Share

Part 4. Menikah

Seminggu setelah kejadian itu, Aiman masih tak bisa melupakan gadis di aula masjid pesantren itu. Sekuat apa ia berusaha, tetap saja bayangannya tak mampu ia enyahkan. 

"Za, bisa bantu aku, gak?" ucap Aiman pada Reza saat mereka tengah makan siang. Jam istirahat siang adalah waktu yang paling tepat untuk ngobrol sesama teman kantor. 

Reza menatap Aiman sekilas, sambil tangan sibuk menyendokkan nasi di piringnya memindahkan ke mulut. 

"Ada apa, Man?" Reza balik bertanya. 

"Aku minta bantu kamu, biar bisa kenal sama Zia." Wajah Aiman terlihat ragu. Khawatir Reza tidak bersedia membantunya. 

"Kamu serius?" Reza meyakinkan Aiman. 

"Iya, Za. Ada rasa tak mampu, tapi rasa itu tak ingin pergi." Aiman memberanikan diri menumpahkan  segala rasa pada Reza tentang perempuan yang ia lihat seminggu lalu. 

"Aku mau bantuin, asal kamu mau janji!" ucap Reza dengan maksud meminta persetujuan. 

"Janji apa?"

"Kalau berhasil deketin dia, jangan pernah ngecewain hatinya!" ucap Reza sungguh-sungguh. 

Bukan tanpa alasan Reza berkata demikian. Adiba adiknya, sering bercerita tentang Zia. Sahabat terbaik Adiba saat menimba ilmu di pesantren yang sama. Bagaimana beratnya hari-hari yang Zia lalui, tanpa keluarga yang menjadi tempat berbagi suka duka hidupnya. 

"Kurasa, kau cukup tau bagaimana aku!" jawab Aiman. 

Reza hanya bergeming. Ia memang cukup tau dengan laki-laki yang tengah duduk di depannya itu. Lelaki dengan wajah tampan dan postur tubuh ideal, hidung bangirnya menyempurnakan tampilan ciptaan Allah agar terlihat sempurna. 

Tak mungkin rasanya, jika Aiman tak memiliki pasangan. Namun, itulah yang terjadi. Empat tahun satu kantor, Reza tak pernah melihat ada  tanda-tanda jika Aiman memiliki pacar. 

Jika Aiman mau, teman sekantornya pun beberapa kali pernah memperlihatkan ketertarikan padanya. Namun, entah kenapa, hatinya begitu dingin. Setelah Sintia tunangannya, yang dikabarkan meninggal lima tahun lalu, hati Aiman terasa begitu kosong. Hingga pertemuannya dengan Zia-lah, gunung es itu seolah mencair. 

"Akan kuusahakan! Jika kau mau, aku memiliki nomor ponselnya." Tawar Reza pada Aiman yang disambut rona bahagia di wajah Aiman. 

Aiman memberanikan diri mengirim pesan pada Zia, sekedar basa-basi. Satu bulan setelahnya keakraban mulai terjalin. 

*****

Jika Allah menciptakan rasa bahagia, maka akan ada pula kecewa sebagai tandingannya. Itu juga yang Aiman rasakan. 

Hari itu, dua bulan setelah pertemuan pertama. Lebih tepatnya, pertama Aiman melihat Zia. Aiman berniat meminta pada gadis itu, untuk mengenalnya lebih jauh.

Semua bermula, saat Aiman melihat story W* milik Zia, sebuah foto pernikahan dengan caption, sakinah hingga jannah sahabatku. Spontan Aiman nengomentari foto tersebut.

[Yang do'ain, udah punya calon?] 

Lama tak berbalas padahal pesan sudah centang biru, hati Aiman mulai resah. Takut jika Zia tak menyukai pesan darinya. Setelah lebih dari sepuluh menit menunggu, barulah sebuah pesan masuk dari Zia. 

[Insya Allah, udah Allah siapin!] balas Zia dengan emot tersenyum malu. 

[Siapa laki-laki beruntung itu?] 

[Zia juga belum kenal] balas Zia, kali ini dengan emot tertawa. 

[Maaf, Zi, jika ini terlalu cepat. Bolehkah jika aku ingin lebih mengenalmu? Itu juga, bila kau mengizinkan.]

Aiman sangat paham, batasan-batasan seorang santri seperti Zia. Meskipun dirinya bukan dari kalangan santri, setidaknya dulu ia pun bersekolah di Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah, saat SMP dan SMA. Jadi meski tak semahir Zia, dirinya pun cukup tahu bagaimana harus bersikap selayaknya.

[Belum sekarang, Bang!] 

[Beri tahu aku, kapan kau siap untuk kuajak menikah? Karena aku tak pernah mengajakmu bermaksiat melainkan untuk ibadah.] 

Aiman harap-harap cemas dengan balasan pesan dari Zia. Jika Zia menolak, akankah dirinya akan kembali mengalami patah hati seperti sebelumnya? 

[Temui Abi sama Ummi, jika memang Bang Aiman serius. Tapi sebelumnya, aku meminta syarat.] 

[Apa syaratmu?] balas Aiman cepat. 

[Bacakan surat Ar-rahman padaku, saat nanti Abang mendatangi Abi. Setelahnya, aku akan memutuskan kebersediaanku pada lamaran, Abang.]

Setelah kejadian itu, setiap sebelum azan magrib, Aiman sudah pergi ke masjid yang tak jauh dari rumahnya. Tak dihiraukannya tatapan heran dari Ibu dan ayahnya maupun Sang Adik, atas perubahan drastis yang ia tunjukan.

Jika sebelumnya, Aiman hanya akan ke masjid saat sholat jum'at saja. Namun, kali ini hampir setiap hari, kecuali saat lembur di kantor.

Ustadz Ibrohim sudah setia menunggunya, setelah sebelumnya mengajar ngaji anak-anak. 

Aiman meminta Ustadz Ibrohim untuk membenarkan bacaannya yang kurang tepat, karena ingin memberikan yang terbaik saat ia menjumpai Ustadz Nasrun kelak. 

Bagaimanapun ia ingin berjuang untuk mendapatkan Zia, gadis yang ia anggap  mempu mengurai sedih menjadi senyum. Gadis yang ia harap, mampu menjadi ibu terbaik bagi anak keturunannya kelak. 

******

Syarat yang Zia ajukan bisa Aiman lewati dengan  baik. Tak sia-sia dulu Ibu dan ayahnya memaksanya untuk bersekolah di MTS dan MA  setelah selesai sekolah dasar. Ternyata ilmunya dulu, sangat bermanfaat bagi dirinya  sekarang. 

Tepat dua bulan setelah itu, Aiman mengajak orang tuanya ke pesantren, untuk melamar gadis yang mampu membuatnya lupa pada kejadian lima tahun lalu. 

"Acaranya mau diadakan di mana?" 

Ustadz Nasrun kembali bersuara, setelah lamaran dari pihak laki-laki diterima dengan baik. 

"Kami manut sama Pak Ustadz saja, iya kan, Bu?" jawab Pak Ramli, sambil melempar tanya kepada istrinya. Senyum mengembang di sela-sela kata yang terucap. Ya, senyum bahagia.

Rasa lelah mengingatkan Aiman untuk melupakan Sintia, telah membuahkan hasil. 

"Iya, pak ustadz," jawab Ibu Ana. 

"Ya, sudah. Kalau begitu, saya tanyakan langsung pada calon wanitanya! Bagaimana, Zia?"

Ustadz Nasrun mengalihkan pandangan pada Zia, pun dengan yang lain. Zia yang duduk di antara Ustadzah Hamidah dan Adiba, hanya menunduk tanpa mampu mengangkat wajah.

Ustadzah Hamidah menggenggam erat jemari yang terbalut kulit putih itu dengan lembut, berusaha mengalirkan kekuatan. 

"Di mana pun itu, jika baik menurut Ummi sama Abi, maka Zia akan nurut," ucap Zia dengan perasaan  gugup. 

Di ruang tamu rumah Ustadz Nasrun mereka bertemu. Aiman membawa anggota keluarganya, Ibu, Ayah dan juga Ari, adik semata wayangnya, juga Tante Erna bersama suaminya. Tante Erna adalah Adik kandung Ana, ibunya Aiman. Aiman pun mengajak Reza untuk ikut serta. 

Adiba dan Fitri turut hadir. Zia meminta kedua sahabatnya untuk menghadiri acaranya. 

Zia tak banyak bersuara. Sebelumnya ia sudah menitip pesan pada Ustadzah Hamidah, yang kemudian disampaikan kepada Ustadz Nasrun. "Jika Bang Aiman mampu menyelesaikan syarat  yang Zia minta, maka keputusannya, Zia serahkan kepada Ummi dan Abi," ujar Zia pada Ustadzah Hamidah sehari sebelumnya. 

"Kalau begitu! Bagaimana kalau kita adakan acaranya di sini saja?  Di pesantren?" tanya Ustadz Nasrun. 

"Baiklah Pak Ustadz. Sebaiknya pun begitu, biar lebih barokah," jawab Pak Ramli. 

"Bagaimana Zia?" Ustadz Nasrun kembali melempar tanya, yang Zia jawab dengan anggukan. 

Hari dan tanggal telah ditentukan, atas kesepakatan bersama. 

Hari di mana, Zia harus siap mengabdi pada lelaki yang bergelar suami itu, kini tiba. Lelaki berwajah teduh sejak empat bulan terakhir, selalu disebutnya dalam do'a, kini resmi bergelar suaminya. 

"Ternyata dirimulah gadis beruntung itu." 

Adiba berkata saat mengiringi Zia keluar dari kamar tamu rumah Ustadz Nasrun, bersama Fitri. Dua sahabat Zia yang selalu ada disemua keadaannya. 

"Masak sih, Dib?" 

"Bang Reza pernah cerita, pas kami berdua pulang acara lamaran kemaren. Sebenarnya banyak yang berusaha ngedeketin Bang Aiman, tapi gak pernah ada yang sanggup naklukin," jawab Adiba sambil tertawa kecil. 

"Urusan gombal, ternyata kamu hebat ya, Dib!" Zia tersenyum manis. 

"Beneran, Zi! Bayangkan, Bang Reza cerita, empat tahun satu kantor, Bang Aiman gak pernah pacaran. Berarti kamu beruntung bangetkan? Secara, cowok seganteng Bang Aiman gak punya pacar, kan langka banget." Adiba tertawa pelan. 

"Udah-udah, keburu tamu pulang nungguin kalian kelar gosip." Fitri akhirnya bersuara. 

Dari tadi dirinya hanya menjadi pendengar setia. Dalam hatinya berdo'a, semoga Allah juga memilihnya untuk mendapatkan jodoh terbaik kelak. 

Air mata bahagia menetes, saat tatapan Zia jatuh pada Ustadz Nasrun dan Ustadzah Hamidah, yang mendampinginya di pelaminan. "Andaikan saja Ibu dan Ayah masih utuh?" Pelan ia lafadzkan surat pembuka qur'an bagi kedua orang tuanya yang telah lebih dulu kembali. 

"Kau kenapa, Zi? Tersenyumlah! Agar tak ada yang mengira kau terpaksa menikah denganku!" ucap Aiman dengan tersenyum menggoda. 

Zia hanya tersenyum, tangan kanannya menyeka bulir yang memaksa keluar. 

Acara resepsi pernikahan dibuat cukup meriah. Sebuah grup nasyid menemani para tamu yang tengah sibuk menghadiri acara sakral yang tengah berlangsung. Senyum terukir dari semua bibir yang hadir, kecuali bibir Tante Erna. Bibir itu tetap datar. Tak ada yang tau, apa yang membuat perempuan 45 tahun itu terlihat tak bersahabat, selain Ummi Hamidah dan Ustadz Nasrun. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status