Home / Rumah Tangga / ALASAN SUAMIKU MENDUA / Part 5. Kedatangan Ibu

Share

Part 5. Kedatangan Ibu

Author: Rizka Fhaqot
last update Last Updated: 2022-06-15 16:33:05

Sudah tiga hari sejak Zia mengetahui perihal Sintia, sikap dinginnya kini terlihat. 

Berkali-kali Aiman membuka gawainya, berharap deretan pesan penuh perhatian yang biasa Zia kirimkan akan muncul di layar ponselnya. Namun, berkali-kali pula Aiman harus kecewa. Jangankan mengiriminya pesan, pesan Aiman pun Zia balas dengan sangat singkat. Bahkan foto profil W* Zia yang semenjak mereka menikah tak pernah digantinya, kini sudah tak nampak.

"Sebenci itukah dirimu padaku?" Batin Aiman bergejolak. 

Hari yang biasa dilaluinya penuh dengan damai, kini sebaliknya. Rasa bersalah dan takut kehilangan, membuat garis-garis senyum tak lagi terlihat. 

Drrrttt ... Drrrttt ... Drrrttt .... 

Getar ponsel yang beradu dengan meja membuyarkan lamunan Aiman. 

"Assalamu'alaikum, Bu?" sapa Aiman, setelah melihat nomor Sang penelpon. 

"W*'alaikumussalaam. Kamu di mana, Man?"

"Masih di kantor, Bu!"

"Zia sehat, kan?  Ibu pengen ngasih tau, kalau lusa Ibu sama ayahmu mau ke rumah kalian!"

"Kok—kok mendadak, Bu?" jawab Aiman terbata. Ia khawatir Zia akan meluahkan kecewanya pada mertuanya itu. Seketika tubuh Aiman menegang. 

"Ibu kangen aja sama mantu Ibu, sudah sebulan kalian gak ngunjungin Ibu!"

Begitulah Ibu Ana, ia bahkan tak lagi menanyakan kabar putra sulungnya itu. Zia seakan mengambil hak-hak Aiman atas ibunya. 

"Baik, Bu! Nanti Aiman kasih tau Zia!" ucap Aiman berusaha menguasai diri. 

Aiman membereskan berkas di atas meja setelah menutup telpon dari ibunya. Menyusun dan menumpukkan pada satu sudut. Lima menit lagi jam kantor usai, tak sabar rasanya ingin segera pulang dan bertemu Zia. 

Rintik hujan mewarnai sore ini. Jalanan licin membuat Aiman tak bisa mengemudi mobilnya lebih kencang. Saat melewati rumah Sintia, Aiman melihat Tante Erna baru saja keluar dari rumah itu. 

"Kok, Tante Erna bisa tau rumah Sintia? Apa mungkin Tante Erna sudah tahu, jika aku menikahi Sintia? Pikir Aiman. Kekhawatiran membuat wajahnya pucat pasi. 

Aiman berusah tenang. Berkali-kali ia mengucap istigfat, berharap dapat mengusir kegundahan di dada. 

Adzan magrib sudah lima menit yang lalu berkumandang, saat mobilnya terparkir di halaman. 

*****

"Sayang!  Malam ini jalan, yuk!" Pinta Aiman pada Zia. Tepatnya, Aiman berusaha mencairkan bongkahan es di antara mereka. 

Aiman menyusul Zia yang sejak habis magrib duduk di sofa depan TV, lelaki itu kini duduk tepat di samping istrinya. 

"Zia ingin di rumah saja."

"Apa kau tak bosan, seharian di rumah?" Aiman kembali bertanya dengan lembut. Tangannya meraih pundak sang istri untuk ia peluk, dan menyenderkan kepala Zia di dadanya. Zia hanya menggeleng pelan. 

Tangannya mengusap kepala sang istri naik turun. Tak biasanya Zia mengenakan pakaian tertutup lengkap dengan  jilbab ketika di dalam rumah bersamanya. 

"Besok Ibu sama Ayah mau ke sini. Abang harap, kamu bisa bersikap sebiasa mungkin, Sayang!" lirih Aiman. 

Zia menarik napas pelan, lalu membuangnya. 

"Akan kuusahakan," jawabnya singkat

"Terima kasih." 

Aiman mencium pucuk kepala Sang istri, menghidu aroma sampo yang menguar terasa menenangkan. Namun rasa mual tiba-tiba serasa mengocok perutnya. Baru ia ingat, jika hari ini dirinya hanya makan saat sarapan pagi. 

Ia melepas pelukan pada istrinya, kemudian berlari menuju kamar mandi. Ia memuntahkan apa saja yang ada dalam perutnya, tapi tak ada yang berhasil keluar, kecuali air. 

Zia bejalan tergopoh-gopoh menyusul Aiman. Kekhawatiran terpancar jelas di wajahnya. 

"Tadi, makan siang jam berapa, Bang?" 

Zia bertanya saat Aiman keluar kamar mandi dengan wajah lemas. Di ulurnya segelas air putih hangat pada Aiman. 

Aiman menggeleng pelan setelah meneguk air yang diberikan istrinya, hingga tandas. Biasanya Zia akan menceramahinya panjang lebar, ketika tahu Aiman telat makan siang, karena tahu penyakit  asam lambung suaminya akan kumat. Namun, kali ini ia hanya diam.

Zia mengulurkan satu sendok makan obat asam lambung, kemudian meminumkan pada suaminya. 

Suasana canggung kerap Aiman rasa. Zia tak lagi seceria yang ia kenal. Zia-nya kini lebih banyak diam ketimbang bersuara. Wajah manisnya pun kini selalu terlihat murung. 

Setelah dirasa cukup lama, Zia berjalan ke arah magic com mengambil sepiring nasi, lengkap dengan lauk pauk dari atas meja. 

"Abang makan dulu!" ujarnya. Tangannya menyodorkan piring berisi nasi ke hadapan Aiman. 

"Abang tak berselera!"

Zia bangkit, menyendok nasi kemudian menyodornya ke arah mulut Aiman. 

"Makanlah meski sedikit! Jaga nikmat sehat yang telah Allah beri!" 

Mata sendu Aiman tepat menatap Zia yang berada di sampingnya, zia hanya menatap kosong pada kulkas yang berdiri kokoh di depannya. 

Perlahan Aiman menerima suapan demi suapan dari tangan sang Istri. Tapi tak lama, tepat suapan keempat ia menolak. 

"Cukup, Zi."

Zia menghentikan gerakannya. Kemudian meraih gelas berisi penuh air putih, dan meminumkannya pada Aiman. 

Aiman bangkit setelah dirasa agak baikan, berjalan perlahan menuju kamar, rasa tak nyaman membuatnya ingin segera berisitirahat di pembaringan. 

"Lain kali, jangan nunda-nunda makan lagi, Bang!" Zia berkata pelan sambil menutupi tubuh suaminya dengan selimut hingga ke dada. 

***

Hari ini  Aiman pulang lebih awal, mengingat Ibu dan ayahnya telah menelpon sejak tadi pagi, mengatakan kalau mereka sudah datang.

"Assalamu'alaikum," ucapnya ketika berjalan meAbanguki pintu depan. 

"W*'alaikumsalaam," jawaban serempak Zia dan Ibu Ana. Mereka berdua tengah berbincang di ruang tivi sambil menyaksikan berita di channel tivi lokal.

"Eh, yang diomongin udah dateng!" celetuk ibu diiringi tawa kecil. Zia tersenyum ke arah suaminya. Hal sederhana yang jarang ia lakukan akhir-akhir ini.

"Emangnya ngomongin apaan sih?" tanya Aiman sambil berjalan ke arah mereka dan membalas senyum Zia. Diulurnya tangan untuk bersalaman kepada ibunya, mencium takzim punggung tangan perempuan paruh baya, yang melahirkannya tiga puluh satu tahun lalu. 

"Ngomongin orang-orang yang suka geletakin handuk bekas pakai disembarang tempat," sindir ibunya, dengan ekor mata melihat kearah Aiman, yang disambut tawa oleh mereka berdua. Aiman merasa dirinya tengah berteduh di bawah rerimbunan pohon, sejum ... sangat sejum, saat senyum terlukis di bibir Zia. Menenangkan. Pikirnya. 

Ibu Ana dan Zia memang sangat akrab, mengingat beliau tidak memiliki anak perempuan. Aiman merupakan anak pertama dan Ari adik satu-satunya yang kini masih kuliah. Zia juga termasuk menantu penurut serta penyayang. Ia menyayangi mertuanya tak beda seperti sayangnya anak pada ibu kandung sendiri. 

"Emak-emak emang sukanya gosip!" ejek Aiman, seraya duduk di samping Zia, "Ayah mana? Kok gak kelihatan?" 

"Ke warung, nyari kopi katanya," jawab ibunya sambil mengambil toples cemilan yang berada di atas meja.

"Ari kenapa gak ikut, Bu? Kan, lagi libur kuliah juga."

"Ada kegiatan di kampus, katanya!" 

"Abang, nanti malam ajakin Ibu makan di luar, yuk! Kan udah lama juga gak jalan bareng Ibu sama Ayah. Iya kan, bu?" Zia berkata dengan melempar pandangan kearah sang mertua. 

"Tanya Ibu saja, sayang maunya gimana?" seraya mengacak kepala Zia yang tertutup jilbab. Gemas sekali rasanya ketika dirinya melihat Zia bisa kembali ceria.

Ibu Ana hanya bergeming, sepertinya beliau tak mendengar pembicaraan anak dan menantunya barusan. 

"Dasar tukang selingkuh!" celetuk sang Ibu, yang membuat jantung Aiman seakan lepas dari tempatnya. Zia terdiam.  

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • ALASAN SUAMIKU MENDUA   Part 179. Cinta Akan Datang di Waktu yang Tepat

    "Terima kasih atas waktu dua tahunmu membersamaiku, Bang. Semoga kau selalu menjadi laki-laki terbaik bagiku dan Hana, putri kita." Zia menyandarkan kepalanya ke dada bidang lelaki yang sudah dua tahun melengkapi hidupnya. Sebuah jalan takdir yang sama sekali tidak pernah ia duga sebelumnya, jika Farid akan menjadi suami, imam juga jalan dirinya untuk menggapai surga Rabb-nya."Alhamdulillah, Sayang. Abang juga sangat bersyukur sekali bisa dipertemukan dengan perempuan cantik, baik hati, sholeha, sepertimu." Senyum menawan Farid dia persembahkan untuk perempuan asing teristimewa dalam hidupnya. Keduanya saling menautkan jari menikmati semilir angin sore di taman samping rumah sambil melihat kelucuan Hana yang tengah bermain tidak jauh dari tempat mereka duduk.Kehangatan keluarga kecil mereka semakin lengkap setelah kehadiran Hana sebagai pengantar doa-doa panjang dalam setiap sujud mereka sebagai orang tua. Meminta serta memohon keberkahan untuk rumah tangga agar senantiasa berada d

  • ALASAN SUAMIKU MENDUA   Part 178. Semua Karena Sabar

    Tiara menatap lekat wajah laki-laki di hadapannya. Dapat ia rasakan hatinya menghangat seiring cinta yang kian tumbuh dan berkembang terhadap laki-laki itu. "Kau yakin? Apa kau sama sekali tak memiliki rasa sakit hati atas penolakanku selama ini?" tanya Tiara dengan rasa penasaran. "Aku yakin. Tak naif, kecewa itu kerap terasa, hanya saja aku menganggapnya sebagai pecut untuk berjuang meraih cintamu lebih keras lagi. Jujur, di luaran sana ada yang mengejarku untuk meraih cintaku, sayangnya hati ini sudah terpaut sejak lama padamu, Ti." Laki-laki itu terlihat sangat serius. Tiara menatap Miko dengan senyum termanisnya. Hati berdesir kian rapat yang sebelumnya tak pernah ia rasakan. "Apa kau akan selalu bersikap seperti ini seandianya aku menerima lamaranmu?" Tiara berusaha menuntaskan keingintahuannya. "Apa kau pikir aku akan mengorbankan waktu dan kesabaranku selama ini dalam memperjuangkan cintamu hingga aku akan mengabaikanmu saat kau sudah menjadi milikmu?" Miko balik bertanya

  • ALASAN SUAMIKU MENDUA   Part 177. Menikahlah denganku!

    Zia mengangguk. "Aku udah maafin Sintia, Ti. Lagipula dari dulu Kakak nggak pernah dendam sama Sintia. Sakit hati atas perlakuan Sintia dulu Kakak rasa itu manusiawi, yang pasti sekarang Kakak sudah mengikhlaskan semuanya." Zia tersenyum lembut. "Kakak memang luar biasa. Terima kasih, Kak.""Maafin kesalahan Sintia! Anggap aja kalo Sintia khilaf waktu ngelakuin semuanya," lanjut Zia."Iya, Kak. Aku hanya berharap semoga Sintia tenang di kehidupan abadinya dan ke depannya nggak akan ada lagi Sintia baru di dalam hidup kita." Tiara berucap lirih. Zia mengangguk pelan. "Aamiin.."***"Sekarang tak ada lagi Sintia, Ti. Aku harap kau bisa menerima lamaranku. Maafkan atas sikapku beberapa waktu lalu." Aiman berucap dengan nada memohon. Aiman meminta Tiara untuk menemuinya di tempat biasa, rumah makan yang beberapa kali mereka jadikan tempat bertemu sambil menghabiskan waktu istirahat siang sebelum kembali ke kantor. Tiara tidak langsung menjawab, ia berpikir sejenak agar tidak salah men

  • ALASAN SUAMIKU MENDUA   Part 176. Mengikhlaskan

    Zia mengalihkan perhatiannya kembali pada sang dokter. Lalu menganggukkan kepala. "Benar, Dok. Jadi jika memang harus dilepas, saya dan keluarga akan berusaha menerima dengan lapang dada." Susah payah Zia mengucapkan kata-kata itu melalui bibirnya yang bergetar. Tapi dia harus, dia tidak bisa ikut rapuh di saat Tiara tak sanggup lagi untuk sekedar berdiri. "Tiara!"Zia menggandeng lengan Tiara untuk ke luar setelah pamit pada dokter yang di hadapan mereka. Farid pun memutuskan untuk mengambil alih semua tugas Tiara. Dia mengikuti dokter tersebut agar segera menandatangani surat persetujuan pelepasan alat penunjang hidup Sintia sekaligus melunasi segala biayanya. Jasad Sintia akan dimandikan oleh pihak rumah sakit dan dikafani sekalian di sini. Supaya mereka hanya tinggal menyemayamkan jasad Sintia menuju ke tempat peristirahatan terakhir. Di sisi lain, Zia mencoba menuntun Tiara ke kursi ruang tunggu. Dia mendudukkan Tiara sembari memberikan sebotol air mineral yang tadi sempat ia b

  • ALASAN SUAMIKU MENDUA   Part 175. Sintia Sekarat

    Tiara bercerita panjang lebar pada Zia. Ia sendiri merasa sedikit tak nyaman menceritakan semuanya pada Zia, terlebih sesuatu yang ada hubungannya dengan Aiman. Tapi ia sendiri seolah tidak memiliki tempat berbagi. Sang nenek tinggal terpisah darinya dengan jarak satu setengah jam perjalanan. Sedangkan sang ayah, laki-laki itu semakin tak memiliki waktu untuknya, bahkan hanya sekedar menelpon pun seolah tak memiliki waktu. "Kakak hanya bisa menyerahkan semua keputusan padamu, Ti. Kau sudah dewasa. Semoga apa pun keputusanmu itu akan berbuah manis di kemudian hati, Ti.""Terima kasih, Kak, sudah sudi mendengar ceritaku. Aku pun berharap begitu. Aku berharap ada kebahagiaan untukku tanpa harus menyakiti hati siapa pun."Telepon terputus. Zia terdiam sejenak. Isi percakapannya dengan Tiara barusan seolah berputar di kepalanya. Ia sendiri tak tahu harus berbuat apa yang pasti ia hanya berharap yang terbaik bagi Tiara. Embusan napas panjang ke luar dari mulutnya. Sekilas wajah patah hati

  • ALASAN SUAMIKU MENDUA   Part 174. Kita Akan Menemukan Jodoh Masing-masing

    Tiara lagi-lagi tersenyum sinis. Kalimat Aiman mampu menoreh luka di relung sana. Bagi Tiara, pantang berbohong apalagi dalam hal sepenting ini."Jika saja kau bisa melihat isi hatiku, maka kalimat yang kau ucapkan barusan tak akan pernah ke luar." Kali ini tatapan mata Tiara lekat di wajah Aiman.Laki-laki itu terdiam sejenak. Mencari alasan agar kali ini usahanya untuk membina keluarga baru tidak kembali gagal. "Maafkan aku, Ti. Aku khilaf!" Aiman berusaha menurunkan egonya. "Kumohon mengertilah. Aku bahkan tak akan bisa tenang jika hubungan kita terus berlanjut. Dua hati yang aku korbankan atau … bisa saja lebih." Tiara berucap sendu. "Apa tak ada jalan lain, Ti?" Kumohon! Aku hanya ingin membina keluarga bahagia dan melihat senyum kedua orang tuaku kembali merekah." Aiman menghiba berharap hati Tiara akan luluh. Tiara bergeming. Bayangan Ibu Ana melintas membuatnya sedikit tak nyaman. Namun, ia tak ingin keadaan lebih buruk lagi. "Percayalah, kita akan menemukan jodoh kita ma

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status