Cukup lama Aiman diam sambil menunduk dalam. Sekuat apa ia mencari jalan lain, tetap tak ia temukan. Gemuruh di dada kian terasa, pun dengan kekhawatirannya pada Sintia.
Berulang ia memikirkan jalan terbaik, hingga kepalanya berdenyut nyeri. Aiman bangkit berjalan menuju arah pintu, dan mengetuknya beberapa kali. Bibirnya berkali-kali memanggil-manggil nama Sintia. Sesekali ia mengusap dada, dengan disertai helaan napas panjang, berusaha menenangkan degub jantung yang tetap tak bersahabat. "Sin ... tolong buka pintunya! Aku akan memenuhi permintaanmu, tapi tolong buka dulu pintunya." Aiman memelas. Telapak tangannya mengeluarkan keringat. Tepat pada ketukan kelima, barulah Sintia ke luar. Matanya terlihat sembap. Perempuan itu kembali duduk pada tempat semula, mata menatap lurus halaman rumah yang langsung terhubung dengan pagar kecil sebagai pembatas dengan jalan raya. "Maafkan aku, Bang. Terlalu sulit melupakanmu. Lebih dari enam tahun aku mempertahankan rasa ini, berharap aku akan kembali menemukanmu dalam status yang sama." Sintia menatap hampa jalanan yang mulai sepi. Mengepalkan tangan berusaha untuk kuat. Hatinya benar-benar tak rela jika ruang kosong di hati Aiman sudah terisi dengan nama selain dirinya. Aiman menarik napas dalam, menghembusnya perlahan. "Baiklah! Aku akan menebusnya sesuai keinginanmu," jawabnya pasrah. Tak tega rasanya membiarkan cintanya yang sempat hilang itu kembali terluka. "Bagaimana kau akan mengatakannya pada Zia?" Hatinya berbisik. "Biarlah, akan kupikirkan nanti," bisik sudut lainnya. Entah bagaimana ia akan melewati hari esok? Yang pasti, Aiman ingin Sintia bahagia sekarang. Tak sanggup rasanya kembali membuat gadis sebatang kara itu kembali rapuh. "Jaga dia, dia putriku! Ku titipkan dia padamu, untuk kau bahagiakan. Jangan menyakitinya! Jika kau tak lagi menginginkannya, maka, kembalikan dia padaku."Pesan Ustadz Nasrun pada Aiman saat memboyong Zia ke rumahnya tiba-tiba berdengung di kepala. Pun dengan syarat yang pernah Zia ajukan saat ia datang untuk mengkhitbah Zia dulu. "Apakah Abang bersedia, menjadikan aku satu-satunya perempuan di hati Abang?" tanya Zia kala itu, dan Aiman menyanggupinya. Namun apa yang terjadi detik ini? Menduakan Zia berarti gagal menyanggupi permintaan Ustadz Nasrun, sekaligus melanggar syarat yang pernah Zia pinta. *****Sejak pukul dua pagi, Aiman tak lagi bisa memejamkan mata. Pikiran serba salah setelah kejadian kemarin. Rasa akan kehilangan Zia terus saja menghantui, membuatnya tak nafsu makan, pun tak nyenyak tidur. Zia masih terlelap di sampingnya. Aiman memeluk tubuh istrinya yang masih meringkuk di dalam selimut, dengan posisi membelakanginya. Meski ia kembali menemukan Sintia, kini hatinya tak lagi sepenuhnya untuk perempuan itu. Ya, kini sepenggal hatinya sudah dikuasai perempuan bermata teduh dengan jilbab lebar itu. Aiman mengusap lembut kepala Zia seraya menciuminya berkali-kali. Rasanya tak ingin menyia-nyiakan waktu bersama istrinya itu. "Sudah bangun, Bang?" Suara Zia mengagetkannya."Sudah, Sayang. Maaf, jika Abang mengganggu tidurmu," ucapnya. Zia bangkit setelah melepas pelukan suaminya. "Sholat malam dulu, Bang. Biar lebih tenang," ujar Zia. Seperti mengetahui gejolak hati suaminya, kemudian berlalu ke kamar mandi. Aiman hanya mengangguk mengiyakan. Tak ia temuai Zia marah berlebihan meski luka yang ia toreh begitu dalam. Sejujurnya, ia lebih ikhlas jika Zia marah dengan menggila, mungkin bisa mengurangi sedikit rasa bersalah yang mengakar di hatinya. Selesai sholat tahajud Aiman duduk di sisi tempat tidur, menunggu Zia selesai munajat. Dapat ia dengar isak pedih yang keluar begitu menyayat. Selesai berdoa, Zia bangkit berjalan ke arah lemari yang ada di sudut kamar, mengambil mushaf yang terletak di atasnya. Lantunan ayat suci mengalun merdu memecah sepi, menghantarkan cinta untuk sang pemilik kehidupan. Menenangkan ... sangat menenangkan. "Maafkan dosaku selama mendampingimu, Bang" lirihnya ketika mencium punggung tangan lelaki yang berstatus suaminya, saat bersalaman usai sholat subuh berjama'ah. "Kamu istri terbaik, Sayang. Tak ada salahmu yang membekas di hati, Abang." Dikecupnya puncak kepala sang istri, kemudian Aiman mengangkat bahu Zia agar tatapan mereka bertemu, Zia tertunduk."Tersenyumlah! Agar mengurangi sesalku yang telah menyia-nyiakanmu." Tubuh Zia bergetar oleh isak yang tertahan. "Aku tak ingin melihatmu bersedih!" lanjut Aiman berusaha tegar di hadapan istrinya."Tersenyum dengan hati yang tengah hancur bukan termasuk hal yang mudah.""Sssttt ...." Aiman meletakkan telunjuk di bibir tipis istrinya sebagai isyarat untuk diam. "Tak ada yg terlalu sulit di dunia ini, jika kita berusaha untuk kuat, Sayang." Ia berbisik menguatkannya. Ia benar-benar tak ingin kehilangan Zia, pun Sintia. Aiman membuka mukena yang Zia kenakan, kemudian mengangkat tubuh mungil itu, membaringkannya di atas kasur. "Beristirahatlah!" ucap Aiman, seraya menarik selimut agar menutupi tubuh istrinya. Pagi ini, ia mengerjakan semua pekerjaan rumah yang biasa Zia kerjakan, dari mulai mencuci piring dan pakaian, hingga membersihkan rumah, sebagai bentuk kata maafnya untuk Zia. Zia terbiasa mengerjakan pekerjaan rumah sendiri. Ia menolak ketika dulu, Aiman menawarkan untuk mempekerjakan pembantu untuk membantu dan menemaninya di rumah.[Sayang, Abang udah di kantor. Sarapanmu sudah Abang taruh di atas meja. Jangan lupa sarapan, ya!] Aiman mengirim pesan pada Zia saat sudah berada di ruang kerjanya. "Kamu kenapa sih, Man? Muka pake acara ditekuk!"Reza teman sekantornya berujar. Kini ia tengah Bersama Reza di kantin kantor untuk makan siang, setelah terlebih dulu sholat zuhur di mushola kantor. Reza yang duduk berhadapannya menautkan alis, menatap teman kantornya itu. Ya, Aiman memang sangat dekat dengan Reza. Dengan perantara Reza lah, Aiman bisa berjodoh dengan Zia dulu. Lelaki itu tak menjawab. Ia sibuk dengan isi kepalanya mengingat kejadian yang dua tahun lalu. Dua tahun lalu. Tak mudah bagi lelaki seperti Aiman, yang latar belakang pendidikan bukan dari pesantren, bisa mempersunting Zia. Salah satu santri terbaik di pesantren yang diasuh Ustadz Nasrun.Saat itu, Zia sudah lima tahun mengabdikan ilmunya di pesantren yang sama, ketika bertemu Aiman. Lama Aiman memperhatikan gadis cantik dengan postur mungil dari jarak belasan meter dari tempat duduknya. Gadis itu tengah mengajarkan ilmu tajwid kepada para santri, di sebuah aula yang terletak di samping masjid pesantren. Terlihat jelas, tak ada canggung dari cara penyampaiannya. Dengan suara merdu, si gadis kerap kali mencontohkan bacaan yang sesuai dengan ilmunya.Rasa yang tak biasa menjalar di hati Aiman. Kagum ... itulah yang dominan. Di zaman yang kebanyakan perempuan lebih disibukkan dengan hal-hal yang bersifat duniawi. Tapi tidak dengan gadis yang satu ini, yang dengan ikhlas mengabdikan diri untuk urusan akhirat. "Ya Allah ... izinkan aku untuk memantaskan diri, agar bisa menjadi imam bagi wanita yang senantiasa mengajakku pada kebaikan seperti dia." Do'a Aiman dalam hati, yang ia tunjukan pada sosok yang tengah diperhatikannya. "Namanya, Zia," ucap Reza saat berdiri di samping Aiman. Sejak tadi Reza memperhatikan sikap Aiman dan arah tatapan matanya tertuju.Mereka duduk tak jauh dari mobil pic up yang mereka bawa tengah terparkir. Beberapa santri putra tengah menurunkan barang yang tadi mereka bawa. Tujuan mereka ke pesantren, untuk mengantar bantuan rutin dari kantor setiap bulannya. Ini kali pertama Aiman ikut serta. Biasanya, Reza bersama supir Pak Ilham, bos mereka lah yang rutin melakukannya. "Kau — kau mengenalnya, Za?" tanya Aiman gugup langsung menoleh ke arah Reza. "Sangat kenal," ucap Reza tersenyum simpul. "Kau menyukainya?" Lanjut Reza lagi. Tatapan matanya menyelidik. Aiman hanya membalsnya dengan tersenyum. "Dia gadis yang baik, cerdas juga ramah." Reza berlagak seperti seseorang yang tengah menerawang. "Kau tau banyak tentangnya? Atau mungkin, kau pun pernah menyukainya?" Aiman menodong Reza dengan beberapa pertanyaan."Kami masih satu kampung, Dit. Dia teman Adik perempuanku saat sama-sama belajar di sini. Hanya saja, adikku selesai Madrasah Aliyah langsung balik dan mengajar madrasah di sana," jelas Reza. Sesekali tatapan mata Aiman masih mencuri pandang pada gadis berkerudung panjang itu. "Apa, gadis itu tak ikut kembali, seperti adikmu?" ujar Aiman ingin tahu lebih banyak. "Dia yatim piatu sejak usia tiga belas tahun. Tahun pertama belajar di sini. Ibunya anak tunggal, sedangkan ayahnya hanya memiliki satu orang Adik, yang Zia panggil Paman Rozi. Namun, pamannya tak pernah mengayomi Zia, yang ada hanyalah, merampas harta warisan orang tua gadis itu dengan cara liciknya. Libur pertama setelah orang tuanya meninggal, Zia balik ke kampung halamannya. Tapi semua yang Zia miliki telah direbut paksa oleh Paman Rozi. Rumah peninggalan orang tua Zia dijual, dan uang hasil penjualan tanpa sedikitpun ia berikan kepada Zia. Sedangkan kebun seluas satu hektar dikelola orang lain, dengan bagi hasil dinikmati Paman Rozi. Begitu cerita yang kutahu. Sejak itu pula, kabarnya dia dijadikan anak angkat oleh Ustadz Nasrun. Pimpinan di sini," jelas Reza panjang lebar. Aiman tertegun. Rasa kagum kini kian bertambah, hingga menciptakan bermacam rasa yang sulit ia ceritakan.Jatuh cinta pada pandangan pertama tak terelakkan olehnya. Cepat ia menepis pikirannya itu. Rasa tak mungkin menyelimuti hatinya. Zia yang seorang alumni merangkap ustadzah, berwajah cantik dengan kecerdasan sebagai penyempurna kecantikannya. Apa mungkin, akan memilihnya sebagai imam? Bukankah, ia akan lebih memilih lelaki yang selevel dengannya, dari segi ilmu agamanya. Ada ragu, untuk mewujudkan mimpinya barusan.Seminggu setelah kejadian itu, Aiman masih tak bisa melupakan gadis di aula masjid pesantren itu. Sekuat apa ia berusaha, tetap saja bayangannya tak mampu ia enyahkan. "Za, bisa bantu aku, gak?" ucap Aiman pada Reza saat mereka tengah makan siang. Jam istirahat siang adalah waktu yang paling tepat untuk ngobrol sesama teman kantor. Reza menatap Aiman sekilas, sambil tangan sibuk menyendokkan nasi di piringnya memindahkan ke mulut. "Ada apa, Man?" Reza balik bertanya. "Aku minta bantu kamu, biar bisa kenal sama Zia." Wajah Aiman terlihat ragu. Khawatir Reza tidak bersedia membantunya. "Kamu serius?" Reza meyakinkan Aiman. "Iya, Za. Ada rasa tak mampu, tapi rasa itu tak ingin pergi." Aiman memberanikan diri menumpahkan segala rasa pada Reza tentang perempuan yang ia lihat seminggu lalu. "Aku mau bantuin, asal kamu mau janji!" ucap Reza dengan maksud meminta persetujuan. "Janji apa?""Kalau berhasil deketin dia, jangan pernah ngecewain hatinya!" ucap Reza sungguh-sungguh. Bukan
Sudah tiga hari sejak Zia mengetahui perihal Sintia, sikap dinginnya kini terlihat. Berkali-kali Aiman membuka gawainya, berharap deretan pesan penuh perhatian yang biasa Zia kirimkan akan muncul di layar ponselnya. Namun, berkali-kali pula Aiman harus kecewa. Jangankan mengiriminya pesan, pesan Aiman pun Zia balas dengan sangat singkat. Bahkan foto profil WA Zia yang semenjak mereka menikah tak pernah digantinya, kini sudah tak nampak. "Sebenci itukah dirimu padaku?" Batin Aiman bergejolak. Hari yang biasa dilaluinya penuh dengan damai, kini sebaliknya. Rasa bersalah dan takut kehilangan, membuat garis-garis senyum tak lagi terlihat. Drrrttt ... Drrrttt ... Drrrttt .... Getar ponsel yang beradu dengan meja membuyarkan lamunan Aiman. "Assalamu'alaikum, Bu?" sapa Aiman, setelah melihat nomor Sang penelpon. "Wa'alaikumussalaam. Kamu di mana, Man?""Masih di kantor, Bu!""Zia sehat, kan? Ibu pengen ngasih tau, kalau lusa Ibu sama ayahmu mau ke rumah kalian!""Kok—kok mendadak, Bu
Ibu Ana menoleh menatap Aiman dan Zia bergantian dengan tatapan heran. Perempuan yang masih terlihat cantik di usia lebih dari setengah abad itu, menampakkan wajah heran.Aiman menatap Sang Ibu dengan wajah pias. Degup jantung seakan terhenti. Bayangan Sang Ibu akan mengamuk tergambar jelas. "Apaan, sih? Orang lagi nonton berita juga." Ibu Ana kini tertawa geli. Ternyata Beliau tengah menonton berita kriminal tentang perselingkuhan yang mengakibatkan rumah istri muda dibakar oleh istri tuanya, akibat suami tak mau menceraikan salah satu dari keduanya. Wajah Aiman yang sempat memucat, kini beangsur pulih. Ada rasa geli di hati Zia saat melihat tingkah suaminya barusan. Aiman mengira, Zia telah menceritakan tentang dirinya dan Sintia kepada ibunya. "Ngagetin tau, Bu. Kirain apaan.""Ya sudah, aku mandi dulu, ya, Bu!" ujar Aiman. Ia berusaha meredam keterkejutan yang membuat jantungnya serasa copot. "Sayang! Nanti tanya Ibu lagi aja ya, Abang udah gerah pengen mandi," lanjutnya sambil
"Tak ada siapa yang merebut siapa, pun tak ada siapa yang memilih siapa. Semua murni jalan takdir. Semua salahku karena tak bisa bertahan lebih lama setelah peristiwa itu." Aiman berusaha membujuk Sintia, bagaimana pun ia tak ingin Sintia menilai buruk Zia yang menurutnya istrinya itu sangat baik. Isakan kecil masih terdengar dari bibir perempuan cantik, berwajah tirus dengan rambut sebahu itu. Dirinya tak terima Aiman membela perempuan lain di hadapannya. "Untuk sementara waktu, bersabarlah. Akan kubujuk Zia agar mau menerimamu untuk tinggal bersamanya." Akhirnya Aiman luluh dan bersedia menyanggupi permintaan Sintia. Namun, ia masih belum tau, entah bagaimana caranya menyampaikan keinginan Sintia pada istrinya. "Makasih, Bang. Akan kutanyakan Tiara teman kantorku. Mungkin dia gak keberatan, jika aku menginap di apartemennya untuk beberapa waktu ke depan."Aiman bisa bernafas lebih lega untuk sementara, walau akhirnya waktu menyesakkan itu akan kembali datang. "Makasih juga, Sin,
Aiman menarik napas panjang, menghembusnya perlahan. Tangannya mengusap pelan wajah Zia "Sintia ingin tinggal bersama kita, Zi!"Mataku Zia sukses terbuka lebar, saat mendengar kalimat terakhir yang Aiman ucap barusan. Ia menggeleng kepala, satu sudut bibirnya terangkat. "Apa sebenarnya yang kalian inginkan? Setelah kalian berhasil menikah diam-diam, kini perempuan itu ingin tinggal bersamaku. Apakah masih kurang luka yang kalian torehkan di hatiku? Apa aku harus memohon pada kalian agar jangan menambah lagi luka di hatiku?"Zia menggigit bibir kuat-kuat, emosinya kembali meninggi, hingga matanya mengembun, mengalirkan bulir-bulir yang menganak sungai di pipi, bermuara di pangkuannya. Aiman menangkupkan kedua tangannya di pipi istrinya. Namun dengan cepat Zia menepisnya. "Abang juga tak menginginkan ini, Zi. Tapi ini demi kebaikan kita semua. Demi keamanan Sintia juga.""Kebaikan bagi kita semua?" Zia tersenyum sinis, air mata tak henti membanjiri pipinya. "Ini untuk kebaikan kalian
Mata Zia melebar saat menatap pemandangan yang tak pernah ia harapkan terjadi. Bahkan mimpi pun ia tak pernah mengira, jika pernikahannya akhirnya akan berakhir sesakit ini. Perempuan itu berdiri membelakangi pintu rumah. Rambut sebahunya tergerai, dengan kaos tangan pendak hitam dan celana jeans panjang berwarna senada, membuat kulit putihnya terlihat kontras. Tangannya menenteng satu koper berukuran cukup besar, serta tas kecil tersangkut di bahunya. "Apa yang membuatmu tega melakukan hal itu?" Zia bertanya pada perempuan dengan tinggi badan sekitar 165 sentimeter yang tengah berdiri di hadapannya itu. Susah payah ia tahan gejolak yang berusaha menguap. Perempuan itu memutar badannya hingga membuat tatapan mereka bertemu. "Aku mencintainya!" ucapnya, dengan tangan bersedekap di dada. Tak ada gurat sesal di wajahnya. "Apa aku pernah menyakitimu, hingga kau tega melakukan ini padaku?" Zia menatap kososong deretan pot tanaman hias di halaman depan. "Kau tak pernah menyakitiku. Kau
"Layanilah perempuan itu dengan baik, aku tak akan melarangnya, karena memang seharusnya begitu."Aiman kembali memejamkan mata, sambil menarik napas dalam. Ia tak ingin memilih, ia hanya ingin hidup tenang dengan merangkul keduanya secara bersamaan. "Jangan berkata begitu, Zi. Abang tau Abang salah, tapi jangan menghukum Abang dengan kata-kata seperti ucapanmu barusan. Abang sungguh sangat mencintaimu!""Bukankah terkadang cinta memang tak harus memiliki?" lirih Zia pelan. "Berusahalah menerima, Zi! Abang akan berusaha untuk adil." Aiman menatap kosong meja rias di hadapannya. "Aku hanya tak ingin lebih sakit lagi!"Seketika Aiman beralih menatapnya tajam, "Kau cukup paham tentang ini, Zi, bersabarlah! Abang mohon. Jika bisa memilih, Abang lebih memilih tak pernah dipertemukan lagi dengan Sintia, tapi Abang bisa apa?""Jangan pernah mengira, seseorang dengan didikan pesantren akan berubah menjadi malaikat! Aku masih manusia biasa, yang bisa merasakan sakit hati dan kecewa," ucap Zi
Aiman mengusap wajah kasar. Ia tahu kalimat yang baru saja meluncur dari bibirnya, mampu kembali melukai Zia, tapi ia tak bisa membohongi hatinya untuk jujur pada istri pertamanya itu. Berharap Zia bisa mengerti dirinya. "Iya, Zi. Abang mencintai kamu, juga Sintia."Sudut bibir Zia terangkat. Kalimat Aiman tak ubah bak belati tajam yang menancap tepat di ulu hatinya. Zia berusaha menguatkan diri. Ia tahu, jika kedepannya, kata-kata yang lebih menyakitkan akan menjadi hal biasa baginya. "Ke luar lah, Bang! Aku sedang ingin sendiri," usir Zia lirih. "Zi," Pelan tangan Aiman menggenggam jemari Zia. Ada rasa tak tega telah menyakiti perempuan baik itu. Namun ia pun tak mau Sintia kecewa. "Pergilah! Malam ini jatah kau dan Sintia, aku tak ingin sedikit pun menjadi penghalang."Hening. Cukup lama hanya desahan napas penuh luka dari bibir Zia yang terdengar, setelahnya Aiman bangkit dan ke luar setelah mencium pucuk kepala Sang istri. Zia mengusap sudut mata yang basah. Tangannya meng