Share

Part 5. Kedatangan Ibu

Sudah tiga hari sejak Zia mengetahui perihal Sintia, sikap dinginnya kini terlihat. 

Berkali-kali Aiman membuka gawainya, berharap deretan pesan penuh perhatian yang biasa Zia kirimkan akan muncul di layar ponselnya. Namun, berkali-kali pula Aiman harus kecewa. Jangankan mengiriminya pesan, pesan Aiman pun Zia balas dengan sangat singkat. Bahkan foto profil W* Zia yang semenjak mereka menikah tak pernah digantinya, kini sudah tak nampak.

"Sebenci itukah dirimu padaku?" Batin Aiman bergejolak. 

Hari yang biasa dilaluinya penuh dengan damai, kini sebaliknya. Rasa bersalah dan takut kehilangan, membuat garis-garis senyum tak lagi terlihat. 

Drrrttt ... Drrrttt ... Drrrttt .... 

Getar ponsel yang beradu dengan meja membuyarkan lamunan Aiman. 

"Assalamu'alaikum, Bu?" sapa Aiman, setelah melihat nomor Sang penelpon. 

"W*'alaikumussalaam. Kamu di mana, Man?"

"Masih di kantor, Bu!"

"Zia sehat, kan?  Ibu pengen ngasih tau, kalau lusa Ibu sama ayahmu mau ke rumah kalian!"

"Kok—kok mendadak, Bu?" jawab Aiman terbata. Ia khawatir Zia akan meluahkan kecewanya pada mertuanya itu. Seketika tubuh Aiman menegang. 

"Ibu kangen aja sama mantu Ibu, sudah sebulan kalian gak ngunjungin Ibu!"

Begitulah Ibu Ana, ia bahkan tak lagi menanyakan kabar putra sulungnya itu. Zia seakan mengambil hak-hak Aiman atas ibunya. 

"Baik, Bu! Nanti Aiman kasih tau Zia!" ucap Aiman berusaha menguasai diri. 

Aiman membereskan berkas di atas meja setelah menutup telpon dari ibunya. Menyusun dan menumpukkan pada satu sudut. Lima menit lagi jam kantor usai, tak sabar rasanya ingin segera pulang dan bertemu Zia. 

Rintik hujan mewarnai sore ini. Jalanan licin membuat Aiman tak bisa mengemudi mobilnya lebih kencang. Saat melewati rumah Sintia, Aiman melihat Tante Erna baru saja keluar dari rumah itu. 

"Kok, Tante Erna bisa tau rumah Sintia? Apa mungkin Tante Erna sudah tahu, jika aku menikahi Sintia? Pikir Aiman. Kekhawatiran membuat wajahnya pucat pasi. 

Aiman berusah tenang. Berkali-kali ia mengucap istigfat, berharap dapat mengusir kegundahan di dada. 

Adzan magrib sudah lima menit yang lalu berkumandang, saat mobilnya terparkir di halaman. 

*****

"Sayang!  Malam ini jalan, yuk!" Pinta Aiman pada Zia. Tepatnya, Aiman berusaha mencairkan bongkahan es di antara mereka. 

Aiman menyusul Zia yang sejak habis magrib duduk di sofa depan TV, lelaki itu kini duduk tepat di samping istrinya. 

"Zia ingin di rumah saja."

"Apa kau tak bosan, seharian di rumah?" Aiman kembali bertanya dengan lembut. Tangannya meraih pundak sang istri untuk ia peluk, dan menyenderkan kepala Zia di dadanya. Zia hanya menggeleng pelan. 

Tangannya mengusap kepala sang istri naik turun. Tak biasanya Zia mengenakan pakaian tertutup lengkap dengan  jilbab ketika di dalam rumah bersamanya. 

"Besok Ibu sama Ayah mau ke sini. Abang harap, kamu bisa bersikap sebiasa mungkin, Sayang!" lirih Aiman. 

Zia menarik napas pelan, lalu membuangnya. 

"Akan kuusahakan," jawabnya singkat

"Terima kasih." 

Aiman mencium pucuk kepala Sang istri, menghidu aroma sampo yang menguar terasa menenangkan. Namun rasa mual tiba-tiba serasa mengocok perutnya. Baru ia ingat, jika hari ini dirinya hanya makan saat sarapan pagi. 

Ia melepas pelukan pada istrinya, kemudian berlari menuju kamar mandi. Ia memuntahkan apa saja yang ada dalam perutnya, tapi tak ada yang berhasil keluar, kecuali air. 

Zia bejalan tergopoh-gopoh menyusul Aiman. Kekhawatiran terpancar jelas di wajahnya. 

"Tadi, makan siang jam berapa, Bang?" 

Zia bertanya saat Aiman keluar kamar mandi dengan wajah lemas. Di ulurnya segelas air putih hangat pada Aiman. 

Aiman menggeleng pelan setelah meneguk air yang diberikan istrinya, hingga tandas. Biasanya Zia akan menceramahinya panjang lebar, ketika tahu Aiman telat makan siang, karena tahu penyakit  asam lambung suaminya akan kumat. Namun, kali ini ia hanya diam.

Zia mengulurkan satu sendok makan obat asam lambung, kemudian meminumkan pada suaminya. 

Suasana canggung kerap Aiman rasa. Zia tak lagi seceria yang ia kenal. Zia-nya kini lebih banyak diam ketimbang bersuara. Wajah manisnya pun kini selalu terlihat murung. 

Setelah dirasa cukup lama, Zia berjalan ke arah magic com mengambil sepiring nasi, lengkap dengan lauk pauk dari atas meja. 

"Abang makan dulu!" ujarnya. Tangannya menyodorkan piring berisi nasi ke hadapan Aiman. 

"Abang tak berselera!"

Zia bangkit, menyendok nasi kemudian menyodornya ke arah mulut Aiman. 

"Makanlah meski sedikit! Jaga nikmat sehat yang telah Allah beri!" 

Mata sendu Aiman tepat menatap Zia yang berada di sampingnya, zia hanya menatap kosong pada kulkas yang berdiri kokoh di depannya. 

Perlahan Aiman menerima suapan demi suapan dari tangan sang Istri. Tapi tak lama, tepat suapan keempat ia menolak. 

"Cukup, Zi."

Zia menghentikan gerakannya. Kemudian meraih gelas berisi penuh air putih, dan meminumkannya pada Aiman. 

Aiman bangkit setelah dirasa agak baikan, berjalan perlahan menuju kamar, rasa tak nyaman membuatnya ingin segera berisitirahat di pembaringan. 

"Lain kali, jangan nunda-nunda makan lagi, Bang!" Zia berkata pelan sambil menutupi tubuh suaminya dengan selimut hingga ke dada. 

***

Hari ini  Aiman pulang lebih awal, mengingat Ibu dan ayahnya telah menelpon sejak tadi pagi, mengatakan kalau mereka sudah datang.

"Assalamu'alaikum," ucapnya ketika berjalan meAbanguki pintu depan. 

"W*'alaikumsalaam," jawaban serempak Zia dan Ibu Ana. Mereka berdua tengah berbincang di ruang tivi sambil menyaksikan berita di channel tivi lokal.

"Eh, yang diomongin udah dateng!" celetuk ibu diiringi tawa kecil. Zia tersenyum ke arah suaminya. Hal sederhana yang jarang ia lakukan akhir-akhir ini.

"Emangnya ngomongin apaan sih?" tanya Aiman sambil berjalan ke arah mereka dan membalas senyum Zia. Diulurnya tangan untuk bersalaman kepada ibunya, mencium takzim punggung tangan perempuan paruh baya, yang melahirkannya tiga puluh satu tahun lalu. 

"Ngomongin orang-orang yang suka geletakin handuk bekas pakai disembarang tempat," sindir ibunya, dengan ekor mata melihat kearah Aiman, yang disambut tawa oleh mereka berdua. Aiman merasa dirinya tengah berteduh di bawah rerimbunan pohon, sejum ... sangat sejum, saat senyum terlukis di bibir Zia. Menenangkan. Pikirnya. 

Ibu Ana dan Zia memang sangat akrab, mengingat beliau tidak memiliki anak perempuan. Aiman merupakan anak pertama dan Ari adik satu-satunya yang kini masih kuliah. Zia juga termasuk menantu penurut serta penyayang. Ia menyayangi mertuanya tak beda seperti sayangnya anak pada ibu kandung sendiri. 

"Emak-emak emang sukanya gosip!" ejek Aiman, seraya duduk di samping Zia, "Ayah mana? Kok gak kelihatan?" 

"Ke warung, nyari kopi katanya," jawab ibunya sambil mengambil toples cemilan yang berada di atas meja.

"Ari kenapa gak ikut, Bu? Kan, lagi libur kuliah juga."

"Ada kegiatan di kampus, katanya!" 

"Abang, nanti malam ajakin Ibu makan di luar, yuk! Kan udah lama juga gak jalan bareng Ibu sama Ayah. Iya kan, bu?" Zia berkata dengan melempar pandangan kearah sang mertua. 

"Tanya Ibu saja, sayang maunya gimana?" seraya mengacak kepala Zia yang tertutup jilbab. Gemas sekali rasanya ketika dirinya melihat Zia bisa kembali ceria.

Ibu Ana hanya bergeming, sepertinya beliau tak mendengar pembicaraan anak dan menantunya barusan. 

"Dasar tukang selingkuh!" celetuk sang Ibu, yang membuat jantung Aiman seakan lepas dari tempatnya. Zia terdiam.  

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status