Sudah tiga hari sejak Zia mengetahui perihal Sintia, sikap dinginnya kini terlihat.
Berkali-kali Aiman membuka gawainya, berharap deretan pesan penuh perhatian yang biasa Zia kirimkan akan muncul di layar ponselnya. Namun, berkali-kali pula Aiman harus kecewa. Jangankan mengiriminya pesan, pesan Aiman pun Zia balas dengan sangat singkat. Bahkan foto profil W* Zia yang semenjak mereka menikah tak pernah digantinya, kini sudah tak nampak. "Sebenci itukah dirimu padaku?" Batin Aiman bergejolak. Hari yang biasa dilaluinya penuh dengan damai, kini sebaliknya. Rasa bersalah dan takut kehilangan, membuat garis-garis senyum tak lagi terlihat. Drrrttt ... Drrrttt ... Drrrttt .... Getar ponsel yang beradu dengan meja membuyarkan lamunan Aiman. "Assalamu'alaikum, Bu?" sapa Aiman, setelah melihat nomor Sang penelpon. "W*'alaikumussalaam. Kamu di mana, Man?""Masih di kantor, Bu!""Zia sehat, kan? Ibu pengen ngasih tau, kalau lusa Ibu sama ayahmu mau ke rumah kalian!""Kok—kok mendadak, Bu?" jawab Aiman terbata. Ia khawatir Zia akan meluahkan kecewanya pada mertuanya itu. Seketika tubuh Aiman menegang. "Ibu kangen aja sama mantu Ibu, sudah sebulan kalian gak ngunjungin Ibu!"Begitulah Ibu Ana, ia bahkan tak lagi menanyakan kabar putra sulungnya itu. Zia seakan mengambil hak-hak Aiman atas ibunya. "Baik, Bu! Nanti Aiman kasih tau Zia!" ucap Aiman berusaha menguasai diri. Aiman membereskan berkas di atas meja setelah menutup telpon dari ibunya. Menyusun dan menumpukkan pada satu sudut. Lima menit lagi jam kantor usai, tak sabar rasanya ingin segera pulang dan bertemu Zia. Rintik hujan mewarnai sore ini. Jalanan licin membuat Aiman tak bisa mengemudi mobilnya lebih kencang. Saat melewati rumah Sintia, Aiman melihat Tante Erna baru saja keluar dari rumah itu. "Kok, Tante Erna bisa tau rumah Sintia? Apa mungkin Tante Erna sudah tahu, jika aku menikahi Sintia? Pikir Aiman. Kekhawatiran membuat wajahnya pucat pasi. Aiman berusah tenang. Berkali-kali ia mengucap istigfat, berharap dapat mengusir kegundahan di dada. Adzan magrib sudah lima menit yang lalu berkumandang, saat mobilnya terparkir di halaman. *****"Sayang! Malam ini jalan, yuk!" Pinta Aiman pada Zia. Tepatnya, Aiman berusaha mencairkan bongkahan es di antara mereka. Aiman menyusul Zia yang sejak habis magrib duduk di sofa depan TV, lelaki itu kini duduk tepat di samping istrinya. "Zia ingin di rumah saja.""Apa kau tak bosan, seharian di rumah?" Aiman kembali bertanya dengan lembut. Tangannya meraih pundak sang istri untuk ia peluk, dan menyenderkan kepala Zia di dadanya. Zia hanya menggeleng pelan. Tangannya mengusap kepala sang istri naik turun. Tak biasanya Zia mengenakan pakaian tertutup lengkap dengan jilbab ketika di dalam rumah bersamanya. "Besok Ibu sama Ayah mau ke sini. Abang harap, kamu bisa bersikap sebiasa mungkin, Sayang!" lirih Aiman. Zia menarik napas pelan, lalu membuangnya. "Akan kuusahakan," jawabnya singkat"Terima kasih." Aiman mencium pucuk kepala Sang istri, menghidu aroma sampo yang menguar terasa menenangkan. Namun rasa mual tiba-tiba serasa mengocok perutnya. Baru ia ingat, jika hari ini dirinya hanya makan saat sarapan pagi. Ia melepas pelukan pada istrinya, kemudian berlari menuju kamar mandi. Ia memuntahkan apa saja yang ada dalam perutnya, tapi tak ada yang berhasil keluar, kecuali air. Zia bejalan tergopoh-gopoh menyusul Aiman. Kekhawatiran terpancar jelas di wajahnya. "Tadi, makan siang jam berapa, Bang?" Zia bertanya saat Aiman keluar kamar mandi dengan wajah lemas. Di ulurnya segelas air putih hangat pada Aiman. Aiman menggeleng pelan setelah meneguk air yang diberikan istrinya, hingga tandas. Biasanya Zia akan menceramahinya panjang lebar, ketika tahu Aiman telat makan siang, karena tahu penyakit asam lambung suaminya akan kumat. Namun, kali ini ia hanya diam.Zia mengulurkan satu sendok makan obat asam lambung, kemudian meminumkan pada suaminya. Suasana canggung kerap Aiman rasa. Zia tak lagi seceria yang ia kenal. Zia-nya kini lebih banyak diam ketimbang bersuara. Wajah manisnya pun kini selalu terlihat murung. Setelah dirasa cukup lama, Zia berjalan ke arah magic com mengambil sepiring nasi, lengkap dengan lauk pauk dari atas meja. "Abang makan dulu!" ujarnya. Tangannya menyodorkan piring berisi nasi ke hadapan Aiman. "Abang tak berselera!"Zia bangkit, menyendok nasi kemudian menyodornya ke arah mulut Aiman. "Makanlah meski sedikit! Jaga nikmat sehat yang telah Allah beri!" Mata sendu Aiman tepat menatap Zia yang berada di sampingnya, zia hanya menatap kosong pada kulkas yang berdiri kokoh di depannya. Perlahan Aiman menerima suapan demi suapan dari tangan sang Istri. Tapi tak lama, tepat suapan keempat ia menolak. "Cukup, Zi."Zia menghentikan gerakannya. Kemudian meraih gelas berisi penuh air putih, dan meminumkannya pada Aiman. Aiman bangkit setelah dirasa agak baikan, berjalan perlahan menuju kamar, rasa tak nyaman membuatnya ingin segera berisitirahat di pembaringan. "Lain kali, jangan nunda-nunda makan lagi, Bang!" Zia berkata pelan sambil menutupi tubuh suaminya dengan selimut hingga ke dada. ***Hari ini Aiman pulang lebih awal, mengingat Ibu dan ayahnya telah menelpon sejak tadi pagi, mengatakan kalau mereka sudah datang."Assalamu'alaikum," ucapnya ketika berjalan meAbanguki pintu depan. "W*'alaikumsalaam," jawaban serempak Zia dan Ibu Ana. Mereka berdua tengah berbincang di ruang tivi sambil menyaksikan berita di channel tivi lokal. "Eh, yang diomongin udah dateng!" celetuk ibu diiringi tawa kecil. Zia tersenyum ke arah suaminya. Hal sederhana yang jarang ia lakukan akhir-akhir ini."Emangnya ngomongin apaan sih?" tanya Aiman sambil berjalan ke arah mereka dan membalas senyum Zia. Diulurnya tangan untuk bersalaman kepada ibunya, mencium takzim punggung tangan perempuan paruh baya, yang melahirkannya tiga puluh satu tahun lalu. "Ngomongin orang-orang yang suka geletakin handuk bekas pakai disembarang tempat," sindir ibunya, dengan ekor mata melihat kearah Aiman, yang disambut tawa oleh mereka berdua. Aiman merasa dirinya tengah berteduh di bawah rerimbunan pohon, sejum ... sangat sejum, saat senyum terlukis di bibir Zia. Menenangkan. Pikirnya. Ibu Ana dan Zia memang sangat akrab, mengingat beliau tidak memiliki anak perempuan. Aiman merupakan anak pertama dan Ari adik satu-satunya yang kini masih kuliah. Zia juga termasuk menantu penurut serta penyayang. Ia menyayangi mertuanya tak beda seperti sayangnya anak pada ibu kandung sendiri. "Emak-emak emang sukanya gosip!" ejek Aiman, seraya duduk di samping Zia, "Ayah mana? Kok gak kelihatan?" "Ke warung, nyari kopi katanya," jawab ibunya sambil mengambil toples cemilan yang berada di atas meja."Ari kenapa gak ikut, Bu? Kan, lagi libur kuliah juga.""Ada kegiatan di kampus, katanya!" "Abang, nanti malam ajakin Ibu makan di luar, yuk! Kan udah lama juga gak jalan bareng Ibu sama Ayah. Iya kan, bu?" Zia berkata dengan melempar pandangan kearah sang mertua. "Tanya Ibu saja, sayang maunya gimana?" seraya mengacak kepala Zia yang tertutup jilbab. Gemas sekali rasanya ketika dirinya melihat Zia bisa kembali ceria.Ibu Ana hanya bergeming, sepertinya beliau tak mendengar pembicaraan anak dan menantunya barusan. "Dasar tukang selingkuh!" celetuk sang Ibu, yang membuat jantung Aiman seakan lepas dari tempatnya. Zia terdiam.Ibu Ana menoleh menatap Aiman dan Zia bergantian dengan tatapan heran. Perempuan yang masih terlihat cantik di usia lebih dari setengah abad itu, menampakkan wajah heran.Aiman menatap Sang Ibu dengan wajah pias. Degup jantung seakan terhenti. Bayangan Sang Ibu akan mengamuk tergambar jelas. "Apaan, sih? Orang lagi nonton berita juga." Ibu Ana kini tertawa geli. Ternyata Beliau tengah menonton berita kriminal tentang perselingkuhan yang mengakibatkan rumah istri muda dibakar oleh istri tuanya, akibat suami tak mau menceraikan salah satu dari keduanya. Wajah Aiman yang sempat memucat, kini beangsur pulih. Ada rasa geli di hati Zia saat melihat tingkah suaminya barusan. Aiman mengira, Zia telah menceritakan tentang dirinya dan Sintia kepada ibunya. "Ngagetin tau, Bu. Kirain apaan.""Ya sudah, aku mandi dulu, ya, Bu!" ujar Aiman. Ia berusaha meredam keterkejutan yang membuat jantungnya serasa copot. "Sayang! Nanti tanya Ibu lagi aja ya, Abang udah gerah pengen mandi," lanjutnya sambil
"Tak ada siapa yang merebut siapa, pun tak ada siapa yang memilih siapa. Semua murni jalan takdir. Semua salahku karena tak bisa bertahan lebih lama setelah peristiwa itu." Aiman berusaha membujuk Sintia, bagaimana pun ia tak ingin Sintia menilai buruk Zia yang menurutnya istrinya itu sangat baik. Isakan kecil masih terdengar dari bibir perempuan cantik, berwajah tirus dengan rambut sebahu itu. Dirinya tak terima Aiman membela perempuan lain di hadapannya. "Untuk sementara waktu, bersabarlah. Akan kubujuk Zia agar mau menerimamu untuk tinggal bersamanya." Akhirnya Aiman luluh dan bersedia menyanggupi permintaan Sintia. Namun, ia masih belum tau, entah bagaimana caranya menyampaikan keinginan Sintia pada istrinya. "Makasih, Bang. Akan kutanyakan Tiara teman kantorku. Mungkin dia gak keberatan, jika aku menginap di apartemennya untuk beberapa waktu ke depan."Aiman bisa bernafas lebih lega untuk sementara, walau akhirnya waktu menyesakkan itu akan kembali datang. "Makasih juga, Sin,
Aiman menarik napas panjang, menghembusnya perlahan. Tangannya mengusap pelan wajah Zia "Sintia ingin tinggal bersama kita, Zi!"Mataku Zia sukses terbuka lebar, saat mendengar kalimat terakhir yang Aiman ucap barusan. Ia menggeleng kepala, satu sudut bibirnya terangkat. "Apa sebenarnya yang kalian inginkan? Setelah kalian berhasil menikah diam-diam, kini perempuan itu ingin tinggal bersamaku. Apakah masih kurang luka yang kalian torehkan di hatiku? Apa aku harus memohon pada kalian agar jangan menambah lagi luka di hatiku?"Zia menggigit bibir kuat-kuat, emosinya kembali meninggi, hingga matanya mengembun, mengalirkan bulir-bulir yang menganak sungai di pipi, bermuara di pangkuannya. Aiman menangkupkan kedua tangannya di pipi istrinya. Namun dengan cepat Zia menepisnya. "Abang juga tak menginginkan ini, Zi. Tapi ini demi kebaikan kita semua. Demi keamanan Sintia juga.""Kebaikan bagi kita semua?" Zia tersenyum sinis, air mata tak henti membanjiri pipinya. "Ini untuk kebaikan kalian
Mata Zia melebar saat menatap pemandangan yang tak pernah ia harapkan terjadi. Bahkan mimpi pun ia tak pernah mengira, jika pernikahannya akhirnya akan berakhir sesakit ini. Perempuan itu berdiri membelakangi pintu rumah. Rambut sebahunya tergerai, dengan kaos tangan pendak hitam dan celana jeans panjang berwarna senada, membuat kulit putihnya terlihat kontras. Tangannya menenteng satu koper berukuran cukup besar, serta tas kecil tersangkut di bahunya. "Apa yang membuatmu tega melakukan hal itu?" Zia bertanya pada perempuan dengan tinggi badan sekitar 165 sentimeter yang tengah berdiri di hadapannya itu. Susah payah ia tahan gejolak yang berusaha menguap. Perempuan itu memutar badannya hingga membuat tatapan mereka bertemu. "Aku mencintainya!" ucapnya, dengan tangan bersedekap di dada. Tak ada gurat sesal di wajahnya. "Apa aku pernah menyakitimu, hingga kau tega melakukan ini padaku?" Zia menatap kososong deretan pot tanaman hias di halaman depan. "Kau tak pernah menyakitiku. Kau
"Layanilah perempuan itu dengan baik, aku tak akan melarangnya, karena memang seharusnya begitu."Aiman kembali memejamkan mata, sambil menarik napas dalam. Ia tak ingin memilih, ia hanya ingin hidup tenang dengan merangkul keduanya secara bersamaan. "Jangan berkata begitu, Zi. Abang tau Abang salah, tapi jangan menghukum Abang dengan kata-kata seperti ucapanmu barusan. Abang sungguh sangat mencintaimu!""Bukankah terkadang cinta memang tak harus memiliki?" lirih Zia pelan. "Berusahalah menerima, Zi! Abang akan berusaha untuk adil." Aiman menatap kosong meja rias di hadapannya. "Aku hanya tak ingin lebih sakit lagi!"Seketika Aiman beralih menatapnya tajam, "Kau cukup paham tentang ini, Zi, bersabarlah! Abang mohon. Jika bisa memilih, Abang lebih memilih tak pernah dipertemukan lagi dengan Sintia, tapi Abang bisa apa?""Jangan pernah mengira, seseorang dengan didikan pesantren akan berubah menjadi malaikat! Aku masih manusia biasa, yang bisa merasakan sakit hati dan kecewa," ucap Zi
Aiman mengusap wajah kasar. Ia tahu kalimat yang baru saja meluncur dari bibirnya, mampu kembali melukai Zia, tapi ia tak bisa membohongi hatinya untuk jujur pada istri pertamanya itu. Berharap Zia bisa mengerti dirinya. "Iya, Zi. Abang mencintai kamu, juga Sintia."Sudut bibir Zia terangkat. Kalimat Aiman tak ubah bak belati tajam yang menancap tepat di ulu hatinya. Zia berusaha menguatkan diri. Ia tahu, jika kedepannya, kata-kata yang lebih menyakitkan akan menjadi hal biasa baginya. "Ke luar lah, Bang! Aku sedang ingin sendiri," usir Zia lirih. "Zi," Pelan tangan Aiman menggenggam jemari Zia. Ada rasa tak tega telah menyakiti perempuan baik itu. Namun ia pun tak mau Sintia kecewa. "Pergilah! Malam ini jatah kau dan Sintia, aku tak ingin sedikit pun menjadi penghalang."Hening. Cukup lama hanya desahan napas penuh luka dari bibir Zia yang terdengar, setelahnya Aiman bangkit dan ke luar setelah mencium pucuk kepala Sang istri. Zia mengusap sudut mata yang basah. Tangannya meng
"Harusnya kau yang iri denganku. Bukankah aku yang pertama kali dan satu-satunya yang merasakan luahan cinta dari Bang Aiman setahun ini." Zia mengedipkan sebelah matanya. Entah sejak kapan Zia menjadi pintar membela hatinya seperti sekarang. Sintia terlihat geram. Emosinya memuncak mendengar kalimat Zia barusan. "Tunggu saja kau, Zia! Aku akan menyingkirkanmu dari hati Bang Aiman."Zia tersenyum lembut, menampakkan dagu runcing penyempurna wajahnya. "Masih ada lagi yang perlu ditanyakan?" Zia menaikkan alis. Sintia menghentakkan kakinya ke lantai seiring emosi di dadanya yang memuncak. Perempuan dengan piyama tidur itu meninggalkan Zia yang masih mematung di pintu kamar. Sintia kembali ke kamar, meraih ponsel di atas nakas, lalu mulai memesan makanan jadi. Tiga hari sudah Sintia tinggal bersama mereka, sejak saat itu pula Zia tak pernah lagi memasuki kamar yang sekarang ditempati Sintia, meski hanya sekedar beres-beres. "Kok, pakaian kotornya nggak di cuci, Sayang?" tanya Aima
"Kenapa, Zi?" "Nggak, nggak papa, Ra." Bibir tipis itu melengkung membentuk bulan sabit. "Kamu sendiri?" Zia balik bertanya, berusaha mencair suasana. Suasana hatinya yang tiba-tiba tak nyaman. "Insya Allah, sesegera mungkin, Zi. Do'akan saja semoga lancar semuanya. Nanti kalau udah deket harinya, bakal kukabarin dan kamu harus dateng." Fira tampak sumringah. Zia menatap dengan binar bahagia kalimat Fira. Terbayang kembali bagaimana dulu bahagianya dirinya saat Aiman datang melamarnya. Namun kini semua memudar, bahkan semakin memudar. *Pukul 15.30 Zia sudah sampai di rumah dengan motor matic yang dibelikan Aiman sebagai kado ulang tahun Zia 5 bulan lalu. Setelah memarkirkan motornya, Zia bergegas masuk rumah dan langsung ke kamar. Entahlah, semenjak Sintia tinggal di sini, kamar menjadi tempat ternyaman bagi Zia. Ia bukan lemah, hanya saja berusaha berdamai dengan hatinya. Bagaimana pun, poligami adalah sunnah dan bercerai pun bukan sesuatu yang dilarang. Hanya saja, ia berus