Seminggu setelah kejadian itu, Aiman masih tak bisa melupakan gadis di aula masjid pesantren itu. Sekuat apa ia berusaha, tetap saja bayangannya tak mampu ia enyahkan.
"Za, bisa bantu aku, gak?" ucap Aiman pada Reza saat mereka tengah makan siang. Jam istirahat siang adalah waktu yang paling tepat untuk ngobrol sesama teman kantor. Reza menatap Aiman sekilas, sambil tangan sibuk menyendokkan nasi di piringnya memindahkan ke mulut. "Ada apa, Man?" Reza balik bertanya. "Aku minta bantu kamu, biar bisa kenal sama Zia." Wajah Aiman terlihat ragu. Khawatir Reza tidak bersedia membantunya. "Kamu serius?" Reza meyakinkan Aiman. "Iya, Za. Ada rasa tak mampu, tapi rasa itu tak ingin pergi." Aiman memberanikan diri menumpahkan segala rasa pada Reza tentang perempuan yang ia lihat seminggu lalu. "Aku mau bantuin, asal kamu mau janji!" ucap Reza dengan maksud meminta persetujuan. "Janji apa?""Kalau berhasil deketin dia, jangan pernah ngecewain hatinya!" ucap Reza sungguh-sungguh. Bukan tanpa alasan Reza berkata demikian. Adiba adiknya, sering bercerita tentang Zia. Sahabat terbaik Adiba saat menimba ilmu di pesantren yang sama. Bagaimana beratnya hari-hari yang Zia lalui, tanpa keluarga yang menjadi tempat berbagi suka duka hidupnya. "Kurasa, kau cukup tau bagaimana aku!" jawab Aiman. Reza hanya bergeming. Ia memang cukup tau dengan laki-laki yang tengah duduk di depannya itu. Lelaki dengan wajah tampan dan postur tubuh ideal, hidung bangirnya menyempurnakan tampilan ciptaan Allah agar terlihat sempurna. Tak mungkin rasanya, jika Aiman tak memiliki pasangan. Namun, itulah yang terjadi. Empat tahun satu kantor, Reza tak pernah melihat ada tanda-tanda jika Aiman memiliki pacar. Jika Aiman mau, teman sekantornya pun beberapa kali pernah memperlihatkan ketertarikan padanya. Namun, entah kenapa, hatinya begitu dingin. Setelah Sintia tunangannya, yang dikabarkan meninggal lima tahun lalu, hati Aiman terasa begitu kosong. Hingga pertemuannya dengan Zia-lah, gunung es itu seolah mencair. "Akan kuusahakan! Jika kau mau, aku memiliki nomor ponselnya." Tawar Reza pada Aiman yang disambut rona bahagia di wajah Aiman. Aiman memberanikan diri mengirim pesan pada Zia, sekedar basa-basi. Satu bulan setelahnya keakraban mulai terjalin. *****Jika Allah menciptakan rasa bahagia, maka akan ada pula kecewa sebagai tandingannya. Itu juga yang Aiman rasakan.
Hari itu, dua bulan setelah pertemuan pertama. Lebih tepatnya, pertama Aiman melihat Zia. Aiman berniat meminta pada gadis itu, untuk mengenalnya lebih jauh.Semua bermula, saat Aiman melihat story W* milik Zia, sebuah foto pernikahan dengan caption, sakinah hingga jannah sahabatku. Spontan Aiman nengomentari foto tersebut. [Yang do'ain, udah punya calon?] Lama tak berbalas padahal pesan sudah centang biru, hati Aiman mulai resah. Takut jika Zia tak menyukai pesan darinya. Setelah lebih dari sepuluh menit menunggu, barulah sebuah pesan masuk dari Zia. [Insya Allah, udah Allah siapin!] balas Zia dengan emot tersenyum malu. [Siapa laki-laki beruntung itu?] [Zia juga belum kenal] balas Zia, kali ini dengan emot tertawa. [Maaf, Zi, jika ini terlalu cepat. Bolehkah jika aku ingin lebih mengenalmu? Itu juga, bila kau mengizinkan.]Aiman sangat paham, batasan-batasan seorang santri seperti Zia. Meskipun dirinya bukan dari kalangan santri, setidaknya dulu ia pun bersekolah di Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah, saat SMP dan SMA. Jadi meski tak semahir Zia, dirinya pun cukup tahu bagaimana harus bersikap selayaknya.[Belum sekarang, Bang!] [Beri tahu aku, kapan kau siap untuk kuajak menikah? Karena aku tak pernah mengajakmu bermaksiat melainkan untuk ibadah.] Aiman harap-harap cemas dengan balasan pesan dari Zia. Jika Zia menolak, akankah dirinya akan kembali mengalami patah hati seperti sebelumnya? [Temui Abi sama Ummi, jika memang Bang Aiman serius. Tapi sebelumnya, aku meminta syarat.] [Apa syaratmu?] balas Aiman cepat. [Bacakan surat Ar-rahman padaku, saat nanti Abang mendatangi Abi. Setelahnya, aku akan memutuskan kebersediaanku pada lamaran, Abang.]Setelah kejadian itu, setiap sebelum azan magrib, Aiman sudah pergi ke masjid yang tak jauh dari rumahnya. Tak dihiraukannya tatapan heran dari Ibu dan ayahnya maupun Sang Adik, atas perubahan drastis yang ia tunjukan.Jika sebelumnya, Aiman hanya akan ke masjid saat sholat jum'at saja. Namun, kali ini hampir setiap hari, kecuali saat lembur di kantor.Ustadz Ibrohim sudah setia menunggunya, setelah sebelumnya mengajar ngaji anak-anak. Aiman meminta Ustadz Ibrohim untuk membenarkan bacaannya yang kurang tepat, karena ingin memberikan yang terbaik saat ia menjumpai Ustadz Nasrun kelak. Bagaimanapun ia ingin berjuang untuk mendapatkan Zia, gadis yang ia anggap mempu mengurai sedih menjadi senyum. Gadis yang ia harap, mampu menjadi ibu terbaik bagi anak keturunannya kelak. ******Syarat yang Zia ajukan bisa Aiman lewati dengan baik. Tak sia-sia dulu Ibu dan ayahnya memaksanya untuk bersekolah di MTS dan MA setelah selesai sekolah dasar. Ternyata ilmunya dulu, sangat bermanfaat bagi dirinya sekarang.
Tepat dua bulan setelah itu, Aiman mengajak orang tuanya ke pesantren, untuk melamar gadis yang mampu membuatnya lupa pada kejadian lima tahun lalu. "Acaranya mau diadakan di mana?" Ustadz Nasrun kembali bersuara, setelah lamaran dari pihak laki-laki diterima dengan baik. "Kami manut sama Pak Ustadz saja, iya kan, Bu?" jawab Pak Ramli, sambil melempar tanya kepada istrinya. Senyum mengembang di sela-sela kata yang terucap. Ya, senyum bahagia.Rasa lelah mengingatkan Aiman untuk melupakan Sintia, telah membuahkan hasil. "Iya, pak ustadz," jawab Ibu Ana. "Ya, sudah. Kalau begitu, saya tanyakan langsung pada calon wanitanya! Bagaimana, Zia?"Ustadz Nasrun mengalihkan pandangan pada Zia, pun dengan yang lain. Zia yang duduk di antara Ustadzah Hamidah dan Adiba, hanya menunduk tanpa mampu mengangkat wajah.Ustadzah Hamidah menggenggam erat jemari yang terbalut kulit putih itu dengan lembut, berusaha mengalirkan kekuatan. "Di mana pun itu, jika baik menurut Ummi sama Abi, maka Zia akan nurut," ucap Zia dengan perasaan gugup. Di ruang tamu rumah Ustadz Nasrun mereka bertemu. Aiman membawa anggota keluarganya, Ibu, Ayah dan juga Ari, adik semata wayangnya, juga Tante Erna bersama suaminya. Tante Erna adalah Adik kandung Ana, ibunya Aiman. Aiman pun mengajak Reza untuk ikut serta. Adiba dan Fitri turut hadir. Zia meminta kedua sahabatnya untuk menghadiri acaranya. Zia tak banyak bersuara. Sebelumnya ia sudah menitip pesan pada Ustadzah Hamidah, yang kemudian disampaikan kepada Ustadz Nasrun. "Jika Bang Aiman mampu menyelesaikan syarat yang Zia minta, maka keputusannya, Zia serahkan kepada Ummi dan Abi," ujar Zia pada Ustadzah Hamidah sehari sebelumnya. "Kalau begitu! Bagaimana kalau kita adakan acaranya di sini saja? Di pesantren?" tanya Ustadz Nasrun. "Baiklah Pak Ustadz. Sebaiknya pun begitu, biar lebih barokah," jawab Pak Ramli. "Bagaimana Zia?" Ustadz Nasrun kembali melempar tanya, yang Zia jawab dengan anggukan. Hari dan tanggal telah ditentukan, atas kesepakatan bersama. Hari di mana, Zia harus siap mengabdi pada lelaki yang bergelar suami itu, kini tiba. Lelaki berwajah teduh sejak empat bulan terakhir, selalu disebutnya dalam do'a, kini resmi bergelar suaminya. "Ternyata dirimulah gadis beruntung itu." Adiba berkata saat mengiringi Zia keluar dari kamar tamu rumah Ustadz Nasrun, bersama Fitri. Dua sahabat Zia yang selalu ada disemua keadaannya. "Masak sih, Dib?" "Bang Reza pernah cerita, pas kami berdua pulang acara lamaran kemaren. Sebenarnya banyak yang berusaha ngedeketin Bang Aiman, tapi gak pernah ada yang sanggup naklukin," jawab Adiba sambil tertawa kecil. "Urusan gombal, ternyata kamu hebat ya, Dib!" Zia tersenyum manis. "Beneran, Zi! Bayangkan, Bang Reza cerita, empat tahun satu kantor, Bang Aiman gak pernah pacaran. Berarti kamu beruntung bangetkan? Secara, cowok seganteng Bang Aiman gak punya pacar, kan langka banget." Adiba tertawa pelan. "Udah-udah, keburu tamu pulang nungguin kalian kelar gosip." Fitri akhirnya bersuara. Dari tadi dirinya hanya menjadi pendengar setia. Dalam hatinya berdo'a, semoga Allah juga memilihnya untuk mendapatkan jodoh terbaik kelak. Air mata bahagia menetes, saat tatapan Zia jatuh pada Ustadz Nasrun dan Ustadzah Hamidah, yang mendampinginya di pelaminan. "Andaikan saja Ibu dan Ayah masih utuh?" Pelan ia lafadzkan surat pembuka qur'an bagi kedua orang tuanya yang telah lebih dulu kembali. "Kau kenapa, Zi? Tersenyumlah! Agar tak ada yang mengira kau terpaksa menikah denganku!" ucap Aiman dengan tersenyum menggoda. Zia hanya tersenyum, tangan kanannya menyeka bulir yang memaksa keluar. Acara resepsi pernikahan dibuat cukup meriah. Sebuah grup nasyid menemani para tamu yang tengah sibuk menghadiri acara sakral yang tengah berlangsung. Senyum terukir dari semua bibir yang hadir, kecuali bibir Tante Erna. Bibir itu tetap datar. Tak ada yang tau, apa yang membuat perempuan 45 tahun itu terlihat tak bersahabat, selain Ummi Hamidah dan Ustadz Nasrun.Sudah tiga hari sejak Zia mengetahui perihal Sintia, sikap dinginnya kini terlihat. Berkali-kali Aiman membuka gawainya, berharap deretan pesan penuh perhatian yang biasa Zia kirimkan akan muncul di layar ponselnya. Namun, berkali-kali pula Aiman harus kecewa. Jangankan mengiriminya pesan, pesan Aiman pun Zia balas dengan sangat singkat. Bahkan foto profil WA Zia yang semenjak mereka menikah tak pernah digantinya, kini sudah tak nampak. "Sebenci itukah dirimu padaku?" Batin Aiman bergejolak. Hari yang biasa dilaluinya penuh dengan damai, kini sebaliknya. Rasa bersalah dan takut kehilangan, membuat garis-garis senyum tak lagi terlihat. Drrrttt ... Drrrttt ... Drrrttt .... Getar ponsel yang beradu dengan meja membuyarkan lamunan Aiman. "Assalamu'alaikum, Bu?" sapa Aiman, setelah melihat nomor Sang penelpon. "Wa'alaikumussalaam. Kamu di mana, Man?""Masih di kantor, Bu!""Zia sehat, kan? Ibu pengen ngasih tau, kalau lusa Ibu sama ayahmu mau ke rumah kalian!""Kok—kok mendadak, Bu
Ibu Ana menoleh menatap Aiman dan Zia bergantian dengan tatapan heran. Perempuan yang masih terlihat cantik di usia lebih dari setengah abad itu, menampakkan wajah heran.Aiman menatap Sang Ibu dengan wajah pias. Degup jantung seakan terhenti. Bayangan Sang Ibu akan mengamuk tergambar jelas. "Apaan, sih? Orang lagi nonton berita juga." Ibu Ana kini tertawa geli. Ternyata Beliau tengah menonton berita kriminal tentang perselingkuhan yang mengakibatkan rumah istri muda dibakar oleh istri tuanya, akibat suami tak mau menceraikan salah satu dari keduanya. Wajah Aiman yang sempat memucat, kini beangsur pulih. Ada rasa geli di hati Zia saat melihat tingkah suaminya barusan. Aiman mengira, Zia telah menceritakan tentang dirinya dan Sintia kepada ibunya. "Ngagetin tau, Bu. Kirain apaan.""Ya sudah, aku mandi dulu, ya, Bu!" ujar Aiman. Ia berusaha meredam keterkejutan yang membuat jantungnya serasa copot. "Sayang! Nanti tanya Ibu lagi aja ya, Abang udah gerah pengen mandi," lanjutnya sambil
"Tak ada siapa yang merebut siapa, pun tak ada siapa yang memilih siapa. Semua murni jalan takdir. Semua salahku karena tak bisa bertahan lebih lama setelah peristiwa itu." Aiman berusaha membujuk Sintia, bagaimana pun ia tak ingin Sintia menilai buruk Zia yang menurutnya istrinya itu sangat baik. Isakan kecil masih terdengar dari bibir perempuan cantik, berwajah tirus dengan rambut sebahu itu. Dirinya tak terima Aiman membela perempuan lain di hadapannya. "Untuk sementara waktu, bersabarlah. Akan kubujuk Zia agar mau menerimamu untuk tinggal bersamanya." Akhirnya Aiman luluh dan bersedia menyanggupi permintaan Sintia. Namun, ia masih belum tau, entah bagaimana caranya menyampaikan keinginan Sintia pada istrinya. "Makasih, Bang. Akan kutanyakan Tiara teman kantorku. Mungkin dia gak keberatan, jika aku menginap di apartemennya untuk beberapa waktu ke depan."Aiman bisa bernafas lebih lega untuk sementara, walau akhirnya waktu menyesakkan itu akan kembali datang. "Makasih juga, Sin,
Aiman menarik napas panjang, menghembusnya perlahan. Tangannya mengusap pelan wajah Zia "Sintia ingin tinggal bersama kita, Zi!"Mataku Zia sukses terbuka lebar, saat mendengar kalimat terakhir yang Aiman ucap barusan. Ia menggeleng kepala, satu sudut bibirnya terangkat. "Apa sebenarnya yang kalian inginkan? Setelah kalian berhasil menikah diam-diam, kini perempuan itu ingin tinggal bersamaku. Apakah masih kurang luka yang kalian torehkan di hatiku? Apa aku harus memohon pada kalian agar jangan menambah lagi luka di hatiku?"Zia menggigit bibir kuat-kuat, emosinya kembali meninggi, hingga matanya mengembun, mengalirkan bulir-bulir yang menganak sungai di pipi, bermuara di pangkuannya. Aiman menangkupkan kedua tangannya di pipi istrinya. Namun dengan cepat Zia menepisnya. "Abang juga tak menginginkan ini, Zi. Tapi ini demi kebaikan kita semua. Demi keamanan Sintia juga.""Kebaikan bagi kita semua?" Zia tersenyum sinis, air mata tak henti membanjiri pipinya. "Ini untuk kebaikan kalian
Mata Zia melebar saat menatap pemandangan yang tak pernah ia harapkan terjadi. Bahkan mimpi pun ia tak pernah mengira, jika pernikahannya akhirnya akan berakhir sesakit ini. Perempuan itu berdiri membelakangi pintu rumah. Rambut sebahunya tergerai, dengan kaos tangan pendak hitam dan celana jeans panjang berwarna senada, membuat kulit putihnya terlihat kontras. Tangannya menenteng satu koper berukuran cukup besar, serta tas kecil tersangkut di bahunya. "Apa yang membuatmu tega melakukan hal itu?" Zia bertanya pada perempuan dengan tinggi badan sekitar 165 sentimeter yang tengah berdiri di hadapannya itu. Susah payah ia tahan gejolak yang berusaha menguap. Perempuan itu memutar badannya hingga membuat tatapan mereka bertemu. "Aku mencintainya!" ucapnya, dengan tangan bersedekap di dada. Tak ada gurat sesal di wajahnya. "Apa aku pernah menyakitimu, hingga kau tega melakukan ini padaku?" Zia menatap kososong deretan pot tanaman hias di halaman depan. "Kau tak pernah menyakitiku. Kau
"Layanilah perempuan itu dengan baik, aku tak akan melarangnya, karena memang seharusnya begitu."Aiman kembali memejamkan mata, sambil menarik napas dalam. Ia tak ingin memilih, ia hanya ingin hidup tenang dengan merangkul keduanya secara bersamaan. "Jangan berkata begitu, Zi. Abang tau Abang salah, tapi jangan menghukum Abang dengan kata-kata seperti ucapanmu barusan. Abang sungguh sangat mencintaimu!""Bukankah terkadang cinta memang tak harus memiliki?" lirih Zia pelan. "Berusahalah menerima, Zi! Abang akan berusaha untuk adil." Aiman menatap kosong meja rias di hadapannya. "Aku hanya tak ingin lebih sakit lagi!"Seketika Aiman beralih menatapnya tajam, "Kau cukup paham tentang ini, Zi, bersabarlah! Abang mohon. Jika bisa memilih, Abang lebih memilih tak pernah dipertemukan lagi dengan Sintia, tapi Abang bisa apa?""Jangan pernah mengira, seseorang dengan didikan pesantren akan berubah menjadi malaikat! Aku masih manusia biasa, yang bisa merasakan sakit hati dan kecewa," ucap Zi
Aiman mengusap wajah kasar. Ia tahu kalimat yang baru saja meluncur dari bibirnya, mampu kembali melukai Zia, tapi ia tak bisa membohongi hatinya untuk jujur pada istri pertamanya itu. Berharap Zia bisa mengerti dirinya. "Iya, Zi. Abang mencintai kamu, juga Sintia."Sudut bibir Zia terangkat. Kalimat Aiman tak ubah bak belati tajam yang menancap tepat di ulu hatinya. Zia berusaha menguatkan diri. Ia tahu, jika kedepannya, kata-kata yang lebih menyakitkan akan menjadi hal biasa baginya. "Ke luar lah, Bang! Aku sedang ingin sendiri," usir Zia lirih. "Zi," Pelan tangan Aiman menggenggam jemari Zia. Ada rasa tak tega telah menyakiti perempuan baik itu. Namun ia pun tak mau Sintia kecewa. "Pergilah! Malam ini jatah kau dan Sintia, aku tak ingin sedikit pun menjadi penghalang."Hening. Cukup lama hanya desahan napas penuh luka dari bibir Zia yang terdengar, setelahnya Aiman bangkit dan ke luar setelah mencium pucuk kepala Sang istri. Zia mengusap sudut mata yang basah. Tangannya meng
"Harusnya kau yang iri denganku. Bukankah aku yang pertama kali dan satu-satunya yang merasakan luahan cinta dari Bang Aiman setahun ini." Zia mengedipkan sebelah matanya. Entah sejak kapan Zia menjadi pintar membela hatinya seperti sekarang. Sintia terlihat geram. Emosinya memuncak mendengar kalimat Zia barusan. "Tunggu saja kau, Zia! Aku akan menyingkirkanmu dari hati Bang Aiman."Zia tersenyum lembut, menampakkan dagu runcing penyempurna wajahnya. "Masih ada lagi yang perlu ditanyakan?" Zia menaikkan alis. Sintia menghentakkan kakinya ke lantai seiring emosi di dadanya yang memuncak. Perempuan dengan piyama tidur itu meninggalkan Zia yang masih mematung di pintu kamar. Sintia kembali ke kamar, meraih ponsel di atas nakas, lalu mulai memesan makanan jadi. Tiga hari sudah Sintia tinggal bersama mereka, sejak saat itu pula Zia tak pernah lagi memasuki kamar yang sekarang ditempati Sintia, meski hanya sekedar beres-beres. "Kok, pakaian kotornya nggak di cuci, Sayang?" tanya Aima