Share

ALASAN SUAMIKU MENDUA
ALASAN SUAMIKU MENDUA
Author: Rizka Fhaqot

Part 1. Luka

[Bang, kapan kau akan jujur pada Kak Zia?] 

[Beri pengertian secepatnya, agar dia bisa menerimaku. Aku tak ingin terus-terusan begini, punya suami tapi seolah hidup sendiri.] 

[Dua bulan Abang tak membagi waktu secara adil. Abang bahkan hanya menemuiku seminggu dua atau hanya sekali saja.] 

Deretan pesan di ponsel suaminya membuat lutut Zia terasa lemas, seakan tak mampu menopang berat badannya yang tak seberapa. Hatinya terasa perih, bahkan sangat perih. 

[Kumohon, bersabarlah. Percayalah, Abang akan melakukannya.] Balas Aiman. 

Chat dari nomor yang diberi nama Sintia di ponsel suaminya mampu membuat persendian di tubuhnya terasa lunglai.

Ponsel yang tak pernah terkunci sejak awal mereka menikah itu lolos dari cengkraman tangannya, terjatuh menghantam lantai. 

Tubuh Zia merosot, kedua tungkai tak kuat menahan beban seiring kalimat-kalimat yang baru saja ia baca seolah memutar di kepalanya. 

Sintia. Perempuan pertama yang diinginkan Aiman untuk mendampinginya sebelum Zia. Apakah itu benar dirinya? 

Bukankah, Sintia telah meninggal setelah kecelakaan tunggal yang merenggut nyawanya? Itu yang Zia dengar dari suaminya waktu itu. Ataukah, mereka memiliki kesamaan nama? Rentetan pertanyaan mengawang di kepala membuat kepalanya berdenyut nyeri. 

Entah berapa kali istigfar ia langitkan, berharap hatinya bisa setegar karang, sekuat gunung es. Namun, tetap saja ia adalah seorang wanita yang kodratnya selalu mengutamakan rasa. 

Zia. Perempuan cantik, bertubuh mungil,  berkulit putih dengan hidung mancung itu, kini tengah menangis sesenggukan memeluk lutut, mendekapkan ke dada, dengan air mata yang tumpah ruah membasahi jilbab biru tua lebarnya. 

Tangisnya begitu pilu, seakan ingin menghabiskan seluruh air mata yang masih tersisa, demi menghilangkan duka esok. 

"Zia! kenapa, Sayang?"

Aiman yang baru saja selesai mandi untuk bersiap ke kantor tergopoh mendekat kearahnya. Mendapati istrinya yang kini tengah tergugu di lantai, dengan tangan memegang kuat telpon genggam miliknya. Detak jantung Aiman berpacu lebih cepat. Teringat pesan dari Sintia semalam lupa dihapusnya. 

"Katakan, Bang! Apa maksud dari semua ini?" tanyanya dengan suara serak. 

Kini ia bertanya tanpa basa-basi memperlihatkan isi pesan yang berhasil merobek kepercayaannya, menghancurkan mimpi-mimpinya. Meminta penjelasan dari orang yang paling dicintainya setahun terakhir.

"Maafkan, Abang, Sayang. Abang tak berniat membohongimu."

Lelaki tampan dengan hidung mancung berwajah oval itu kini terduduk di depan Zia dengan kepala tertunduk, ia sangat paham jika cepat atau lambat semuanya akan menjadi lebih rumit. 

Mengapa Sintia harus kembali hadir dalam kehidupannya dan membawa sejuta kenangan manis bersamanya dulu? 

Aiman mengusap kasar wajahnya. Cintanya pada dua perempuan itu kini menyiksanya, membuat tak nyaman hari-harinya dan akan semakin tak nyaman lagi ke depannya. 

"Apa maksud semua ini, Bang?  Apa maksud dua bulan kau tak membagi waktumu secara adil? Apakah Abang ...?" Zia tak mampu melanjutkan pertanyaannya karena isak yang terus mengurai. Hatinya hancur berkeping. 

"Maafkan Abang, Sayang. Abang telah menikah dengannya dua bulan lalu." Aiman terpaku pada posisi tertunduk. Hatinya ikut hancur, melihat orang tersayang kini terluka karenanya. Namun ia juga tak bisa mengabaikan rasanya pada Sintia yang kini kembali hadir. 

Kalimat yang baru saja keluar dari bibir suaminya, tak ubah laksana palu godam yang menghantam telak ulu hati Zia. Nyeri, sangat nyeri. Dalam mimpi terburuk sekali pun ia tak pernah menyangka mahligai pernikahannya akan hancur karena orang ketiga. 

"Selamat, Bang. Dua bulan kau menyembunyikannya dariku secara sempurna. Atau ... bahkan lebih," lirih Zia berusaha menumpahkan pilu yang bergejolak di dada, mengurai luka yang membuat sesak di dada. 

"Kau berhak marah. Tapi setidaknya, dengar penjelasan Abang! Abang hanya ingin menunggu waktu yang tepat."

Aiman berusaha menenangkan, dengan merengkuh tubuh istrinya. Namun sekuat tenaga Zia melepaskan pelukan suaminyasuaminya, membuat lelaki itu sesikit kepayahan dibuatnya. 

"Jangan menyentuhku, jika tangan itu pula yang Abang gunakan untuk menyentuh wanita lain!"

Zia berujar dengan setengah berteriak, emosi tengah menguasainya saat ini. Namun, ada sesal menelusup dalam hati setelahnya.

Bagaimana pun, Aiman adalah suaminya, suami yang selalu ada untuknya. Suami yang memperlakukannya dengan penuh cinta, suami yang tak pernah rela melihatnya sedih maupun kepayahan. Mengingat semuanya membuat hati Zia semakin nyeri. 

Aiman merasa asing. Setahun menikah bahkan ia tak pernah melihat istrinya meninggikan suara seperti sekarang. Ia tediam. Memutar otak, mencari kata dari mana harus ia memulai untuk  menjelaskan. 

"A —aku bahkan belum menyentuhnya, meski sudah sah menjadi suaminya, dua bulan lalu," ucap Aiman terbata dengan kepala tertunduk. Terpaksa kalimat dusta itu meluncur dari bibirnya, berharap mampu mereda sedikit kekecewaan Zia padanya. 

Tak mungkin ia mengatakan sejujurnya jika dirinya masih sangat mencintai mantan tunangannya itu pada Zia.

"Pilihan yang terlalu berat bagi Abang, untuk menolak pun rasanya tak mungkin." lanjut Aiman. 

Zia bergeming, dengan isi kepala yang sibuk mencerna perkataan Aiman barusan. Mungkinkah semua yang dikatakan Aiman benar? Ataukah, hanya alasan supaya dirinya memaafkan perselingkuhan suaminya? Zia masih tak paham. 

"Munafik!" Zia bersuara lirih, namun mampu mengoyak hati Aiman setelah mendengarnya, Zia bahkan tak mampu untuk bersikap baik pada lelaki yang telah menoreh luka di hatinya itu. "Bukankah dulu, kau mengatakan kalau Sintia telah meninggal, Bang! Lantas apa artinya semua ini?" Zia menangkup telapak tangan menutup wajahnya yang basah. Hatinya begitu rapuh sekarang. 

"Ini, janjimu ingin setia dan menua bersamaku, Bang! Bahkan pernikahan yang baru seumur jagung pun telah kau hianati." Lanjut Zia. Tubuhnya bergetar menahan amarah yang memuncak. 

"Abang terpaksa, Zi. Kau tak paham posisi Abang saat itu." Aiman memijat keningnya yang mulai berdenyut. "Sintia adalah anak dari korban tabrakan yang disebabkan Abang, Zi. Ayahnya meninggal di tempat setelah Abang tabrak, sedangkan Ibunya meninggal dua bulan sebelumnya dan kini dia sendiri." Aiman terpaksa sedikit berbohong, dirinya masih tak sanggup untuk menerima kenyataan terburuk jika Zia tahu dirinya masih sangat mencintai Sintia. 

Zia membekap mulutnya dengan kedua tangan, bersama isak yang kembali terdengar. 

"Apa aku tak sepenting itu, Bang? Sampai-sampai kau tak ingin lagi berbagi denganku?" kini isakan itu pecah kembali menjadi tangis pilu. Kenyataan Aiman menutup semuanya dari dirinya membuat luka yang baru saja tergores menjadi semakin menganga. 

Aiman mendekat meraih tubuh istrinya, mendekap erat tanpa memberi kesempatan Zia untuk menolak. "Kau bahkan lebih penting dari semua itu, Zi," ucap Aiman sendu. "Abang tak tega melihatmu bersedih, Zi, itulah kenapa sampai sekarang Abang masih  belum sanggup jujur." 

Aiman mengusap lembut punggung istrinya, mencium berkali-kali puncak kepala Sang istri, berharap mampu mengurangi luka yang baru saja menggores hatinya. 

"Impianku adalah menjadi Bunda Khodijah di hati Rosulullah, Bang. Beliau tak pernah diduakan selama hidupnya. Karena aku tahu ...  iman dan sabarku tak seteguh Bunda Aisyah dalam menerima kenyataan ini." Zia tergugu dengan menangkup wajahnya di dada bidang suaminya.

"Abang tak memaksamu, Sayang. Abang mohon, dengarkan Abang dulu," lirih Aiman seraya mengusap pelan dan mengecup pucuk kepala istrinya. 

Aiman melerai pelukkannya, menuntun Zia untuk duduk di sisi tempat tidur. Mengusap lembut bulir yang jatuh dengan ujung jari. 

"Banyak yang harus Abang pertimbangkan, sebelum memutuskan semuanya. Tak menutup kemungkinan Abang akan di penjara jika menolak permintaan Sintia." Aiman menangkup kedua tangan di pipi istrinya. Berharap sakit yang diciptakannya berkurang. 

"Berjanjilah untuk selalu di sisi Abang, Sayang!" Aiman menatap tepat netra yang di kelilingi bulu-bulu lentik itu, ia tak ingin Zia pergi dan tak rela pula jika Sintia kembali menghilang. 

Zia kembali tertunduk. Mata yang biasanya selalu ceria, kini terlihat sendu. Senyum yang biasanya merekah kini tak lagi nampak. 

"Insya Allah, aku akan berusaha, Bang. Namun, jika aku merasa tak sanggup, kumohon ridhoi aku untuk menyerah," lirih Zia, mimpinya untuk mengarungi bahtera bersama hingga terpisah oleh ajal, seakan begitu sulit untuk diraih. 

Aiman terdiam, sulit baginya memilih salah satu antara keduanya. Salahkah jika ia ingin merengkuh keduanya dalam bahtera yang sama? 

Mga Comments (3)
goodnovel comment avatar
Emeli Emelia
dari bab awal aj kayanya menarik yups lanjut
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Maruk serakah pembohong
goodnovel comment avatar
fany snoer
awalnya sudah menarik
Tignan lahat ng Komento

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status