Home / Rumah Tangga / ALASAN SUAMIKU MENDUA / Part 2. Awal Petaka

Share

Part 2. Awal Petaka

Author: Rizka Fhaqot
last update Last Updated: 2022-06-15 16:22:40

Flash back

Hari itu, saat dalam perjalanan ke kantor. Seorang pria paruh baya hendak menyebrang, dari arah kiri jalan menuju arah warung yang berada di seberang jalan. tanpa menoleh terlebih dahulu. 

Aiman yang berjarak kurang dari sepuluh meter tak mampu lagi mengelak, menginjak tuas rem sekuat apapun rasanya tak kan membuahkan hasil. Hingga mobil yang ia kendalikan menabrak tubuh pria paruh baya itu, hingga terpental cukup jauh. 

Tubuhnya lemas dengan wajah pucat pasi.  Perlahan ia membuka pintu mobil dan keluar menghampiri tubuh yang baru saja membentur mobilnya. Suara riuh rendah terdengar di sekelilingnya. 

"Pak Bahri nyebrangnya gak noleh kanan kiri, sih. Jadinya kan begini." suara lelaki berkaos hitam tak jauh darinya berdiri berujar. 

"Iya, maklumlah, semenjak istrinya meninggal, Pak Bahri jadi linglung," jawab seorang ibu berjilbab biru tua di sebelahnya. Rasa bersalah di hatinya semakin menjadi-jadi setelah mendengarnya. 

Dalam waktu sebentar puluhan orang sudah mengerumuni tempat kejadian. Beberapa pengendara yang melintas turut serta, seakan tak ingin kehilangan momen. 

Seorang perempuan muda  berlari kearah yang sama, merangsek masuk ke dalam kerumunan, sesaat kemudian diangkatnya tubuh yang bersimbah darah, memeluknya sambil meraung pilu. 

Aiman turut mengiringi ketika korban diangkat ke dalam rumah. Ternyata rumah korban berada tepat di sisi jalan di tempat kejadian. Korban dibaringkan di karpet yang tergelar di ruang keluarga. 

"Innaalillaahi wainnaailaihi rooji'uun" ucap seseorang yang tadi memeriksa denyut nadi korban, kemudian disambut dengan ucapan yang sama oleh yang lain. 

Aiman tersentak. Yang ia rasakan bumi berputar lebih cepat, hingga membuat tubuhnya oleng dan terduduk di lantai keramik rumah korban. 

Setelah dirasa cukup kuat, ia berjalan menghampiri tempat di mana korban dibaringkan. 

"Maafkan kelalaianku, aku akan bertanggung jawab atas kejadian ini," ucapnya tertuju pada wanita yang sejak tadi menangis tersedu di samping tubuh kaku di hadapannya. 

"Bang Aiman!“ Sebuah suara mengagetkannya,  spontan membuat Aiman menoleh. 

"Sintia! Kau!" 

Aiman berseru dengan mata membulat sempurna, menatap perempuan di depannya. Rasa tak percaya menjalari hatinya. 

Sintia, tunangannya  yang dulu dikabarkan meninggal dalam kecelakaan tunggal yang menimpanya. Benarkah ... atau mungkin hanya memiliki kemiripan saja? Tapi, bukankah tadi ia memanggilnya dengan sebutan 'Bang'? Seperti Sintia memanggilku. Pikir Aiman. 

"Ceritanya panjang, Bang, ini bukan waktu yang tepat untuk membicarakannya," ujar Sintia tanpa menoleh, membuat Aiman semakin menatap tak percaya ke arahnya. 

"T —tapi! Ah, baiklah. Akan kutunggu sampai kau siap," jawab Aiman terbata berusaha kembali tenang, kemudian mundur dari kerumunan. 

Aiman kembali duduk di lantai yang tadi ia duduki dengan perasaan yang sulit digambarkan. Kemudian ia meraih telpon genggam dan segera menelpon nomor Reza untuk meminta izin, selaku  penanggung jawab absensi karyawan kantor, dan menceritakan kejadian yang baru saja menimpanya.

Aiman menyaksikan semua prosesi yang dilakukan dalam pengurusan jenazah ayah Sintia, dan ikut dalam sholat jenazah.

**** 

"Tunggu sebentar, Bang!" seru Sintia yang tengah  berjalan kearahnya saat rumah duka sudah terlihat sepi setelah tiga hari kepergian Pak Bahri. Aiman yang hendak menuju tempat mobilnya terparkir spontan menghentikan langkah. 

"Iya, Sin. Kenapa?" jawabnya setelah menoleh ke arah Sintia.

Sintia terdiam sejenak, hatinya ragu. Ini bukanlah Bang Aiman yang dulu, bahkan ia hanya memanggilku dengan 'nama' bukan dengan panggilan kesayangannya dulu, pikirnya. 

"Apa kabar kamu, Bang?"

"Baik, Sin!" jawab Aiman singkat, setelah mereka duduk di kursi teras yang berhadapan langsung dengan halaman depan rumah. 

"Kenapa, Abang tak pernah mencariku?" tanya Sintia canggung, matanya menatap lurus ke depan. 

"Aku mendapat kabar kalau kau sudah meninggal dalam kecelakaan itu, Sin." Aiman terlihat heran. 

"A—apa? Siapa yang mengabarimu kalau aku sudah meninggal?" 

"Rian yang mengabariku lewat telpon. Dia mengatakan, kalau jasadmu tak ditemukan, karena hanyut terbawa arus sungai dekat tempat kejadian." Rian adalah teman kuliah Aiman dulu, yang tempat tinggalnya satu kampung dengan Sintia. 

"Aku sudah menebak," jawab Sintia dengan ujung bibir sedikit terangkat. 

"Tunggu! Apa maksud Rian melakukannya?" sergah Aiman tak habis pikir. 

"Rian sudah lama menyimpan perasaan suka padaku, tapi selalu kutolak."

"Ah ... pantas saja, dia tak pernah bersedia saat aku memintanya menemaniku ke rumahmu" balas Aiman. Ada rasa sesal menelusup dalam dada. Kenapa dirinya harus cepat mempercayai pesan Rian? Hingga ia butuh waktu lima tahun untuk melupakan perempuan yang kini duduk di sampingnya. 

Sintia berusaha menata hatinya dengan gemuruh kekecewaan memenuhi dadanya.

"Maafkan, Abang, Sin. Abang tak berniat meninggalkanmu, bahkan lima tahun setelah itu, Abang tak pernah menjalin hubungan dengan siapapun."

Sintia bergeming, pikirannya melayang pada waktu lebih dari enam tahun sebelumnya. Saat ia berjuang melawan koma dan harus menelan kecewa setelah ia pulih. Mungkinkah, sekarang Aiman sudah memiliki pacar baru? Pikir Sintia. 

"Sekarang kejadian itu sudah lebih dari enam tahun. Apa mungkin, Abang sudah punya perempuan lain?" tanya Sintia ingin tahu. Hatinya sisusupi kekhawatiran berlebih.  

Ada rasa bersalah yang begitu besar tengah menggerayangi hati Aiman. Andai saja, dulu ia bersi keras mengunjungi kediaman Sintia, mungkin tak akan seperti ini ceritanya, sesalnya. Cepat ia beristigfar, menyadari kesalahannya pada takdir. 

"I —iya." Aiman meremas jari tangan sendiri.

Hati Sintia kian bergemuruh, dadanya sesak, hingga air mata mulai menganak sungai di pipi. 

"Maafkan, Abang," lanjut Aiman pelan, rasa bersalah semakin terasa. 

Keduanya terdiam cukup lama, sibuk dengan hati masing-masing. Pertemuan yang dulu sangat diharapkan terjadi, tapi kini menjadi sesal bagi keduanya. 

"Apakah, kesempatan itu masih ada untukku, Bang?" Sintia melirik sekilas pada kekasihnya, mungkin lebih tepat, mantan kekasihnya. 

"Aku sudah menikah, Sin, maaf." Aiman tertunduk. 

Sintia merasakan bulir bening semakin memaksa untuk keluar lebih cepat, hingga menciptakan isak yang membuat dadanya terasa sesak, dengan bahu bergetar hebat. 

"Apa kau tak lagi mencintaiku, Bang?"

Pertanyaan Sintia mampu membuat Aiman tersentak.

"Ku mohon, jangan menanyakan hal itu lagi!"

Bukan, bukan ia tak cinta lagi. Nyatanya cinta itu masih sangat kuat hingga kini. Namun ia pun tak mungkin mengkhianati istri sebaik Zia. 

"Apakah kau tak menanyakan hatiku? Hati yang tak pernah berhenti melantunkan do'a supaya keajaiban terjadi, untuk menemukanmu kembali. Lebih dari enam tahun, Bang. Aku berusaha mencarimu, tapi kau seolah hilang ditelan bumi."

"Maafkan, Abang. Seminggu setelah kabar itu, Ayah dimutasi ke kota ini, hingga mengharuskan kami ikut pindah, dan orang tuaku menjual rumah lama kami," jelas Aiman. 

"Sekarang tak ada harapan lagi tersisa, semua harapanku terkubur bersama dua orang yang paling berharga dalam hidupku. Lupakanlah, Bang. Aku memang tak berhak bahagia."

Luka lebih dari enam tahun lalu, seakan terulang kembali. Ingin rasanya ia mengusap pipi gadis itu. Memeluknya erat, sekedar mengurangi beban yang menimpanya. 

Namun tak ada yang bisa Aiman lakukan, selain menyemangati lewat kata-kata, ia tak mungkin melakukan apa yang tak seharusnya dilakukan seorang laki-laki beristri. 

"Bersabarlah. Allah tau kau kuat. Maaf, aku tak banyak membantu." Aiman berusaha bijak. "Aku hanya ingin bertanggung jawab atas keteledoranku kemarin. Katakan, bagaimana aku harus menebusnya?"

Rasa yang tak pernah hilang, seakan menemukan jawaban bagi Sintia. 

"A—aku, aku hanya ingin mewujudkan mimpiku dulu." Sintia terbata-bata. Ada kekhawatiran yang mengukung hatinya, kekhawatiran atas penolakan yang akan dikatakan Aiman. 

"Maksudmu?" Aiman mengerutkan keningnya, ia belum sepenuhnya paham dengan arah perkataan Sintia barusan. 

Sintia menarik napas pelan, kemudian mengembusnya perlaha  "Aku ingin menjadi istrimu, Bang," jawab Sintia sesikit ragu. 

Suara Aiman tercekat, seolah tiada kata yang mampu lolos dari bibirnya.

"Apakah tak ada cara lain, Sin? Akhirnya pertanyaan itu berhasil ke luar. 

Cinta itu hingga kini masih ada dan setelah bertemu Sintia tiga hari yang lalu, rasa itu kembali tumbuh subur. Namun cinta Aiman pada Zia masih tetap sama. 

Detik ini ia merasa berada di persimpangan jalan yang ia sendiri tak mampu memutuskan jalan mana yang akan ia tempuh. 

"Tak ada cara lain, hanya denganmu harapan baru itu kembali muncul. Jika kau menolak menghidupkan harapan itu, aku lebih memilih menyusul mereka dengan caraku." 

Pandangan Sintia mengabur, sesaat kemudian ia bangkit masuk rumah tanpa pamit. 

Pernyataan berisi ancaman yang Aiman dengar, mampu merobohkan pertahanannya. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Louisa Janis
ini KEGATELAN namanya sadar sebesar apapun cinta kalian sudah ada hati yang harus di jaga jangan egois dan TAKABUR yang ada kena LAKNAT
goodnovel comment avatar
husky mind
egois ya! semuanya mau
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • ALASAN SUAMIKU MENDUA   Part 179. Cinta Akan Datang di Waktu yang Tepat

    "Terima kasih atas waktu dua tahunmu membersamaiku, Bang. Semoga kau selalu menjadi laki-laki terbaik bagiku dan Hana, putri kita." Zia menyandarkan kepalanya ke dada bidang lelaki yang sudah dua tahun melengkapi hidupnya. Sebuah jalan takdir yang sama sekali tidak pernah ia duga sebelumnya, jika Farid akan menjadi suami, imam juga jalan dirinya untuk menggapai surga Rabb-nya."Alhamdulillah, Sayang. Abang juga sangat bersyukur sekali bisa dipertemukan dengan perempuan cantik, baik hati, sholeha, sepertimu." Senyum menawan Farid dia persembahkan untuk perempuan asing teristimewa dalam hidupnya. Keduanya saling menautkan jari menikmati semilir angin sore di taman samping rumah sambil melihat kelucuan Hana yang tengah bermain tidak jauh dari tempat mereka duduk.Kehangatan keluarga kecil mereka semakin lengkap setelah kehadiran Hana sebagai pengantar doa-doa panjang dalam setiap sujud mereka sebagai orang tua. Meminta serta memohon keberkahan untuk rumah tangga agar senantiasa berada d

  • ALASAN SUAMIKU MENDUA   Part 178. Semua Karena Sabar

    Tiara menatap lekat wajah laki-laki di hadapannya. Dapat ia rasakan hatinya menghangat seiring cinta yang kian tumbuh dan berkembang terhadap laki-laki itu. "Kau yakin? Apa kau sama sekali tak memiliki rasa sakit hati atas penolakanku selama ini?" tanya Tiara dengan rasa penasaran. "Aku yakin. Tak naif, kecewa itu kerap terasa, hanya saja aku menganggapnya sebagai pecut untuk berjuang meraih cintamu lebih keras lagi. Jujur, di luaran sana ada yang mengejarku untuk meraih cintaku, sayangnya hati ini sudah terpaut sejak lama padamu, Ti." Laki-laki itu terlihat sangat serius. Tiara menatap Miko dengan senyum termanisnya. Hati berdesir kian rapat yang sebelumnya tak pernah ia rasakan. "Apa kau akan selalu bersikap seperti ini seandianya aku menerima lamaranmu?" Tiara berusaha menuntaskan keingintahuannya. "Apa kau pikir aku akan mengorbankan waktu dan kesabaranku selama ini dalam memperjuangkan cintamu hingga aku akan mengabaikanmu saat kau sudah menjadi milikmu?" Miko balik bertanya

  • ALASAN SUAMIKU MENDUA   Part 177. Menikahlah denganku!

    Zia mengangguk. "Aku udah maafin Sintia, Ti. Lagipula dari dulu Kakak nggak pernah dendam sama Sintia. Sakit hati atas perlakuan Sintia dulu Kakak rasa itu manusiawi, yang pasti sekarang Kakak sudah mengikhlaskan semuanya." Zia tersenyum lembut. "Kakak memang luar biasa. Terima kasih, Kak.""Maafin kesalahan Sintia! Anggap aja kalo Sintia khilaf waktu ngelakuin semuanya," lanjut Zia."Iya, Kak. Aku hanya berharap semoga Sintia tenang di kehidupan abadinya dan ke depannya nggak akan ada lagi Sintia baru di dalam hidup kita." Tiara berucap lirih. Zia mengangguk pelan. "Aamiin.."***"Sekarang tak ada lagi Sintia, Ti. Aku harap kau bisa menerima lamaranku. Maafkan atas sikapku beberapa waktu lalu." Aiman berucap dengan nada memohon. Aiman meminta Tiara untuk menemuinya di tempat biasa, rumah makan yang beberapa kali mereka jadikan tempat bertemu sambil menghabiskan waktu istirahat siang sebelum kembali ke kantor. Tiara tidak langsung menjawab, ia berpikir sejenak agar tidak salah men

  • ALASAN SUAMIKU MENDUA   Part 176. Mengikhlaskan

    Zia mengalihkan perhatiannya kembali pada sang dokter. Lalu menganggukkan kepala. "Benar, Dok. Jadi jika memang harus dilepas, saya dan keluarga akan berusaha menerima dengan lapang dada." Susah payah Zia mengucapkan kata-kata itu melalui bibirnya yang bergetar. Tapi dia harus, dia tidak bisa ikut rapuh di saat Tiara tak sanggup lagi untuk sekedar berdiri. "Tiara!"Zia menggandeng lengan Tiara untuk ke luar setelah pamit pada dokter yang di hadapan mereka. Farid pun memutuskan untuk mengambil alih semua tugas Tiara. Dia mengikuti dokter tersebut agar segera menandatangani surat persetujuan pelepasan alat penunjang hidup Sintia sekaligus melunasi segala biayanya. Jasad Sintia akan dimandikan oleh pihak rumah sakit dan dikafani sekalian di sini. Supaya mereka hanya tinggal menyemayamkan jasad Sintia menuju ke tempat peristirahatan terakhir. Di sisi lain, Zia mencoba menuntun Tiara ke kursi ruang tunggu. Dia mendudukkan Tiara sembari memberikan sebotol air mineral yang tadi sempat ia b

  • ALASAN SUAMIKU MENDUA   Part 175. Sintia Sekarat

    Tiara bercerita panjang lebar pada Zia. Ia sendiri merasa sedikit tak nyaman menceritakan semuanya pada Zia, terlebih sesuatu yang ada hubungannya dengan Aiman. Tapi ia sendiri seolah tidak memiliki tempat berbagi. Sang nenek tinggal terpisah darinya dengan jarak satu setengah jam perjalanan. Sedangkan sang ayah, laki-laki itu semakin tak memiliki waktu untuknya, bahkan hanya sekedar menelpon pun seolah tak memiliki waktu. "Kakak hanya bisa menyerahkan semua keputusan padamu, Ti. Kau sudah dewasa. Semoga apa pun keputusanmu itu akan berbuah manis di kemudian hati, Ti.""Terima kasih, Kak, sudah sudi mendengar ceritaku. Aku pun berharap begitu. Aku berharap ada kebahagiaan untukku tanpa harus menyakiti hati siapa pun."Telepon terputus. Zia terdiam sejenak. Isi percakapannya dengan Tiara barusan seolah berputar di kepalanya. Ia sendiri tak tahu harus berbuat apa yang pasti ia hanya berharap yang terbaik bagi Tiara. Embusan napas panjang ke luar dari mulutnya. Sekilas wajah patah hati

  • ALASAN SUAMIKU MENDUA   Part 174. Kita Akan Menemukan Jodoh Masing-masing

    Tiara lagi-lagi tersenyum sinis. Kalimat Aiman mampu menoreh luka di relung sana. Bagi Tiara, pantang berbohong apalagi dalam hal sepenting ini."Jika saja kau bisa melihat isi hatiku, maka kalimat yang kau ucapkan barusan tak akan pernah ke luar." Kali ini tatapan mata Tiara lekat di wajah Aiman.Laki-laki itu terdiam sejenak. Mencari alasan agar kali ini usahanya untuk membina keluarga baru tidak kembali gagal. "Maafkan aku, Ti. Aku khilaf!" Aiman berusaha menurunkan egonya. "Kumohon mengertilah. Aku bahkan tak akan bisa tenang jika hubungan kita terus berlanjut. Dua hati yang aku korbankan atau … bisa saja lebih." Tiara berucap sendu. "Apa tak ada jalan lain, Ti?" Kumohon! Aku hanya ingin membina keluarga bahagia dan melihat senyum kedua orang tuaku kembali merekah." Aiman menghiba berharap hati Tiara akan luluh. Tiara bergeming. Bayangan Ibu Ana melintas membuatnya sedikit tak nyaman. Namun, ia tak ingin keadaan lebih buruk lagi. "Percayalah, kita akan menemukan jodoh kita ma

  • ALASAN SUAMIKU MENDUA   Part 173. Penolakan

    "Laki-laki itu masih menyimpan rasa padamu, Sayang!" ucap Farid saat keduanya baru saja masuk ke mobil. Zia menatap lekat wajah sang suami dengan dahi berkerut. Farid sengaja mengalihkan pandangan lurus ke depan. "Maksudnya?" tanya Zia seolah tak mengerti. "Mantan suamimu!" Kali ini Farid melirik sekilas wajah cemberut Zia. "Abang tak suka Zia bertemu dengannya?" "Tidak!""Meski tanpa sengaja?""Ya."Hening. Zia tak lagi meneruskan pertanyaannya. Ia memilih menatap lekat wajah Farid dengan wajah manyun. Farid yang merasa diperhatikan kini tak bisa menyembunyikan tawanya. "Manyun aja keliatan cantik, apalagi senyum." Farid mengecup puncak hidung Zia. Zia tak menjawab. Gemas rasanya karena merasa dipermainkan. "Nggak usah dipikirin! Abang cuma becanda." Farid tersenyum lembut. "Sebenarnya Abang serius kalau dia masih menyimpan rasa padamu. Sayangnya sekarang Abang-lah laki-laki beruntung itu, bukan dia." Farid kembali terkekeh. "Tak usah bahas dia lagi. Zia nggak nyaman," aku Zi

  • ALASAN SUAMIKU MENDUA   Part 172. Aku Mundur

    Aiman bangkit dan mengangsurkan tangannya saat Farid dan Zia sudah berdiri di dekatnya. Farid dan Aiman bersalaman layaknya dua orang yang baru saja kenal. Karena ini memang kali pertamanya Farid dan Aiman bertatap muka. Saat Zia menikah pun Aiman tak datang karena merasa tak mampu melihat Zia berbahagia dengan laki-laki lain. Setelahnya Farid duduk dengan jarak satu kursi dari Aiman. Zia duduk di samping Farid. "Baru sampai?" tanya Farid berusaha mencairkan suasana. Ia tahu jika Aiman masih sangat menginginkan Zia hingga Zia memuyuskan menerima lamarannya. "Sekitar pukul 2 tadi," jawab Aiman. Ia merasakan suasana yang begitu canggung. "Tiara di dalam?" tanya Farid lagi. "Iya, beberapa menit lalu baru masuk." Aiman menjawab singkat pertanyaan Farid. Ia tak tahu harus berbasa-basi seperti apa agar suasana canggung antara mereka bisa menghangat. *Di dalam ruangan ICU Tiara duduk di sisi kiri Sintia. Ditatapnya wajah dengan luka jahitan di kepala dan pipi di hadapannya. Ada iba d

  • ALASAN SUAMIKU MENDUA   Part 171. Cemburu

    "Kau di sini …." Aiman duduk tepat di samping Tiara. "Maaf, saking paniknya aku lupa mengabarimu." Tiara berucap setelah menoleh sekilas pada Aiman. Setelahnya tatapan matanya kembali mengarah pada pintu ruang ICU yang tertutup rapat. "Aku menghubungimu berulang-ulang tapi tapi tak ada balasan. Akhirnya kuputuskan untuk mencarimu di tempat di mana Sintia dirawat.""Terima kasih sudah sepeduli itu padaku." Kalimat Tiara terdengar datar. Kini Aiman seolah tak lagi memiliki daya tarik di matanya. Ia mulai sadar jika terlalu banyak hati bahkan fisik yang tersakiti saat dirinya ia memutuskan untuk menerima lamaran Aiman.Jika ia tetap meneruskan rencana awal ia yakin hati Miko akan bertambah hancur, pun dengan Sintia. Tiara tak ingin menambah api dendam di hati perempuan itu seandainya Sintia sembuh dari komanya. "Besok malam kita bertemu di tempat biasa habis isya! Ada yang ingin aku bicarakan denganmu," lirih Tiara sendu. Ia sangat paham dengan memutuskan hubungan dengan Aiman berarti

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status