" tanya Sintia canggung, matanya menatap lurus ke depan.
"Aku mendapat kabar kalau kau sudah meninggal dalam kecelakaan itu, Sin." Aiman terlihat heran.
"A—apa? Siapa yang mengabarimu kalau aku sudah meninggal?"
"Rian yang mengabariku lewat telpon. Dia mengatakan, kalau jasadmu tak ditemukan, karena hanyut terbawa arus sungai dekat tempat kejadian." Rian adalah teman kuliah Aiman dulu, yang tempat tinggalnya satu kampung dengan Sintia.
"Aku sudah menebak," jawab Sintia dengan ujung bibir sedikit terangkat.
"Tunggu! Apa maksud Rian melakukannya?" sergah Aiman tak habis pikir.
"Rian sudah lama menyimpan perasaan suka padaku, tapi selalu kutolak."
"Ah ... pantas saja, dia tak pernah bersedia saat aku memintanya menemaniku ke rumahmu" balas Aiman. Ada rasa sesal menelusup dalam dada. Kenapa dirinya harus cepat mempercayai pesan Rian? Hingga ia butuh waktu lima tahun untuk melupakan perempuan yang kini duduk di sampingnya.
Sintia berusaha menata hatinya dengan gemuruh kekecewaan memenuhi dadanya.
"Maafkan, Abang, Sin. Abang tak berniat meninggalkanmu, bahkan lima tahun setelah itu, Abang tak pernah menjalin hubungan dengan siapapun."
Sintia bergeming, pikirannya melayang pada waktu lebih dari enam tahun sebelumnya. Saat ia berjuang melawan koma dan harus menelan kecewa setelah ia pulih. Mungkinkah, sekarang Aiman sudah memiliki pacar baru? Pikir Sintia.
"Sekarang kejadian itu sudah lebih dari enam tahun. Apa mungkin, Abang sudah punya perempuan lain?" tanya Sintia ingin tahu. Hatinya sisusupi kekhawatiran berlebih.
Ada rasa bersalah yang begitu besar tengah menggerayangi hati Aiman. Andai saja, dulu ia bersi keras mengunjungi kediaman Sintia, mungkin tak akan seperti ini ceritanya, sesalnya. Cepat ia beristigfar, menyadari kesalahannya pada takdir.
"I —iya." Aiman meremas jari tangan sendiri.
Hati Sintia kian bergemuruh, dadanya sesak, hingga air mata mulai menganak sungai di pipi.
"Maafkan, Abang," lanjut Aiman pelan, rasa bersalah semakin terasa.
Keduanya terdiam cukup lama, sibuk dengan hati masing-masing. Pertemuan yang dulu sangat diharapkan terjadi, tapi kini menjadi sesal bagi keduanya.
"Apakah, kesempatan itu masih ada untukku, Bang?" Sintia melirik sekilas pada kekasihnya, mungkin lebih tepat, mantan kekasihnya.
"Aku sudah menikah, Sin, maaf." Aiman tertunduk.
Sintia merasakan bulir bening semakin memaksa untuk keluar lebih cepat, hingga menciptakan isak yang membuat dadanya terasa sesak, dengan bahu bergetar hebat.
"Apa kau tak lagi mencintaiku, Bang?"
Pertanyaan Sintia mampu membuat Aiman tersentak.
"Ku mohon, jangan menanyakan hal itu lagi!"
Bukan, bukan ia tak cinta lagi. Nyatanya cinta itu masih sangat kuat hingga kini. Namun ia pun tak mungkin mengkhianati istri sebaik Zia.
"Apakah kau tak menanyakan hatiku? Hati yang tak pernah berhenti melantunkan do'a supaya keajaiban terjadi, untuk menemukanmu kembali. Lebih dari enam tahun, Bang. Aku berusaha mencarimu, tapi kau seolah hilang ditelan bumi."
"Maafkan, Abang. Seminggu setelah kabar itu, Ayah dimutasi ke kota ini, hingga mengharuskan kami ikut pindah, dan orang tuaku menjual rumah lama kami," jelas Aiman.
"Sekarang tak ada harapan lagi tersisa, semua harapanku terkubur bersama dua orang yang paling berharga dalam hidupku. Lupakanlah, Bang. Aku memang tak berhak bahagia."
Luka lebih dari enam tahun lalu, seakan terulang kembali. Ingin rasanya ia mengusap pipi gadis itu. Memeluknya erat, sekedar mengurangi beban yang menimpanya.
Namun tak ada yang bisa Aiman lakukan, selain menyemangati lewat kata-kata, ia tak mungkin melakukan apa yang tak seharusnya dilakukan seorang laki-laki beristri.
"Bersabarlah. Allah tau kau kuat. Maaf, aku tak banyak membantu." Aiman berusaha bijak. "Aku hanya ingin bertanggung jawab atas keteledoranku kemarin. Katakan, bagaimana aku harus menebusnya?"
Rasa yang tak pernah hilang, seakan menemukan jawaban bagi Sintia.
"A—aku, aku hanya ingin mewujudkan mimpiku dulu." Sintia terbata-bata. Ada kekhawatiran yang mengukung hatinya, kekhawatiran atas penolakan yang akan dikatakan Aiman.
"Maksudmu?" Aiman mengerutkan keningnya, ia belum sepenuhnya paham dengan arah perkataan Sintia barusan.
Sintia menarik napas pelan, kemudian mengembusnya perlaha "Aku ingin menjadi istrimu, Bang," jawab Sintia sesikit ragu.
Suara Aiman tercekat, seolah tiada kata yang mampu lolos dari bibirnya.
"Apakah tak ada cara lain, Sin? Akhirnya pertanyaan itu berhasil ke luar.
Cinta itu hingga kini masih ada dan setelah bertemu Sintia tiga hari yang lalu, rasa itu kembali tumbuh subur. Namun cinta Aiman pada Zia masih tetap sama.
Detik ini ia merasa berada di persimpangan jalan yang ia sendiri tak mampu memutuskan jalan mana yang akan ia tempuh.
"Tak ada cara lain, hanya denganmu harapan baru itu kembali muncul. Jika kau menolak menghidupkan harapan itu, aku lebih memilih menyusul mereka dengan caraku."
Pandangan Sintia mengabur, sesaat kemudian ia bangkit masuk rumah tanpa pamit.
Pernyataan berisi ancaman yang Aiman dengar, mampu merobohkan pertahanannya.
Cukup lama Aiman diam sambil menunduk dalam. Sekuat apa ia mencari jalan lain, tetap tak ia temukan. Gemuruh di dada kian terasa, pun dengan kekhawatirannya pada Sintia.Berulang ia memikirkan jalan terbaik, hingga kepalanya berdenyut nyeri. Aiman bangkit berjalan menuju arah pintu, dan mengetuknya beberapa kali. Bibirnya berkali-kali memanggil-manggil nama Sintia. Sesekali ia mengusap dada, dengan disertai helaan napas panjang, berusaha menenangkan degub jantung yang tetap tak bersahabat. "Sin ... tolong buka pintunya! Aku akan memenuhi permintaanmu, tapi tolong buka dulu pintunya." Aiman memelas. Telapak tangannya mengeluarkan keringat. Tepat pada ketukan kelima, barulah Sintia ke luar. Matanya terlihat sembap. Perempuan itu kembali duduk pada tempat semula, mata menatap lurus halaman rumah yang langsung terhubung dengan pagar kecil sebagai pembatas dengan jalan raya. "Maafkan aku, Bang. Terlalu sulit melupakanmu. Lebih dari enam tahun aku mempertahankan rasa ini, berharap aku
Seminggu setelah kejadian itu, Aiman masih tak bisa melupakan gadis di aula masjid pesantren itu. Sekuat apa ia berusaha, tetap saja bayangannya tak mampu ia enyahkan. "Za, bisa bantu aku, gak?" ucap Aiman pada Reza saat mereka tengah makan siang. Jam istirahat siang adalah waktu yang paling tepat untuk ngobrol sesama teman kantor. Reza menatap Aiman sekilas, sambil tangan sibuk menyendokkan nasi di piringnya memindahkan ke mulut. "Ada apa, Man?" Reza balik bertanya. "Aku minta bantu kamu, biar bisa kenal sama Zia." Wajah Aiman terlihat ragu. Khawatir Reza tidak bersedia membantunya. "Kamu serius?" Reza meyakinkan Aiman. "Iya, Za. Ada rasa tak mampu, tapi rasa itu tak ingin pergi." Aiman memberanikan diri menumpahkan segala rasa pada Reza tentang perempuan yang ia lihat seminggu lalu. "Aku mau bantuin, asal kamu mau janji!" ucap Reza dengan maksud meminta persetujuan. "Janji apa?""Kalau berhasil deketin dia, jangan pernah ngecewain hatinya!" ucap Reza sungguh-sungguh. Bukan
Sudah tiga hari sejak Zia mengetahui perihal Sintia, sikap dinginnya kini terlihat. Berkali-kali Aiman membuka gawainya, berharap deretan pesan penuh perhatian yang biasa Zia kirimkan akan muncul di layar ponselnya. Namun, berkali-kali pula Aiman harus kecewa. Jangankan mengiriminya pesan, pesan Aiman pun Zia balas dengan sangat singkat. Bahkan foto profil WA Zia yang semenjak mereka menikah tak pernah digantinya, kini sudah tak nampak. "Sebenci itukah dirimu padaku?" Batin Aiman bergejolak. Hari yang biasa dilaluinya penuh dengan damai, kini sebaliknya. Rasa bersalah dan takut kehilangan, membuat garis-garis senyum tak lagi terlihat. Drrrttt ... Drrrttt ... Drrrttt .... Getar ponsel yang beradu dengan meja membuyarkan lamunan Aiman. "Assalamu'alaikum, Bu?" sapa Aiman, setelah melihat nomor Sang penelpon. "Wa'alaikumussalaam. Kamu di mana, Man?""Masih di kantor, Bu!""Zia sehat, kan? Ibu pengen ngasih tau, kalau lusa Ibu sama ayahmu mau ke rumah kalian!""Kok—kok mendadak, Bu
Ibu Ana menoleh menatap Aiman dan Zia bergantian dengan tatapan heran. Perempuan yang masih terlihat cantik di usia lebih dari setengah abad itu, menampakkan wajah heran.Aiman menatap Sang Ibu dengan wajah pias. Degup jantung seakan terhenti. Bayangan Sang Ibu akan mengamuk tergambar jelas. "Apaan, sih? Orang lagi nonton berita juga." Ibu Ana kini tertawa geli. Ternyata Beliau tengah menonton berita kriminal tentang perselingkuhan yang mengakibatkan rumah istri muda dibakar oleh istri tuanya, akibat suami tak mau menceraikan salah satu dari keduanya. Wajah Aiman yang sempat memucat, kini beangsur pulih. Ada rasa geli di hati Zia saat melihat tingkah suaminya barusan. Aiman mengira, Zia telah menceritakan tentang dirinya dan Sintia kepada ibunya. "Ngagetin tau, Bu. Kirain apaan.""Ya sudah, aku mandi dulu, ya, Bu!" ujar Aiman. Ia berusaha meredam keterkejutan yang membuat jantungnya serasa copot. "Sayang! Nanti tanya Ibu lagi aja ya, Abang udah gerah pengen mandi," lanjutnya sambil
"Tak ada siapa yang merebut siapa, pun tak ada siapa yang memilih siapa. Semua murni jalan takdir. Semua salahku karena tak bisa bertahan lebih lama setelah peristiwa itu." Aiman berusaha membujuk Sintia, bagaimana pun ia tak ingin Sintia menilai buruk Zia yang menurutnya istrinya itu sangat baik. Isakan kecil masih terdengar dari bibir perempuan cantik, berwajah tirus dengan rambut sebahu itu. Dirinya tak terima Aiman membela perempuan lain di hadapannya. "Untuk sementara waktu, bersabarlah. Akan kubujuk Zia agar mau menerimamu untuk tinggal bersamanya." Akhirnya Aiman luluh dan bersedia menyanggupi permintaan Sintia. Namun, ia masih belum tau, entah bagaimana caranya menyampaikan keinginan Sintia pada istrinya. "Makasih, Bang. Akan kutanyakan Tiara teman kantorku. Mungkin dia gak keberatan, jika aku menginap di apartemennya untuk beberapa waktu ke depan."Aiman bisa bernafas lebih lega untuk sementara, walau akhirnya waktu menyesakkan itu akan kembali datang. "Makasih juga, Sin,
Aiman menarik napas panjang, menghembusnya perlahan. Tangannya mengusap pelan wajah Zia "Sintia ingin tinggal bersama kita, Zi!"Mataku Zia sukses terbuka lebar, saat mendengar kalimat terakhir yang Aiman ucap barusan. Ia menggeleng kepala, satu sudut bibirnya terangkat. "Apa sebenarnya yang kalian inginkan? Setelah kalian berhasil menikah diam-diam, kini perempuan itu ingin tinggal bersamaku. Apakah masih kurang luka yang kalian torehkan di hatiku? Apa aku harus memohon pada kalian agar jangan menambah lagi luka di hatiku?"Zia menggigit bibir kuat-kuat, emosinya kembali meninggi, hingga matanya mengembun, mengalirkan bulir-bulir yang menganak sungai di pipi, bermuara di pangkuannya. Aiman menangkupkan kedua tangannya di pipi istrinya. Namun dengan cepat Zia menepisnya. "Abang juga tak menginginkan ini, Zi. Tapi ini demi kebaikan kita semua. Demi keamanan Sintia juga.""Kebaikan bagi kita semua?" Zia tersenyum sinis, air mata tak henti membanjiri pipinya. "Ini untuk kebaikan kalian
Mata Zia melebar saat menatap pemandangan yang tak pernah ia harapkan terjadi. Bahkan mimpi pun ia tak pernah mengira, jika pernikahannya akhirnya akan berakhir sesakit ini. Perempuan itu berdiri membelakangi pintu rumah. Rambut sebahunya tergerai, dengan kaos tangan pendak hitam dan celana jeans panjang berwarna senada, membuat kulit putihnya terlihat kontras. Tangannya menenteng satu koper berukuran cukup besar, serta tas kecil tersangkut di bahunya. "Apa yang membuatmu tega melakukan hal itu?" Zia bertanya pada perempuan dengan tinggi badan sekitar 165 sentimeter yang tengah berdiri di hadapannya itu. Susah payah ia tahan gejolak yang berusaha menguap. Perempuan itu memutar badannya hingga membuat tatapan mereka bertemu. "Aku mencintainya!" ucapnya, dengan tangan bersedekap di dada. Tak ada gurat sesal di wajahnya. "Apa aku pernah menyakitimu, hingga kau tega melakukan ini padaku?" Zia menatap kososong deretan pot tanaman hias di halaman depan. "Kau tak pernah menyakitiku. Kau
"Layanilah perempuan itu dengan baik, aku tak akan melarangnya, karena memang seharusnya begitu."Aiman kembali memejamkan mata, sambil menarik napas dalam. Ia tak ingin memilih, ia hanya ingin hidup tenang dengan merangkul keduanya secara bersamaan. "Jangan berkata begitu, Zi. Abang tau Abang salah, tapi jangan menghukum Abang dengan kata-kata seperti ucapanmu barusan. Abang sungguh sangat mencintaimu!""Bukankah terkadang cinta memang tak harus memiliki?" lirih Zia pelan. "Berusahalah menerima, Zi! Abang akan berusaha untuk adil." Aiman menatap kosong meja rias di hadapannya. "Aku hanya tak ingin lebih sakit lagi!"Seketika Aiman beralih menatapnya tajam, "Kau cukup paham tentang ini, Zi, bersabarlah! Abang mohon. Jika bisa memilih, Abang lebih memilih tak pernah dipertemukan lagi dengan Sintia, tapi Abang bisa apa?""Jangan pernah mengira, seseorang dengan didikan pesantren akan berubah menjadi malaikat! Aku masih manusia biasa, yang bisa merasakan sakit hati dan kecewa," ucap Zi