Share

Part 3. Pertemuan

Cukup lama Aiman diam sambil menunduk dalam. Sekuat apa ia mencari jalan lain, tetap tak ia temukan. Gemuruh di dada kian terasa, pun dengan kekhawatirannya pada Sintia.

Berulang ia memikirkan jalan terbaik, hingga kepalanya berdenyut nyeri. 

Aiman bangkit berjalan menuju arah pintu, dan mengetuknya beberapa kali. Bibirnya berkali-kali memanggil-manggil nama Sintia. Sesekali ia mengusap dada, dengan disertai helaan napas panjang, berusaha menenangkan degub jantung yang tetap tak bersahabat. 

"Sin ... tolong buka pintunya! Aku akan memenuhi permintaanmu, tapi tolong buka dulu pintunya." Aiman memelas. Telapak tangannya mengeluarkan keringat. 

Tepat pada ketukan kelima, barulah Sintia ke luar. Matanya terlihat sembap. 

Perempuan itu kembali duduk pada tempat semula, mata menatap lurus halaman rumah yang langsung terhubung dengan pagar kecil sebagai pembatas dengan jalan raya. 

"Maafkan aku, Bang. Terlalu sulit melupakanmu. Lebih dari enam tahun aku mempertahankan rasa ini, berharap aku akan kembali menemukanmu dalam status yang sama." 

Sintia menatap hampa jalanan yang mulai sepi. Mengepalkan tangan berusaha untuk kuat. Hatinya benar-benar tak rela jika ruang kosong di hati Aiman sudah terisi dengan nama selain dirinya. 

Aiman menarik napas dalam, menghembusnya perlahan. "Baiklah! Aku akan menebusnya sesuai keinginanmu," jawabnya pasrah. Tak tega rasanya membiarkan cintanya yang sempat hilang itu kembali terluka. 

"Bagaimana kau akan mengatakannya pada Zia?" Hatinya berbisik. 

"Biarlah, akan kupikirkan nanti," bisik sudut lainnya. 

Entah bagaimana ia akan melewati hari esok? Yang pasti, Aiman ingin Sintia bahagia sekarang. Tak sanggup rasanya kembali membuat gadis sebatang kara itu kembali rapuh. 

"Jaga dia, dia putriku! Ku titipkan dia padamu, untuk kau bahagiakan. Jangan menyakitinya! Jika kau tak lagi menginginkannya, maka, kembalikan dia padaku."

Pesan Ustadz Nasrun pada Aiman saat memboyong Zia ke rumahnya tiba-tiba berdengung di kepala. Pun dengan syarat yang pernah Zia ajukan saat ia datang untuk mengkhitbah Zia dulu. 

"Apakah Abang bersedia, menjadikan aku satu-satunya perempuan di hati Abang?" tanya Zia kala itu, dan Aiman menyanggupinya. 

Namun apa yang terjadi detik ini? Menduakan Zia berarti gagal menyanggupi permintaan Ustadz Nasrun, sekaligus melanggar syarat yang pernah Zia pinta. 

*****

Sejak pukul dua pagi, Aiman tak lagi bisa memejamkan mata. Pikiran serba salah setelah kejadian kemarin. Rasa akan kehilangan Zia terus saja menghantui, membuatnya tak nafsu makan, pun tak nyenyak tidur. 

Zia masih terlelap di sampingnya. Aiman memeluk tubuh istrinya yang masih meringkuk di dalam selimut, dengan posisi membelakanginya. 

Meski ia kembali menemukan Sintia, kini hatinya tak lagi sepenuhnya untuk perempuan itu. Ya, kini sepenggal hatinya sudah dikuasai perempuan bermata teduh dengan jilbab lebar itu. 

Aiman mengusap lembut kepala Zia seraya menciuminya berkali-kali. Rasanya tak ingin menyia-nyiakan waktu bersama istrinya itu. 

"Sudah bangun, Bang?" Suara Zia mengagetkannya.

"Sudah, Sayang. Maaf, jika Abang mengganggu tidurmu," ucapnya. Zia bangkit setelah melepas pelukan suaminya. 

"Sholat malam dulu, Bang. Biar lebih tenang," ujar Zia. Seperti mengetahui gejolak hati suaminya, kemudian berlalu ke kamar mandi. Aiman hanya mengangguk mengiyakan. 

Tak ia temuai Zia marah berlebihan meski luka yang ia toreh begitu dalam. Sejujurnya, ia lebih ikhlas jika Zia marah dengan menggila, mungkin bisa mengurangi sedikit rasa bersalah yang mengakar di hatinya. 

Selesai sholat tahajud Aiman duduk di sisi tempat tidur, menunggu Zia selesai munajat. Dapat ia dengar isak pedih yang keluar begitu menyayat. 

Selesai berdoa, Zia bangkit berjalan ke arah lemari yang ada di sudut kamar, mengambil mushaf yang terletak di atasnya. 

Lantunan ayat suci mengalun merdu memecah sepi, menghantarkan cinta untuk sang pemilik kehidupan. Menenangkan ... sangat menenangkan. 

"Maafkan dosaku selama mendampingimu, Bang" lirihnya ketika mencium punggung tangan lelaki yang berstatus suaminya, saat bersalaman usai sholat subuh berjama'ah. 

"Kamu istri terbaik, Sayang. Tak ada salahmu yang membekas di hati, Abang." Dikecupnya puncak kepala sang istri, kemudian Aiman mengangkat bahu Zia agar tatapan mereka  bertemu, Zia tertunduk.

"Tersenyumlah! Agar mengurangi sesalku yang  telah menyia-nyiakanmu." Tubuh Zia bergetar oleh isak yang tertahan. "Aku tak ingin melihatmu bersedih!" lanjut Aiman berusaha tegar di hadapan istrinya.

"Tersenyum dengan hati yang tengah hancur bukan termasuk hal yang mudah."

"Sssttt ...." Aiman meletakkan telunjuk di bibir tipis istrinya sebagai isyarat untuk diam. "Tak ada yg terlalu sulit di dunia ini, jika kita berusaha untuk kuat, Sayang." Ia berbisik menguatkannya. Ia benar-benar tak ingin kehilangan Zia, pun Sintia. 

Aiman membuka mukena yang Zia kenakan, kemudian mengangkat tubuh mungil itu, membaringkannya di atas kasur. 

"Beristirahatlah!" ucap Aiman, seraya menarik selimut agar menutupi tubuh istrinya. 

Pagi ini, ia mengerjakan semua pekerjaan rumah yang biasa Zia kerjakan, dari mulai mencuci piring dan pakaian, hingga membersihkan rumah, sebagai bentuk kata maafnya untuk Zia. 

Zia terbiasa mengerjakan pekerjaan rumah sendiri. Ia menolak ketika dulu, Aiman menawarkan untuk mempekerjakan pembantu untuk membantu dan menemaninya di rumah.

[Sayang, Abang udah di kantor. Sarapanmu sudah Abang taruh di atas meja. Jangan lupa sarapan, ya!] Aiman mengirim pesan pada Zia saat sudah berada di ruang kerjanya. 

"Kamu kenapa sih, Man? Muka pake acara ditekuk!"

Reza teman sekantornya berujar. Kini ia tengah Bersama Reza di kantin kantor untuk makan siang, setelah terlebih dulu sholat zuhur di mushola kantor. 

Reza yang duduk berhadapannya menautkan alis, menatap teman kantornya itu. Ya, Aiman memang sangat dekat dengan Reza. Dengan perantara Reza lah, Aiman bisa berjodoh dengan Zia dulu. 

Lelaki itu tak menjawab. Ia sibuk dengan isi kepalanya mengingat kejadian yang dua tahun lalu. 

Dua tahun lalu. 

Tak mudah bagi lelaki seperti Aiman, yang latar belakang pendidikan bukan dari pesantren, bisa mempersunting Zia. Salah satu santri terbaik di pesantren yang diasuh Ustadz Nasrun.

Saat itu, Zia sudah lima tahun mengabdikan ilmunya di pesantren yang sama, ketika bertemu Aiman. 

Lama Aiman memperhatikan gadis cantik dengan postur mungil dari jarak belasan meter dari tempat duduknya. Gadis itu tengah mengajarkan ilmu tajwid  kepada para santri, di sebuah aula yang terletak di samping masjid pesantren. 

Terlihat jelas, tak ada canggung dari cara penyampaiannya. Dengan suara merdu, si gadis kerap kali mencontohkan bacaan yang sesuai dengan ilmunya.

Rasa yang tak biasa menjalar di hati Aiman. Kagum ... itulah yang dominan. 

Di zaman yang kebanyakan perempuan lebih disibukkan dengan hal-hal yang bersifat duniawi. Tapi tidak dengan gadis yang satu ini, yang dengan ikhlas mengabdikan diri untuk urusan akhirat. 

"Ya Allah ... izinkan aku untuk memantaskan diri, agar bisa menjadi imam bagi wanita yang senantiasa mengajakku pada kebaikan seperti dia." Do'a Aiman dalam hati, yang ia tunjukan pada sosok yang tengah diperhatikannya. 

"Namanya, Zia," ucap Reza saat berdiri di samping Aiman. Sejak tadi Reza memperhatikan sikap Aiman dan arah tatapan matanya tertuju.

Mereka duduk tak jauh dari mobil pic up yang mereka bawa tengah terparkir. Beberapa santri putra tengah menurunkan barang yang tadi mereka bawa. 

Tujuan mereka ke pesantren, untuk mengantar bantuan rutin dari kantor setiap bulannya. Ini kali pertama Aiman ikut serta. Biasanya, Reza bersama supir Pak Ilham, bos mereka lah yang rutin melakukannya. 

"Kau — kau mengenalnya, Za?" tanya Aiman gugup langsung menoleh ke arah Reza. 

"Sangat kenal," ucap Reza tersenyum simpul. "Kau menyukainya?" Lanjut Reza lagi. Tatapan matanya menyelidik. Aiman hanya membalsnya dengan tersenyum. 

"Dia gadis yang baik, cerdas juga ramah." Reza berlagak seperti seseorang yang tengah menerawang. 

"Kau tau banyak tentangnya? Atau mungkin, kau pun pernah menyukainya?" Aiman menodong Reza dengan beberapa pertanyaan.

"Kami masih satu kampung, Dit. Dia teman Adik perempuanku saat sama-sama belajar di sini. Hanya saja, adikku selesai Madrasah Aliyah langsung balik dan mengajar madrasah di sana," jelas Reza. 

Sesekali tatapan mata Aiman masih mencuri pandang pada gadis berkerudung panjang itu. 

"Apa, gadis itu tak ikut kembali, seperti adikmu?" ujar Aiman ingin tahu lebih banyak. 

"Dia yatim piatu sejak usia tiga belas tahun. Tahun pertama belajar di sini. Ibunya anak tunggal, sedangkan ayahnya hanya memiliki satu orang Adik, yang Zia panggil Paman Rozi. Namun, pamannya tak pernah mengayomi Zia, yang ada hanyalah, merampas harta warisan orang tua gadis itu dengan cara liciknya. Libur pertama setelah orang tuanya meninggal, Zia balik ke kampung halamannya. Tapi semua yang Zia miliki telah direbut paksa oleh Paman Rozi. Rumah peninggalan orang tua Zia dijual, dan uang hasil penjualan tanpa sedikitpun ia berikan kepada Zia. Sedangkan kebun seluas satu hektar dikelola orang lain, dengan bagi hasil dinikmati Paman Rozi. Begitu cerita yang kutahu. Sejak itu pula, kabarnya dia dijadikan anak angkat oleh Ustadz Nasrun. Pimpinan di sini," jelas Reza panjang lebar. 

Aiman tertegun. Rasa kagum kini kian bertambah, hingga menciptakan bermacam rasa yang sulit ia ceritakan.

Jatuh cinta pada pandangan pertama tak terelakkan olehnya. Cepat ia menepis pikirannya itu. Rasa tak mungkin menyelimuti hatinya. 

Zia yang seorang alumni merangkap ustadzah, berwajah cantik dengan kecerdasan sebagai penyempurna kecantikannya. Apa mungkin, akan memilihnya sebagai imam? Bukankah, ia akan lebih memilih lelaki yang selevel dengannya, dari segi ilmu agamanya. Ada ragu, untuk mewujudkan mimpinya barusan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status