Share

Part 6. Kemalingan

Ibu Ana menoleh menatap Aiman dan Zia bergantian dengan tatapan heran. Perempuan yang masih terlihat cantik di usia lebih dari setengah abad itu, menampakkan wajah heran.

Aiman menatap Sang Ibu dengan wajah pias. Degup jantung seakan terhenti. Bayangan Sang Ibu akan mengamuk tergambar jelas.

"Apaan, sih? Orang lagi nonton berita juga." Ibu Ana kini tertawa geli.

Ternyata Beliau tengah menonton berita kriminal tentang perselingkuhan yang mengakibatkan rumah istri muda dibakar oleh istri tuanya, akibat suami tak mau menceraikan salah satu dari keduanya.

Wajah Aiman yang sempat memucat, kini beangsur pulih. Ada rasa geli di hati Zia saat melihat tingkah suaminya barusan. Aiman mengira, Zia telah menceritakan tentang dirinya dan Sintia kepada ibunya.

"Ngagetin tau, Bu. Kirain apaan."

"Ya sudah, aku mandi dulu, ya, Bu!" ujar Aiman. Ia berusaha meredam keterkejutan yang membuat jantungnya serasa copot. "Sayang! Nanti tanya Ibu lagi aja ya, Abang udah gerah pengen mandi," lanjutnya sambil berlalu.

*****

Aiman melangkahkan kaki menuju kamar mandi, meninggalkan ibunya dan Zia yang masih setia di ruang tivi.

Baru saja memasuki kamar berniat berganti pakaian, seusai mandi. Telpon genggam yang ia letakkan di atas nakas berdering. Tertulis di layar telpon nama 'Sintia'. Cepat Aiman menggeser tombol dial agar telpon segera tersambung.

"Assalamualaikum," ucap Aiman ketika tombol dial ia geser, pastinya setelah menutup rapat pintu kamar.

"Bang, cepetan ke sini, kumohon!" ujar Sintia dengan panik tanpa menjawab salam. Aiman yang mendengarnya menjadi terbawa suasana.

"Ada apa, Sin?“ tanyanya dengan suara pelan. Khawatir jika suaranya terdengar istrinya, lebih-lebih Sang Ibu.

"Rumahku kemalingan, Bang!" Sintia menangis sesenggukkan.

"Baik, Abang ke sana sekarang!" Ujian bertubi-tubi yang dialami Sintia, membuat Aiman begitu ingin membahagiakan istri keduanya itu.

Bergegas ia menggantikan handuk mandi yang tadi digunakan dengan pakaian lengkap dan menyisir rambut asal, kemudian berjalan keluar dengan tergesa-gesa. Kini sang Ayah sudah bergabung dengan ibunya dan Zia dengan segelas kopi di hadapannya.

"Yah, Bu. Aku keluar sebentar gak papa, kan? Ada perlu!" jelas Aiman sambil meminta izin, setelah menyalami ayahnya. Zia menautkan alisnya dengan makna tanya. Mereka kompak menatap Aiman heran.

"Abang ke luar sebentar ya, Zi!“ Zia hanya bergeming. Aiman pun berlalu.

"Biarlah Zia nanti menjadi urusanku," pikirnya.

Hanya butuh waktu kurang dari lima belas menit, mobil yang ia kendarai sudah terparkir di depan rumah Sintia. Aiman bergegas masuk, ketika melihat pintu rumah Sintia terbuka.

"Kapan terjadinya, Sayang?" tanyanya saat menyongsong Sintia yang tengah berada di kamar.

Tanpa menunggu jawaban, Aiman langsung memeluk erat tubuh istrinya itu. Sintia menangis di bahu Aiman dengan terisak.

Cukup lama keduanya melepas rindu dengan saling mengeratkan pelukan.

"Hari ini, Bang. Tadi pagi, pas ditinggal kerja masih rapi," lirih Sintia disela isak yang ke luar.

Rumah Sintia sangat berantakan, semua ruangan tak luput dari jarahan maling, lebih-lebih tiga kamar tidur termasuk kamar Sintia.

"Ada yang hilang?" tanya Aiman peduli. Rasa tak tega melihat gadis sebatang kara yang kini kembali tertimpa musibah, membuat cintanya pada istrinya itu tumbuh lebih subur.

"Di kamarku, sekotak perhiasan yang kusimpan di lemari pakaian hilang, sama uang tunai juga ada tiga juta," jelas Sintia dengan kepala menengadah menatap Aiman, air matanya masih terus meleleh.

"Perlu lapor polisi?" ucap Aiman yang bermakna tanya.

"Ta—tak, tak perlu, Bang!" jawab Sintia gelagapan, seperti menyembunyikan sesuatu. Aiman tak tahu entah apa alasan Sintia tak ingin melaporkan kejadian barusan ke pihak berwajib.

"Kenapa?"

"A—aku cuma tak mau dibikin ribet, iya, tak mau ribet, Bang!" Sintia masih belum mampu menguasai diri. Aiman menautkan alis, pertanda heran.

"Kan, demi keselamatan kamu juga." Aiman berusaha memberi pengertian.

"Gak ada bedanya, Bang, sama saja. Lapor polisi cuma buang-buang waktu saja. Iya kalau malingnya ketangkep, kalau gak juga percuma." Sintia erucap manja sambil mendudukkan bobotnya di kasur.

Aiman merasa alasan Sintia tak cukup kuat, tapi entahlah, ia tak ingin memaksa, karena itu wewenang Sintia.

"Terus maunya bagaimana, Sayang? Apa kau tak mengkhawatirkan kejadian serupa nantinya? Abang nggak mau terjadi apa-apa sama kamu." Sintia hanya bergeming. "Atau Abang akan cari pembantu, agar kamu punya teman di rumah ini" lanjutnya, kali ini Sintia menggeleng.

"Aku hanya ingin tinggal bersama kalian, Bang. Aku ingin setiap hari bisa bersamamu." Sintia mencebik.

Permintaan Sintia barusan mampu membuat Aiman tersentak. Aiman terdiam cukup lama, kemudian meraup wajah dengan satu tangan serta tarikan nafas panjang, hatinya bergejolak, mencari jawaban dari apa yang barusan ia dengar.

Di satu sisi, ia pun menginginkan hal sama, bisa melihat wajah istri keduanya itu setiap harinya.

Namun bagaimana dengan Zia? Bagaimana dengan orang tuanya, jika tiba-tiba beliau berdua datang ke rumah dan melihat ada perempuan yang mereka anggap asing di rumahnya? Bagaimana jika Zia lebih memilih pergi setelahnya. Rentetan kemungkinan buruk yang akan terjadi berputar di kepalanya, tanpa mampu diucapkannya.

"Apa tak ada cara lain, Sayang? Abang rasa itu bukan solusi terbaik. Abang khawatir, Zia semakin tak nyaman bersamaku." Aiman kembali merengkuh tubuh Sintia, merebahkan kepala istri mudanya itu dalam dekapannya.

"Abang egois! Abang hanya memikirkan kebahagiaan Zia, tanpa tau sesulit apa aku di sini." Sintia kembali terisak.

"Aku yang lebih dulu mencintaimu, Bang! Kau milikku bukan milik Kak Zia. Dia yang sudah merusak kebahagiaanku!" ucap Sintia dengan air mata bersimbah di wajah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status